Senin, 16 Oktober 2017

Aku yang Jatuh Cinta

Aku yang Jatuh Cinta
-YP-

Jika pada akhirnya takdir menuliskan kita bersama, dimanapun aku dan kamu berada pasti akan bersatu juga. Pun sebaliknya, jika takdir berkata lain kita tak bisa bersatu maka sedekat apapun aku dan kamu pasti berpisah juga.
*
Delapan tahun. Waktu yang begitu singkat untuk mereka karena mereka sedang bahagia-bahagianya menikmati proses atau bahkan dalam tahap menuju kesuksesan dalam hidupnya. Bukan untukku, delapan tahun adalah waktu terlama buat menunggu dan kembali menatap mata itu yang sorot matanya begitu tajam tapi meneduhkan. Delapan tahun, rasaku untukmu masih sama seperti awal aku berjumpa denganmu.
“Jangan takut!” sapamu sambil menepuk pundakku. Aku langsung menoleh ke arahmu yang dibalas dengan sorot mata yang begitu tajam. Oh Tuhan, saat itu aku seperti terkena aritmia. Mata yang indah dibalut dengan senyum yang menawan.
“Biasalah kalau MOS begini digunakan oleh senior untuk menunjukkan keseniorannya atau ya mereka gunakan untuk ajang balas dendam karena tahun kemarin mereka juga diperlakukan seperti kita.” Aku hanya tersenyum mendengar penjelasannya yang begitu panjang tersebut.
“Ohnya, hampir lupa. Kenalin, aku Pandu Dimas Revandra. Emm… kamu pasti Krisna Wahyu Pratama!” Kurasakan wajahku merona saat kamu tahu nama lengkapku. Namun, sedetik kemudian aku hanya mampu tersenyum bodoh sambil garuk-garuk tengkuk yang tak gatal.
“Benerkan itu nama kamu? Pas sekali dengan wajahmu yang manis,” ucapmu lagi sambil menunjuk papan nama dari kertas karton yang menempel di dadaku.
Itulah kali pertama aku berkenalan denganmu. Mungkin dari situlah awal takdir sedang menuliskan tentang kisah hidupku yang tak lagi sendiri melainkan ada namamu bersama mata tajam indah tersebut.
Kuedarkan pandanganku ke setiap sudut rumah makan, kenangan tentangmu menyeruak kembali. Delapan tahun yang lalu ditempat ini, yang dulu masih kita sebut warung nasi goreng. Namun, warung itu menjelma menjadi rumah makan yang cukup luas dengan menu tak sebatas nasi goreng seperti dulu. Ah, ternyata waktu begitu mudah mengubah segalanya, tapi mengapa waktu tak mampu mengubah perasaanku kepadamu.
Tuhan begitu baiknya menuliskan takdir aku denganmu. Bukan lagi kita yang satu gugus saat MOS, satu sekolahan, tapi kita sekarang satu kos-kosan. Hampir saja aku loncat kegirangan kalau tidak sadar bahwa aku harus jaga image di depanmu.
“Lucu ya ternyata kita bisa satu kos-kosan!” ucapmu lalu beralih mengambil ransel dan menuju ke kamar kosmu. Aku hanya diam sambil mengekorimu sambil menetralkan jantungku yang sejak menatapmu berdetak tak menentu.
“Kamarmu yang mana?” Aku menatapnya kembali. Masih sama mata tajam yang indah bagiku. Aku gelagapan untuk menjawabnya.
“Kamarku di depan kamarmu …!” jawabku sambil menunjuk kamar di depanmu. Kamu tersenyum lalu berkata yang membuat mukaku merona.
“Apa kamu ingin pindah dan sekamar denganku?”
“Maksudnya?”
“Sejak tadi kamu berdiri di kamarku. Sedang aku mau tidur dulu sebelum menata barang bawaan. Apa kamu masih ingin di sini juga, tidur sama aku!” godamu yang sukses membuat aku semakin merona.
“Sial!” Aku hanya mampu tertunduk lalu melangkah meninggalkan kamarmu. Walau dalam hati aku berharap itu terjadi. Tidur sekamar denganmu. Tuhan … mengapa si mata tajam itu membuatku segila ini. Kembali aku mengutuk diriku yang tak bisa meredam rasaku untukmu.
Hampir lima belas menit aku menunggumu. Namun, batang hidungmu pun tak tampak sekarang. Apa kamu masih ingat tentang rumah makan ini? Mungkinkah kamu tersesat karena rumah makan yang sekarang berbeda jauh dengan dulu. Sebodoh itukah dirimu jika masih lupa, bukankah kamu sendiri yang kemarin membuat janji bertemu di rumah makan Pakde Sapto ini. Aku masih setia mengamati rumah makan ini yang terlihat ramai apalagi ini sudah sore.
“Mas, jadi mau pesan apa?” kembali pelayan menanyaiku untuk memesan makan dan kembali aku menjawab sambil tersenyum.
“Nanti ya mbak … maaf temanku masih diperjalanan!” Sang pelayan pun mendengus lalu pergi. Mungkin dia kira aku hanya pengunjung yang numpang duduk sambil wi-fian gratis.
Saat itu aku masih sibuk mengerjakan soal-soal fisika yang begitu rumit. Sedang kamu sedang asyik mengotak-atik ponsel. Jujur aku begitu iri denganmu yang begitu banyak punya waktu luang, sedang aku selalu habis pulang sekolah, mandi, shalat lalu kembali mengejakan PR yang begitu menumpuk dan besok harus dikumpulkan. Maklum dulu aku anak IPA sedang kamu masuk jurusan IPS. Namun, kamu begitu populer ditambah lagi kamu adalah kapten tim futsal sekolah. Sungguh, aku begitu sebal dan kesal sekali setiap ada cewek-cewek ganjen yang berusaha mendekatimu. Bahkan, teman sekelasku pun begitu agresif tanya ini itu tentangmu terhadapku. Menyebalkan sekali bukan! Emang mereka kira  aku babysistermu. Cukup bahas cewek-cewek itu yang bikin emosi tingkat dewa.
Aku begitu pusing menentukan rumus tentang soal listrik statis, listrik dinamis, kukira sebentar lagi kepalaku akan mengeluarkan asap. Dari ujung mata, kulihat kamu tersenyum diambang pintu kamarku.
“Sibuk ya?”
“Lumayan. Kurasa guru fisika sedang semangat-semangatnya mengasih tugas!”
Kamu hanya geleng-geleng saja mendengar jawabanku. Lalu mengambil buku yang ada di depanku.
“Kurasa kamu tak akan tinggal kelas hanya tidak mengerjakan soal-soal tersebut dan kurasa kamu sedang butuh makan yang banyak untuk mengisi energimu kembali!” ucapmu sambil menimpuk pelan dengan buku ke kepalaku.
“Maksudmu?”
“Kita makan di luar sekarang, aku dan anak futsal lainnya sedang merayakan kemenangan tim kami minggu lalu. Dan kamu harus ikut denganku!”
“Tapi …,”
“Sudah, aku tunggu dua menit lagi!” potongmu sambil menatapku tajam. Aku yang ditatap seperti itu hanya bisa menurut tanpa membantah lagi.
Ramai. Itulah kesan pertamaku saat makan nasi goreng bersama teman-teman futsalmu. Namun, ada hal yang sebelumnya tak kumengerti tentangmu kini sedikit banyak mulai kuketahui dari obrolanmu bersama teman-temanmu. Ternyata, kamu diam-diam suka sama cewek bernama Almira kelas dua belas Ipa satu, sungguh hal itu membuat dadaku sesak. Selama makan nasi goreng entah mengapa yang kurasakan hanya hambar. Kurasa lidahku mulai mati rasa, bukan hanya lidah mungkin juga hatiku.
Kamu melambaikan tangan ke arahku lalu dengan sedikit tergesa-gesa duduk di kursi depan mejaku. Mata tajam indah itu kembali memenuhi otakku.
“Maaf membuatmu menunggu!” ucapmu sambil tersenyum menatapku.
“Mungkin sebentar lagi aku sudah ubanan gara-gara menunggumu.” Aku dan kamu pun tertawa bersama, tawa yang tak pernah kulihat lagi selama delapan tahun.
“Kamu sudah pesan makanan?” Aku menggeleng sambil mengamati dirimu yang tak banyak berubah setelah delapan tahun. Masih sama seperti dulu hanya sekarang kamu berjenggot yang tertata rapi di bagian rahang.
Aku masih mengingat kenangan delapan tahun lalu di tempat ini dan hari dimana itu adalah hari terakhirku melihatmu.
“Jam empat sore ini ya!” ucapku lesuh tanpa binar semangat sambil meminum es jeruk yang sedari tadi aku aduk-aduk saja.
“Iya. Ayah bilang sih begitu! Terima kasih ya dua tahun ini kamu menjadi teman satu sekolah dan kosanku yang begitu baik,” terangmu santai. Tak seperti dirimu, aku begitu gugup dan tak tahu apa yang terjadi ke depannya sepeninggal kamu tak ada lagi dalam hidupku.
“Kuharap setelah di sekolah barumu kamu tak akan melupakanku!” Apa yang kuucapkan barusan. Begitu bodohnya kalimat itu harus keluar dari mulutku. Kulirik kamu hanya tersenyum lalu dengan gemas mengacak-acak rambutku.
“Kamu sangat lucu, Kris … kamu harus tahu ini bahwa setiap yang datang pasti akan pergi atau menetap tergantung takdir yang menuliskannya bagaimana. Aku tak akan melupakan teman sebaik dirimu!” Hampir saja air mata menetes dari kelopak mata mendengar ucapan tersebut. Sekuat tenaga aku tahan, aku tak ingin terlihat cenggeng di hadapanmu kali ini. Aku harus kuat dan ikhlas biar takdir yang menjawab semua rasa ini untukmu.
Malam itu adalah malam dimana bantalku kuyup oleh air mata. Semalaman aku menangisi kepergianmu untuk pindah sekolah. Tuhan kalau boleh aku meminta biarkan dia tetap di sini bersamaku. Namun, kembali takdir berbicara lain kamu tetap pergi bersama ayahmu untuk pindah ke sekolah baru.
Delapan tahun. Waktu yang begitu menyiksa diriku untuk mengenang semua tentangmu. Kini, kamu benar-benar ada di depanku dalam wujud nyata. Tuhan, jika ini mimpi biarkan aku tidur selamanya dan jika ini imajinasiku biarkan aku bermain-main hingga napas terhenti.
“Kurasa kamu masih suka makanan ini, bukan?” Kulihat di meja sudah ada nasi goreng dan jus jeruk. Aku tersenyum sambil menatapmu dan kamu pun begitu membalas dengan senyum yang begitu menawan. Tuhan, ternyata dia masih mengingatnya.
“Kukira kamu sudah lupa!” Kamu tersenyum sambil menyantap nasi goreng. Perasaan itu kembali menyeruak tatkala kamu tersenyum seperti itu lagi.
“Mengapa baru kemarin kamu menghubungiku setelah delapan tahun kita tak pernah bertemu?” tanyaku yang membuat kamu berhenti mengunyah lalu menatapku.
“Tak ada alasan apapun. Sejujurnya aku tak enak hati mengganggu calon dokter sepertimu. Aku yakin kamu terlalu sibuk hanya sekedar membalas chat aku!”
Alasan konyol. Delapan tahun tanpa kabar darimu hanya bilang aku terlalu sibuk. Sekarang aku sadar sesadarnya kalau dirimu memang tak menganggapku berarti dalam hidupmu. Aku kecewa, tapi apa dayaku yang cinta sendiri kepadamu.
Tak ada obrolan berarti, aku dan kamu kembali sibuk dengan pemikiran masing-masing.
“Aku senang sekali bisa bertemu denganmu kembali. Seperti yang kukatakan tadi, aku sangat berharap kamu datang!” ucapmu lalu berdiri hendak meninggalkanku sedang aku hanya bisa sekuat tenaga tersenyum kepadamu walau kini hatiku begitu perih.
Kali ini aku berusaha untuk tak meneteskan air mata untukmu. Aku harus menerima takdir ini, bahwa aku dan kamu tak mungkin bisa bersatu. Aku memahami bukan dirimu yang tak peka akan perasaanku, tapi aku sendiri yang jatuh cinta kepadamu. Dan aku tak menyalahkan dirimu yang tak mencintaiku dan memilih seorang wanita untuk kamu nikahi. Kulihat undangan warna merah jambu di meja depanku. Kembali aku mengingat ucapanmu tadi.
“Aku ingin kamu datang ke acara pernikahanku dan aku lebih berharap lagi kamu mau jadi pendampingku nanti saat prosesi akad nikahku!”
“Mengapa harus aku?” tanyaku dengan nada bergetar menahan diri untuk tidak menangis.
“Karena kamu adalah satu-satunya sahabat yang tulus dan benar-benar aku sayangi. Dan kupastikan kamu juga punya rasa itu bukan!”
Aku hanya mampu menelan ludah lalu menatap mata tajam indahmu itu. Rasaku kepadamu adalah aku jatuh cinta kepadamu sedang kamu tidak.
“Terima kasih sudah menyayangiku, Pandu Dimas Revandra!”


_Selesai_