Senin, 19 Oktober 2015

Jodoh (Tak) Sempurna

Jodoh (Tak) Sempurna
Yanuari Purnawan


Ketika malaikat cinta menancapkan panahnya
Menghindar tak mungkin
Berlari, menjauh hanya akan terjatuh
Karena, sejatinya cintalah yang menang
Tak perlu menghindar
Memunafikkan rasa
Hingga waktu yang menjawab
Dialah yang tak sempurna
Untuk kesempurnaan cinta

Aku masih belum mengerti apa yang sedang terjadi pada diri ini. Mengapa aku bisa menyukai laki-laki seperti ini modelnya. Ia sedang asyik makan bekal yang khusus kusiapkan buatnya. Rambutnya acak-acakan terkesan maskulin, kaos oblong dan celana jeans yang bolong di kedua lututnya seolah menjadi fashion yang nyaman. Mungkin bagi yang pertama kali melihatnya, mereka kira ia adalah preman pasar. Namun, entah mengapa aku tak punya alasan untuk menjauhinya.
“Kak!” ucapku lirih sambil memandangnya yang tengah asyik melahap tempe di sampingku. Ia pun sekilas menoleh lalu nyengir sambil melanjutkan makan siangnya, bukan makan siang tapi sore kali. Matahari sudah seperempat untuk menghilang menuju peraduannya.
“Kak Akbar …!” lanjutku lebih kencang dari yang tadi. Ia pun berhenti mengunyah makanan yang hampir habis di kotak makan warna biru itu.
“Adek lapar juga?” jawabnya polos sambil menatapku. Sekilas terlihat begitu tenangnya tatapannya. Apa ia tak merasakan apa yang sedang kurasakan kini. Sungguh, ingin sekali aku marah kepadanya, namun upaya itu hanya meninggalkan kesia-siaan. Matanya benar-benar membuatku terhipnotis lalu luluh.
Aku menggelang lalu memendarkan pandangan ke arah matahari yang sebentar lagi tenggelam. Senja memang begitu agung dan mendamaikan. Aku menghembuskan napas dalam, bagai bukan udara yang keluar tapi duri-duri.
“Masih mikirin soal itu?” tanyanya sambil merapikan kotak makan. Ternyata, ia sudah selesai makan. Harusnya ia tak bertanya itu kepadaku, namun ia lah yang harus menjawabnya, masihkah hubungan ini harus berlanjut?
“Aku tak mengerti mengapa kakak tak pernah serius akan hubungan ini. Capek, Kak!”
“Yaudah, nanti kakak boncengin deh!” jawabnya asal, membuat gigiku gemelatuk menahan amarah. Bisakah ia serius akan hal sepenting ini. Sekali saja.
Kak Akbar berdiri setelah memasukkan kotak makannya ke dalam tas kecilku. Matanya fokus ke arah langit yang mulai berwarna jingga. Mungkinkah ia berpikir untuk kelanjutan hubungan ini.
“Sudah sore, yuk kita pulang!” Ia berbalik lalu melangkah hendak meninggalkan bangunan tua lantai tiga ini. Entah keberanian dari mana, bibir dengan mudah mengucap kalimat itu.
“Ayah meminta kakak segera menemuinya sebagai laki-laki dewasa!”
Ia berbalik lalu memandangku lekat. Tetap sama. Tajam, namun meneduhkan. Perasaanku tak enak. Respon apa yang akan Kak Akbar berikan. Tapi, dugaanku salah. Ia hanya tersenyum sambil melangkah menjauh dari lantai atas bangunan tua ini. Ingin rasanya aku berteriak dan menangis sejadi-jadinya. Serumit inikah cintaku dengannya?
***
Pikiranku melayang entah kemana. Buku yang kubaca dari tadi tak satupun kalimatnya yang menempel di otak. Mungkin, perpustakaan kampus hanya menjadi tempat untuk merefresh pikiran. Iya, pikiran akan ia yang tak pernah mengerti dan serius akan kelanjutan  ini.
“Hai, Non. Melamun aja!” sapa gadis berjilbab putih sambil menepuk pundakku agak keras. Mataku melotot memandangnya.
“Bisa dikecilin nggak volumenya. Ini perpus bukan pasar ikan.”
Amel, sahabat satu fakultasku itu hanya nyengir tanpa dosa. Akupun kembali membaca atau lebih tepatnya melamun.
“Lagi ada masalah? Sama preman pasar itu?” tanya Amel beruntun. Mendengar ia menyebut ‘Preman Pasar’ aku langsung melotot ke arahnya.
Sorry! Maksudku Akbar.”
Aku menghembuskan napas panjang. Tak perlu beralasan apapun, karena Amel pasti bisa menebak apa yang sedang bergelayut dalam pikiran. Akupun mengangguk.
“Ada apa lagi, Ra? Bukankah kamu bilang ia adalah sayap pelindung yang siap siaga melindungimu dari apa pun.”
Amel kembali mengungkit kalimat itu. Kalimat yang pernah aku utarakan kepadanya tentang Kak Akbar. Bagaimana proses perkenalan kami yang begitu unik. Mungkin, bagi sebagian orang itu adalah hal biasa. Namun, bagiku itu luar biasa. Suatu hari tatkala aku sedang naik bus pulang dari kampus, aku mengalami insiden kecopetan. Menyadari hal itu akupun berteriak yang membuat gaduh seluruh penumpang bus. Namun, cowok yang berpenampilan berantakan berhasil meringkus sang pencopet yang hendak turun dari bus. Ia tersenyum lalu mengembalikan dompet itu kepadaku. Sejak itulah kita semakin akrab, karena ia pun menggunakan bus yang sama denganku saat pulang kampus.
“Melamun aja!” Teguran Amel membuatku gelagapan sendiri.
By the way, ngapain kamu nyusul ke sini? Biasanya paling anti masuk perpustakaan,” sindirku membuat pipi sahabatku tersebut merona malu.
“Oh ya, besok jadikan ikut kajian islam kampus?” Aku mengangguk. “Tahu nggak, pengisi acara kajian itu Kak Faris loh!” Muka Amel terlihat girang saat menyebut nama ‘Kak Faris’. Siapa juga yang tak suka dengan cowok alim, santun dan cerdas tersebut.
“Kak Salman Al Farisi, anak teknik itu?” Mata Amel melotot menampilkan wajahnya yang lucu dengan pipinya yang cubby.
“Rania Azzahra, siapa lagi kalau bukan malaikat satu itu. Emang ada cowok satu kampus ini yang pesonanya ngalahin Kak Faris.” Aku hanya tersenyum, tanpa terasa beban akan masalahku dengan Kak Akbar sedikit terobati.
***
Seandainnya aku mampu
Ingin kubekukan waktu
Agar aku tak lagi tertarik, terikat
Hingga sulit terlepas
Sakit. Namun inilah jalannya
Walau salah sekalipun

Aku masih setia menunggunya di depan gerbang kampus. Dua menit, tiga menit. Tanpa terasa sudah setengah jam aku berada di tempat ini. Pasti alasan yang sama mogok atau macet. Sudah tahu begitu, masih saja diulangi lagi.
“Maaf ya! Pasti lama nunggu pangeran motor bututnya. Maklum motor tua jadi sering mogok,” ucapnya sambil tersenyum tanpa dosa. Alasan klasik.
“Aku ingin bicara serius!”
“Aku ingin makan soto,” timpalnya. Sekuat tenaga aku menahan amarah.
“Nggak lucu!”
“Maaf, aku kan bukan Sule.” Amarahku pun meledak.
“Bisa nggak kamu serius sedikit?” bentakku. Tak ada lagi panggilan ‘Kak’ untuknya. Ia memandangku tajam lalu tertawa terbahak. Memang ada yang salah dengan ucapanku barusan.
“Lagi lapar?” candanya lagi. aku hanya diam sambil menunduk. Gigiku bergemelatuk. Napasku tersenggal-senggal.
“Kan lapar bisa merubah seseorang. Ayo kita makan!”
“Kamu itu tak peka atau bodoh sih?” Kak Akbar terbelalak dan hampir oleng dari motor yang didudukinya.
“Aku capek dengan semuanya. Aku ingin kita jalan masing-masing.”
“Maksudnya?” Ia pun turun dari motornya berusaha mendekat ke arahku.
“Aku ingin kita putus!”
Suasana mendadak hening. Sepi. Hanya angin sore yang berhembus mengibarkan jilbab ungu panjangku.
“Dek …!” lirih Kak Akbar memanggilku. Tapi, kita tak bergeming dengan keadaan masing-masing. Tak ada sentuhan, pelukan atau hal yang tak sepantasnya.
“Maaf jika ini menyakitkan. Tapi, mungkin inilah jalan yang terbaik untuk saat ini. Lupakan mimpi-mimpi kita. Dan sekarang cukup serahkan semuanya kepada-Nya,” terangku sambil terisak.
Kak Akbar diam. Kulirik sekilas wajahnya. Matanya berkaca-kaca.
“Maafkan kakak, Dek. Maaf, masih menjadi laki-laki pengecut!” Ia berbalik lalu naik motor bututnya. Asap menggumpul dari knalpot. Menyesakkan. Seperti halnya hatiku kini. Kupandangi punggung gagahnya yang semakin lama semakin jauh.
“Sampai jumpa, Kak!”
***
Sudah sepekan tak ada lagi Kak Akbar dalam hidupku. Walau seperti ada ruang kosong di dalam hati. Hampa. Namun, aku harus segera move on. Hari-hariku kini hanya diisi ngampus dan kajian. Iya, aku dan Amel memang sering mengikuti kajian untuk menambah wawasan terutama tentang islam. Bukan hanya itu, Amel yang tahu aku putus dengan Kak Akbar sekarang gencar-gencarnya menjodohkan aku dengan Kak Faris.
“Kak Faris itu cakep, cerdas dan shalih. Wah, beruntung banget cewek yang jadi istrinya nanti!” Amel masih menggebu bercerita tentang Kak Faris. Aku hanya diam sambil menikmati soto di kantin kampus.
“Ra …!” Melihat aku yang tak memperhatikannya, ia langsung mencubit pipi kananku.
“Ada apa sih, Amelia Putri?”
“Gimana dengan Kak Faris?” Ia mengedip-ngedipkan matanya. Aku hanya tersenyum.
“Kalau kamu suka ya bilang saja. Gitu aja kok repot!”
“Rania … ini bukan masalah tentangku, tapi kamu. Tahu nggak tadi aku bilang Kak Faris bahwa kamu mau jadi koordinator untuk kajian minggu depan.” Aku langsung tersedak mendengar ucapan Amel. Buru-buru aku minum es teh hingga tinggal setengah.
“Kamu gila apa? Aku tidak bisa.”
“Jangan begitu, Rania. Bukankah kita diwajibkan tolong-menolong dalam kebaikan. Makanya, sekarang kamu harus membantu Kak Faris.” Aku hanya menelan ludah entah mengapa tenggorakanku jadi kering.
“Rania … aku mengerti tak mudah melupakannya. Namun, jangan berlarut-larut. Sekarang giliranmu untuk move on.” Mataku memandang tajam ke arah Amel. Benar apa yang ia katakan. Sudah saatnya aku melupakan bayangan tentang Kak Akbar.
***
Selama seminggu penuh aku menjadi koordinator untuk kajian islam kampus. Aku semakin dekat dan mengenal kepribadian Kak Faris. Namun, tak bisa kucegah sosoknya seolah menjadi pembanding jika aku berada dekat dengan Kak Faris. Tuhan, mengapa begitu sulit untuk menghapus semua kenangan tentangnya.
“Bagaimana kelanjutannya?” tanya Amel di saat kami sedang asyik ngopi di kafe dekat kampus.
“Entahlah, sepertinya melupakannya terlalu sulit.” Mataku mulai berkaca-kaca. Dengan lembut tangan Amel memegang erat jemariku seakan memberiku kekuatan.
“Ceritakan?”
“Kamu tahu saat aku bersama Kak Faris yang ada dalam pikiranku justru Kak Akbar. Ia seperti hantu bagiku kini. Mungkin, Kak Faris memiliki semuanya. Tampan, pintar dan shalih. Namun, ia memiliki sesuatu entah apa yang justru lebih dari Kak Faris.” Aku terisak. Dengan lembut Amel mengusap air mata dengan tissue.
“Kamu tahu apa yang Kak Akbar pernah ucap akan motor bututnya. Dengan motor seperti ini kita akan terlatih akan bersabar dan menghargai waktu. Ia selalu bilang jangan pernah memunafikan diri karena penampilan. Mungkin ia seperti preman pasar, namun yang mesti kita tahu ia tak pernah ninggalin shalat bahkan yang lebih miris ….” Aku diam sejenak mengumpulkan udara untuk menahan pedih di hati.
“Saat Kak Faris yang aktivis bilang jangan pernah memberi pengemis karena nanti jadi kebiasaan. Namun, apa yang ia katakan kepadaku. Kalau kita punya ya berilah, kalau nggak ya cukup tersenyum. Tak perlu mencari alasan untuk memberi.”
“Aku begitu bodoh!” Aku semakin terisak. Amel diam sambil menyeka air mataku. Kulihat ia pun berkaca-kaca.
“Rania … dengar ini, jangan takut mengakui cinta. Karena, cinta itu tumbuh secara alami dan fitrah. Jika, memang kamu cinta dan yakin Kak Akbar jodohmu pasti Allah akan menyatukan kalian. Dan sekarang hapus air matamu, katakan kepadanya bahwa kamu masih mencintainya.”
Aku menggeleng.
“Kita tak pernah tahu ada berapa kesempatan yang mungkin terjadi dalam hidup kita. Lakukan kini atau menyesal nanti.”
Kalimat Amel berhasil menohok hatiku. Kuseka air mata dengan ujung jilbab lalu mengambil napas panjang sambil tersenyum menatap sahabat terbaikku tersebut.
***
Sudah tiga hari ini aku menunggunya di lantai atas bangunan tua. Namun, sosoknya tak pernah terlihat. Mungkinkah ia marah kepadaku? Pasti, bahkan ia kecewa berat akan keputusanku tersebut.
“Rania …!”
Suara itu. Iya, suara yang selama ini aku rindukan. Kuputar balik tubuhku. Masih sama. Ia yang berambut acak-acakan dan mirip preman pasar. Suasana mendadak hening. Matahari tinggal seperempat lagi tenggelam menuju peraduannya. Senja selalu menawarkan kedamaian. Lidahku keluh. Aku hanya menunduk sambil memainkan ujung jilbab.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya sedikit kaku. Aku memandangnya sekilas. Sekuat tenaga aku menahan kristal hangat untuk tidak luruh.
“Aku baik-baik saja. Sekarang tak ada lagi bunyi bising motor butut, tak ada asap yang mengganggu pernapasan, tak ada bekal makanan, tak ada senja bersama. Aku baik kok, Kak. Bahkan saat ini aku baik, beberapa hari tak melihat sosok preman pasar seperti dulu.” Air mataku pecah.
“Maaf!”
Apa? Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Jeda. Tak ada lagi suara yang keluar dari mulut kita masing-masing. Hatiku hampa.
“Semenjak ayah meninggal tujuh tahun lalu, dunia ini seakan gelap. Tulang punggung kami pergi untuk selamanya.” Ia mendesah sambil memandang senja.
“Ibu sering sakit-sakitan, dua adik masih sekolah dasar sedang aku sudah masuk SMA. Beban biaya hidup semakin tinggi. Maka, aku putuskan untuk berhenti sekolah dan memilih membantu ibu bekerja. Awalnya ibu melarang, namun beliau yang bekerja sebagai buruh cuci mana cukup untuk membiayai sekolahku.” Matanya berkaca-kaca.
“Aku bekerja sebagai buruh panggul di pasar. Berat. Namun, selagi halal apapun pekerjaannya akan aku lakukan.”
Perih mendengar kisah hidupnya. Mengapa aku baru mengerti sekarang.
“Makanya, aku belum bisa datang untuk melamarmu. Bukan karena aku tak mampu, tapi aku ingin memberikan sesuatu yang lebih berarti untuk perempuan yang aku cintai. Aku ingin memuliakannya, menghormatinya dan melindunginya.”
“Kak Akbar!” teriakku. Seandainya aku mampu ingin kupeluk tubuhnya.
“Tapi, kita sudah putus.” Ia mendesah lalu berpaling hendak meninggalkan tempat kenangan ini. Bodoh. Bodohnya aku mengapa tak peka akan keseriusannya selama ini.
“Kak …!” Lututku terasa lemas. Aku pun tersungkur sambil terisak.
“Kenapa kamu masih menangis di situ?” Aku memandang ke arahnya, ia pun memandang ke arahku. Masih sama, tajam namun meneduhkan.
“Sudah sekah air matamu. Masak calon pengantin Muhammad Akbar Syailendra kucel, cenggeng dan jelek begitu.”
Aku mencoba berdiri sambil menyeka air mataku.
“Jahat!” ucapku sambil tersenyum. Ia pun membalas dengan senyum yang begitu hangat. Sehangat senja kali ini.
Mungkin dia tidaklah sempurna, namun kini bersamanya aku merasakan kalau dialah jodoh yang sempurna dari Sang Maha Sempurna.[]
Selesai