Rabu, 28 Januari 2015

Simponi Pagi

Simponi Pagi
Oleh : Yanuari Purnawan


Mata masih menatap ke luar jendela. Hujan masih setia menghiasi pagi, membuat lebih nyaman duduk dan bermalas-malasan di rumah. Setiap butiran hujan selalu membuka kembali kenangan masa itu. Hangatnya secangkir kopi, entah mengapa tak mampu menetralisir rasa yang masih terendap di dasar hati. Rasa tersebut begitu mencabik lalu menggoreskan luka yang berasa hingga kini.

“Mas … silahkan diminum kopinya!” ucap Alifa sembari menaruh secangkir kopi di atas meja. Wajah bersahaja tersebut tersenyum manis sambil menatapku.
“Terima kasih, bidadariku. Tahu saja, pagi-pagi gini paling nikmat minum secangkir kopi buatan istri.” Kutarik tangannya untuk duduk di sampingku.

Pagi bersama rintik hujan membawa kepada suasana yang hangat dan intim. Kunikmati setiap detik di ruang tamu bersamanya. Dengan balutan gamis biru senada dengan jilbabnya, bidadariku tampak anggun walau sederhana. Mungkin kesederhanaan tersebut yang mengantarkanku untuk berdiri di depannya sebagai seorang imam. Keluarga sederhana yang di bangun atas dasar cinta kepada-Nya.

“Mas, melamun?” Kornea cokelat itu menangkap ekspresi wajahku yang tidak fokus.
“Emm … iya nih ada sesosok bidadari yang selalu mengganggu pikiranku,” godaku sambil tersenyum genit kepadanya. Sontak wajah putihnya bersemu merah.
“Ah … Mas Irfan makin pintar saja gombalnya!” Cubitan manjanya tepat mengenai pinggangku.

Suasana mendadak hening. Hanya rintik hujan yang terdengar, semakin lama hujan semakin deras. Kunikmati kopi hitam buatan istri seteguk demi seteguk. Hangat perlahan menjalar ke seluruh tubuh. Kudekap Alifa begitu erat. Hatiku ingin berteriak lalu berkata aku sangat mencintaimu.

“Mas …!” ucapnya lirih, bening hangat itu pun luruh membasahi pipinya. Kualihkan pandang untuk menangkap sorot matanya yang menenangkan tersebut.
“Mas … sampai kapan ya kemesraan ini akan berlanjut. Jujur, aku takut tak ada lagi tangan yang mendekap, senyum tulus dan secangkir kopi di pagi hari,” lanjutnya sedikit terbata. Aku diam sejenak untuk mengatur nafas. Takdir ternyata berjalan lebih cepat. Pernikahan yang baru berjalan satu tahun ini perlahan mulai menuai batu sandungan.
“Bidadariku … setiap ujian yang diberikan oleh-Nya tidak akan melebihi batas kemampuan hamba-Nya.” Entah mengapa bibirku tercekat dan keluh. Secangkir kopi yang mulai dingin itu, seteguk demi seteguk kuminum habis.

Mata yang teduh itu masih menatapku tajam. Ada bias kesedihan yang terpancar dari wajahnya. Hatiku bagai teriris, tak tega rasanya melihat semua kenyataan ini.
“Mas … jika memang waktu harus berjalan cepat. Kuharap Mas Irfan bisa menerima segalanya dengan ikhlas.”
“Sudahlah … tak perlu dipikirkan! Pasti ada jalan terbaik atas masalah ini, bidadariku.” Setetes, dua tetes hingga menganak sungai air mata membasahi pipi.
“Mas … menangis?” Disekanya air mataku dengan ujung jilbabnya. Kupegang jari-jari lentik tersebut. Berat jika harus berpisah jauh darinya.

Udara dingin pagi kali ini begitu menusuk tulangku. Secangkir kopi telah terhidang di meja ruang tamu. Bidadariku, selalu setia menyedukan kopi hitam penyemangat dalam setiap aktivitasku hari ini. Sebelum berangkat ke kantor, entah mengapa ada secuil rasa berat untuk meninggalkannya.

“Mas … jangan khawatir! Aku baik-baik saja kok,” ucapnya menenangkanku. Dia selalu mengerti apa yang sedang kurasakan. Hampir aku tak pernah bisa membohonginya, baik suka maupun yang tidak kusuka.

“Kopi buatan istri memang selalu nikmat,” terangku sambil menghabiskan sisa kopi buatannya. Setelah berpamitan dan mencium keningnya, kulajukan sepeda motor menuju kantor. Kulihat dari kaca spion, Alifa melambaikan tangannya. Hanya seutas senyum menghiasi wajah. Terima kasih, Rabb, Engkau kirim bidadari tersebut untuk menemani hidupku.

Malam begitu dingin, tugas kantor menuntutku untuk kerja lembur. Kuhubungi Alifa lewat telepon agar tidak khawatir. Bayangannya selalu berkelabat dalam otakku. Tiba-tiba, aku begitu rindu kepadanya. Biasanya dia akan membuatkan secangkir kopi, jika aku harus kerja sampai malam. Tetapi, kantor dan rumah terlampau jauh. Kulirik jam menunjukan pukul sebelas malam. Jantungku berdebar kencang, seolah ada firasat yang tidak enak. Sekuat tenaga aku berusaha menepis perasaan tersebut.
***

“Alifa … kamu pasti kuat! Bertahanlah, bidadariku,” ucapku didekat telinganya. Tetapi, perawat melarangku masuk ruang ICU. Aku hanya bisa menangis di kursi tunggu rumah sakit.

Alifa mengalami pendarahan, kanker rahimnya mengalami fase kronis di stadium empat. Semenjak mengidap penyakit tersebut tak sedikitpun keluhan keluar dari bibir mungilnya. Berkali-kali kita saling menguatkan, tetapi semua itu hanya kepura-puraan. Aku mengerti kita sebenarnya sama-sama rapuh dan saling membutuhkan.

Setelah menunggu kurang lebih satu jam, dokter mengizinkanku masuk ke ruang ICU. Kulihat bidadari yang bersahaja itu, tergolek pucat tak berdaya. Sekuat tenaga Alifa berusaha mengulum senyum kepadaku.
“Mas Irfan …!” ucapnya lirih. Aku berusaha tegar dan tidak menangis di depannya. Kupegang erat jemari tangan yang begitu halus.
“Sayang, pasti sembuh seperti sedia kala.” Kutatap wajah itu, kristal hangat membendung di kelopak matanya. Secepat mungkin, kualihkan pandangan agar tidak terlihat rapuh juga.
“Mas … Alifa takut ini hari terakhirku.” Air mataku pun tumpah, perkataanya seolah mengisyaratkan bahwa dia akan pergi untuk selamanya.

Suasana ruang ICU, kembali hening. Hanya alat pedeteksi denyut jantung yang terdengar. Pagi di rumah sakit seolah menawarkan aroma kematian.
“Sayang, pernah bilang kepadaku. Bahwa kita harus hidup seperti kopi, walau sudah disiram air panas, kopi tidak akan lembek atau keras melainkan menawarkan aroma yang mewangi,” terangku menghiburnya dengan terisak.
“Begitupun, hidup kita. Walau berbagai ujian datang silih berganti, kita harus berbaik sangka kepada-Nya. Bahwa itu yang terbaik untuk kita. Itukan yang sayang bilang kepadaku.” Kupeluk tubuh bidadariku. Perlahan tubuhnya melemah, matanya redup  dan detak jantungnya tidak lagi berdetak. Rabb, apakah secepat ini Kau ambil kembali bidadariku?

Simponi pagi yang kelam. Mengalun penuh misteri. Semua yang kita punya tak akan pernah abadi berada di samping kita. Lambat laun semua akan kembali kepada yang berhak atasnya. Bidadariku … aku merindukanmu. Rindu secangkir kopi pagi buatanmu. Sekarang, semua hanya menjadi kenangan indah yang menyayat hati ini. Kupandang fotoku bersamanya saat pernikahan. Hujan pagi pun belum redah, malah semakin deras. Ditambah suara gemuruh petir seolah memecah langit. Entah mengapa ucapan itu kembali mengusik pikiranku.

“Mas … silahkan diminum kopinya!”

Selesai

Minggu, 04 Januari 2015

Panggilan Surga untuk Ibu

Panggilan Surga untuk Ibu
Oleh : Joko Ade Nursiyono



Gemerincing angin surga menyapa
Karena hasanahmu di dunia tak pernah lelah
Melambai daun surga bersuara
Melihat hasanahmu laksana surya
Mengarungi cerita hidup
Engkau tak gentar mengeluh
Ketika lampu rumah meredup
Cintamu mewarnai sukma nian luluh
Siluetmu adalah bayang – bayang kebaikan
Kasihmu terasa harum menawan
Kini, wajahmu kian kusut nan keriput
Sering sesekali tangan dahimu berkedut
Walakin, paras tak secemberut sayangmu
Ibu, untaian ilustrasi kemegahan sifatmu
Dalam komposisi kesempurnaan hatimu
Tercampur dengan butiran kelembutanmu
Surga pun merasa rindu bertemu denganmu
Surga memanggilmu, Ibu








Pasuruan, 28 Desember 2014
*kupersembahkan puisi ini untuk Ibuku yang menjadi hasanah hidupku, Ibu Kusuriha*