Selasa, 27 Desember 2016

Cahaya Hijrah

Cahaya Hijrah
Yanuari Purnawan


Kota Pasuruan diguyur hujan yang tak begitu lebat, namun mampu membuat orang-orang berhamburan mencari tempat berteduh. Begitupun dengan diriku yang berlari menuju emperan toko yang sedang tutup. Aku menggerutu dan mengutuk diri karena cuaca yang tak bersahabat hingga membuat sebagian kemeja dan celana basah. Andai tadi aku menerima tawaran Andi untuk pulang bareng, pasti tidak akan seperti ini jadinya.

Mataku menelusur ke arah jalan raya, berharap masih ada angkutan umum di jam seperti ini. Iya, biasanya angkutan umum akan lama pas jam mau maghrib. Entah mengapa Pak Sopir akan beroperasi setelah maghrib. Lagi-lagi aku harus mengasihani diri, karena harus terlambat pulang ke rumah. Ketika hendak menerobos hujan, ada sebuah mobil berhenti di depanku lalu seseorang membuka kaca mobilnya.
“Ari, ya?” sapanya sambil tersenyum ke arahku. Aku hanya diam sambil menunjuk diri sendiri.
“Yuk, masuk! Angkot jam segini biasanya lama, daripada lama menunggu, mending bareng. Kita kan se arah.”
Aku menatapnya lalu masuk ke dalam mobil avanza warna silvernya. Aku masih saja diam saat dia menyalakan mobilnya. Kenapa dia baik banget kepadaku? Tapi, sepertinya aku pernah melihatnya, entah kapan dan dimana. Aku berusaha memutar otak, namun dia sepertinya tahu rasa penasaran yang sedang aku rasakan sekarang.
“Ya Allah … ternyata kamu lupa sama aku! Ini aku, Saipul Hadi, mantan anak SMA 1 juga. Inget nggak?” Aku hanya menggeleng dan menyesali diri ini yang pelupa.
“Kalau yang pernah malak kamu di kamar mandi cowok pas SMA, inget kan?”
Keterangan dia barusan membuat diriku tersentak. Siapa yang tidak ingat kejadian naas yang menimpaku waktu itu. Segerombolan anak cowok kelas sebelas sedang nongkrong di toilet dekat kantin. Saat itu aku buru-buru mau ganti baju olahraga, tanpa permisi aku menerobos segerombolan kakak kelas tadi. Malang tidak bisa dielak, mereka malah menarikku masuk ke dalam toilet dan memalakku. Alhasil, uang jajanku yang tak seberapa itu diambil kakak kelas. Dan salah satu kakak kelas itu adalah yang sedang mengemudikan mobil ini.

Sebenarnya aku ingin bertanya kepadanya, namun harus tertahan karena suara azan maghrib berhasil memecah kesunyian sore yang basah ini. Saipul menepikan mobilnya tatkala kita sudah berada di depan pelataran masjid. Aku merasa ragu dan tak percaya, apakah mantan preman sekolah ini akan shalat atau mau mencuri kotak amal masjid?
“Yuk, kita shalat dulu! Bukankah shalat di awal waktu itu lebih utama pahalanya.”
Aku menelan ludah, apa yang terjadi kepadanya sekarang. Bicaranya santun dan terkesan jauh dari dirinya delapan tahun yang lalu. Aku menduga dia pernah gagar otak atau kepalanya pernah membentur tiang listrik.

“Sepertinya ada yang ingin kamu tanyakan dari tadi?” tanyanya sambil meletakkan teh manisnya yang diminumnya sedikit. Tadi, habis salat dia mengajakku untuk makan dulu sebelum pulang. Sebenarnya aku mau menolak, namun cacing di perutku sepertinya tidak bisa diajak kompromi.
“Aku hanya heran dan tak percaya, mantan preman sekolah mendadak alim begini!” Raut wajahnya seketika tampak sedih, “maaf jika ucapanku barusan menyinggung perasaanmu.”
“Bukankah setiap orang berhak untuk berubah! Dan inilah diriku sekarang yang berhijrah dari zaman jahiliyahku dulu. Serta ingin terus belajar untuk menjadi kekasih terbaik-Nya.” Dia menatapku sambil tersenyum, gurat kesedihan yang tadi sempat terlihat di wajahnya hilang. Aku mengangguk, menyetujui apa yang barusan dia ucapkan.
“Terus bagaimana ceritanya kamu bisa berhijrah seperti sekarang dan belajar menjadi kekasih terbaik-Nya?”
Lagi-lagi senyum menghiasi wajah teduhnya, berbeda sekali dengan dia pas zaman SMA yang begitu menyebalkan dan arogan.
“Semua berawal ketika ayah dan ibu memutuskan bercerai, waktu itu aku menginjak bangku SMA. Sungguh, saat itu aku benar-benar tertekan dan melampiaskan dengan menjadi preman sekolah. Dengan membuat onar di sekolah otomatis membuat diriku mendapatkan perhatian, walau kuakui itu salah.” Dia mengambil jeda dengan menarik napas seperti hendak mengumpulkan energi untuk mengenang masa lalunya.
“Semasa SMA itulah aku selalu dicap sebagai anak nakal dan bandel. Ternyata selapas lulus, kehidupanku jauh lebih buruk lagi. Ayah menyuruhku masuk kepolisian, sedang ibu menginginkanku kuliah keguruan. Saat itu aku muak dengan mereka berdua, yang mereka pikirkan hanya reputasi dan nama baik mereka saja. Tanpa mau mendengar apa yang aku mau. Akhirnya aku memutuskan untuk kuliah keguruan, namun itu hanya bertahan satu tahun.” Matanya berkaca-kaca. Sepertinya beban hidup di masa lalunya begitu berat. Jujur, aku tak pernah menyangka jika si preman sekolah punya cerita hidup yang begitu berliku.
“Bertahan satu tahun! Apa kamu di D.O?”
Aku masih penasaran dengan ceritanya. Dia meminum teh manisnya yang tinggal setengah itu lalu menatapku dan mengangguk.
“Kenapa kamu di D.O? Jangan bilang kamu jadi preman kampus!” Dia kembali tersenyum sambil menggeleng.
“Aku D.O karena aku kecanduan narkoba dan hampir mati gara-gara over dosis!”
Aku yang mendengar pengangkuannya hanya geleng-geleng tak percaya. Lalu dia menunjukan lengan tangan kirinya, ada bekas sayatan pisau di situ.
“Saat hampir mati itulah cahaya-Nya seolah menyentuh mata batinku,” lanjutnya yang kini mulai ceria lagi.
“Maksudmu, hijrah?” Dia mengangguk lalu mengambil ponselnya dan menunjukan foto seorang nenek-nenek bersamanya.
“Lewat tangan neneklah aku berjalan tertatih untuk menuju jalan-Nya. Sedang orang tuaku hanya mengirimkan biaya pengobatan, tanpa sedikitpun berempati menjengukku kala itu. Tapi, nenek dengan kasih sayang dan kesebarannyalah yang terus merawat dan menemaniku.”
Obrolan kita pun harus berhenti, tatkala makanan pesanan kita diantar oleh pelayan. Aku menikmati nasi goreng, sedang dia memilih nasi dengan lauk ayam goreng. Di sela-sela makan, rasa penasaranku mengusik untuk bertanya lebih lanjut kepadanya.
“Lalu setelah keluar dari rumah sakit itu kamu langsung berubah jadi baik?”
“Kurasa tidak ada yang instan untuk mencapai sesuatu di dunia ini. Bukankah mie instan saja untuk dimakan masih perlu direbus dulu,” jawabnya penuh filosofis.
“Jadi, kamu kembali ke obat-obatan terlarang itu?” Seperti wartawan saja diriku ini, dari tadi tanya ini itu kepadanya. Namun, aku tak ingin menyia-yiakan samudera ilmu yang ada di depan mata. Bukankah pengalaman orang lain adalah sebagian dari ilmu.
“Saat di rumah nenek, aku kembali sakaw dan ingin bunuh diri. Namun, lagi-lagi Allah menyelamatkanku dan masih memberi kesempatan untuk hidup. Nenek begitu terpukul dengan kelakuan yang tak kunjung berubah. Atas saran teman nenek, aku disuruh di masukan ke pesantren saja.”
Kita pun menghabiskan makanan yang tersaji di meja, sebelum dia melanjutkan cerita hijrahnya.
“Percaya atau tidak, jadi anak pesantren bukanlah impianku. Namun, ditempat itulah cahaya hijrah seorang Saipul Hadi bermula. Berkali-kali aku meminta nenek, untuk mengeluarkan aku dari pesantren itu. Namun, nenek dengan sabar bilang bahwa pesantren adalah rumahku dan menyuruhku untuk merenung dengan apa yang terjadi dalam kehidupanku.”
“Nenekmu begitu luar biasa, ya!” banggaku tulus kepada neneknya, dia pun tersenyum menatapku.
“Tapi, sayang beliau meninggal satu tahun yang lalu karena sakit.” Air mukanya kembali tampak sedih, “Namun berkat kesabaran nenek, kini aku sadar bahwa hidup itu adalah amanah. Jadi, mau digunakan seperti apa hidup ini, mau dikoridor-Nya atau tersesat menuju kegelapan. Jujur aku pernah tersesat, namun aku bersyukur karena cahaya-Nya telah menuntunku untuk kembali dan beusaha menjadi kekasih terbaik-Nya.”

Mobilnya berhenti di depan gang rumahku. Aku terdiam dan tidak langsung turun.
“Kurasa kamu masih punya utang kepadaku, uang yang dipalak kamu itu!” Dia tampak terkejut lalu merogoh dompetnya.
“Bercanda!” jawabku, “aku ikhlas kok dengan kejadian itu dan sudah maafin kamu!” Aku pun turun dari mobilnya. Sebelum menutup pintu mobilnya, dia tersenyum ke arahku.
“Terima kasih sudah mau maafin aku dan menjadi pendengar yang baik.”
“Aku juga berterima kasih. Karena saat mendengar cerita hidupmu, aku jadi semangat lagi untuk terus belajar menjadi kekasih terbaik-Nya.”
Mobil itu pun berlalu dari hadapanku, menyisakan diriku yang masih mematung di depan gang. Aku berusaha mencerna apa yang terjadi dalam kehidupan Saipul Hadi. Bahwa setiap orang punya masa lalunya masing-masing, namun hanya sedikit orang yang beuntung bisa berdamai dengan masa lalunya. Mengambil keputusan untuk mengejar cahaya-Nya dengan cara berhijrah. Ya Allah, tuntun dan kumpulkan hamba dengan orang-orang yang terus belajar untuk menjadi kekasih terbaik-Mu.


Selesai

Kamis, 10 November 2016

Jodohku Maunya Kamu [1]

Jodohku Maunya Kamu
Yanuari Purnawan


Kau adalah bagian dari mimpi-mimpiku yang tak pernah bisa kuraih.

Apa mungkin diri ini sudah gila. Mencintai seseorang hingga tak ingin satupun bisa memilikinya, kecuali aku. Egois memang, tapi inilah cinta. Cinta yang akan aku perjuangkan sampai kapanpun.
Laki-laki tampan dan saleh itu bernama Aditya Putra Angkasa. Entah apa yang terjadi kepadaku, seperti ada medan magnet yang menarikku untuk selalu mendekat kepadanya. Dia adalah lelaki pertama yang mampu menguasai seluruh hati ini. Ketampanannya itu pasti menjadi daya pikatnya, namun bukan itu saja yang membuat dia begitu sempurna di mata kaum hawa. Sikapnya yang begitu sopan dan berwibawa, ilmu agama mempuni serta calon dokter muda. Bagaimana? Paket komplit sebagai calon pengeran surga.

Aku hanya membolak-balik buku yang aku ambil di rak buku tanpa membacanya. Suasana perpustakaan begitu mendukung dengan apa yang kurasa kini. Sunyi. Aku merasa duniaku sudah tak berwarna lagi dan tak ada semangat untuk melanjutkan hidup. Semua rasa kecewa ini hadir karena sosok yang menjadi idola satu kampus, yakni Kak Adit.
“Kasihan tuh buku kalau cuma dibolak-balik saja!” sapa seseorang yang begitu familiar suaranya di gendang telingaku. Kutatap dengan rasa malas siapa yang menyapa, Rahmi, sahabatku sedang tersenyum dimanis-manisin dihadapanku.
“Buku itu buat dibaca, bukan jadi bahan amarah, Neng. Kalau begitu terus kapan pinternya!” lanjut Rahmi lalu mengambil buku di depanku. Aku hanya mendesah sambil menunduk tanpa melihatnya.
“Kayaknya ada yang lebih serius dari sekedar buku?”
Aku tak menggubris perkataan Rahmi yang datang hanya ingin merecoki. Sungguh, aku tak mood untuk berbicara dengan siapapun kini. Masalah Kak Adit, atau tepatnya masalahku sendiri yang begitu besar mencintainya. Rahmi bangkit dari tempat duduknya hendak meninggalkan perpustakaan. Mungkin, dia jengkel karena sedari tadi ucapannya tak mendapat respon baik dariku. Biarlah aku juga ingin sendiri.
“Bella … seberat apapun masalahnya, aku masih Rahmi sahabatmu yang siap mendengarkan semua keluh kesahmu!”
Rahmi siap pergi, namun aku lebih cepat membuatnya tetap berdiri di tempatnya.
“Kurasa kafe dekat kampus nyaman buat ngobrol!”
Sepertinya ucapanku barusan berisi tawaran. Iya. Rahmi benar aku sekarang butuh teman untuk membagi beban yang sedang kurasakan.
“Ba’da zuhur!” Rahmi tersenyum ke arahku sebelum tubuh mungilnya menghilang di balik pintu. Aku membalas dengan senyum yang sedikit kupaksa.
*
Kita tak bisa menawar hati untuk berpaling dari cinta. Cintalah yang menentukan kemana akan berlabuh.

Aku masih mengaduk jus orange yang kupesan dua menit lalu. Rahmi belum datang ke kafe tempat kita janjian tadi. Mungkin dia masih shalat zuhur. Bagiku Rahmi bukan sekedar sahabat, tapi sudah seperti kakak yang setia menasihatiku ketika sedang ada masalah. Dari persahabatan ini, mungkin aku yang lebih diuntungkan oleh sifatnya.
“Maaf ya, sudah lama menunggu?” sapanya dengan nada penyesalan. Aku tersenyum lalu dia duduk di kursi di depanku. Rahmi pun memanggil pelayan dan memesan minuman yang sama denganku.
“Kurasa telingaku sudah siap buat dengerin keluh kesah sang penanti cinta!” goda Rahmi sambil mengedipkan mata ke arahku.
Aku mendesah panjang berusaha mengeluarkan apa yang terpendam di dalam hati dan pikiran. Aku memang tak mampu menyimpannya sendiri.
“Kak Adit akan mengkhitbah Kak hana,” ucapku lirih seperti tak kuat menerima kenyataan ini. Rahmi tersenyum memandangku, mata itu tulus memancarkan kasih.
“Jika itu masalahnya, aku tak bisa berbuat apa-apa. Karena, kamu sedang berurusan dengan dirimu, hatimu.”
Benar apa yang dikatakan Rahmi, yang mampu mengakhiri semua ini hanya ada pada diriku. Tapi, cinta yang sudah tersimpan di hati atas nama Kak Adit sulit untuk dihapus begitu saja. Bagaimana aku bisa move on, jika mendengar namanya saja hati ini sudah berdesir halus.
“Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus mengiba kepada Kak Hana untuk menolak pinangan dari Kak Adit? Atau aku merelakan mereka bahagia di atas deritaku,” terangku sambil menahan agar bening hangat tak jatuh dari kelopak mata. Namun sia-sia, pipiku sudah basa oleh air mata. Rahmi berusaha menguatkanku sambil memegang erat jemariku.
“Apa aku salah terlalu mencintai seseorang yang sebentar lagi mengkhitbah orang lain? Salahkah rasa cinta ini jika menginginkan dia jadi milikku saja?”
Aku menyeka air mataku dan beusaha tenang, tatkala pesanan Rahmi diantar pelayan. Rahmi tersenyum lalu mengucapkan terima kasih. Pelayan itu pun membalas senyum Rahmi lalu bergegas meninggalkan meja kita. Aku meminum jus orange yang dari tadi hanya aku aduk-aduk.
“Aku tahu bersaing dengan Kak Hana hanya akan menyisakan kecewa. Jika, wanita itu bukan Kak Hana mungkin aku bisa mengambil hati Kak Adit dengan mudah. Ya Allah, kenapa harus Kak Hana?” ucapku lirih sambil menutupi wajah dengan telapak tanganku. Rahmi menggapai tanganku lalu meremas erat jemariku. Kita saling berpandangan.
“Bella, aku mengerti perasaanmu kini. Namun, lebih elok lagi jika rasa cintamu itu mampu menjadi taman-taman surga untuk dirimu dan orang lain!” Senyum mengembang dari bibir Rahmi, parasnya begitu menenangkan bagi siapa yang memandangnya. Rahmi memang tak secantik wanita kebanyakan, dia memiliki tubuh mungil dan cubby. Tetapi, dia memiliki kecantikan seorang muslimah yang jarang dimiliki wanita lain.
“Lalu aku harus bagaimana? Sulit bagiku mengikhlaskan rasa cinta ini. Aku selalu percaya bahwa Kak Adit adalah jodohku kelak yang sudah digariskan oleh-Nya.”
“Isabella Putri, lihatlah dirimu secara utuh? Di luar sana banyak pangeran surga yang siap menjemputmu dan akan senantiasa menghapus luka-lukamu, hingga tak ada lagi rasa sakit karena cinta. Tapi, cinta yang menumbuhkan harapan baru di hatimu.”
“Bagiku tak ada cinta lain selain cintaku kepada Kak Adit!”
Rahmi mendesah, mungkin dia jengkel dengan sifat keras kepalaku.
“Itulah masalahnya, kamu sudah membunuh terlalu dini cinta yang lain bahkan sebelum cinta itu tumbuh! Bella … aku tak ingin melihatmu seperti ini, karena senangmu adalah senangku juga, begitu juga dukamu adalah dukaku juga.”
Ada semacam desir halus menyusup ke hati saat Rahmi mengatakan kalimat itu. Beruntungnya aku punya sahabat yang begitu luar biasa menyayangiku. Ya Allah, terima kasih Engkau kirim seorang sahabat seperti Rahmi Assauqila Latief ke dalam kehidupanku. Mungkin, jika dunia berpaling membenciku, pasti tangan yang penuh kasih sayang Rahmi siap terulur menuntunku ke arah-Nya. Kini, haruskah aku menolak saran dari sahabat terbaikku. Mungkin berat menghapus cinta yang begitu dalam kepada Kak Adit, namun pasti jalan terbaik yang disiapkan oleh-Nya atas cintaku nanti.
Balik kini aku yang memegang erat jemari Rahmi, seperti menyalurkan energi untuk saling menguatkan, “Baik, akan aku coba!”
*
Dari kejauhan tanpa sepengetahuan Bella dan Rahmi, ada sesosok pria duduk di meja seberang yang sedari tadi mengamati pembicaraan meraka. Pria itu terburu-buru menghabiskan sisa minumannya lalu bergegas meninggalkan kafe tersebut. Namun sebelum pergi kembali ke kampus, ia mengambil almamater yang bertulis Fakultas Kedokteran yang tadi ia lepas dan di taruh di kursi disampingnya. Ia pun pergi meninggalkan kedua sahabat yang berusaha saling menguatkan, tapi dilain sisi ada sekerat rasa sakit dihati seorang pria yang kini sudah menghilang dari kafe yang menguak rahasia baru dalam hidupnya.


_To be continue_

Rabu, 21 September 2016

Aku Bukan Aku

Aku Bukan Aku
Oleh : Yanuari Purnawan



“Saya terima nikah dan kawinnya, Aisyah binti Imron dengan mas kawin tersebut tunai,” ucapku sekali tarikan nafas. Kulihat seorang wanita bergaun pengantin putih dan bercadar datang mendekatiku.

“Aisyah …,” ucapku terbata. Dia hanya mengangguk dan terlihat matanya begitu sejuk di balik cadar.
“Apa aku boleh membuka cadarmu.” Tanpa kata dia hanya mengangguk lagi.
Bismillah ….,” jawabku lirih. Dengan tangan gemetar, pelan, cadar itu pun sedikit terbuka dan wajah itu bercahaya lalu ….

Kringgg … kringgg ….

Aku terjatuh dari tempat tidur, astaga cuma mimpi sambil mengucek mata. Kulirik jam beker yang telah menghancurkan mimpi indah. Jam menunjukan angka tujuh pagi, waduh aku bisa terlambat kuliah, apalagi sekarang mata kuliahnya Pak Anton yang terkenal killer. Dengan tergesa-gesa aku menuju kamar mandi, cuci muka saja lalu ganti baju dan berangkat.

Sial …!!! Ternyata aku terlambat dan tidak boleh ikut mata kuliah Pak Anton. Dari pada kesal, aku menuju kantin. Siapakah gadis itu? Gadis yang baru kutahu namanya Aisyah, anak fakultas ekonomi semester tiga. Menurutku dia hanya mahasiswi yang biasa saja, dibanding Serly yang merupakan primadona kampus. Tetapi yang membuatnya beda terletak pada jilbab yang super panjang itu, sama sekali tidak modis dan kampungan.

Entah mengapa akhir-akhir ini aku jadi sering memikirkan gadis tersebut. Hingga puncaknya sampai terbawa mimpi, astaga apakah aku jatuh cinta kepadanya?

“Hei, Mas Bro. Tumben terlambat, lagi mimpi ketemu bidadari ya!” ledek Bayu teman satu kelas sambil menyerobot teh pesananku.
“Maksudmu? Jangan sok tahu deh …! Jawabku gugup. Temanku satu ini sudah kurus, suka iseng apalagi jika urusan perempuan.
“Kok grogi, pasti benar dugaanku.”
“kamu kenal tidak, dengan junior kita bernama Aisyah?”
“Aisyah anak yang aneh dengan jilbab panjangnya itu, jadi kamu suka dengan dia,” cerocos Bayu, kubungkam mulutnya dengan tangan.
“Jangan keras-keras malu di dengar orang.”
“Sudahlah lupakan dia, pria seperti kamu bukanlah tipenya. Kamu tidak pantas dengan gadis berjilbab itu.”

Perkataan Bayu seakan memupuskan harapanku untuk kenal dekat dengan Aisyah. Tetapi, tidak salah juga perkataan tersebut, mana mungkin gadis seperti dia mau dengan pria yang hampir D.O, tidak lulus-lulus dan tidak mengerti agama. Pasti pria yang dicari dia minimal yang bisa mengaji.

Hari telah berganti tetapi rasa cintaku kepada Aisyah bukannya berkurang tetapi tumbuh subur di hati hingga sulit untuk melupakannya. Setiap kuliah pagi aku sempatkan untuk shalat dzuhur berjamaah di masjid kampus. Wajah yang bersahaja itu tidak membuatku jenuh apalagi malas untuk datang ke masjid.

Aisyah telah mengubah setiap sendi kehidupanku. Aku jadi lebih alim, rajin shalat dan beberapa kali ikut pengajian yang terkadang membuatku tertidur di pojok masjid. Bayu sangat kaget dengan perubahan drastisku. Berkali-kali dia mengingatkanku bahwa aku tidaklah pantas mencintai Aisyah. Menurutnya aku bukan aku yang sebenarnya.

Cinta telah mengubah segalanya, pesonanya begitu halus dan indah menyergap hatiku. Terlalu lama, aku memendam perasaan kepadanya. Kini, saatnya aku harus mengungkapkan perasaanku kepadanya.

“Aisyah …!!!” teriakku kepada Aisyah tatkala setelah selesai pengajian di masjid kampus. Dia menoleh, tersenyum lalu menunduk.
“Apa saya bisa bicara sebentar denganmu?” tanyaku. Dia melihatku sekilas, mungkin merasa aneh dengan penampilanku yang memakai gamis dan celana bahan.
Akhy, mau bicara apa?” tanyanya balik membuatku gugup.
Aku masih grogi, gugup dan lidah keluh, keringat dingin pun keluar membasahi pipi.
“Maaf akhy, aku sedang sibuk. Jika tidak ada yang penting untuk dibicarakan. Saya pamit dulu, assalamu’alaikum.”
Lirih ku membalas salamnya, “Wa’alaikumsalam.”

Aku mengutuk diriku sendiri mengapa aku tidak berani dan pengecut. Tetapi, entah mengapa lidahku keluh saat menatap wajahnya. Aku benar-benar gila mencintainya. Tetiba pikiran itu datang lagi, apakah aku pantas mencintai Aisyah, gadis shaliha tersebut?

Hari ini ada pengajian mingguan di masjid kampus. Tausiyah ustadz tersebut sangat indah dan menohok hatiku.
“Hadirin, sudah benarkah niat kita menjalankan perintah-Nya? Apa karena ingin di bilang alim kita shalat? Jangan biarkan sifat riya’ itu membuat amalan kita ibarat debu yang menempel di batu lalu tertiup angin.”

Mendengar kalimat tersebut tanpa terasa air mataku menetes. Aku memang tidak pantas untuk Aisyah, aku berubah alim bukan karena cinta kepada-Nya tetapi hanya ingin mendapat cinta dari makhluknya. Aisyah, maafkan aku yang masih lemah iman. Semoga kelak aku pantas menjadi imam yang shalih untuk membimbingmu.

Hingga aku lulus kuliah, perasaan ini masih terpendam dalam di hati. Biarlah waktu yang menjawabnya, jika Aisyah adalah jodohku pasti bertemu juga. Dan sekarang aku tidak ingin berpura-pura menjadi orang lain untuk mencintainya. Bayu menyambutku dengan senyum khasnya. Bahwa, aku alim bukan karena orang lain tetapi karena hati sendiri.

Pada musim hujan diawal tahun baru, aku bertemu Aisyah. Ternyata dia sudah menikah dengan ustadz asal Kudus. Aisyah … aku memang tidak pernah pantas untuk mencintaimu.


Selesai

Kamis, 15 September 2016

Patah Hati Terindah

Patah Hati Terindah
Yanuari Purnawan



“Dia menolakku!”
Matanya berkaca-kaca dan raut wajahnya tampak begitu mendung. Suasana kafe pagi ini sepertinya mendukung akan apa yang dia rasakan. Sepi. Mungkin karena masih jam kerja.
“Aku tidak mengerti alasan dia menolakku. Dia bilang aku terlalu baik dan sempurna untuknya. Apa itu alasan yang tidak buat-buat?”
Dia tampak geram, namun yang lebih tepatnya depresi. Penolakkan itu berasa sangat menyakitkan baginya, bagaimana tidak, dia mencintai gadis pujaannya secara diam-diam selama dua tahun ke belakang. Dan pada momen yang tepat dia menyatakan perasaannya, malah kenyataan pahit yang harus diterimanya. Killa, sang gadis pujaan tersebut menolaknya dengan alasan yang bagi Putra itu alasan yang mengada-ada.
“Mungkin aku harus menjadi laki-laki brengsek dulu untuk dicintainya!” lanjutnya yang semakin tampak frustasi. Aku tak mampu berkata apa-apa dan memilih menjadi pendengar setia. Boleh jadi Putra tak perlu argument dariku untuk beberapa saat ini. Seperti halnya tadi saat dia menelponku untuk bicara sesuatu yang sangat penting katanya. Awalnya ku menolak, namun dari nada suaranya ada sesuatu yang tidak beres dalam dirinya hari ini. Dan ternyata, sahabat baikku dari SMA tersebut sedang patah hati.
“Apa yang harus aku lakukan kini, aku benar-benar patah hati?” kesalnya sambil mengacak-acak rambutnya. Putra sekarang memang tampak awut-awutan tak seperti biasanya yang rapi dan bersih. Mungkin kini saatnya aku bicara kepadanya, sebelumnya aku menyodorkan sebuah undangan merah jambu dihadapannya. Matanya langsung membulat membaca undangan tersebut.
“Rania Anjani dengan Ahmad Fathur!” kagetnya sambil menatapku, “Gila, apa ini beneran?” tanyanya yang masih tak percaya dengan kenyataan di depannya. Aku hanya mengangguk sambil minum jus jeruk yang aku pesan tadi.
“Skenario Allah begitu luar biasa! Jawabku yang balik menatap sahabatku tersebut.
“Kenapa kamu tidak pernah cerita kepadaku, jika Rania akan menikah atau lebih tepatnya menikah dengan orang lain?”
Aku hanya diam sambil mengingat kejadian lima hari lalu dimana aku bilang kepada Putra bahwa Rania akan menikah. Spontan dia memeluk dan mengucapkan selamat karena penantianku selama ini berbuah manis. Kembali aku hanya bisa diam ketika dia mengira bahwa aku lelaki beruntung tersebut.
“Maaf … jika aku belum bisa menjadi sahabat yang baik untukmu!”
Raut wajahnya frustasi itu berubah menjadi ekspresi penuh penyesalan. Aku tersenyum dan mengangguk kepadanya.
“Apa kamu tidak patah hati ditinggal nikah oleh Rania?” tanyanya yang mungkin dari tadi dia pendam dan tak berani untuk ditanyakan.
“Iya!”
“Lalu? Hanya itu saja ketika menerima kenyataan orang yang kita cintai akan menikah dengan orang lain?”
Aku hanya tersenyum yang membuatnya semakin penasaran dan bertanya-tanya.
“Setiap orang pasti pernah merasakan yang namanya patah hati atau penolakan. Namun, yang terpenting dari semua itu bukanlah tentang patah hati, tapi bagaimana kita ke depannya bisa mengelola hati.”
Kembali aku meminum jus jeruk yang sudah tinggal setengah. Putra yang duduk di depanku sepertinya tak sabar untuk mendengar penjelasanku.
“Ayolah kawan segera jelaskan bagaimana kita bisa mengelola hati ketika patah hati!
Aku tersenyum mendengarnya, sahabatku ini benar-benar aneh baru saja patah hati dan frustasi sekarang dia malah kepo dengan patah hati orang lain.
“Ikhlaskan semuanya dan serahkan kepada-Nya. Berat memang! Tapi, ketika kita bisa melangkah setapak melewati rasa patah hati itu, insyaaAllah Dia sang punya cinta akan memberi cinta yang lebih dan lebih indah.”
“Maksudmu, kita harus mencari cinta yang baru begitu?”
“Great, kawan! Karena, obat dari patah hati adalah cinta yang lain. Namun, sebelum cinta yang lain itu tumbuh, tumbuhkan cinta itu kepada Sang Pemilik Cinta.”
“Jadikan patah hati itu seperti patah hati terindah yang kamu rasakan, bukan membuat terpuruk namun menjadikanmu lebih keren dan lebih baik. Buat yang menolakmu karena kamu terlalu baik menjadi benar begitu faktanya!”
Putra tersenyum dan binar semangat kembali mengisi raut wajahnya yang tadi sempat mendung.
“Kawan, bolehlah kita patah hati dan galau, namun sekedarnya. Karena, masa depan kita masih utuh dan sayang sekali jika harus diratapi dengan kegalauan,” lanjutku sebelum pergi untuk kembali ke tempat kerja.
“Oke, sekarang aku harus pamit untuk menyambung hidup.”
Aku berdiri dan bergegas meninggalkannya yang masih terdiam di tempat duduknya.
“Kurasa ini adalah patah hati terindahku yang membuatku semakin kece dan keren dari kamu!” ucap Putra sambil tersenyum menatapku.
Pagi yang cerah untuk dua sahabat yang sedang patah hati atau kini lebih tepatnya pernah patah hati. Langit masih biru dan mentari masih bersinar terik, dua jomblo pun masih berlanjut untuk menemukan cinta yang baru, walau kini cinta itu sudah ada yakni cinta kepada Sang Pemilik Cinta.[]

Kalipucang, 16 September 2016
_Jumat yang selalu penuh berkah dan cinta_




Selasa, 30 Agustus 2016

Ini Budi

Ini Budi
Oleh : Yanuari Purnawan


Seribu, dua ribu, tiga ribu, alhamdulilah uang lima belas ribu terkumpul hari ini. Di masukannya ke dalam kaleng bekas susu formula. Uang lecek itu, dia kumpulkan demi menyambung hidup dan mewujudkan mimpi. Bocah ingusan itu harus menikmati masa anak-anaknya dengan berjuang di jalanan ibukota yang terkenal kejam.

Panggil dia, Budi Akbar. Nama yang begitu mengagumkan untuk anak yang tinggal di bantaran sungai Ciliwung itu. Bercita-cita menjadi sarjana adalah impiannya. Terpendam di lubuk hatinya, mungkin ini hanya mimpi semata. Mengulik kehidupannya, masih jauh dari kata cukup. Untuk makan sehari-hari saja begitu sulit, apalagi harus sekolah tinggi.

Murid sekolah dasar, lebih tepatnya sekolah darurat ini selalu berusaha keras untuk mewujudkan mimpinya. Setiap hari sepulang sekolah dia membantu bapak angkatnya untuk bekerja menjadi pedagang asongan. Tubuh mungilnya kerap kali menjadi santapan kekejaman ibukota. Kejar-kejaran dengan Satpol PP mungkin sudah tak asing baginya.

Bocah sebelas tahun ini harus menerima kenyataan pahit akan jalan hidupnya. Sejak lahir tak pernah kenal siapa orang tua kandungnya. Karena dia, bayi yang dibuang orang tuanya di pinggiran sungai. Lantas pak Amir, pria tua yang di tinggal mati istri dan anaknya, menemukan bayi malang tersebut. Dengan hati ikhlas dan rasa sayang, pak Amir mengangkat bayi itu sebagai anak angkat.

Nama Budi Akbar, diberikan pak Amir agar kelak bayi itu bisa menjadi orang besar dan berbudi luhur. Tetapi, apalah arti sebuah nama, jika kenyataannya berbanding terbalik. Bapak tua ini yang setiap hari bekerja menjadi pemulung dan pedagang asongan, tak mungkin bisa membiayai sekolah anak angkatnya tersebut.

“Sudahlah, Nak. Berhenti untuk sekolah lagi. Biaya sekolah itu mahal, yang penting Budi sudah bisa membaca dan menulis sudah cukup,” ucap pak Amir menasehati Budi yang bersikeras mau melanjutkan sekolah SMP.

“Tetapi, Pak. Budi ingin jadi sarjana. Kata Bu Guru, jika ingin menjadi sarjana harus Sekolah SMP dulu,” jawab Budi sambil membaca buku usang pemberian donatur sekolah darurat dan di temani temaram lampu petromak, hingga kadang membuat lubang hidungnya hitam.

Langkah kecil itu tak pernah berhenti untuk bisa melanjutkan sekolah SMP. Dia begitu semangat mengejar mimpinya. Walau kerap kali banyak teman sebayanya meremehkan dan menertawakan mimpi tersebut. Sudah jamak, anak bantaran sungai Ciliwung hanya lulusan sekolah darurat. Mereka lebih memilih menjadi pengamen atau pemulung. Karena faktor ekonomi, mereka menyerah dan tak mau bermimpi terlalu tinggi.

Ini Budi, bocah yang beda dengan lainnya. Memiliki semangat dan tekad yang kuat untuk mewujudkan mimpinya. Setiap pulang sekolah berjualan keliling dan malam hari belajar dengan tekun. Tak jarang air matanya menetes, melihat anak-anak berseragam biru putih keluar dari gedung bernama SMP itu. Ada sebersit doa di dalam hatinya bahwa dia pasti bisa sekolah di gedung itu.

Dengan rasa ikhlas, Budi mengambil uang hasil kerja kerasnya selama ini di dalam kaleng bekas susu formula. Ini saatnya dia harus menitih langkah baru untuk mewujudkan mimpinya. Terkumpul uang tiga ratus empat puluh lima ribu, uang itu dia gunakan untuk daftar masuk SMP.

Dialah satu-satunya anak bantaran sungai Ciliwung yang mendaftar SMP. Semua mata tertuju kepada Budi. Penampilannya begitu lusuh dengan seragam merah putih yang kusam ditambah lagi sepatu butut yang bolong hingga terlihat ibu jari yang berbalut kaos kaki dekil. Tetapi semua itu tak di hiraukannya. Bagi dia mimpinya begitu besar dibanding dengan harus menanggapi pandangan sinis orang lain.

Serangkaian tes dia ikuti, dari tes tulis hingga wawancara. Alhamdulilah di lalui dengan baik tanpa hambatan berarti. Walau anak miskin, masalah kepintaran Budi bisa di adu dengan anak orang kaya yang beruntung nasibnya.

Hasil penerimaan siswa baru akan diumumkan. Dengan harap-harap cemas, Budi menunggu sambil berdoa, berharap dia lolos seleksi. Jantungnya berdetak cepat, tak ada nama Budi Akbar terpampang di papan pengumuman. Matanya basah, dia merasa gagal dan mimpinya tak akan pernah terwujud lagi.

Seluruh peserta siswa baru, disuruh berkumpul di lapangan. Bapak kepala sekolah akan memberi pengumuman penting. Dengan bangga dan tegas, Bapak kepala sekolah menyampaikan bahwa Budi Akbar sebagai peserta siswa baru dengan nilai tertinggi dan berhak mendapatkan beasiswa. Mendengar pengumuman tersebut, Budi sujud syukur, menangis haru dan bangga. Sebersit doa dia ucap “Alhamdulilah … ya Allah atas segala nikmat yang telah Engkau beri. Hamba percaya Engkau tak pernah tidur untuk melihat hamba-Mu yang senantiasa bermunajat.”

Ini Budi, anak bantaran sungai Ciliwung yang bermimpi menjadi sarjana. Berat memang untuk mewujudkannya. Tetapi, tidak ada yang tidak mungkin, selalu ada jalan jika kita mau berusaha dan berdoa.

Selesai

Rabu, 24 Agustus 2016

Izinkan Aku Membencimu

Izinkan Aku Membencimu
Oleh : Yanuari Purnawan

Aku tak akan pernah mengerti jalan pikirannya. Semua yang terlintas hanya semu tanpa ada pembenaran nyata. Sulit bagiku harus menuangkan apa yang sebenarnya ada di dalam hati lelaki tua tersebut. Haruskah aku membencinya? Mungkin saja, karena setiap laku dan sifatnya membuatku menangis. Inikah bentuk cintanya? Ternyata, terlalu rumit dijelaskan dengan kata-kata.

“Ayah … mau apa?” tanyaku sambil menatap wajahnya yang mulai keriput termakan usia. Beliau hanya menggeleng lalu mengarahkan padangan ke kaca jendela.

Setetes, dua tetes lalu meganak sungai air mata membasahi wajahku. Sungguh ujian apalagi ini, Rabb. Sebenarnya aku sudah berusaha tegar, tetapi melihatnya dengan kondisi seperti ini membuatku rapuh.

“Kok melamun! Memang ada apa di balik kaca jendela tersebut, Yah?” tanyaku lagi sembari mencari bola matanya yang masih fokus ke arah luar.
“Entahlah … Ayah sendiri tak mengerti,” jawabnya singkat. Mata itu terlihat basah seolah menyimpan berjuta tanya di dalamnya.
“Mungkin Ayah sedang rindu!” jelasku berusaha menyimpulkan apa yang ayah sedang rasakan saat ini. Beliau lalu menatapku dalam dan tersenyum.
“Rindu! Bisakah orang yang sudah tua rentah begini merasakannya.”
“Kenapa, tidak!” kejarku berusaha menyakinkannya. Begitulah ayah tidak pernah mau terlihat rapuh walau di dalam hatinya sedang remuk redam.
“Hapus air matamu. Anak laki-laki tak boleh cengeng, biar urusan ini ayah yang mencari jawabannya.” Kuseka air mata dan menatap sekujur tubuhnya yang sudah ringkih di usia senja tersebut.

Sudah tiga hari aku dan ayah menghabiskan waktu di kamar rumah sakit. Semua gara-gara ayah yang tidak pernah mau jujur akan penyakitnya. Seolah beliau adalah superhero yang kuat dan bisa mengatasi masalah sendiri. Beberapa hari lalu, akhirnya ayah harus terkapar di ruang tamu, karena kram otot kaki. Melihatnya kesakitan, langsung saja kubawa ke puskesmas.

Memang, ayah selalu keras kepala dan tidak mau dikasihani. Hingga dokter puskesmas tidak sanggup menangani, karena ayah mengalami hipertensi dan gula darahnya naik. Dokter tersebut menyarankan untuk dirujuk ke rumah sakit. Tanpa menunggu persetujuan ayah, aku menyetujui saran dokter tersebut.

Menginjakkan kaki di rumah sakit, seolah membuka luka lama. Kami harus merasakan lagi aroma kematian yang begitu tajam menyengat pancaindera. Kulirik ayah yang sedang di gerek menuju kamar inap sedang terpejam. Tetapi, yang membuatku heran bibirnya masih berkomat-kamit, samar terdengar beliau sedang berdzikir.

Hingga kini, aku masih setia menunggui ayah. Aku tidak mau harus menyesal dan mengecewakannya. Alhamdulillah, kondisi ayah mengalami kemajuan, hanya tinggal menunggu kadar gulanya turun. Di rumah sakit, membuat hubunganku bersama beliau semakin dekat. Dulu, berbicara dan bercanda hanya seperlunya atau mungkin tak pernah sama sekali. Maklum aku lebih dekat dengan ibu.

Semenjak ibu telah berpulang ke sisi-Nya, hubungan kami mulai merapat. Ayah sekarang harus menjadi imam sekaligus ibu bagi aku dan adik. Sungguh berat beban yang harus beliau terima. Tetapi, sedikit pun tidak pernah ada keluhan terucap dari bibirnya. Aku sempat berpikir terbuat dari apakah hati ayah tersebut.

“Ayah …!” tegurku kala beliau terbangun dari istirahat siangnya. Kuambil segelas air putih, agar tubuh ayah sedikit segar. Setelah minum beberapa teguk, beliau menyandarkan tubuhnya di atas kasur.
“Nak … sudah makan! Bagaimana kabar adikmu?” tanya ayah sedikit parau.
“Sudah, Ayah! Tidak usah pikirkan kami, yang penting ayah sehat sekarang,” jawabku sambil memeriksa selang infusnya.
“Syukurlah …!”
“Berapa biaya rumah sakitnya, Nak?” Pertanyaan tersebut menyentak hati dan dadaku yang seakan sesak.
“Ayah … jangan pikirkan masalah biaya, yang terpenting ayah sembuh dan sehat dulu,” terangku menahan bening hangat untuk tidak menetes dari kelopak mata.
“Tapi …!”
“Sudahlah, Ayah! Sekarang minum obat lalu istirahat,” potongku agar ayah tidak khawatir akan masalah biaya rumah sakit.

Setelah ayah mau istirahat, aku pamit untuk ke kamar mandi. Aku berlari menuju masjid rumah sakit. Aku tidak kuat untuk menahan lagi. Air mata pun terus mengalir. Kuambil wudhu lalu shalat. Inilah caraku menenangkan hati yang sedang gelisah. Menuju rumah-Nya membuatku tenang dan damai.

Ya … Rabb, kuatkan dan sembuhkan ayah, karena beliau adalah harta paling berharga dalam hidupku. Sebait doa kupanjatkan, terlintas dalam pikiran bayangan ayah. Di balik sifat keras dan cueknya, tersimpan cinta yang begitu besar kepada kami. Walau aku sadar tidak pernah mengerti jalan pikirannya. Ayah begitu misterius dan tertutup. Aku mengerti ayah pasti juga sedang tertekan batin, apalagi beliau harus kehilangan wanita yang paling dicintainya.

Kutatap wajah yang tenang dan bersahaja tertidur pulas. Kupegang tangan yang kekar berotot tersebut dan mengelusnya lembut. Bulir hangat tidak bisa lagi tertahan lalu tumpah dari mataku. Wajah yang begitu tegar, bibir yang mengulum senyum, tangan yang siaga merangkul dan melindungi kami. Semua telah menyatu dalam raga yang tidak pernah lelah dan mengeluh untuk menafkahi kami.

Terima kasih atas semua kebohongan ayah kepada kami. Bohong jika tegar, cuek dan seolah mampu mengurusi dirinya sendiri.  Tetapi sekarang aku mengerti, semua hanya sandiwara agar kami tidak khawatir. Atas kebohongan itu, “Izinkan aku membencimu, Ayah.”


Selesai

Senin, 22 Agustus 2016

Jalan Masih Panjang

Jalan Masih Panjang
Yanuari Purnawan

Sebenarnya aku tak pandai berdekatan dengan seoarang perempuan. Jujur lidahku selalu kaku jika berbicara dengan lawan jenis, mungkin itulah yang menjadi alasan bagiku untuk menghindar dari mereka. Namun, tidak kepada perempuan bernama Wulan. Dia adalah perempuan yang duduk di depan bangkuku. Anaknya baik dan murah senyum, itulah kesan pertama saat kita berkenalan.
“Kenalin Wulan!” ucapnya antusias sambil membalikkan badan ke arah tempat dudukku. Aku hanya tersenyum kikuk.
“Arya!”
Senyum mengembang di wajahnya seakan menghipnotisku dan dunia berputar melambat. Entah perasaan apa yang sedang terjadi kepadaku.
“Semoga kita bisa menjadi teman sekelas yang baik,” jelasnya yang lagi-lagi disertai senyum begitu memesona. Aku pun hanya mengangguk sambil membalas senyumnya.
Wulan begitu ramah dan menyenangkan sehingga mudah baginya berteman dengan siapa saja, lain denganku yang sulit bersosialisasi dan pendiam. Jadi, selama beberapa hari temanku hanya buku dan perempuan yang duduk di depan bangku. Iya, hanya Wulan sajalah yang mau mengobrol denganku di sekolah baru ini.
“Sekali-kali jangan menutup diri dan mulai bersosialisasi dengan lainnya!”
Aku hanya diam sambil mengerjakan soal-soal matematika. Merasa tak dihiraukan Wulan yang duduk menghadapku langsung menekankan bolpoin ke jariku.
“Sakit tau!” rancauku sambil memegang jariku yang di tusuk bolpoin.
“Makanya kalau ada orang ngomong dengerin! Emang soal matematika lebih menarik dari aku.”
Aku tak bisa menahan tawa yang membuat Wulan semakin kesal lalu berpaling dari menghadapku.
***
Waktu berjalan begitu cepat tak terasa kedekatanku dengan Wulan semakin intens, apalagi kita sering tugas kelompok bersama. Mungkin orang lain yang melihat hubungan kita sering menganggap kalau kita adalah pasangan kekasih. Termasuk di dalam kelas pun rumor kalau aku pacaran dengan Wulan semakin menjadi saja. Namun, bagiku dan Wulan hubungan kita hanya sebatas teman sekelas yang dekat, tak lebih dari itu. Walau dalam hatiku ada rasa lebih kepadanya, tapi aku sadar diri dan tak mau merusak hubungan pertemanan kita.
“Mbem … apa kamu merasakan ada sesuatu yang aneh dalam hubungan kita ini?”
Tembem adalah panggilan akrab Wulan kepadaku, sedangkan aku memanggilnya dengan sebutan Bawel. Pasti tahu mengapa aku memanggilnya begitu, karena kalau dia bicara tak pernah ada istilah lowbat.
“Aneh gimana sih, Bawel!” balasku sambil mengotak-atik rumus fisika. Kita sedang mengerjakan tugas kelompok fisika di perpustakaan.
“Iya aneh … kayak orang … orang pacaran …,” gumamnya ragu-ragu walaupun begitu masih jelas ditangkap gendang telingaku.
Aku hanya mampu tersenyum dan sedikit gugup akan perkataannya yang begitu vulgar dan jujur. Mungkin itulah yang aku sukai dari dia, gaya bicaranya yang ceplas-ceplos.
“Emangnya kamu mau punya pacar seperti aku?”
Sepertinya aku ingin menelan kembali perkataan tersebut, namun semua terlambat. Wulan menatapku tajam. Apakah dia marah kepadaku?
“Sudahlah … Mbem, nggak perlu dibahas!” jawabnya gugup dan terkesan salah tingkah. Apakah dia juga merasakan hal yang sama denganku? Hanya Allah di atas Arsh yang tahu isi hatinya.
***
Ada yang berubah dari Wulan, kini aku tak menemukan Wulan yang selalu ceplas-ceplos dan suka jailin aku. Dia lebih pendiam dan tertutup, ironisnya dia tak lagi intens mengobral denganku. Apakah aku pernah berbuat salah kepadanya? Sungguh inilah hal terberat dari hidupku harus berjauhan dengan sesosok perempuan yang kusukai secara diam-diam.
Wulan benar-benar berubah, dia bahkan tak lagi heboh berbicara denganku atau saling bertukar sms lucu setiap hari. Dia lebih memilih bergaul dengan teman-teman perempuannya. Sepertinya dia membuat jarak untuk berdekatan denganku. Situasi ini yang membuat pikiranku tersita hingga akhir-akhir ini nilai pelajaranku menurun.
“Jangan sia-siakan waktumu hanya untuk kesenangan semu!”
Seharusnya aku merasa senang mendapat sms dari seseorang yang aku tunggu kabar darinya. Namun entah mengapa sms darinya kini berasa ada anak panah yang menembus hatiku. Apakah sebenarnya Wulan tahu akan perasaanku kepadanya? Aku hanya mampu memandang layar ponsel dan bingung harus menekan tombol replay. Kegalauan ini benar-benar keterlaluan, mungkin inikah yang dinamakan cinta bersemi lalu mati itu. Secepatnya aku harus bicara dengan Wulan.
Saat pulang sekolah aku menunggunya di depan perpustakaan. Kemarin malam aku sudah sms dia jika ingin berbicara serius kepadanya. Mungkin terdengar konyol masih berseragam putih abu-abu sudah berani bicara serius, namun jika sudah urusan hati siapa yang mampu mengontrol. Kulihat Wulan datang tidak sendiri tapi dengan salah satu teman perempuannya.
“Assalamualaikum, maaf buat kamu menunggu!” ucapnya begitu lembut dan santun. Wulan tampak anggun dengan jilbab putihnya atau itu karena aku tak pernah melihatnya pakai jilbab sebelumnya.
“Wa … alaikumsalam!” jawabku gugup sambil meremas jari-jariku. Entah apa yang terjadi, lidahku terasa keluh dan tenggorokan seakan menelan duri.
“Apa yang ingin Arya bicarakan? Maaf aku tak ada waktu banyak, soalnya aku dan Rina harus pergi liqo’!” jelasnya Wulan sambil melihat jam tangannya. Sungguh begitu manis melingkar di tangannya. Stop! Aku harus fokus dengan tujuanku ada di sini.
“Emm … aku hanya ingin tanya, maksud sms kamu kemarin malam itu apa? Yang isinya jangan sia-siakan waktumu hanya untuk kesenangan semu.”
Wulan terdiam sejenak sambil mengingat-ingat sms yang dikirimnya tempo hari. Wajahnya kembali cerah, secerah langit sore hari ini.
“Oh … sms itu! Kukira kamu sudah mengerti. Baiklah jika kamu ingin penjelasan dariku, maka akan aku jelaskan. Intinya, jangan membuang waktu kita hanya untuk kesenangan yang tak pasti semisal melibatkan hati kepada lawan jenis.”
“Maksudmu hubungan kita selama ini?” potongku yang penasaran. Wulan hanya tersenyum sambil menunduk lalu melanjutkan penjelasannya.
“Arya, aku mengerti selama ini kita telah salah jalan. Semenjak aku gabung dengan rohis sekolah ternyata, banyak yang keliru dari hubungan kita. Agama kita sudah mengatur bagaimana cara bergaul dengan lawan jenis yang sesuai syaria. Jujur aku juga melibatkan hati saat berhubungan denganmu dan itu salah.”
“Salah?”
Dia hanya mengangguk lalu pergi bersama temannya meninggalkanku sendiri yang membisu. Penjelasan dari Wulan barusan seakan membuka mataku bahwa dia benar-benar berubah. Sekuat tenaga aku menahan untuk tegar dan tak menjatuhkan air mata, namun dalam diam mata dan hatiku pun menangis.
***
Cinta yang bertepuk sebelah tangan itu memang menyakitkan, namun yang lebih menyakitkan kalau kita tetap bertahan kepada cinta tersebut. Aku berpikir kalau Wulan adalah jodohku kelak, tapi siapa yang bisa mendekte takdir.
“Jalan masih panjang, Bro!” ucap Hasan salah satu teman terdekatku kini di Rohis sekolah. Semenjak pertemuanku dengan wulan di perpustakaan dulu, membuatku berpikir mengapa aku juga tak bergabung dengan Rohis sekolah, siapa tahu aku bisa menemukan jawaban akan kegundahan hatiku.
“Bicara cinta memang tak ada habisnya. Obat orang jatuh cinta itu hanya satu yakni menikah. Kita kan masih SMA jadi belum pantes untuk bicara cinta, bukan?” lanjut Hasan yang gaya bicara seperti ustadz beken di televisi saja.
Aku terdiam sambil membaca buku Kutinggalkan dia Karena Dia karya Dunia Jilbab yang membuat hatiku tertohok oleh salah satu kalimat di dalam buku tersebut.
“Jodoh tak serta merta dekat karena kita pacaran. Dan tak pula menjauh karena kita jomblo.”
Aku jadi tersenyum sendiri mendengar ucapan Hasan barusan. Jalan masih panjang untuk kita yang masih belum siap untuk berkomitmen. Daripada sibuk melibatkan hati dan pacaran, lebih baik dari sekarang memantaskan diri untuk kelak menjadi calon imam idaman. Hingga Allah mempertemukan kita dengan pasangan halal yang juga memantaskan dirinya. Jalanku masih panjang, hijrah menuju kebaikan memang tak mudah, namun pasti ada jalan terbaik yang disiapkan-Nya.
“Sudah azan zuhur, Bro. Yuk ke mushalla!”
Aku menutup buku yang sedang kubaca lalu berangkulan menuju rumah Allah. Dari ujung mataku sesosok perempuan yang pernah duduk di depan bangku pun berjalan memenuhi panggilan-Nya untuk salat zuhur. Aku segera menepis perasaan itu dan menata hati lalu berujar, “Jalan masih panjang.”

Selesai