Aku
masih terdiam dan duduk di bangku taman kota. Hujan yang begitu deras mengguyur
tubuhku, tetapi tidak membuatku beranjak. Aku masih asyik dengan segala lamunan
indah saat bersamanya. Ada percikan rindu teramat dalam di hati.
Hujan
seakan menjadi saksi antara dua insan yang saling menyayangi. Dalam hujan kami
bertemu dan dalam hujan pula kami harus berpisah. Pertemuan singkat yang mampu
membuat hidupku berubah 180 derajat.
“Mengapa
kamu hujan-hujanan?” tanyaku pada gadis berhijab putih yang sedang duduk di
bangku taman kota itu. Memang saat itu hujan deras, aku kebetulan lagi
jalan-jalan tidak disangka hujan turun dengan deras.
Gadis
itu menatapku tajam, entah apa yang dipikirkannya. Lalu dia menundukkan
wajahnya lagi. Wajah yang begitu teduh dan bermata bening.
“Apa
aku boleh duduk di sini?” tanyaku lagi, dia hanya mengangguk.
Aku
tidak berani berbicara lebih banyak, aku takut dia marah. Hujan masih deras,
aku mau beranjak dari tempat duduk, tubuh ini sudah tidak kuat menahan dingin.
Gadis itu masih saja tidak bergeming dari tempat duduknya. Siapa dia, ada apa
dia di sini, pikirku.
Gadis
misterius itu membuatku penasaran. Mata beningnya seolah menari di dalam
otakku. Siapa dia sebenarnya. Berkali-kali aku mencoba untuk meredam rasa ini,
tetapi rasa ini terlalu kuat menancap di hatiku.
“Boleh
kenalan!” ucapku, dengan badan yang sudah menggigil karena hujan. Setiap hujan,
kulihat gadis itu selalu duduk di bangku taman kota.
Dia
menatapku tajam, aku sempat tersihir oleh binar matanya yang bening itu.
“Sarah,”
ucapnya pelan.
“Firman.”
“Apa
kamu tidak kedinginan?” tanyaku, melihat wajahnya yang pucat, ku mengerti kalau
dia kedinginan. Tetapi dia hanya menggeleng dan berkata,
“Aku
suka hujan, karena hujan mampu menggugurkan setiap kesedihan di hati ini.”
Aku
masih belum paham apa yang dia maksud. Dia hanya menengadahkan telapak
tangannya untuk menimbun setiap tetesan air hujan. Aku masih tidak berani
terlalu lama bicara kepadanya. Sepertinya dia menyimpan kepedihan terlalu dalam.
Setiap
hujan ku siapkan tubuh untuk berbasah ria menemani gadis itu. Gadis yang ku
panggil gadis hujan itu, seolah tidak membuatku jenuh berada di dekatnya, walau
tubuh menggigil kedinginan. Ini pertama kalinya ada wanita yang mampu membuatku
luluh dan nyaman bersamanya. Apakah ini cinta, aku tidak mengerti. Gadis hujan
itu telah berhasil mencuri sebagian ruang di hatiku.
Ku
beli bunga di dekat taman kota sebagai hadiah kejutan untuknya. Hari masih
mendung, gadis hujan itu tidak terlihat. Apakah karena belum hujan, dia belum
datang atau apa aku yang terlalu berharap dia datang setiap hari.
Detik
berganti menit, adzan ashar pun telah berlalu, gadis hujan pujaan hatiku tidak
kunjung datang. Apa aku harus menunggu hujan, tetapi jika tidak hujan
bagaimana. Hari sudah mulai gelap, kuputuskan untuk pergi dari taman kota.
Bunga yang terlanjur ku beli terpaksa ku bawa pulang.
Gadis
hujan … aku merindu dan menantimu, sehari terasa lama. Aku ingin memandang
wajah dan binar mata yang teduh itu. Aku merana di dalam kamar. Inikah cinta,
mengapa begitu menyakitkan. Cinta ini membuatku menjadi sosok pria melankolis.
Hujan,
sebentar lagi aku akan bertemu dia. Gadis hujan tunggulah, aku akan menemani
dan menghapus setiap luka yang pernah engkau rasakan. Aku berlari menuju taman
kota, hujan deras pun ku terobos, aku tidak peduli. Rasa rindu ini harus segera
diobati.
Dengan
nafas yang masih memburu, kulihat sekitar taman, tidak ada gadis hujan yang ku
rindukan. Kemanakah dia sekarang, apa dia sakit. Galau dan kalut, semua berkumpul
di dalam pikiranku.
Aku
melangkah menuju toko bunga di samping taman kota. Kulihat seorang Bapak tua
yang menunggu toko.
“Permisi,
Pak. Apa bapak melihat gadis yang biasa duduk di bangku itu?” tanyaku kepada
Bapak penjual bunga itu.
“Gadis
yang mana ya.”
“Gadis
yang biasa pakai hijab putih dan suka hujan-hujanan itu,” terangku.
“Oh
… gadis itu.”
“Bapak
kenal dia!” potongku.
Bapak
tua itu mengangguk dan menghela nafas panjang lalu berkata,
“Dia
gadis gila, Nak.”
“Maksud
Bapak?”
“Selly,
dia adalah anaknya Pak Burhan. Menjadi gila karena suaminya kecelakaan di dekat
taman kota ini. saat kejadian tersebut hujan turun deras, oleh sebab itu dia
suka hujan-hujanan,” terang Bapak itu.
“Sekarang
dia kemana,Pak?” tanyaku semakin penasaran.
“Dia
telah meninggal, tertabrak mobil saat hendak di bawa pulang oleh orang tuanya.”
Kaki
dan tubuhku lemas, keterangan dari Bapak tua itu seakan mempupuskan harapanku
bersama gadis hujan itu. Ternyata gadis itu gila, aku masih tidak percaya.
Hujan
pun turun begitu deras, aku tidak bergeming masih tetap duduk di bangku taman
kota. Ada perih yang menyayat hati menerima kenyataan ini. hujan basuh luka ini
dan gugurkanlah setiap kesedihan di hati bersama tetesanmu.
Selesai
aku suka ceritanya Yanuar ^_^, mau tanya yang benar kalau penulisan kutanya, kupanggil, kubeli itu bukanya digabung ya? karena penulisan kamu kok dipisah
BalasHapusCeritanya keren (y)
BalasHapushheheh gak nyangka kalau ternyata gadis hijab putih itu gila
Terima kasih, mbak Ratna kurang teliti. Milik mbak Mira juga keren... aku suka blog kalian.
BalasHapusmau tanya lagunya dri siapa dan judul apa ya?..hehe
BalasHapus