Kamis, 17 Maret 2016

Maafkan Aku, Karin!

Maafkan Aku, Karin!
Yanuari Purnawan



Saat kau mencintai sesuatu pasti ada rasa ingin dan terus berada di dekatnya. Seperti halnya pepatah jawa ‘Tresno jalaran soko kulino’ yang artinya cinta hadir karena terbiasa bertemu. Begitupun yang sedang terjadi kepadaku. Gara-gara sering belajar bersama, bahkan satu tim untuk mewakili sekolah dalam olimpiade fisika. Membuat diri ini dalam dilema akan pesona gadis bermata bening dengan senyum manisnya. Karina Devi Mayangsari, gadis itulah yang kini berhasil mencuri mimpi-mimpi dalam tidurku.
“Kak …!” Mata itu tepat menatapku yang duduk di depannya. “Hayo, melamunin apa?” candanya sambil tersenyum manis. Hampir saja aku hilang fokus dan salah tingkah. Gadis yang sedang kupikirkan, kini tepat berada di depanku.
“Nggak melamun kok! Kakak cuma lagi mengingat-ingat rumus untuk soal ini,” elakku sambil membuka soal-soal latihan untuk olimpiade fisika. Karin memajukan bibirnya membentuk huruf ‘O’ seolah tak percaya dengan ucapanku barusan. Aku pun kembali tertunduk dan fokus kepada soal-soal. Mendadak suasana menjadi hening dan canggung.
Entah apa yang mendorongku untuk curi-curi pandang ke arahnya. Hingga seperkian detik mata kita beradu. Ces … seperti ada desiran halus menyusup ke dalam hati. Karin tersipu dan sekilas pipinya merona merah. Aku pun merasakan hal yang sama, gugup dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Untuk memecah kecanggungan diantara kita, akhirnya spontan Karin bertanya soal yang entah dia tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti.
“Kak, apa sih maksud soal ini?” tanyanya sambil menyodorkan kertas berisi soal fisika. Kubaca dengan seksama walau masih ada rasa tak menentu di hati.
“Ini tentang tumbukan. Jadi, benda yang mengalami tumbukan dengan massa yang sama akan memantul dengan gaya yang sama pula seperti benda yang menumbuknya. Atau bisa disebut dengan momentum.”
Karin manggut-manggut mendengar penjelasanku barusan. Secara refleks mata kita pun beradu kembali. Kucoba menetralisir perasaan dan mencoba membuka pembicaraan yang lebih serius dengannya.
“Apa kamu pernah merasakan momentum itu?”
Mata beningnya mengerjap memandangku lekat, “Maksud kakak?”
Lidahku mendadak keluh dan tenggorokan terasa menelan duri. Sekuat tenaga kukumpulkan keberanian untuk menjelaskan perasaan ini.
“Apakah Karin merasakan seperti ada tumbukan di hati saat bersama kakak?”
Benar-benar pertanyaan konyol. Sungguh jika aku mampu, aku ingin segera berlari dan meninggalkan tempat ini sejauh-jauhnya. Namun, aku masih kaku untuk menunggu respon dari gadis berjilbab putih di depanku. Aku menunduk sambil menelan ludah. Berkali-kali pikiranku membodohi diri ini. Mana mungkin seorang Karina Devi Mayangsari memiliki rasa yang sama kepada laki-laki yang bukan siapa-siapa.
“Kurasa massa yang menumbuk hati ini sama, hingga menimbulkan gaya yang sama pula!” Senyum merekah dari bibir mungilnya, “Kita jalani saja, kan kita tidak tahu apa yang terjadi kedepannya.”
Kaki ini seakan tak berpijak, burung-burung bercicit merdu dan musim semi menumbuhkan bunga-bunga yang bermekaran. Aku tak pernah menyangka jika perasaanku berbalas indah dari gadis yang selama ini mencuri mimpi-mimpiku. Karin, kaulah yang pertama mengisi hati ini dan kuharap menjadi yang selamanya.
***
Seperti hujan yang dirindu kemarau, begitupun perasaanku kepada Karin. Semakin hari semakin subur dengan lebih intensnya hubungan kita. Dari obrolan mengenai persiapan lomba hingga obrolan tak penting, semisal tanya kabar atau sudah makan apa belum. Sungguh luar biasa virus merah jambu menyerang dua insan yang masih berseragam putih abu-abu ini.
Persiapan untuk lomba semakin intensif karena tinggal lima hari lagi. Namun, hal itu tak membuatku jenuh atau stress, sebab aku semakin dekat dengan Karin. Saat bimbingan, kita sering curi-curi pandang bahkan saling diskusi jika ada soal yang salah satu dari kita tidak mengerti. Bagiku ini sudah cukup berarti, walau dalam hati ini menolak. Ada rasa bersalah setelah itu, namun berkali-kali aku menepis bahwa kita tidak pacaran dan melakukan hal-hal yang dilarang agama.
Kedekatanku dengan Karin tercium juga oleh seniorku Kak Rahmad yang merupakan ketua Remus atau Remaja Mushalla sekolah. Memang semenjak kelas satu aku sudah ikut ekstrakulikuler dibidang keagamaan tersebut. Karena sebagai anak desa yang harus sekolah di kota, aku merasa belum cukup kuat iman ini menahan godaan-godaan yang lebih besar dibanding di tanah kelahiranku.  Maka dari itu aku membutuhkan teman-teman yang setia mengingatkanku ketika salah dalam melangkah. Salah satunya menjadi anggota Remus.
Setelah salat zuhur berjamaah, Kak Rahmad ingin bicara empat mata denganku. Mungkinkah Kak Rahmad mengetahui kedekatanku dengan Karin. Tidak mungkin, karena aku dengan Karin tak pernah macam-macam selama ini. Kita hanya dekat karena satu tim untuk mewakili sekolah dalam olimpiade fisika. Walau tidak munafik ada perasaan khusus yang menyelinap halus di dalam hati ini.
“Gimana kabar, antum?” tanya Kak Rahmad yang duduk di depanku sambil bersila. Mimik wajahnya terlihat serius namun bersahaja. Hembusan angin terasa sejuk menerpa wajah. Serambi mushalla selalu menyejukkan, mungkin karena merupakan rumah Allah.
Alhamdulillah, ana baik.”
“Ada hal penting yang ingin ana tanyakan kepada antum. Tapi, ana harap antum mau menjawabnya dengan jujur.”
Seperti ada gemuruh di dalam dada. Sorot mata tajam Kak Rahmad seolah mengintimidasiku. Aku hanya menelan ludah sambil mengangguk.
“Ada hubungan apa antum dengan Karin?”
Pertanyaan tersebut seolah bumerang  yang tepat menembus jantung. Aku bingung untuk menjawab apa. Jujur selama ini aku memang tak ada hubungan apa-apa dengan Karin. Namun, disatu sisi hubungan kita sudah seperti orang yang pacaran walau tanpa predikat kekasih.
“Kita hanya partner untuk mewakili sekolah dalam olimpiade fisika. Tak lebih dari itu!” jelasku sedikit lesu sambil menunduk. Kak Rahmad menepuk pundakku lalu mendesah panjang.
“Syukur kalau begitu. Jadi, rumor kalau antum ada hubungan khusus dengan Karin hanya fitnah belaka.”
Aku menghela napas panjang, dadaku terasa sesak karena merasa membohongi karib yang bahkan sudah kuanggap kakak sendiri tersebut. Namun, aku tak punya keberanian untuk mengakui kedekatanku dengan Karin.
Ana hanya mau mengingatkan antum bahwa sehebat-hebat fitnah dunia adalah perempuan.” Kak Rahmad diam sebentar mengambil jeda untuk menasihatiku, “Hubungan yang diridhoi Allah hanya melalui pernikahan, selain itu dosa dan mendekati zina semisal pacaran.”
Aku mengangguk dan menyetujui apa yang dijelaskan Kak Rahmad. Tanpa terasa bening hangat meluncur membasahi pipi. Sekali lagi laki-laki yang kuanggap kakak ini menepuk pundakku sebelum pergi meninggalkanku yang merasa bersalah.
“Percayalah jodoh sudah ada yang mengaturnya. Jika, memang kelak ditakdirkan bersama pasti bersatu jua. Namun, ketika usia belum mampu menghalalkannya, maka memantaskan diri menjadi lebih baik itu jauh lebih bermanfaat untuk menjemput jodoh tebaik dari-Nya kelak.”
Air mata semakin menganak sungai mendengar nasihat Kak Rahmad tersebut. Aku tak mampu menatapnya dan terdiam sambil menunduk. Ucapan salam dari Kak Rahmad pun hanya kujawab dalam hati. Aku menyesali semuanya lalu tersungkur sendiri di serambi mushalla yang sudah sepi.
***
Bersyukurlah untuk insan yang sedang jatuh cinta. Jatuh cinta kepada sang pemilik cinta tersebut, yakni Allah SWT. Sejatinya cinta itu suci, bahkan sangat sakral. Jadi, masihkah diri ini terjebak dengan kepalsuan yang mengatasnamakan cinta. Cinta dijemput dengan cara yang halal melalui pernikahan, bukan pacaran yang mengumbar hawa nafsu semata.
Aku tersungkur dan menangis dalam doa di sepertiga malam. Entah berapa lama aku lalai mengingat-Nya. Bahkan semakin jauh dari-Nya ketika rasa itu tumbuh dan mengakar begitu kuat. Secepatnya aku harus menyelesaikan masalah hati ini walau terasa sulit. Namun, aku ataupun Karin tak bisa berlarut-larut dalam cinta yang semu ini.
Hari ini adalah hari terakhir bimbingan untuk persiapan lomba. Selepas bimbangan aku mengajak Karin berbicara empat mata di perpustakaan yang sekaligus tempat bimbangan selama ini. Senyum manis terlukis dari wajahnya. Aku segera menunduk untuk menepis segala pesonanya.
“Ada apa kakak kok ingin bicara empat mata, kayaknya serius banget?” tanyanya selepas bimbingan usai. Matanya memandangku lekat. Aku mengumpulkan keberanian untuk berbicara langsung kepadanya.
“Masih ingat dengan soal momentum?”
Karin mengangguk lalu menjelaskannya, “Jika dua benda yang memiliki massa sama lalu mengalami tumbukan maka benda yang memantul memiliki gaya yang sama pula.”
“Kamu benar. Namun, aku lupa menjelaskan ada momentum tumbukan yang namanya lenting sempurna dan lenting tak sempurna.”
“Maksudnya?” Dahi Karin mengeryit penuh penasaran yang langsung memotong ucapanku.
“Maafkan aku, Karin!” Aku mengambil napas seolah udara di sekitarku membeku. Karin masih serius menunggu penjelasanku. “Seperti hubungan kita ini. Mampu tumbukan lenting sempurna melalui pernikahan. Namun, jika tak mampu sebaiknya kita saling memantaskan diri dengan belajar menjadi orang yang lebih baik lagi seperti halnya tumbukan tak lenting sempurna.”
Seperti ada kristal hangat yang tak mampu dia bendung dari kelopak matanya. Air mata itupun tumpah membasahi kedua pipinya. Aku tak mampu menatapnya lebih lanjut lagi. Hatiku bergejolak antara iba dan harus mengikhlaskan semua hanya kepada-Nya. Semoga perkataanku barusan tak menyakiti hati gadis cantik di depanku tersebut.
“Maafkan aku, Karin!”
Hanya kalimat itu yang kini keluar dari mulutku. Sungguh ingin rasanya aku tak mengenal Karina Devi Mayangsari jika waktu mampu berputar kembali ke masa lalu.
“Untuk apa kakak minta maaf?” Karin mengusap air matanya dengan ujung jilbab lalu menghela napas, “Justru aku berterima kasih kepada kakak yang telah mengingatkanku. Aku juga minta maaf atas kelakukanku selama ini.” Lalu dia merapikan buku-bukunya dan pergi meninggalkanku yang masih terdiam sambil tertunduk di bangku perpustakaan yang sebentar lagi tutup.
Setelah perlombaan, aku jarang sekali berkomunikasi dengan Karin. Aku hanya sesekali melihatnya bersama teman-temannya salat zuhur berjamaah. Lambat laun perasaanku kepadanya mulai terkikis dengan banyaknya tugas sekolah. Aku bersyukur tim kita tidak lolos ke babak selanjutnya dalam olimpiade fisika. Karena ada hikmah dari kegagalan tersebut yakni aku tak lagi intens bertemu dan bertegur sapa dengan Karin. Walau kadang ada rasa rindu yang tiba-tiba mengusik. Namun, segera kutepis dengan berkumpul dengan karib-karibku di Remus.
Dalam perjalanan cinta ini hanya ada dua pilihan, sudahi atau halalkan. Namun jika belum mampu menghalalkan, maka memperbaiki diri menjadi lebih baik jauh lebih bermanfaat daripada menjalin hubungan yang tak diridhoi-Nya yakni pacaran. Tetap fokus belajar dan istiqomah dalam kebaikan hingga kelak disatukan dalam cinta yang penuh berkah atas izin-Nya.[]

Selesai



Selasa, 08 Maret 2016

Tragedi Pernikahan

Tragedi Pernikahan
Yanuari purnawan


            Jujur apakah aku masih punya muka jika harus berhadapan dengan mereka. Harusnya bukan begitu, karena kejadian itu bukanlah skenario yang sengaja aku buat. Tetapi rasa malu mengubah semuanya, dari tak sengaja menjadi ada-ada saja. Tuhan, mengapa semua harus terjadi. Lalai atau memang bodoh diriku ini, biarlah nasi sudah menjadi gaplek, tak mungkin bisa diubah lagi.

            Batik khas Pekalongan dipadu dengan celana bahan hitam, membuat aku seperti pejabat teras. Ganteng dan berwibawa saat menatap diri di depan cermin. Ternyata, aku tak kalah dengan Joe Taslim atau Reza Rahadian aktor film itu, mungkin hanya nasibku saja kurang beruntung. Bersyukur saja, karena walaupun begitu aku masih punya banyak fans. Terutama ibu-ibu, lha secara aku penjual pakaian wanita hehe.

            Kusiapkan diri sesempurna mungkin untuk menghadiri acara resepsi pernikahan sahabatku. penampilan sudah keren, saatnya berangkat. Jarak rumah dengan acara resepsi lumayan jauh kira-kira sepuluh kilometeran, semoga saja penampilanku nanti tidak kusut dan acak-acakan. Malu, walau orang desa aku juga harus punya harga diri hingga orang lain tidak memandang sebelah mata.

            Sial! Sepeda motorku macet,  harus bagaimana ini. Acaranya tinggal satu jam lagi. Dengan berat hati dan terpaksa, aku harus naik angkot. Sudah keren, dengan wangi aroma malaikat subuh harus berdesakan di angkot. Bagaimana nanti penampilanku di resepsi. Tenang! Persiapan selalu ada, parfum, sisir dan kaca lengkap di dalam tas kecilku.

            Berdesakan di dalam angkot, membuatku mual. hampir saja jackpot, untung masih bisa ditahan. Mengapa kok begini mau ke acara pernikahan saja sial. Ini belum seberapa, aku harus berhimpitan dengan penumpang ibu-ibu. Tubuhnya sudah segede gajah, ditambah lagi belanjaannya itu, ikan yang bau amis. Nasib, haruskah ini terjadi kepadaku.

            Setelah perjuangan hampir satu jam, akhirnya sampai juga ke acara resepsi pernikahan. Sebelum masuk, aku putar haluan menuju mushala kecil di samping gedung resepsi pernikahan itu di selenggarakan. Di kamar mandi, kubenahi penampilan. Kaca dan sisir, senjata utama ku keluarkan. Setelah rapi, masya Allah … badanku bau ikan, amis. Terpaksa, parfum aroma malaikat subuh harus ku semprotkan ke sekujur tubuh.

            Beres dengan penampilan, saatnya tancap ke lokasi acara. Naas, undangan yang harus di bawah tertinggal di rumah. Dengan sedikit malu dan basa-basi, aku menceritakan bahwa undanganku tertinggal kepada penjaga daftar tamu yang hadir. Wanita berkonde dan berkebaya itu, sedikit ragu dengan penjelasanku. Mungkin di kiranya aku orang yang ingin makan gratisan lagi.

            Beberapa menit menunggu, akhirnya aku di izinkan masuk. Sedikit kesal, acara begini saja, penjagaannya kalahin anak pejabat. Ruang resepsi begitu besar, maklum aku anak desa jadi untuk hajatan pernikahan seperti ini sudah termasuk kelas atas. Dengan konsep adat jawa sangat terasa dengan iringan gamelan. Tamunya banyak banget dan terlihat dari penampilannya mungkin orang-orang kaya.

            Duduk di pelaminan, kulihat Si Empunya acara, Ridwan sahabatku begitu gagah dengan baju pengantin adat jawanya. Tetapi, untuk pengantin wanita sepertinya ku kenal. Karena dari jauh samar saja aku melihatnya. Setelah mengantri kayak ekor ular, akhirnya sampai juga untuk salaman dengan mempelainya.

            “Barakallah, semoga menjadi keluarga sakinah, mawadah dan warrahmah,” ucapku tatkala menjabat tangan Ridwan. Dia mengangguk dan tersenyum bahagia kepadaku. Setelah itu, saat mau bersalaman dengan pengantin wanita, Astaghfirullah.

            “Semoga ba-ha-gia,” ucapku terbata-bata. Tidak ku sangka ternyata yang bersanding dengan Ridwan adalah Syifa, gadis yang ku taksir sejak kita satu kelas di SMA dulu. Perasaanku  hancur berkeping-keping, seperti lagu Sakitnya tuh di sini. Setelah menata hati yang porak-poranda, aku langsung melahap jamuan yang telah di sajikan.

            Baso, nasi goreng dan gado-gado, ku lahap dengan nikmat campur sakit hati. mungkin aku kesetanan, sambil melihat dua insan yang tengah bahagia duduk di pelaminan.
            “Mas, maaf. Apa tidak salah?” ucap pramusaji di sampingku.
            “Tidak perlu khawatir Mas, aku ke sini bawa ampou gede,” ucap sambil melahap baso. Aduh … kenapa ini? Kok basonya kayak peltasan. Pedas banget.
            “Mas, air putihnya! Kok tidak bilang kalau banyak sambal yang ku masukkan ke dalam baso,” teriakku.
            “Lha Mas sendiri bilang tak perlu khawatir.”

            Ya Tuhan, mengapa nasib sial ini harus terjadi. Ku rasakan perut sakit dan harus segera ke toilet ini. Dengan raut wajah seperti udang rebus, aku meminta salah satu pramusaji untuk menunjukan arah toiletnya. Hampir jebol pertahananku, kalau terlambat sedikit bisa jadi malapetaka. Benar sekali, petaka terjadi, air di toilet mampet. Aku harus cebok dengan apa ini, terpaksa tisu toilet kupakai. Seperti halnya orang barat, tidak ada air, tisu pun jadi.

            Seperti ada yang aneh, semua mata tertuju kepadaku tatkala aku berpamitan untuk pulang. Ridwan dan istrinya hanya tersenyum. Aku diam saja, mungkin mereka bahagia di atas penderitaan orang. Melewati pintu keluar orang-orang masih saja menatapku aneh. Cuek saja, mungkin mereka terpesona oleh penampilanku.

            Deg … saat mau memberikan ampou baru  aku sadar. Kalau ampounya tertinggal juga bersama undangan tadi. Bodoh banget diriku ini, kepada penjaga ampou aku minta maaf dan akan memberikannya besok. Malu, mungkin lagi-lagi mereka kira aku datang, hanya ingin makan gratisan.

            “Tidak apa-apa Mas, yang penting ekornya tidak ketinggalan,” ucap gadis penjaga ampou tersebut. Ekor! Langsung saja tanganku memeriksa bagian belakang. Ternyata, tisu dari toilet tadi masih nyangkut di celana. Kali ini, aku benar-benar seperti udang rebus. Malu dan menyesal, mengapa aku datang ke acara sial begini. Dengan garuk-garuk kepala dan langkah seribu, aku pergi dari resepsi pernikahan tersebut. Sayup-sayup terdengar dari dalam gedung  ada tawa membahana. Mungkin mereka sedang menertawakan kekonyolanku.


Selesai

Rabu, 02 Maret 2016

Inikah Cinta?

Inikah Cinta?
Yanuari Purnawan


Aku hanya mampu melihat punggung gagahnya. Sejak satu semester aku menjadi pengagum rahasia. Mendengar cerita tentangnya dari teman sekelas hingga gosip ringan dari meja redaksi majalah sekolah. Aku memang fokus dengan ekstrakulikuler jurnalis. Walau banyak teman memilih ikut ekstrakulikuler basket demi lebih dekat dengannya, tetapi aku lebih memilih dunia yang aku cintai daripada berkorban untuknya yang masih semu.

Teriakkan siswi-siswi SMA 40 begitu histeris, melihat sang kapten main basket saat ajang perlombaan basket antar sekolah. Raka, sang kapten yang menjadi bintang saat itu. Beberapa tri point dicetaknya hingga mengantarkan SMA kami menjadi juara. Raka … walau aku tak sehisteris para cewek itu, tetapi dari jauh aku selalu mendukungmu.

Seperti mendapat durian runtuh, aku ditunjuk ketua redaksi untuk wawancara dengan para punggawa basket sekolah. Ini kesempatan emas untuk dekat dengan Raka. Aku harus mempersiapkan ini sesempurna mungkin. Jangan sampai aku kelihatan bodoh di depan mereka, apalagi Raka.

“Permisi … maaf ganggu waktunya?” tanyaku sopan kepada para pemain basket tatkala sedang latihan.
“Ada apa?” jawab salah satu anggota tim basket. Sambil membetulkan letak kacamata minus yang kupakai, terlihat cowok itu mendekatiku: Raka.
“Aku ingin wawancara kalian yang kemarin menang lomba basket antar sekolah ….” jawabku dengan sedikit gemetaran. Dadaku berdesir hebat dan jantung berdebar kencang. Aku tidak menyangka bisa sedekat ini melihatnya.
“Maaf, kami sibuk!” jawab Raka ketus dan meninggalkanku sendiri yang masih mematung melihatnya.

Ya … Rabb, salahkah perasaan ini! Dengan setia aku duduk di kursi penonton sambil menunggu Raka selesai latihan. Beberapa kali jepretan dari kamera ponsel berhasil mengabadikan dia sedang latihan basket. Bulir keringat membasahi wajah dan bajunya, andai aku bisa menyeka keringat itu. Sungguh pemandangan yang sayang jika harus dilewatkan begitu saja.

“Raka, ini air mineralnya!” ucap seorang cewek berambut hitam panjang sambil menyodorkan sebotol air mineral kepada Raka. Tidak lain cewek tersebut adalah Silvy, cewek yang santer digosipkan pacaran dengan Raka. Melihat pemandangan tersebut entah mengapa membuat hatiku panas. Ingin ku remas-remas itu cewek yang berani-beraninya mendekati Rakaku.

Menunggu terlalu lama tanpa terasa aku tertidur hingga tidak menyadari jika latihan basket usai. Lapangan basket sepi, kemana mereka? Aku berlari menuju ruang ganti sudah tidak ada orang. Bagaimana dengan wawancaranya? Aku tidak ingin perjuanganku menunggu berakhir sia-sia.

“Raka?!!” teriakku, tatkala melihat Raka yang sedang sendirian di tempat parkir.
“Ada apa? Masih masalah wawancara!” ucapnya sinis. Mendengar ucapannya aku hanya mampu menganggukan kepala.
“Aku capek dan banyak PR, aku harus pulang,” terangnya lagi sambil menghidupkan mesin sepeda motornya.
“Jangan begitu, apa kamu tidak kasihan denganku? Aku sudah menunggu lama untuk bisa wawancara,” jawabku memelas, berharap dia luluh.
“Oke, aku mau di wawancara asal dengan syarat selama seminggu kamu harus mengerjakan PR-ku. Apa kamu setuju?” tanyanya.

Aku mengangguk menyetujui syarat tersebut. Betapa bahagianya sore itu, walau setumpuk buku berisi PR-nya harus aku kerjakan. Apakah ini yang disebut cinta? Walau kata orang itu buruk, jika melihatnya dengan cinta pasti akan terasa indah.

Tidak terasa sudah empat hari aku mengerjakan syarat darinya. Selama itu pula aku semakin dekat. Namanya Raka Hadi Pratama, anak tunggal dari salah satu anggota dewan di negeri ini, suka warna biru, makanan favorit nasi goreng dan hobi main basket. Itulah sekelumit biodata tentang Raka. Dia sekarang tidak sejaim awal kita bertemu, lebih cair dan ramah.

Sejak perubahan sikapnya, membuat kami semakin akrab. Sesekali kubawakan nasi goreng buatanku untuk bekal makan saat latihan basket. Aku sangat setia menemani latihan, mulai dari menyemangati hingga memberikan handuk kering untuk menyeka keringatnya. Walau kadang merasa lelah harus mengerjakan semua, tetapi setelah melihat senyum Raka, semangatku kembali berenergi lagi. Raka andai kau tahu aku di sini mencintaimu.

Ini hari terakhir aku mengerjakan syarat dari Raka. Entah mengapa bukannya senang malah aku merasa sedih. Aku takut kedekatan yang baru bersemi ini akan berakhir.

“Raka … jika kau perlu sesuatu jangan sungkan panggil aku,” ucapku gugup, saat itu Raka sudah rapi untuk pulang dari latihan basket.
“Oke, tetapi ada apa kok bicara begitu? Takut tidak bisa dekat dengan cowok ganteng kayak aku,” jawabnya sembari tersenyum. Lagi-lagi senyum itu membuatku terpesona. Lapangan basket yang sepi, membuatku berani. Kupeluk Raka.
“Aku tidak ingin kebersamaan ini berakhir. Aku ingin dekat denganmu,” jawabku dengan airmata yang mengalir membasahi pipi. Dada bidang itu membuatku nyaman dipelukannya.
“Jangan melankolis begitu, sudahlah toh aku juga gak pergi jauh. Tenang saja kita tetap sahabatan karena aku nyaman bersamamu,” ucapnya sambil menyeka airmataku. Jantungku berdebar tidak karuan. Mimpikah ini! Raka merasa nyaman denganku. Jika ini mimpi aku tidak mau terbangun, aku ingin tetap dipelukannya.

Waktu berjalan begitu cepat, pagi baru telah menyambut. Aku dan Raka semakin dekat tidak jarang aku main ke rumahnya. Mengerjakan tugas bersama, maklum kami sudah kelas tiga. Kami berjuang untuk mempersiapkan ujian akhir agar bisa lulus. Dalam bidang akademik aku memang di atas Raka. Jadi, tidak jarang berkali-kali aku harus sabar mengajarinya.
Hingga tiba masa itu, di mana aku tidak akan menatap punggung gagahnya sesering sekarang. Kami dinyatakan lulus dan aku mendapat nilai tertinggi. Seharusnya aku senang dengan kabar tersebut, tetapi entah hati ini merasa sedih. Sebentar lagi tak ada lagi senyum yang memberikan ketenangan di hatiku.

Aku harus mengungkapkan perasaan ini, sebelum semuanya terlambat. Aku harus berani, apa pun hasilnya nanti yang terpenting aku sudah jujur dengan perasaan ini. Aku tidak ingin rasa yang terpendam selama tiga tahun ini menjadi bom waktu yang akan menghancurkanku.

Hujan tidak menjadi halangan untuk menemui Raka di salah satu tempat makan. Di mana aku sudah berjanji kepadanya untuk mengatakan sesuatu yang penting. Kulihat Raka sudah datang terlebih dulu.
“Mau bicara apa sih? Kayak serius banget hingga menyuruh datang ke sini,” ucapnya.

Sebelum menjawab pertanyaannya. Tiba-tiba ada cewek cantik berambut panjang dan berpakaian rapi datang menghampiri kami.
“Ohnya, kenalin ini Ratna, pacar aku yang baru,” terang Raka memperkenalkan cewek tersebut.

Mendengarnya seperti petir menyambar tubuhku. Aku masih tertegun tidak percaya. Sakit rasanya hati ini, dengan berat aku melangkah pergi meninggalkan mereka. Terdengar teriakan Raka menyebut namaku.
“Rian?!!”
“Rian … katanya mau bicara sesuatu!”

Suara itu menggema seiring hujan begitu deras mengguyur tubuhku. Inikah cinta itu? Mengapa begitu sakit rasanya. Ternyata, takdir telah mengisyaratkan bahwa aku dan Raka tidak mungkin bersatu. Hujan … hapus semua pedih dan rasa cinta ini bersama setiap tetesanmu.[]