SENIN, 19/11/18
Rumah tangga macam apa ini, dia yang kusebut suami tak pernah bertanggung jawab atas kewajibannya. Semua gara-gara abi dan umi, jika mereka tak menjodohkan dengan pria itu pasti hidupku bahagia seperti sahabatku yang sudah menikah. Tidak, ini bukan salah mereka, tapi salah pria itu yang kini berhasil mempersuntingku. Jika dia tidak datang membawa angin surga kepada keluarga besarku, mungkin pernikahan ini tak akan pernah terjadi.
Fikri Abdillah, nama pria itulah yang selalu mengisi hariku selama tiga bulan ini. Iya, kita memang masih pengantin baru, tapi aku belum pernah merasakan menjadi pengantin baru seperti sahabatku lainnya yang juga sebagai pengantin baru. Rena, baru empat bulan menikah kini sedang berbunga-bunga menyusun program kehamilan bersama sang suami. Semua terlihat jelas dari postingan instagramnya yang menampilakan foto kemesraan dia dan suami. Lalu, Bella sahabatku yang baru dua minggu menikah, lagi giat-giat memamerkan foto honeymoon bersama suami di sosial medianya. Tuhan, apakah ini adil? Aku yang sudah menikah tiga bulan lebih belum pernah merasakan apa yang kedua sahabatku tersebut rasakan.
Aku dan Mas Fikri terlalu sibuk dengan aktivitas masing-masing. Berkali-kali aku mengasih kode agar dia lebih perhatian, ternyata dia tak peka. Kegiatan yang bisa kita lakukan berdua hanya salat berjamaah, terkadang dilanjut dengan murajaah bersama. Hanya itu. Sebagai seorang wanita, aku juga sekali-kali ingin diperhatiin, dimanja semisal diajak keluar, jalan-jalan berdua, nonton bareng atau sekedar makan di kafe. Kurasa itu hanya akan jadi khayalanku semata melihat Mas Fikri terlalu kaku dan aku malu untuk bicara secara terbuka kepadanya. Maklum kita menikah bukan dari proses pacaran, tapi melalui perjodohon atau lebih tepatnya ta'aruf.
Aku, Rena, dan Bella sedang berada disalah satu kafe tempat kami biasa nongkrong dulu. Kita sudah janjian ingin bertemu, sebab setelah menikah kita jarang banget bisa kumpul kayak begini. Aku sudah menghubungi suamiku, lagi-lagi aku hanya bisa membuang napas kesal dengan jawabannya. Dia hanya bilang, "yaudah pulangnya jangan malam-malam!" lalu dia mematikan ponselnya karena masih sibuk. Kesal banget rasanya, waktunya dia lebih perhatian sedikitlah, seperti bilang, "ati-ati di jalan, nanti kalau pulang jika mas pulang lebih awal, mas jemput!" atau sederhananya, "Hati-hati, pulangnya jangan kemalaman ya!" aku juga berhak mendapat perhatian tersebut toh kita kan sudah sepasang suami istri.
"Eh, melaman aja, awas entar kemasukan setan loh!" ucap Bella yang duduk disampingku. Aku hanya tersenyum kecil menanggapi ucapannya barusan.
"Ada apa, Neng! Ceritalah kalau ada masalah," tanggap Rena yang memang dari dulu lebih dewasa dari aku dan Bella. Dia yang duduk di depanku, tetap seperti dulu anggun dengan jilbab lebarnya dan memancarkan pesonanya sendiri.
"Apakah kalian pernah berpikiran menyesal sudah menikah?" Mata kedua sahabatku langsung tertuju ke arahku.
"Wait ... wait, jangan bilang kamu nyesel menikah dengan Mas Fikri?" tebak Bella spontan tanpa filter apapun. Sungguh tebakan dia begitu jitu. Apakah kalimatku barusan sangat ketara kalau rumah tanggaku sedang tidak baik? Aku hanya mengangguk membenarkan tebakan Bella tersebut.
"No, Ra! Nggak boleh, Zahra yang aku kenal nggak mungkin sepesimis ini!" Bella menatapku tajam lalu menggeleng tak memercayainya.
"Udah Bella, kita tunggu penjelasan Zahra dulu." Lalu mata Rena kembali ke arahku, "Zahra jika kamu perlu bicara masalah apa yang terjadi dalam pernikahanmu, silahkan kita siap mendengarnya. Namun, jika kamu merasa itu koridor privasimu, Zahra boleh tidak cerita kepada kita."
Perkataan Rena begitu bijak membuat bening hangat begitu halus membasahi pipi. Aku hanya mampu menunduk. Tangan Bella mengelus bahu seakan memberi energi agar aku kuat.
"Ra, aku kemarin juga merasa nyesel kenapa menikah dengan Mas Gilang!" Mendengar pengakuan Bella, sontak membuatku kaget dan tak percaya.
"Jangan bohong kamu, Bel? Bukankah kamu dan Mas Gilang sangat romantis. Itu terlihat banget di psotingan instagrammu!" jelasku sambil menyeka air mata.
"Ya ampun, Ra! Apa yang terposting di media sosial, belum tentu sama dengan yang dirasa dalam dunia nyata. Benar sih, banyak yang komentar kalau aku dan Mas Gilang adalah pasangan paling berbahagia abad. Namun, Ra, siapa sangka jika kita juga hamba Allah yang jauh dari sempurna. Jujur selama dua minggu lebih ini, aku merasa terkekang dengan sifat Mas Gilang yang begitu posesif. Ini itu harus lapor dia, emangnya aku tahanan polisi!"
Aku tersenyum sediri mendengar penjelasan sahabatku satu ini yang memang terkenal ceplas-ceplos, naif dan polos.
"Tapi kan enak, Bel, diperhatiin begitu! Daripada suamiku cuek bebek, nggak ada greget perhatian dan romantisnya. Sebagai wanita kan kita ingin banget disayang dan dimanja. Mungkin itu hanya menjadi khayalanku saja, sebab Mas Fikri terlahir dengan sifat tidak peka!"
Rena yang dari tadi menyimak pembicaraan aku dan Bella terkekeh sambil menutup mulutnya.
"Kalian itu lucu, yang satu dapat suami yang overprotectif dan satu lagi dapat suami yang tak peka ..."
"Kalau Rena sendiri sama suami bagaimana?" potongku yang penasaran dengan cerita rumah tangga sahabatku ini yang terkenal bijak dan baik.
Rena tersenyum lalu berkata, "Zahra, Bella, pernikahanku sama kok kayak kebanyakan orang yang sudah berumah tangga. Marah, kesel, kecewa mungkin jadi bumbu pelengkapnya. Namun, percaya atau tidak, setan selalu pintar untuk menemukan cela agar suami istri berpisah atau jauh dari kata sakinah, mawadah dan warahmah ...,"
"lalu?" Kali ini Bella yang mulai penasaran dengan penjelasan Rena. Kembali senyum menghias wajah teduhnya. kedua tangannya meraih jemariku dan Bella.
"Kita sebagai istrilah yang harus pintar mengolah perbedaan tersebut. Kenapa istri? Karena istri punya sense atau kadar kepekaan yang lebih dari suami. Ingat kita sebagai istri sudahkah mampu menjadi rumah yang nyaman saat suami pulang dan kembali berangkat kerja?"
Aku dan Bella hanya menggeleng lalu kembali mendengar penjelasan Rena tentang istri sebagai rumah tersebut.
"Bukan hanya rumah yang nyaman buat suami, tapi juga aman buat anak kelak. Rumah dengan dasar ilmu agama yang kuat, kepintaran mengolah emosi dan saling menghormati serta menghargai pasangan kita. Terpenting fokuskan diri kita bukan hanya pada kekurangan pasangan, tapi sekali-kali lihat kelebihan pasangan. Itulah yang Rena pelajari saat ketidaksempurnaan terlihat dari pasangan."
Perkataan Rena seratus persen benar. Selama ini aku hanya fokus dengan kekurangan Mas Fikri, tanpa melihat kelebihannya. Selama tiga bulan lebih tinggal dengannya tak pernah dia berlaku kasar kepadaku, bekerja keras begitupun pasti Mas Fikri memikirkan masa depanku dan anak-anakku kelak untuk punya rumah sendiri agar kita tidak mengontrak lagi. Maafkan kelakuanku salama ini Mas Fikri.
Rena dan Bella sudah dijemput suaminya masing-masing. Bella sudah mulai manja kepada suaminya yang katanya tadi posesif, keromatisan mereka lebih telihat natural daripada sekedar foto di istagramnya. Rena dan suami menunjukan keromatisan dari sudut yang berbeda, sederhana dan hangat. Perasaan iri sempat halus mengisi hati, kenapa Mas Fikri tak menjemputku juga. Kedua sahabatku tersenyum sambil melambaikan tangannya kepadaku. Aku membalas dengan tersenyum dan melambaikan tangan mengiringi kesendirianku di depan kafe. Aku menghela nafas dan berpikir pasitif, toh masih ada gojek atau grab.
Tinn....
Suara klakson sepeda motor tersebut membuyarkan lamunanku dan seketika membuatku terkejut.
"Mas Fikri!"
Dia tersenyum lalu berkata, "Maaf tadi agak macet, jadi telat jemput!"
Aku menggeleng, tersenyum lalu sigap duduk di sadel belakang.
"Tak masalah asal yang ditunggu suami tercinta, Mas Fikri!"
"Eh kok gitu?"
Terlihat dari gerak badannya kikuk saat tanganku melingkar dipinggangnya.
"Nggak suka ya?" ucapku pura-pura ngambek, tapi enggan melepas pelukan dipinggangnya.
Mas Fikri hanya diam sambil geleng-geleng kepala lalu menstarter sepeda motornya.
Maafkan aku, suamiku, mulai hari ini dan seterusnya, Zahra Khairunisa akan belajar menjadi rumah yang nyaman buat sang pangeran halalku, Fikri Abdillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar