Rabu, 05 November 2014

Gadis Hujan

Aku masih terdiam dan duduk di bangku taman kota. Hujan yang begitu deras mengguyur tubuhku, tetapi tidak membuatku beranjak. Aku masih asyik dengan segala lamunan indah saat bersamanya. Ada percikan rindu teramat dalam di hati.
Hujan seakan menjadi saksi antara dua insan yang saling menyayangi. Dalam hujan kami bertemu dan dalam hujan pula kami harus berpisah. Pertemuan singkat yang mampu membuat hidupku berubah 180 derajat.

“Mengapa kamu hujan-hujanan?” tanyaku pada gadis berhijab putih yang sedang duduk di bangku taman kota itu. Memang saat itu hujan deras, aku kebetulan lagi jalan-jalan tidak disangka hujan turun dengan deras.
Gadis itu menatapku tajam, entah apa yang dipikirkannya. Lalu dia menundukkan wajahnya lagi. Wajah yang begitu teduh dan bermata bening.
“Apa aku boleh duduk di sini?” tanyaku lagi, dia hanya mengangguk.
Aku tidak berani berbicara lebih banyak, aku takut dia marah. Hujan masih deras, aku mau beranjak dari tempat duduk, tubuh ini sudah tidak kuat menahan dingin. Gadis itu masih saja tidak bergeming dari tempat duduknya. Siapa dia, ada apa dia di sini, pikirku.

Gadis misterius itu membuatku penasaran. Mata beningnya seolah menari di dalam otakku. Siapa dia sebenarnya. Berkali-kali aku mencoba untuk meredam rasa ini, tetapi rasa ini terlalu kuat menancap di hatiku.

“Boleh kenalan!” ucapku, dengan badan yang sudah menggigil karena hujan. Setiap hujan, kulihat gadis itu selalu duduk di bangku taman kota.
Dia menatapku tajam, aku sempat tersihir oleh binar matanya yang bening itu.
“Sarah,” ucapnya pelan.
“Firman.”
“Apa kamu tidak kedinginan?” tanyaku, melihat wajahnya yang pucat, ku mengerti kalau dia kedinginan. Tetapi dia hanya menggeleng dan berkata,
“Aku suka hujan, karena hujan mampu menggugurkan setiap kesedihan di hati ini.”
Aku masih belum paham apa yang dia maksud. Dia hanya menengadahkan telapak tangannya untuk menimbun setiap tetesan air hujan. Aku masih tidak berani terlalu lama bicara kepadanya. Sepertinya dia menyimpan kepedihan terlalu dalam.
Setiap hujan ku siapkan tubuh untuk berbasah ria menemani gadis itu. Gadis yang ku panggil gadis hujan itu, seolah tidak membuatku jenuh berada di dekatnya, walau tubuh menggigil kedinginan. Ini pertama kalinya ada wanita yang mampu membuatku luluh dan nyaman bersamanya. Apakah ini cinta, aku tidak mengerti. Gadis hujan itu telah berhasil mencuri sebagian ruang di hatiku.

Ku beli bunga di dekat taman kota sebagai hadiah kejutan untuknya. Hari masih mendung, gadis hujan itu tidak terlihat. Apakah karena belum hujan, dia belum datang atau apa aku yang terlalu berharap dia datang setiap hari.
Detik berganti menit, adzan ashar pun telah berlalu, gadis hujan pujaan hatiku tidak kunjung datang. Apa aku harus menunggu hujan, tetapi jika tidak hujan bagaimana. Hari sudah mulai gelap, kuputuskan untuk pergi dari taman kota. Bunga yang terlanjur ku beli terpaksa ku bawa pulang.
Gadis hujan … aku merindu dan menantimu, sehari terasa lama. Aku ingin memandang wajah dan binar mata yang teduh itu. Aku merana di dalam kamar. Inikah cinta, mengapa begitu menyakitkan. Cinta ini membuatku menjadi sosok pria melankolis.

Hujan, sebentar lagi aku akan bertemu dia. Gadis hujan tunggulah, aku akan menemani dan menghapus setiap luka yang pernah engkau rasakan. Aku berlari menuju taman kota, hujan deras pun ku terobos, aku tidak peduli. Rasa rindu ini harus segera diobati.
Dengan nafas yang masih memburu, kulihat sekitar taman, tidak ada gadis hujan yang ku rindukan. Kemanakah dia sekarang, apa dia sakit. Galau dan kalut, semua berkumpul di dalam pikiranku.

Aku melangkah menuju toko bunga di samping taman kota. Kulihat seorang Bapak tua yang menunggu toko.
“Permisi, Pak. Apa bapak melihat gadis yang biasa duduk di bangku itu?” tanyaku kepada Bapak penjual bunga itu.
“Gadis yang mana ya.”
“Gadis yang biasa pakai hijab putih dan suka hujan-hujanan itu,” terangku.
“Oh … gadis itu.”
“Bapak kenal dia!” potongku.
Bapak tua itu mengangguk dan menghela nafas panjang lalu berkata,
“Dia gadis gila, Nak.”
“Maksud Bapak?”
“Selly, dia adalah anaknya Pak Burhan. Menjadi gila karena suaminya kecelakaan di dekat taman kota ini. saat kejadian tersebut hujan turun deras, oleh sebab itu dia suka hujan-hujanan,” terang Bapak itu.
“Sekarang dia kemana,Pak?” tanyaku semakin penasaran.
“Dia telah meninggal, tertabrak mobil saat hendak di bawa pulang oleh orang tuanya.”
Kaki dan tubuhku lemas, keterangan dari Bapak tua itu seakan mempupuskan harapanku bersama gadis hujan itu. Ternyata gadis itu gila, aku masih tidak percaya.

Hujan pun turun begitu deras, aku tidak bergeming masih tetap duduk di bangku taman kota. Ada perih yang menyayat hati menerima kenyataan ini. hujan basuh luka ini dan gugurkanlah setiap kesedihan di hati bersama tetesanmu.

Selesai

4 komentar:

  1. aku suka ceritanya Yanuar ^_^, mau tanya yang benar kalau penulisan kutanya, kupanggil, kubeli itu bukanya digabung ya? karena penulisan kamu kok dipisah

    BalasHapus
  2. Ceritanya keren (y)
    hheheh gak nyangka kalau ternyata gadis hijab putih itu gila

    BalasHapus
  3. Terima kasih, mbak Ratna kurang teliti. Milik mbak Mira juga keren... aku suka blog kalian.

    BalasHapus
  4. mau tanya lagunya dri siapa dan judul apa ya?..hehe

    BalasHapus