Rabu, 26 November 2014

Membakar Hujan #Bagian 1

Ketika aku merasa lebih mati dari biasanya

Oleh: Billal_HB

        


Kami duduk dalam diam berdampingan menghadap laut lepas. Awan mendung bergegas berarak menuju ke arah kami, membuat permukaan laut yang berkilauan menjadi biru beku. Hingga pada akhirnya Arfan, sahabatku memecah bisu yang telah puluhan menit membatu.

“Aku cuma sebesar dan seluas gelas, Bill,” katanya serak. “Aku telah penuh dan tumpah.”

Aku menoleh sesaat padanya ketika angin dingin menghempas wajahku lalu kembali memandang ombak yang bergulung.

“Bukankah kau pernah bilang, jika gelas telah penuh sebaiknya bergegaslah mencari mangkuk, dengan begitu kau bisa membuat muatan yang banyak? Apa kau lupa?” balasku seraya menghela napas.

Kami diam lagi. Kulirik wajah Arfan yang tersenyum pucat dan caranya menarik udara yang semakin dingin ke dalam paru-parunya. Jantungku berdebar tak seperti biasanya. Sekitar mataku menjadi hangat oleh sesuatu yang terbendung.

“Bill.” Arfan memanggilku pelan lalu menatapku dan tersenyum, sementara Aku hanya mengangguk padanya. “Maukah kau berjanji padaku?”

“Berjanji apa?” tanyaku penasaran. Kutatap wajah temanku itu dengan lekat, seakan ia tengah menaruh harapan besar padaku.
“Bilamana aku basah karena hujan, maka segera bakarlah aku,” katanya seraya memberikan aku bola api besar merah yang ia pegang. “Itu cara terbaik untuk hilang.”
Aku tersentak dan tersedak oleh udara yang tengah kuhirup. Membuat apa yang terbendung di mataku jatuh dan mengalir. Sangat tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Arfan, aku hanya merasakan jantungku berdetak lebih cepat.

“Aku tidak mengerti apa maksudmu, kawan,” jawabku ragu. “Api apa itu?”

Arfan tersenyum padaku dan mengangguk yakin. Melihatku menjadi cengeng. Air mata yang terjatuh bebas di daguku. Aku lantas membungkuk dan memaku pandangan ke bawah, pada dedaun yang berserakan di kakiku. Terasa sakit di dada tapi tidak mengerti apa yang menyakiti. Arfan membelai punggungku samar, seperti menyentuh tapi tidak mengenai. Hingga saat aku bangkit dan menyadari keadaan yang berbeda ketika hujan rebas membasahi wajahku.

Aku sendirian. Dibawah hujan yang deras. Tidak duduk di tepi laut, tidak pula bersama Arfan yang tadi ada di sisiku. Melainkan di tepi jalan yang tidak ada siapa-siapa di sana. Dalam ketidakpahamanku, aku merasakan perih yang menjalar dari kedua tanganku yang entah kenapa bisa melepuh merah bara. Dan secara bergantian memandang kedua tanganku yang terbakar dan jalan yang basah tergenang hujan.

“Aku tidak membakarnya,” lirihku. “Tidak benar. Arfan, kau dimana?”

Aku percaya, Aku membakar hujan agar tak membasahinya. Mungkin atau entahlah. Aku tahu dia tidak pergi. Tidak meninggalkanku seperti yang lain. Arfan, akan kutemukan kau meski aku tahu perihnya membakar hujan.



Lirik, 25 November 2014 08.05























































Selasa, 18 November 2014

Pelangi Ikhtiar

Aku gagal dan terjatuh. Semua mata mengarah kepadaku. Mengapa ini harus terjadi? Sungguh tidak mungkin seorang Ilham yang selalu juara kelas di SMP harus terperosok ke urutan duapuluh besar dengan rata-rata tujuh untuk nilai Ujian Nasional.

Airmata tak bisa terbendung lagi, nilai hancur dan masuk SMA favorit pun pupus. Kecewa dan tidak bisa terima mengapa Allah memberikan ujian ini kepadaku. Apa salah dan dosaku, belajar pun tak pernah lalai, justru teman yang malas nilai UNnya jauh lebih bagus. Ini tidak adil.

Di dalam kamar, kuluapkan segala emosi dengan menangis sejadi-jadinya. Merenung apa yang terjadi kemarin sebelum hal ini terjadi. Aku mulai duduk di bangku Sekolah Dasar sampai kelas tiga SMP semester satu selalu juara kelas. Semua orang memuji kepandaianku tetapi sepandai-pandai tupai melompat pasti jatuh juga. Benar kata pepatah, akhirnya kejatuhan dan kegagalan  itu pun nyata dalam rangkaian episode hidupku.

“Aku gagal, Bu!” ucapku kepada ibu.
“Sabar, Nak. Ini ujian dari-Nya untuk menaikan kwalitasmu,” jawab ibu sambil mengusap rambutku.
Aku tak kuasa menahan airmata, mengalirlah membasahi pipi.
“Allah tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Mungkin menurut kita itu jelek belum tentu jelek di mata-Nya, atau sebaliknya menurut kita itu baik belum tentu baik di mata-Nya,” lanjut ibu berusaha menenangkanku.
Entah seperti mantra yang mujarab, kalimat yang terucap dari bibirnya mampu menenangkan hati yang sedang gundah. Aku yakin skenario Allah pasti jauh lebih baik dari apa yang di rencanakan hamba-Nya. Terima kasih, Bu. Ku kecup keningnya tulus.
***
Gelap berganti terangnya matahari, pagi menyambut insan yang senantiasa bertasbih kepada Sang Pencipta. Seperti mendapat energi baru, aku lebih siap untuk menerima kegagalan ini walau begitu berat belajar ikhlas. Kulihat saat wisuda SMP bukan lagi namaku yang di panggil sebagai juara. Tidak apalah masih ada hari esok dan aku akan berprestasi lagi. Entah mengapa, api semangat berkobar begitu besar di dada.

Akhirnya keputusan melanjutkan ke SMA favorit harus terganti dengan SMA biasa. Ternyata rasa kecewa itu masih tersimpan di hati, apalagi melihat teman yang bisa melanjutkan ke SMA favorit, harusnya aku juga bersaing bersama mereka.

“Ilham, ada apa kok melamun?” tanya sahabatku Azis sambil menepuk pundakku.
“Tidak apa-apa, hanya aku masih belum percaya bisa sekolah di sini,” jawabku gugup.
“Aku mengerti kamu pasti kecewa, sang juara kelas harus sekolah di SMA biasa, ya kan!”
Aku mengangguk lalu menunduk, lagi-lagi airmata menetes.
“Ilham, mungkin inilah jodohmu,” seru Azis.
“Maksudnya.”
“ini sudah skenario Allah untukmu jadi terimalah dengan ikhlas. Mungkin sulit bagimu, tetapi percayalah akan ada pelangi di balik besarnya badai. Kamu tunjukan kepada mereka di mana pun berada selalu berprestasi.”
Entah mengapa nasehat Azis begitu menusuk ke dalam hatiku. Sepercik harapan baru mulai tumbuh dan semangat untuk bangkit semakin besar. Mungkin kemarin aku gagal, tetapi kali ini aku harus melangkah jauh lebih baik dari kemarin.

Percaya atau tidak di SMA ini, aku bukan hanya belajar ilmu umum saja tetapi juga ilmu agama, mulai dari shalat dhuha hingga shalat dzuhur berjamaah. Sungguh pemandangan aneh tetapi di sinilah aku bangkit dan menjadi Ilham yang berkarakter islami dan berprestasi.

Gelar ketua osis melekat di balik diriku sebagai seorang siswa. Tidak pernah menyangka, dulu untuk menjadi ketua osis mungkin hanya mimpi sekarang gelar ini pun aku raih. Aku masih belum puas aku ingin membanggakan sekolah ini. Banyak orang yang merendahkan murid dari SMA di mana aku sekolah.

“Untung anakku tidak sekolah di SMA itu, muridnya bodoh dan nakal.”

Cibiran orang di luar sana mengenai SMA di mana aku bersekolah, begitu membuat gendang telinga ini panas. Aku akan membuktikan bahwa murid di sini tidak sebodoh dan senakal yang mereka kira, tetapi mereka mampu bersaing dan berprestasi.

Sebagai ketua osis, aku menebar semangat bagi teman-teman agar bangkit dan tidak malas untuk belajar lebih giat lagi serta tidak lupa berdoa kepada-Nya. Banyak sekali hambatan mulai dari rasa malas dan bosan yang kadang datang begitu saja hingga minimnya sarana untuk belajar. Tidak jarang aku harus fotocopy bahan untuk belajar. Alhasil, nilai kita lumayan walau belum mencapai titik luar biasa.

Menginjak kelas tiga SMA, kegiatan kami hanya belajar untuk persiapan Unas. Aku yang pernah gagal sebelumnya, tidak ingin terulang kembali. Tetapi bukan hanya bagiku. Aku ingin kesuksesan nanti juga untuk teman-teman satu SMA.
Sebagai murid yang nilainya paling tinggi, aku harus berbagi membantu teman lainnya untuk bisa. Aku merasa sifat egois dan ingin menang sendiri terkikis oleh ukhuwah yang begitu besar antara aku, teman-teman dan juga guru-guru. Berkali-kali rasa syukur terucap di dalam hati ini, karena bersekolah di SMA biasa ini. Ternyata aku bisa lebih berarti di sini.

Inilah langkah perjuangan kami setelah tiga tahun akan dipertaruhkan dalam tiga hari. Dalam hati kecil, aku berdoa semoga melancarkan unas kali ini bukan hanya untukku tetapi juga teman-teman seperjuangan.
***
“Di balik kesulitan pasti ada kemudahan.” (QS Al-Insyirah(94):5)

Setelah menunggu beberapa bulan, akhirnya pengumuman hasil unas akan kami ketahui. Dalam harap-harap cemas kami yang berada di aula SMA berdoa semoga hasilnya baik.
Dengan kekuasaan-Nya, SMA kami dinyatakan lulus seratus persen. Rasa haru dan bahagia bercampur di aula dan tak lupa sujud syukur kepada-Nya.
Satu persatu dari kami mengecek nama dan urutan nilai. Aku tak melihat namaku sama sekali di urutan atas. Aku panik dan takut jika kegagalan itu harus terulang kembali.
“Ilham, selamatnya,” ucap Azis sambil memelukku.
“Iya sama-sama. Alhamdulilah kita bisa lulus.”
“Bukan itu!”
“Maksudnya?”
“Selamat kamu juara umum sekabupaten Pasuruan tingkat SMA.”
Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Azis, seperti tak percaya. Kemudian Azis menunjukan pengumuman yang  tertulis “Ilham Firmansyah sebagai juara umum sekabupaten Pasuruan.”

Ya … Allah inikah skenario yang Engkau tulisan untuk hamba. Aku bersyukur pernah terjatuh karena dengan begitu, aku mengerti makna bangkit dan berhasil. Tiba-tiba aku teringat nasehat Azis, “Ingatlah pasti ada pelangi di balik badai.”

Selesai

Rabu, 05 November 2014

Gadis Hujan

Aku masih terdiam dan duduk di bangku taman kota. Hujan yang begitu deras mengguyur tubuhku, tetapi tidak membuatku beranjak. Aku masih asyik dengan segala lamunan indah saat bersamanya. Ada percikan rindu teramat dalam di hati.
Hujan seakan menjadi saksi antara dua insan yang saling menyayangi. Dalam hujan kami bertemu dan dalam hujan pula kami harus berpisah. Pertemuan singkat yang mampu membuat hidupku berubah 180 derajat.

“Mengapa kamu hujan-hujanan?” tanyaku pada gadis berhijab putih yang sedang duduk di bangku taman kota itu. Memang saat itu hujan deras, aku kebetulan lagi jalan-jalan tidak disangka hujan turun dengan deras.
Gadis itu menatapku tajam, entah apa yang dipikirkannya. Lalu dia menundukkan wajahnya lagi. Wajah yang begitu teduh dan bermata bening.
“Apa aku boleh duduk di sini?” tanyaku lagi, dia hanya mengangguk.
Aku tidak berani berbicara lebih banyak, aku takut dia marah. Hujan masih deras, aku mau beranjak dari tempat duduk, tubuh ini sudah tidak kuat menahan dingin. Gadis itu masih saja tidak bergeming dari tempat duduknya. Siapa dia, ada apa dia di sini, pikirku.

Gadis misterius itu membuatku penasaran. Mata beningnya seolah menari di dalam otakku. Siapa dia sebenarnya. Berkali-kali aku mencoba untuk meredam rasa ini, tetapi rasa ini terlalu kuat menancap di hatiku.

“Boleh kenalan!” ucapku, dengan badan yang sudah menggigil karena hujan. Setiap hujan, kulihat gadis itu selalu duduk di bangku taman kota.
Dia menatapku tajam, aku sempat tersihir oleh binar matanya yang bening itu.
“Sarah,” ucapnya pelan.
“Firman.”
“Apa kamu tidak kedinginan?” tanyaku, melihat wajahnya yang pucat, ku mengerti kalau dia kedinginan. Tetapi dia hanya menggeleng dan berkata,
“Aku suka hujan, karena hujan mampu menggugurkan setiap kesedihan di hati ini.”
Aku masih belum paham apa yang dia maksud. Dia hanya menengadahkan telapak tangannya untuk menimbun setiap tetesan air hujan. Aku masih tidak berani terlalu lama bicara kepadanya. Sepertinya dia menyimpan kepedihan terlalu dalam.
Setiap hujan ku siapkan tubuh untuk berbasah ria menemani gadis itu. Gadis yang ku panggil gadis hujan itu, seolah tidak membuatku jenuh berada di dekatnya, walau tubuh menggigil kedinginan. Ini pertama kalinya ada wanita yang mampu membuatku luluh dan nyaman bersamanya. Apakah ini cinta, aku tidak mengerti. Gadis hujan itu telah berhasil mencuri sebagian ruang di hatiku.

Ku beli bunga di dekat taman kota sebagai hadiah kejutan untuknya. Hari masih mendung, gadis hujan itu tidak terlihat. Apakah karena belum hujan, dia belum datang atau apa aku yang terlalu berharap dia datang setiap hari.
Detik berganti menit, adzan ashar pun telah berlalu, gadis hujan pujaan hatiku tidak kunjung datang. Apa aku harus menunggu hujan, tetapi jika tidak hujan bagaimana. Hari sudah mulai gelap, kuputuskan untuk pergi dari taman kota. Bunga yang terlanjur ku beli terpaksa ku bawa pulang.
Gadis hujan … aku merindu dan menantimu, sehari terasa lama. Aku ingin memandang wajah dan binar mata yang teduh itu. Aku merana di dalam kamar. Inikah cinta, mengapa begitu menyakitkan. Cinta ini membuatku menjadi sosok pria melankolis.

Hujan, sebentar lagi aku akan bertemu dia. Gadis hujan tunggulah, aku akan menemani dan menghapus setiap luka yang pernah engkau rasakan. Aku berlari menuju taman kota, hujan deras pun ku terobos, aku tidak peduli. Rasa rindu ini harus segera diobati.
Dengan nafas yang masih memburu, kulihat sekitar taman, tidak ada gadis hujan yang ku rindukan. Kemanakah dia sekarang, apa dia sakit. Galau dan kalut, semua berkumpul di dalam pikiranku.

Aku melangkah menuju toko bunga di samping taman kota. Kulihat seorang Bapak tua yang menunggu toko.
“Permisi, Pak. Apa bapak melihat gadis yang biasa duduk di bangku itu?” tanyaku kepada Bapak penjual bunga itu.
“Gadis yang mana ya.”
“Gadis yang biasa pakai hijab putih dan suka hujan-hujanan itu,” terangku.
“Oh … gadis itu.”
“Bapak kenal dia!” potongku.
Bapak tua itu mengangguk dan menghela nafas panjang lalu berkata,
“Dia gadis gila, Nak.”
“Maksud Bapak?”
“Selly, dia adalah anaknya Pak Burhan. Menjadi gila karena suaminya kecelakaan di dekat taman kota ini. saat kejadian tersebut hujan turun deras, oleh sebab itu dia suka hujan-hujanan,” terang Bapak itu.
“Sekarang dia kemana,Pak?” tanyaku semakin penasaran.
“Dia telah meninggal, tertabrak mobil saat hendak di bawa pulang oleh orang tuanya.”
Kaki dan tubuhku lemas, keterangan dari Bapak tua itu seakan mempupuskan harapanku bersama gadis hujan itu. Ternyata gadis itu gila, aku masih tidak percaya.

Hujan pun turun begitu deras, aku tidak bergeming masih tetap duduk di bangku taman kota. Ada perih yang menyayat hati menerima kenyataan ini. hujan basuh luka ini dan gugurkanlah setiap kesedihan di hati bersama tetesanmu.

Selesai