Jumat, 08 Juli 2016

2 Hati 1 Rasa

2 Hati, 1 Rasa
Oleh : Yanuari Purnawan

Sayup terdengar suara merdu para santri melafalkan ayat suci Al-Qur’an. Sudah menjadi agenda rutin pondok pesantren, setiap ba’da magrib untuk tadarus. Semua santri diwajibkan untuk mengikuti setiap jadwal yang sudah ditentukan. Tetapi, sekali lagi mata Ustad Imron harus melotot, mencari dua sekawan yang belum terlihat batang hidungnya.

“Ke mana Rizal dan Yusuf?” tanya Ustad Imron kepada santri yang sedang tadarus tersebut. Seketika mereka menghentikan bacaanya. Para santri saling beradu pandang, karena takut.
“Mengapa kalian diam!” Suara Ustad muda tersebut semakin meninggi lalu dipandangnya satu per satu para santri.
“Kalian takut kepada mereka berdua. Sekalipun yang tanya Ustad kalian sendiri! Hasan, ke mana mereka?” Hasan yang ditanyai gemetaran. Santri asal Madura itu hanya menunduk lalu berkata.
“Mereka pergi ke warnet ….” Wajah Ustad Imron menjadi geram. Dalam hati dia berkata, “Awas jika kalian pulang nanti.”
***
“Aman … aman!” teriak Rizal kepada Yusuf, tatkala sedang mengendap masuk pondok melalui pagar. Perlahan Yusuf naik pagar, ketika hendak turun.
“Bruuk!” Yusuf terjatuh menindih Rizal. Suara gaduh tersebut mengusik tidur para santri.
“Dasar santri bengal!” Suara Ustad Imron memecah heningnya malam. Wajah sangarnya membuat kedua santri itu menelan ludah dan pucat.

Rizal dan Yusuf harus merasakan jeweran lalu digiring ke kantor keamanan santri oleh Ustad Imron.
“Kalian ini sudah berapa kali diperingatkan masih saja melanggar aturan!” terang Ustad Imron sambil menahan emosi.
Istighfar, Ustad!” ucap Rizal dan Yusuf bersamaan.
“Dasar kalian ini!” Amarah Ustad Imron tak bisa terkendali lagi. Kedua santri tersebut diseret menuju gubuk tempat para santri belajar bertani.
“Kalian sekarang tidur di sini!” bentak Ustad yang sekaligus ketua dewan keamanan santri tersebut.

Ini bukan kali pertama mereka dihukum, sebelumnya pernah digunduli, bersihin kamar mandi santri hingga puncaknya mereka harus tidur malam di gubuk tengah ladang.
“Suf … kamu kapok, tidak?” tanya Rizal yang sedang tiduran di gubuk beralas tikar.
“Kapok sih! Tetapi asyik,” jawab Yusuf sambil tersenyum memandang sahabatnya. Mereka bersahabat sejak pertama kali mondok di pesantren Darussalam tersebut.
“Maafkan aku, Suf. Membuatmu ikut merasakan semua ini.” Rizal bangun lalu duduk sambil memandang langit.

Suasana malam itu begitu hening, bintang-bintang mengintip malu dan bulan sabit tersenyum bercahaya. Terbayang persahabatan yang terjalin begitu lama bahkan menjelma menjadi saudara. Bagi Rizal, Yusuf adalah sahabat terbaik untuk mengadukan segala yang dia rasakan. Sedangkan bagi Yusuf, Rizal adalah sahabat sekaligus saudara yang setia ada disisinya.

Walaupun berbeda status sosial, Yusuf yang merupakan anak orang kaya sedangkan Rizal hanya anak tukang becak. Tetapi, perbedaan tersebut tidak menghalangi persahabatan mereka. Sampai saat ini tak pernah ada perselisihan yang berarti diantara keduanya.

“Mengapa harus minta maaf, ‘kan tidak ada yang salah!” jawab Yusuf yang juga menikmati indahnya malam penuh bintang-bintang. Mereka lalu tersenyum bersama.
“Kamu ingat, Zal! Saat pertama aku masuk pesantren.” Yusuf mencoba mengatur nafas untuk melanjutkan ucapannya.
“Tidak ada yang peduli sama aku. Setiap hari menangis ingin pulang. Tetapi, ada tangan malaikat yang memegang pundakku. Lalu dia berkata ….” Yusuf mengalihkan pandangannya kepada Rizal.
“Jangan sedih, kamu tidak sendiri. Aku akan setia bersamamu. Dua hati, satu rasa,” ucap mereka bersamaan.
***

Suasana haru, menyelimuti acara wisuda para santri. Walaupun pernah dibilang santri Bengal, Rizal dan Yusuf menunjukan kalau mereka mampu berprestasi. Mereka keluar menjadi lulusan terbaik. Bening hangat mengalir dari kelopak mata Rizal dan Yusuf, dua sahabat yang dari pertama hingga lulus dari pesantren kini harus berpisah.

“Suf, jangan lupakan aku! Kita tetap sahabatkan,” ucap Rizal sambil memeluk sahabatnya tersebut.
“InsyaAllah, aku tidak akan melupakan sahabat terbaik sepertimu.”  Mereka saling berpelukan dengan derai air mata.
“Dua hati, satu rasa,” ucap mereka dangan terisak lalu tersenyum bersama.

Dua hati antara Rizal dan Yusuf melebur dalam satu rasa bernama sahabat. Tidak ada kata benci, iri dan saling menjatuhkan. Bagi mereka walau kadang hati mereka berbeda pendapat. Tetapi, tetap satu rasa dalam menjalaninya. Karena semua terbalut indah dalam nama persahabatan.[]

 Selesai