Jodoh Pilihan-Nya
Yanuari
Purnawan
Aku
menghela nafas panjang. Semua terasa menyesakkan. Angin sore seolah menerpa
hatiku yang mulai dingin. Bukan karenanya, namun karena egoku. Seharusnya aku
bisa menyadari itu. Tetapi, rasa itu sulit untuk kutolak lalu menghapusnya.
“Aku
butuh jeda untuk hubungan ini. Aku tak ingin ada yang tersakiti atau terluka
dengan jalinan yang semu dan terlarang untuk dua hati yang belum halal,”
terangnya tegas.
Matanya
yang tajam tapi meneduhkan membuatku sedikit gugup. Kalimat yang ia lontarkan
seolah menjadi tombak yang mengenai hatiku. Tak ada yang tersakiti? Apa-apaan
itu. Ucapannya barusan sudah cukup membuatku sakit. Aku hanya bisa menunduk
menyembunyikan rasa yang sedang bergejolak di hati.
“Maaf,
jika perkataanku menyakitimu. Namun, aku tak ingin kita berlarut dalam hal yang
dilarang oleh-Nya. Jika kamu jodohku pasti kita akan disatukan, namun jika tidak,
pasti ada jodoh terbaik pilihan-Nya. Biar kita memantaskan diri dulu, aku ingin
kamu fokus dengan pendidikanmu, begitupun dengan aku.” Ia pun berbalik arah
melangkah menjauh dariku yang masih tertunduk. Tanpa bisa kucegah bening hangat
itu membasahi pipi.
“Terima
kasih, Kak. Aku akan setia menunggu waktu itu tiba,” ucapku lirih sambil
memandang punggung gagahnya yang mulai hilang tertelan senja.
***
Muhammad
Budi Wasesa, nama laki-laki yang kini menjadi ketua Lingkar Dakwah Kampus itu.
Merupakan mahasiswa jurusan informatika. Tinggi, bersih, dan tampan. Apalagi
ditambah sikapnya yang berwibawa, cerdas dan memiliki senyum yang menawan.
Siapa wanita yang tidak lumer jika dekat dengannya. Termasuk aku. Mungkin
berlebihan, namun apa dikata jika cinta itu hadir semua jadi gila. Pesona Kak
Budi—panggilanku untuknya, membuat semua gadis seanterio kampus jatuh hati.
Tetapi jangan berharap banyak ya girls,
karena Kak Budi cuma untukku.
“Hayo
… melamun aja! Melamunin siapa tuh?” canda Kak Nadia yang sedang mengamatiku
berimajinasi tentang pesona Kak Budi. Aku pun salah tingkah dengan pipi yang
merona merah.
“Enggak
kok, Kak!” elakku sambil mengambil buku catatan. Seharusnya acara halaqah semacam ini bukan untuk
melamunin pangeran surgaku. Namun, tempat menimbah ilmu. Astaghfirullah ….
“Kak,
emang salah ya kalau kita suka sama seseorang!” tanyaku kepada Kak Nadia tatkala
acara halaqah sudah selesai.
Mata
teduh berbinar menatapku. Membuatku sedikit kikuk.
“Cie
… lagi falling in love sama siapa
nih?” godanya sambil mengedipkan mata. Aku pun tambah salah tingkah dan merona
merah.
“Enggak
kok. Cuma nanya saja. Kan banyak banget yang terjangkit virus merah jambu
tersebut.” Aku berusaha beralasan, namun dalam hati harus kuakui kalau diri ini
juga terjangkit virus merah jambu.
Kak
Nadia mengambil posisi lebih dekat denganku sambil tersenyum tulus.
“Cinta
itu anugerah dari-Nya, jadi tak ada yang salah dengan cinta.” Kalimatnya
terhenti lalu mengatur nafas panjang. “Mencintai dan dicintai itu fitrah, jadi
nikmati setiap episode dari-Nya. Namun, ada hal yang paling penting dari cinta
itu.”
“Apa
itu, Kak?” potongku penuh penasaran. Wajah bersahaja berbalut jilbab biru itu
tersenyum gemas melihat tingkahku yang tak sabaran.
Kak
Nadia diam sebentar, sekarang membuatku yang gemas dengannya.
“Bagaimana
kita menyikapi kala cinta itu datang. Jangan sampai keluar jalur yang
diperintahkan-Nya. Jemput jodoh dengan cara yang baik misal ta’aruf. Jika, belum mampu menikah
mending pantaskan diri dulu hingga kelak dipertemukan oleh jodoh pilihan-Nya.”
Perkataan
Kak Nadia seakan menembak tepat hatiku kini. Bening hangat pun luruh. Aku
mengusapnya sambil menahan rasa. Entah rasa apa itu. Terpenting, aku malu
kepada Kak Nadia dan lebih malu kepada-Nya. Kak Nadia memegang bahuku, berusaha
menenangkanku.
“Dek,
percayalah jodoh kita sudah tertulis di lauh
mahfuz-Nya.”
Aku
hanya mampu mengangguk sambil tertunduk. Apakah perasaan ini salah, ya Allah.
Aku dalam dilema. Satu sisi aku mencintai Kak Budi, aku takut kehilangannya.
Tetapi, aku juga takut akan melanggar perintah-Nya. Apa yang harus aku lakukan?
***
Semua
perkataan Kak Nadia sepekan yang lalu bagai angin yang datang lalu pergi begitu
saja. Awalnya aku takut dan berusaha menghindar dari pangeran surgaku. Namun,
perasaan ini terlampau besar untuk menjauhinya. Dalam hati menolak jika aku
salah. Toh, aku juga tidak pacaran
dengannya. Kami tidak melanggar syariat. Meskipun, dalam hati kecilku ada
sesuatu yang kosong, entah itu apa.
Setiap
hari selalu aku mengirim sms kepadanya. Sekedar basi-basi tanya tentang
kegiatan dakwah kampus. Hingga, obrolan tak penting semisal tanya kabar dan
jadi alarm shalat untuknya. Berlebihan. Mungkin, tapi bagi seseorang yang jatuh
cinta itu masih dalam lingkup wajar. Namun, yang tak kumengerti ia masih santai
dan biasa saja menanggapinya.
“Kak, apa salah jika
ada akhwat yang suka dengan ikhwan namun, ia tak berani mengungkapkannya?”
tanyaku lewat sms. Hatiku gamang waktu itu. Keberanian darimana, hingga aku
berani mengirim sms seperti itu. Lama tak ada balasan dari Kak Budi. Apa yang
terjadi? Apa ia marah kepadaku? Perasaan menyesal tiba-tiba menghantui.
Beep … beep ….
Kulihat
layar ponsel, ada pesan darinya. Hatiku pun girang dan buru-buru membukanya.
“Tak ada yang salah,
namun kadang kala pengakuan itu perlu agar tak menyesal dikemudian hari. Jika,
ia masih malu cukup berdoa minta petunjuk-Nya. Karena, kita tak pernah mengerti
jalan takdir-Nya.”
Smsnya
membuatku semakin berani untuk mengungkapkan semua perasaan ini kepadanya.
“Kak … sebenarnya
akhwat itu adalah aku. Iya, aku sedang suka kepada seorang ikhwan bernama
Muhammad Budi Wasesa,” balasku dengan hati yang bergetar.
Aku tak tahu apakah ini benar atau salah. Namun, aku merasa lega. Rasa itu
melebur bersama sms tersebut. Bukan lagi balasan smsnya, tetapi apa yang akan
terjadi nanti yang menganggu pikiranku.
“Afwan, Dek, aku tak
bisa menjawabnya lewat sms. InsyaAllah, besok sore kita bicarakan di taman
kota.”
Dadaku
sesak, sulit sekali bernafas. Menunggu esok terasa lamban dan bertahun-tahun.
Mataku tak bisa terpejam, pikiran tentangnya masih bergelayut dalam tempurung
otak. Apa yang akan terjadi esok?
***
“Cintai
dan benci sesuatu itu sewajarnya saja. Karena, kita tak tahu apa yang terjadi
esok. Mungkin, kini kita mencintainya namun esok belum tentu kita akan
membencinya. Begitupun sebaliknya. Untuk itu cintailah sesuatu karena Allah.
Nanti, apa pun yang terjadi pasti terbaik untuk hamba-Nya.”
Kini,
aku mengerti kalimat yang dijelaskan Kak Nadia kala memberi materi dalam acara
dakwah kampus untuk para muslimah dua hari yang lalu. Aku masih setia menangis
di dalam kamar. Semua episode itu terasa menjadi satu bak film. Salah. Iya, ada
yang salah dengan perasaan ini. Bukankah Kak Budi benar memberi jeda untuk
hubungan yang tak halal ini. Tetapi, kenapa aku masih sakit. Lebih tepatnya
sakit di hati.
Sudah
sepekan, rasa sakit itu masih bergelayut di dalam hati. Seharusnya, aku bisa
menerima, toh tidak ada yang
dirugikan dalam hubungan ini. Kak Budi, sedikit pun tak menggantung perasaanku.
Tetapi, akulah yang kegeeran kepada
sosoknya yang selalu santun dan ramah.
Gelagatku
pun tercium juga oleh Kak Nadia. Wajahku yang biasa cerah, kini redup tak
bergairah.
“Dek,
jika ada masalah jangan dipendam sendiri. Nih … ada pundak kakak!” ucapnya
sambil menepuk pundaknya. Kak Nadia selalu mengerti perasaan adik-adiknya.
Suasana sepi setelah acara halaqah
tadi membuatku berani. Kristal bening meluncur deras membasahi pipi dan
mengalir di pundak Kak Nadia.
Sambil
mengelus kepalaku yang berbalut jilbab merah jambu, Kak Nadia lirih berkata.
“Jika
ini tentang perasaan adek. Kakak hanya mampu bilang ikhlaskan. Serahkan semua
pada takdir-Nya. Jangan membebani diri dengan sesuatu yang belum tentu baik
untuk masa depan kita.”
Tangisku
semakin kencang kalimat Kak Nadia menohok hatiku. Mengapa aku harus menangis
untuk hal yang belum tentu baik untuk masa depanku. Sulit. Tapi, inilah
kenyataannya. Aku harus berani. Melangkah jauh lebih baik. Bukankah ia pun
berkata demikian. Memantaskan diri. Iya, aku harus jadi muslimah yang baik
untuk jodoh tebaik dari-Nya.
***
Hari-hariku
kini jauh lebih baik. Bahkan lebih baik setelah tak ada namanya di hatiku.
Namun, bukan begitu saja ia terhapus dalam memori. Kadang rasa rindu bersua
dengannya bergelayut dalam pikiranku. Namun, buru-buru kupadamkan dengan lebih
banyak mendekat kepada-Nya.
“Menikah?”
Aku
masih tertegun tak percaya. Air mata pun luruh sambari memeluknya. Hangat. Semoga
ia dengan pangeran surganya menjadi keluarga sakinah, mawadah, dan warrahmah.
“Beneran?”
tekanku yang masih tak percaya. Ia hanya mengangguk. Wajahnya masih sama
bersahaja dan meneduhkan. Kak Nadia akan menikah. Beruntung sekali pria itu
mendapatkan muslimah yang insyaAllah saleha tersebut. Ia pun menyodorkan
undangan berwarna merah jambu. Manis sekali. Aku pun tersenyum bahagia.
“Kok
aku nggak tahu Kak Nadia akan menikah secepat ini!” celetukku sambil memasukkan
undangan manisnya ke dalam tas.
“Semua
begitu cepat dan kakak pun masih tak percaya. Kami melalui proses ta’aruf sebulan. Karena, ada kemantapan
jadi kami pun memutuskan untuk segera menyempurnakan separuh agama. Mungkin,
inilah jodoh pilihan-Nya untuk kakak,” terangnya dengan rona bahagia dan
sedikit malu. Aku pun merasa bahagia, kakak yang selalu sabar dan setia
menemani dan memberi nasihat kebaikan kini akan menikah.
“Tapi,
janji jangan tinggalkan kami ya!” Kupeluk Kak Nadia hangat. Ia mengangguk pelan
dan sedikit terisak.
***
Skenario-Nya
begitu luar biasa. Episode yang lalu kini pecah berkeping-keping. Sesak. Namun,
kembali inilah kenyataan. Takdir kini yang menang. Bukankah semua telah
tercatat rapi di lauh mahfuz-Nya.
Undangan merah jambu itu tak lagi manis di mataku.
Menikah
Nadia Putri
Dengan
Muhammad Budi Wasesa
Aku
menangis dalam sujud sepertiga malam. Kuaduhkan semuanya kepada Sang pemilik
hati ini. Bukan mengutuk mereka yang sebentar lagi menikah, membina keluarga
yang diridhoi-Nya. Namun, aku berdoa untuk kebahagian mereka. Aku bersyukur
atas takdir ini. Takdir yang mengantarkanku untuk lebih memahami makna ikhlas.
Tidak mudah. Namun, semua akan berjalan indah jika kita libatkan Dia. Dia, Sang
Maha Baik yang akan memberikan jodoh terbaik untukku. Jodoh pilihan-Nya dan ia
bukan Muhammad Budi Wasesa.
Selesai
selalu keren karya antum mah!
BalasHapusmampir ke blog ane jg yaahh....
kasih linknya saja atau tag ana aja jika share postingan
HapusKeren Cak. :-)
BalasHapusamalia juga keren^^
Hapus
BalasHapusnafas== napas
napas 1/na·pas / n udara yg diisap melalui hidung atau mulut dan dikeluarkan kembali dr paru-paru: -- nya sesak; -- nya senin kamis, cak sulit bernapas; tersengal-sengal; mengap-mengap (spt orang yg hampir mati);
sumber : http://kbbi.web.id/napas
seanterio == antero/an·te·ro/ /antéro/ num seluruh; segenap: keahliannya terkenal di -- dunia;
seantero/se·an·te·ro/ num antero
sumber : http://kbbi.web.id/antero
hehh, Maaf ya Yanuar. itu saja yang belum susuai kbbi.Tapi tulisan sudah mulai rapi.
gak papa malah seneng. Ayo ada lagi.^^
Hapuswah keren nih, naskah islami susah loh bikinnya. Semangattt!
BalasHapuseh iya, sayang nih blognya gabisa di-join :'(
kan aku mau join, hehe
Gimana maksudnya? Maklum masih belajar buat blog.
HapusKeren kak :-) . Udh ada novel nya ?
BalasHapusbelum, doakan semoga bisa cepat nulis novelnya.
Hapus