Kamis, 03 Agustus 2017

Restu Bumi

Restu Bumi adalah cerpen yang sempat mengalami Save-Delete berulang kali. Dan akhirnya dengan napas lega selesai juga. Maaf jika cerpen kali ini atau memang semua cerpenku tidak memuaskan hati para reader (Ceileh … emang punya pembaca ge er amat^^). Intinya jangan lupa kasih kritik dan sarannya. Selamat membaca!

Restu Bumi
Yanuari Purnawan


Pemuda tujuh belas tahun itu mengadu kesakitan. Di ruang bangsal rumah sakit tersebut dia menahan untuk tidak meneteskan air mata. Tangan lembut seorang wanita paruh baya dengan penuh kasih sayang mengelus-elus wajah pemuda yang sedang menahan sakit itu. Sang wanita paruh bayu itupun berusaha untuk tetap tegar di depan anak semata wayangnya.
“Bu … sakit …!” teriak sang anak sambil menggenggam erat tangan ibunya. Sang ibu berusaha menenangkan anaknya.
“Sabar ya, sayang! Bentar lagi dokternya datang.” Air mata sang ibu pun terjatuh membasahi pipinya yang keriput di makan usia. Bagaimanapun hati ibu mana yang tidak sedih kalau melihat darah dagingnya menangis kesakitan.
Hingga beberapa menit kemudian, seorang dokter pria muda menghampiri bangsal tempat pemuda yang kesakitan tersebut.
“Dengan keluarga Bu Nurhayati?” tanya sang dokter yang diikuti dengan seorang suster. Sang ibu mengangguk menjawab pertanyaan sang dokter tanpa melepas jemarinya yang digenggam sang anak.
“Saya  Dokter Restu Pradipta ahli bedah tulang,” ucap Dokter Restu memperkenalkan diri sebelum memeriksa sang pemuda. Mata Dokter Restu memandang sang pemuda itu dengan rasa iba dan kagum. Iba karena tampak begitu kesakitan dan kagum dengan wajahnya yang begitu manis.
“Mana yang sakit, Dek?” tanya Dokter Restu, entah mengapa tiba-tiba dia memanggil pasiennya dengan sebutan ‘Adek’. Mungkin bagi Dokter Restu karena usia sang pasien lebih muda darinya. Sang pemuda yang kesakitan tersebut menunjuk pergelanggan kakinya. Spontan Dokter Restu memeriksa pergelangan kaki sang pemuda. Dia sempat tertegun melihat kaki sang pemuda, mulus seperti kaki anak perempuan.
“Suster, minta foto sito ekstremitas bawah lalu bawah foto basahnya pada saya,” ucap Dokter Restu kepada sang suster yang begitu cekatan menulis perintahnya.
“Bagaimana, Dok, kaki anak saya?” tanya Bu Nurhayati dengan nada penuh kekhawatiran.
“Dari hasil foto nanti kita bisa lihat lebih jelas,” ucap Dokter Restu lalu pergi meninggalkan ruang bangsal tersebut. Ada setitik rasa entah itu apa yang begitu halus menyergap Dokter Restu tatkala matanya memandang sang pemuda tersebut. Mungkin hanya takdir yang mampu menerjemahkan semua rasa itu.
*
Dokter Restu begidik melihat hasil foto sang pemuda tersebut. Dokter muda itu terlihat kalut dengan apa yang dia lihat ini. Kasihan pemuda seusianya harus berjuang melawan penyakit yang begitu berbahaya.
“Kemungkinan besar osteosarkoma,” ucap Dokter Restu lirih.
Osteosarkoma adalah kanker ganas yang menyerang tulang. Kemudian Dokter Restu menghubungi suster untuk segera melakukan CT scan.
“Lakukan CT scan untuk pasien Bumi Syailendra!”
Nama yang begitu indah, seindah paras sang pemilik nama tersebut. Bagaimanapun dia adalah pasienmu, ingat itu Restu. Pikiran Dokter Restu tidak hanya terfokus pada penyakit sang pemuda itu, tetapi juga kepada diri sang pemuda tersebut.
Setelah melihat hasil CT scan, memang menyokong diagnosis Dokter Restu.
“Segera lakukan biopsi agar kita bisa menentukan tingkat keganasan kanker secara histologis,” perintah Dokter Restu. “Panggil pasiennya,” lanjutnya datar.
*
“Masih sakit?” Pemuda yang usianya kira-kira tujuh belas tahun itu mengerjap menatap sang pemilik suara. Matanya lekat memandang dokter muda di depannya. Dokter ganteng nan menawan pikirnya kemudian. Bumi menggeleng tanpa berkata apapun. Dokter Restu memandangnya dengan rasa gemas, ingin baginya mengacak-acak rambut sang pasien itu. Namun, segera niat itu pupus karena dia tahu kalau dia adalah dokter dan harus menjaga etika serta profesional kerja.
“Dokter … apa penyakitku ini parah?” tanya Bumi dengan tatapan sendu. Sekali lagi Dokter Restu memandang Bumi dengan rasa iba dan entah rasa apa lagi itu yang sulit dia jabarkan sendiri. Sejak tadi dia menahan untuk tidak bertindak jauh, tetapi jemari-jemarinya berhasil mengacak-acak rambut Bumi.
“Kami akan melakukan yang terbaik. Jadi, tugas Bumi harus tetap optimis untuk sembuh!” Senyum mengembang dari keduanya. Senyum penuh ketulusan dan pengharapan akan sebuah takdir yang tertulis tentang mereka.
*
“Amputasi, Dok!” Bu Nurhayati merasa tak percaya mendengar penjelasan Dokter Restu bahwa anak semata wayangnya harus mengidap penyakit kanker ganas yang mengharuskan anaknya kehilangan kaki kirinya.
“Apa tidak ada pilihan lagi, Dok?”
Dokter Restu menggeleng, “ini adalah cara satu-satunya agar sel kanker tidak menyebar ke organ lainnya.”
Mendengar kenyataan itu terasa begitu pahit dan memiluhkan bukan hanya bagi Bu Nurhayati, tetapi terlebih bagaimana beliau mampu menjelaskan semua kepada sang anak, Bumi.

“Begitu parahkah, Dok, penyakitku ini sampai-sampai aku harus diamputasi?” tanya Bumi ke Dokter Restu yang sedang siaga mengecek kondisi Bumi sebelum melakukan amputasi. Dokter muda itu hanya memberikan senyum terbaik kepada pasiennya tersebut.
“Dokter … apakah di dunia ada orang buntung yang menjadi dokter?”
“Maksudnya?” Dokter Restu mengalihkan pekerjaaanya sebentar untuk menatap Bumi yang memiliki mata malaikat itu, bening dan penuh ketulusan.
“Dulu aku bercita-cita menjadi dokter, tetapi setelah kenyataan bahwa aku akan jadi buntung mungkin cita-citaku akan pupus begitu saja!”
Air mata telah membasahi pipi cubby Bumi. Dokter Restu yang melihatnya menjadi tersentuh dan seketika memeluk Bumi penuh kehangatan.
“Semuanya ada takdirnya masing-masing!” Dokter Restu berusaha menyemangati Bumi dengan mengelus-elus punggung pemuda yang begitu menarik perhatiannya.
“Iya, Dok. Kalau tidak jadi dokter mungkin aku bisa jadi suster ngesot,” ucap Bumi sambil melepas pelukan Dokter Restu. Mereka pun tertawa bersama di dalam kesedihan. Rasa yang entah bagaimana datangnya menghangat di hati Restu dan Bumi.
*
Ada rasa takut menjalar ketika Bumi harus masuk ke ruang operasi. Namun, dia masih bersyukur karena ada Dokter Restu yang siaga di sampingnya. Sejak mau masuk ruang operasi jemari Bumi dengan erat menggenggam jemari Dokter Restu. Baginya dengan menggenggam jemari dokter idolanya tersebut ada secercah energi baru yang masuk ke dalam tubuhnya. Dokter Restu hanya diam dan fokus walau ada rasa hangat di hatinya. Diam-diam dia berdoa agar Bumi kuat dan tenang saat operasi nanti.
“Dok, aku takut?” ucap Bumi lirih.
“Tenang ya … nanti adek dibius. Jadi, tidak akan merasakan apa-apa!” jelas Dokter Restu dengan nada begetar. Di sampingnya sudah ada dua dokter lainnya yang membantu operasi beserta dua perawat.
“Sebelum dibius aku mau bilang semoga aku bisa mendengar suara Dokter Restu lagi!” Dokter Restu tersenyum tegar dan perlahan mata bening yang memancarkan ketulusan itu terpejam.
Empat jam lebih operasi itu berlangsung dan berjalan lancar. Dokter Restu masih setia menjaga Bumi di ruang pemulihan pasca operasi. Matanya tak lepas memandang sesosok pemuda yang masih tertidur akibat obat bius. Tangannya perlahan membelai wajah yang begitu teduh dan manis itu. Tanpa sadar air mata menggenang di pelupuk mata Dokter Restu hingga perlahan membasahi wajah tampannya.
“Dek, kamu harus kuat!” ucap Dokter Restu sambil menggenggam jemari putih pucat milik Bumi. Dikecupnya jemari tersebut lalu dia pun mengecup kening Bumi penuh kasih sayang.
*
Matanya masih sembab, dia berusaha tegar untuk tidak meratapi nasibnya. Namun, apa daya dia terlalu muda menerima kenyataan bahwa dia harus kehilangan kaki kirinya. Tuhan tak adil pikir Bumi. Ibunya pun berusaha membesarkan hati putranya tersebut.
“Percayalah, Nak, akan ada pelangi setelah badai,” ucap Bu Nurhayati lembut sambil memegang tangan anaknya. Beliau paham dengan apa yang dirasakan Bumi, persis seperti lima tahun lalu ketika Bu Nurhayati kehilangan suaminya akibat kecelakaan. Raut wajah Bumi pun sama ketika dia kehilangan sang ayah untuk selamanya dan kini dia pun harus mendapati kalau kakinya tak sempurna lagi.
“Permisi … adek sudah baikkan?” sapa Dokter Restu tanpa digubris Bumi, tatapannya masih fokus pada perban di kaki kirinya.
“Kalau diam berarti sudah baik nih!” Bumi menatap dokter idolanya tersebut dengan tatapan sendu tanpa binar semangat seperti biasanya.
“Mendapati aku sekarang buntung, apa aku harus teriak kegirangan!” ucap Bumi sinis kembali matanya menahan bendungan agar tidak jatuh. Dokter Restu diam, lidahnya kelu dan entah ada rasa iba serta sayang di hatinya.
Sebelum meninggalkan ruangan tersebut Dokter Restu tersenyum ke arah Bumi lalu berkata, “Dek, minggu ini kamu sudah pulang. Bolehkah dokter mengajakmu jalan-jalan?” Mata Bumi lekat memandang bola mata yang indah di depannya tersebut tanpa mampu berkata apa-apa.
“Karena diam, maka dokter rasa adek setuju. Oke, sampai ketemu minggu depan!” Dokter Restu pun menghilang dari pandangan Bumi yang berhasil menyisahkan rasa penasaran di hati Bumi sekarang.
*
“Setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing.”
Suara itu berhasil memecah kebisuan di antara mereka berdua. Bumi masih fokus melihat apa yang ada di depan matanya kini. Hatinya tersentuh dan menyesal pernah berpikir bahwa Tuhan tak adil akan hidupnya. Sekarang dengan mata kepalanya sendiri dia melihat bagaimana anak-anak dengan tidak kesempurnaannya begitu luar biasa semangat untuk melanjutkan hidup.
“Ini buat Dokter Restu dan ini buat Kak Bumi,” ucap gadis mungil itu sambil menyodorkan gelang dari manik-manik warna cokelat muda kepada Dokter Restu dan Bumi. Bumi menerima gelang tersebut dengan hati bergerimis.
“Terima kasih, Tasya manis!” Gadis bernama Tasya itu pun berlalu yang sebelumnya tersenyum ke arah mereka berdua. Bumi melihat Tasya berjalan dengan menggerakkan tangan dan tubuhnya. Tasya tidak punya kaki.
“Tasya kecelakaan satu tahun lalu yang mengharuskan dua kakinya di amputasi,” terang Dokter Restu yang menangkap rasa penasaran di wajah Bumi.
“Dok … apa rasa syukur itu sebenarnya?” Mata Bumi mengerjap tanpa memandang Dokter Restu. Sang dokter idola itu menarik lengan Bumi hingga tubuh Bumi berhimpit dengannya. Bumi bisa merasakan detak jantung dan bau parfum Dokter Restu.
“Rumah Pelangi ini kami dirikan karena adanya rasa syukur itu. Bersyukur kala nikmat dan bersabar kala ujian menerpa. Kamu tahu dimana rasa syukur itu?” Kembali Mata Dokter Restu memandang wajah manis di sampingnya tersebut. Bumi pun melakukan hal yang sama dengan Dokter Restu. Mata mereka beradu, desiran halus itupun menyusup ke dalam hati mereka yang mulai menghangat karena adanya rasa, rasa memiliki dan menyayangi.
“Rasa syukur itu terletak di hati kita masing-masing. Ketika hati ini peka akan segala nikmat-Nya percaya sebesar apapun ujian dari-Nya, semua akan terasa ringan karena kita akan menyadari bahwa nikmat-nya jauh lebih besar dari segala ujian yang menimpa. Dek, ibarat besi semakin ditimpah beban berat, besi tidak mengeluh tetapi mampu menjelma menjadi pedang yang tajam.”
Kecupan di pipi Dokter Restu itu begitu cepat. Bumi hanya tertunduk sambil tersipu malu, sedangkan Dokter Restu tertegun mendapat kecupan mendadak tersebut.
“Maaf, Dok! Aku tidak bisa menahannya!”
Dokter Restu masih tak percaya dengan apa yang terjadi barusan. Bumi mengecup pipi kanannya, ada rasa hangat yang menyelingkupi hatinya.
Dalam perjalanan pulang pun Dokter Restu tak banyak bicara dan fokus mengemudi mobil. Sedangkan Bumi yang duduk di sebelahnya pun diam dengan memandang ke arah luar jendela. Hening. Hujan pun turun begitu deras memecah kesunyian diantara mereka.
“Terima kasih atas hari ini, Dok!” ucap Bumi tatkala mereka sudah sampai di depan rumah Bumi. Dokter Restu mengambil payung mengeluarkan krek dari bagasi lalu menuju beranda rumah. Melihat hal tersebut Bumi bertanya-tanya mengapa kreknya di taruh di beranda. Dokter Restu mengetuk kaca mobil, seketika Bumi membukanya. Belum hilang rasa penasarannya, Dokter Restu sudah membungkuk.
“Buruan sebelum hujannya tambah deras. Ayo naik!”
“Tapi, Dok!” Bumi ragu untuk naik ke atas punggung Dokter Restu.
“Apa perlu aku paksa kamu untuk mau digendong?” Bumi tersenyum mendengar ucapan Dokter Restu, hatinya menghangat ketika dia berada dalam gendongan dokter idolanya tersebut.
*

Tiga minggu pasca operasi, Bumi menjalani rawat jalan. Dan Dokter Restu yang bertugas di poliklinik bedah. Dengan ceketan dia kembali memeriksa foto tulang dan hasil biopsinya. Dia berharap kalau anak sebar kankernya tidak sampai ke paru-paru, walaupun dalam pemeriksaan sebelum operasi tidak ditemukan metastasis jauh ke organ lain. Namun, setelah melakukan punksi percobaan untuk mengeluarkan cairan dari paru-paru Bumi. Dokter muda itu melihat cairan yang keluar dari paru-paru itu memerah seperti cucian air daging. Dokter restu mencoba menahan untuk tidak menangis. Ternyata amputasi kaki untuk Bumi sia-sia belaka. Anak sebarnya telah sampai ke paru-paru, hampir tidak ada harapan lagi.
Dilihatnya Bumi yang sedang asyik membaca di ruang rawat inap. Setelah mengetahui tingkat anak sebarnya, Dokter Restu menyarankan untuk rawat inap.
“Dek, bagaimana keadaanmu?” ucap Dokter Restu lesuh. Melihat ekspresi Dokter Restu, Bumi menangkap ada sesuatu yang terjadi dalam dirinya walaupun dia pun sudah merasakannya.
“Seperti yang dokter lihat aku baik-baik saja. Malah dua minggu yang lalu aku belajar melukis!” Binar di mata Bumi membuat Dokter Restu ingin memeluk pasien favoritnya yang tegar dan penuh semangat tersebut.
“Apa dokter bisa melihat hasil lukisannya?”
“Semoga saja ya, Dok, sebelum Bumi pulang!”
Dokter Restu mengacak-acak rambut Bumi penuh sayang dan sedih. Karena, dia harus mendapati Bumi yang masih muda tersebut tak akan lama menapaki hidup.
“Dokter … terima kasih atas semua kenangan indahnya selama ini!”
Air mata menganak sungai di mata Dokter Restu, sekuat tenaga dia menahannya agar terlihat tegar dihadapan Bumi. Jemari mereka saling bertautan, perlahan Bumi melepaskannya sambil menatap haru Dokter Restu.

Bu Nurhayati dengan setia berada di samping anaknya. Matanya bengkak dan terlihat putus asa. Beliau mengetahui bahwa penyakit Bumi sudah berada dalam stadium akhir. Tangannya mengusap lembut wajah lalu membelai punggung tangan anak semata wayangnya yang sedang tertidur pulas. Air matanya tak mampu terbendung lagi, beliau terisak dan berdoa jika memang telah tiba saatnya semoga Bumi berada di tempat yang mulia di sisi-Nya.
Tiba-tiba Bumi bangun dengan keadaan sesak napas. Bu Nurhayati panik bergegas memanggil dokter. Dokter Restu yang siaga lalu berhambur ke ruangan Bumi bersama para perawat. Dokter Restu memimpin tindakan resusitasi terhadap pasiennya.
“Ayo … Bumi … bertahanlah!” Dalam kepanikan Dokter Restu masih berharap Bumi mampu bertahan lebih lama lagi. Dia masih ingin melihat senyum dan binar ketulusan dari mata Bumi.
Namun setelah berjuang selama satu jam akhirnya mereka menyerah juga. Bumi mengembuskan napas terakhirnya, tanpa sempat mengucapkan sepata kata terakhir kepada ibunya dan Dokter Restu. Kepedihan menyelimuti hati Bu Nurhayati yang mendapati harus ditinggalkan oleh suami dan anaknya. Di sudut lain, seorang dokter muda berusaha untuk tegar dan tidak menangis. Dokter Restu menulis surat laporan kematian Bumi dengan hati yang ditabah-tabahkan, sebenarnya saat ini dia ingin berteriak dan menangis sekeras-kerasnya. Walaupun dia sering menangani pasien meninggal dunia, entah mengapa pada Bumi, Dokter Restu merasakan benar-benar terpukul dan kehilangan. Di dalam mobil saat hendak pulang, Dokter Restu tak bisa lagi menahan untuk tidak menangis. Dia menangis dalam sepi dan hening, bayangan Bumi berkelabat di otaknya.
*

Gundukkan tanah itu basah dengan taburan bunga yang masih segar, tertulis di batu nisan ‘Bumi Syailendra’ 28 Januari 1999-20 April 2016. Beberapa orang sudah meninggalkan pemakaman. Tak terkecuali Bu Nurhayati yang harus dipapah para kerabat saat meninggalkan pemakaman, beliau begitu terpukul dan sempat pingsan.
Hanya ada satu orang yang masih setia berada di pemakaman. Dokter Restu menatap batu nisan di depannya, diusapnya perlahan. Dia menangis dalam diam tanpa air mata, hatinya bergerimis. Dia menahan semua rasa itu sendiri kini, rasa untuk selalu bersama dan memiliki utuh pasien muda berparas manis. Bumi. Hampir air matanya tumpah ketika melihat tubuh orang yang dekat dengannya harus tertimbun tanah dan tak akan pernah kembali lagi untuk selamanya. Setelah puas memandang pusara Bumi, Dokter Restu beranjak pergi yang sebelumnya dia mengecup batu nisan baru tersebut.
“Selamat jalan …!”

Di dalam mobil Dokter Restu melepas kacamatanya yang tadi sempat menyembunyikan bola matanya yang merah. Dia menatap kotak warna cokelat yang berada di sampingnya. Sebenarnya dia ingin membukanya sewaktu dia tahu siapa pengirim kado tersebut. Namun, dia urungkan karena sibuk dengan pasien lain dan proses pemakaman Bumi. Perlahan dibukanya kotak itu, ternyata berisi kertas kecil dan kertas besar yang digulung. Dibacanya isi tulisan di kertas kecil tersebut.

For, Dokter Restu Pradipta

Ketika angin membawa harapan
Terhempas ke dalam cawan
Beisi secercah kehidupan
Pada takdir tertawan
Terikat restu bumi keabadian

From, Bumi Syailendra

Diambilnya kertas yang digulung itu lalu dibuka, air mata membasahi pipi Dokter Restu. Wajah dalam lukisan itu begitu teduh dengan binar mata penuh ketulusan.
“Terima kasih, Dek!” Didekapnya lukisan itu bersama luka kenangan yang tak akan terhapus oleh hujan dan waktu.

_Selesai_