Sabtu, 19 Desember 2015

Once Upon A Time

Once Upon A Time
Yanuari purnawan


Aku terdiam tertunduk, bulir air mata menetes perlahan. Di kamar yang sunyi, aku berusaha menjernihkan pikiran. Tetapi, masih saja kepedihan itu masih bercongkol di hati.
Kuseka airmata dan mengambil nafas panjang, kutatap wajah di depan cermin. Sungguh menyedihkan, wajah pria yang awut-awutan tanpa gairah.

Tetiba, suara ponsel membuyarkan segala pikiran di otak.

“Kamu jangan gila, pikirkan lagi.” Sebuah pesan singkat dari sahabatku. Pesan itu seolah membuka mata hatiku untuk berpikir waras.

“Bisa ketemu?” balasku.

Sejurus kemudian ada pesan balasan darinya.

“Oke, di tempat biasa kita nongkrong, ya!”

Kupacu sepeda motor dengan perlahan. Aku ingin menikmati udara sore yang begitu segar dan menenangkan. Ternyata, aku lebih dulu datang, setelah beberapa menit menunggu akhirnya dia datang juga. Riski, pria berusia dua puluh lima tahun yang sudah kuanggap saudara kandung sendiri, datang dengan pakaian resmi kerjanya. Maklum dia adalah PNS.

“Sudah lama menunggu?” tanyanya sembari mengambil tempat duduk di sampingku.
Aku hanya mengangguk.

“Apa kamu sudah memikirkannya?” tanyanya lagi.

“Bang, aku sudah lelah menanti. Dan ini saat yang tepat untukku bertemu dengannya,” jawabku-Aku biasa memanggil Riski dengan panggilan abang.

“Dengar Abang. Jangan gila dan bodoh, masih ada hal yang lebih penting dari hal itu. Usiamu masih dua puluh tahun, jadi jangan kau sia-siakan,” ucap Riski tajam menatapku.

“Aku capek Bang. Aku juga ingin bertemu dengan Ibu, sudah delapan belas tahun aku tak pernah menatap langsung wajahnya!”

“Kamu tahu sekarang di mana Ibumu? Malaysia! Apa kamu pernah ke sana? Malaysia itu luas, apalagi kamu belum tahu alamat pastinya,” terang Riski sedikit emosi karena kelakuanku yang dikiranya bodoh.

Aku terdiam dan airmata membasahi pipi. Aku terlalu rindu dengan ibu. Kata orang aku masih punya ibu yang bekerja sebagai TKI di Malaysia. Sudah cukup dewasa, aku bisa memahami keadaan ini. Tetapi, aku bosan dan iri jika melihat seorang anak bisa bermanja ria dengan ibunya.

“Abang mengerti kamu sangat merindukannya. Tetapi, jangan gila seperti ini dengan mau menyusul ke Malaysia,” ucap Riski menenangkanku.

“Menurut Abang, Ibu macam apa yang tega meninggalkan anaknya selama berpuluh tahun dan menitipkannya di panti asuhan!”

“Pada suatu saat kamu pasti akan mengerti, mengapa dia pergi meninggalkanmu di panti asuhan. Jangan bertanya begitu, biarkan waktu yang menjawab semuanya. Sudahlah … kita makan dulu yuk!”

Sebelum berpisah Riski mengatakan, “Kadang sebuah penantian itu hanya berujung dengan penyesalan. Menantilah dengan hati yang ikhlas. Ingat, pada suatu saat kamu akan mengerti makna hidup ini.”

***

Pada suatu hari, di mana musim telah berganti. Aku mengetahui, ibu bekerja menjadi TKI di Malaysia dan meninggalkanku di panti asuhan gegara ayah tak mau bertanggung jawab dan selingkuh dengan wanita lain. Dan ibu telah meninggal tatkala usiaku masih lima tahun, akibat di siksa majikannya. Kutahu semua dari ibu panti yang sudah tak tega melihatku menanti ibu untuk menjemputku dari panti asuhan.


Selesai

Rabu, 16 Desember 2015

Catatan tanpa Jejak

Catatan tanpa Jejak
Oleh : Yanuari Purnawan


Tanpa terasa langkah terlalu lelah, keriput menghiasi wajah dan usia semakin senja. Entah, sampai kapan semua bertahan atau malah berakhir. Musim begitu cepat berganti, tanpa ada kompromi bumi berotasi begitu cepat. Sebuah kata sederhana, ‘Sudah’ kemudian senyum atau tangis yang mengikuti hingga bulan tak purnama lagi.

Tahun berganti, dari angka ganjil menuju genap. Bukan seberapa lama, tetapi sebanyak apa. Seberapa lama kita hidup di dunia, bukan itu masalahnya. Tetapi, sebanyak apa manfaat yang kita tebar untuk sesama. Mungkin esok masih abu-abu, tetapi hari ini adalah kenyataan yang harus dihadapi. Sekalipun langkah lelah dan letih, jatuh dan bangkit adalah warna indah siap menyambut hari.

Sesungguhnya jika hari ini lebih buruk dari hari kemarin maka celakalah, jika hari ini sama dengan hari kemarin maka merugilah dan jika hari ini jauh lebih baik dari kemarin maka beruntunglah. Sebuah paparan yang begitu mengulik bahwa setiap waktu adalah harta yang tak tergadaikan. Sudahkah diri ini menjadi orang yang beruntung? Atau malah golongan orang merugi bahkan celaka? Tanyakan pada mata hati, karena hati tak pernah berdusta.

Sahabat, mengkaji lebih dalam makna tahun baru. Seharusnya merupakan momentum yang tepat bagi kita untuk memuhasabah diri. Mengintropeksi diri selama satu tahun ke belakang. Apa resolusi kita sudah tercapai dan apa saja yang belum, hingga menjadi pembelajaran diri untuk melangkah lebih baik di tahun ke depan. Karena, semua orang menginginkan menjadi insan yang beruntung. Maka, solusi yang tepat hari ini harus jadi lebih baik dari kemarin.

Bukankah hidup adalah kumpulan hari, jam, menit dan detik. Apakah cukup dengan hanya tiupan terompet lalu menyalakan kembang api yang disertai pesta hura-hura? Sempit sekali, jika hidup hanya di tanggal 1 Januari saja. Karena semua yang kita perbuat setiap detiknya, akan menjadi bahan pertanggung jawaban di hari akhir kelak. Jadi, keputusan melangkah bukan aku atau mereka yang menyuruh. Tetapi, dirimu sendiri yang memutuskan mana yang terbaik untuk masa depanmu.

Ketika semua berlomba-lomba merayakannya. Gengsi jika tak berpartisipasi di dalamnya. Bercermin dengan mata hati, apakah mereka nanti yang akan menentukan hari esok kita? Semua ada ditangan diri sendiri. Mau ke arah mana melangkah. Hanya indah sesaat seperti kembang api. Ataukah mewangi menebar manfaat bagi sesama yang menjadi investasi amal kelak. Sebelum waktu memanggil, tinta telah habis hingga semua sia-sia menjadi catatan tanpa jejak.[]






Senin, 19 Oktober 2015

Jodoh (Tak) Sempurna

Jodoh (Tak) Sempurna
Yanuari Purnawan


Ketika malaikat cinta menancapkan panahnya
Menghindar tak mungkin
Berlari, menjauh hanya akan terjatuh
Karena, sejatinya cintalah yang menang
Tak perlu menghindar
Memunafikkan rasa
Hingga waktu yang menjawab
Dialah yang tak sempurna
Untuk kesempurnaan cinta

Aku masih belum mengerti apa yang sedang terjadi pada diri ini. Mengapa aku bisa menyukai laki-laki seperti ini modelnya. Ia sedang asyik makan bekal yang khusus kusiapkan buatnya. Rambutnya acak-acakan terkesan maskulin, kaos oblong dan celana jeans yang bolong di kedua lututnya seolah menjadi fashion yang nyaman. Mungkin bagi yang pertama kali melihatnya, mereka kira ia adalah preman pasar. Namun, entah mengapa aku tak punya alasan untuk menjauhinya.
“Kak!” ucapku lirih sambil memandangnya yang tengah asyik melahap tempe di sampingku. Ia pun sekilas menoleh lalu nyengir sambil melanjutkan makan siangnya, bukan makan siang tapi sore kali. Matahari sudah seperempat untuk menghilang menuju peraduannya.
“Kak Akbar …!” lanjutku lebih kencang dari yang tadi. Ia pun berhenti mengunyah makanan yang hampir habis di kotak makan warna biru itu.
“Adek lapar juga?” jawabnya polos sambil menatapku. Sekilas terlihat begitu tenangnya tatapannya. Apa ia tak merasakan apa yang sedang kurasakan kini. Sungguh, ingin sekali aku marah kepadanya, namun upaya itu hanya meninggalkan kesia-siaan. Matanya benar-benar membuatku terhipnotis lalu luluh.
Aku menggelang lalu memendarkan pandangan ke arah matahari yang sebentar lagi tenggelam. Senja memang begitu agung dan mendamaikan. Aku menghembuskan napas dalam, bagai bukan udara yang keluar tapi duri-duri.
“Masih mikirin soal itu?” tanyanya sambil merapikan kotak makan. Ternyata, ia sudah selesai makan. Harusnya ia tak bertanya itu kepadaku, namun ia lah yang harus menjawabnya, masihkah hubungan ini harus berlanjut?
“Aku tak mengerti mengapa kakak tak pernah serius akan hubungan ini. Capek, Kak!”
“Yaudah, nanti kakak boncengin deh!” jawabnya asal, membuat gigiku gemelatuk menahan amarah. Bisakah ia serius akan hal sepenting ini. Sekali saja.
Kak Akbar berdiri setelah memasukkan kotak makannya ke dalam tas kecilku. Matanya fokus ke arah langit yang mulai berwarna jingga. Mungkinkah ia berpikir untuk kelanjutan hubungan ini.
“Sudah sore, yuk kita pulang!” Ia berbalik lalu melangkah hendak meninggalkan bangunan tua lantai tiga ini. Entah keberanian dari mana, bibir dengan mudah mengucap kalimat itu.
“Ayah meminta kakak segera menemuinya sebagai laki-laki dewasa!”
Ia berbalik lalu memandangku lekat. Tetap sama. Tajam, namun meneduhkan. Perasaanku tak enak. Respon apa yang akan Kak Akbar berikan. Tapi, dugaanku salah. Ia hanya tersenyum sambil melangkah menjauh dari lantai atas bangunan tua ini. Ingin rasanya aku berteriak dan menangis sejadi-jadinya. Serumit inikah cintaku dengannya?
***
Pikiranku melayang entah kemana. Buku yang kubaca dari tadi tak satupun kalimatnya yang menempel di otak. Mungkin, perpustakaan kampus hanya menjadi tempat untuk merefresh pikiran. Iya, pikiran akan ia yang tak pernah mengerti dan serius akan kelanjutan  ini.
“Hai, Non. Melamun aja!” sapa gadis berjilbab putih sambil menepuk pundakku agak keras. Mataku melotot memandangnya.
“Bisa dikecilin nggak volumenya. Ini perpus bukan pasar ikan.”
Amel, sahabat satu fakultasku itu hanya nyengir tanpa dosa. Akupun kembali membaca atau lebih tepatnya melamun.
“Lagi ada masalah? Sama preman pasar itu?” tanya Amel beruntun. Mendengar ia menyebut ‘Preman Pasar’ aku langsung melotot ke arahnya.
Sorry! Maksudku Akbar.”
Aku menghembuskan napas panjang. Tak perlu beralasan apapun, karena Amel pasti bisa menebak apa yang sedang bergelayut dalam pikiran. Akupun mengangguk.
“Ada apa lagi, Ra? Bukankah kamu bilang ia adalah sayap pelindung yang siap siaga melindungimu dari apa pun.”
Amel kembali mengungkit kalimat itu. Kalimat yang pernah aku utarakan kepadanya tentang Kak Akbar. Bagaimana proses perkenalan kami yang begitu unik. Mungkin, bagi sebagian orang itu adalah hal biasa. Namun, bagiku itu luar biasa. Suatu hari tatkala aku sedang naik bus pulang dari kampus, aku mengalami insiden kecopetan. Menyadari hal itu akupun berteriak yang membuat gaduh seluruh penumpang bus. Namun, cowok yang berpenampilan berantakan berhasil meringkus sang pencopet yang hendak turun dari bus. Ia tersenyum lalu mengembalikan dompet itu kepadaku. Sejak itulah kita semakin akrab, karena ia pun menggunakan bus yang sama denganku saat pulang kampus.
“Melamun aja!” Teguran Amel membuatku gelagapan sendiri.
By the way, ngapain kamu nyusul ke sini? Biasanya paling anti masuk perpustakaan,” sindirku membuat pipi sahabatku tersebut merona malu.
“Oh ya, besok jadikan ikut kajian islam kampus?” Aku mengangguk. “Tahu nggak, pengisi acara kajian itu Kak Faris loh!” Muka Amel terlihat girang saat menyebut nama ‘Kak Faris’. Siapa juga yang tak suka dengan cowok alim, santun dan cerdas tersebut.
“Kak Salman Al Farisi, anak teknik itu?” Mata Amel melotot menampilkan wajahnya yang lucu dengan pipinya yang cubby.
“Rania Azzahra, siapa lagi kalau bukan malaikat satu itu. Emang ada cowok satu kampus ini yang pesonanya ngalahin Kak Faris.” Aku hanya tersenyum, tanpa terasa beban akan masalahku dengan Kak Akbar sedikit terobati.
***
Seandainnya aku mampu
Ingin kubekukan waktu
Agar aku tak lagi tertarik, terikat
Hingga sulit terlepas
Sakit. Namun inilah jalannya
Walau salah sekalipun

Aku masih setia menunggunya di depan gerbang kampus. Dua menit, tiga menit. Tanpa terasa sudah setengah jam aku berada di tempat ini. Pasti alasan yang sama mogok atau macet. Sudah tahu begitu, masih saja diulangi lagi.
“Maaf ya! Pasti lama nunggu pangeran motor bututnya. Maklum motor tua jadi sering mogok,” ucapnya sambil tersenyum tanpa dosa. Alasan klasik.
“Aku ingin bicara serius!”
“Aku ingin makan soto,” timpalnya. Sekuat tenaga aku menahan amarah.
“Nggak lucu!”
“Maaf, aku kan bukan Sule.” Amarahku pun meledak.
“Bisa nggak kamu serius sedikit?” bentakku. Tak ada lagi panggilan ‘Kak’ untuknya. Ia memandangku tajam lalu tertawa terbahak. Memang ada yang salah dengan ucapanku barusan.
“Lagi lapar?” candanya lagi. aku hanya diam sambil menunduk. Gigiku bergemelatuk. Napasku tersenggal-senggal.
“Kan lapar bisa merubah seseorang. Ayo kita makan!”
“Kamu itu tak peka atau bodoh sih?” Kak Akbar terbelalak dan hampir oleng dari motor yang didudukinya.
“Aku capek dengan semuanya. Aku ingin kita jalan masing-masing.”
“Maksudnya?” Ia pun turun dari motornya berusaha mendekat ke arahku.
“Aku ingin kita putus!”
Suasana mendadak hening. Sepi. Hanya angin sore yang berhembus mengibarkan jilbab ungu panjangku.
“Dek …!” lirih Kak Akbar memanggilku. Tapi, kita tak bergeming dengan keadaan masing-masing. Tak ada sentuhan, pelukan atau hal yang tak sepantasnya.
“Maaf jika ini menyakitkan. Tapi, mungkin inilah jalan yang terbaik untuk saat ini. Lupakan mimpi-mimpi kita. Dan sekarang cukup serahkan semuanya kepada-Nya,” terangku sambil terisak.
Kak Akbar diam. Kulirik sekilas wajahnya. Matanya berkaca-kaca.
“Maafkan kakak, Dek. Maaf, masih menjadi laki-laki pengecut!” Ia berbalik lalu naik motor bututnya. Asap menggumpul dari knalpot. Menyesakkan. Seperti halnya hatiku kini. Kupandangi punggung gagahnya yang semakin lama semakin jauh.
“Sampai jumpa, Kak!”
***
Sudah sepekan tak ada lagi Kak Akbar dalam hidupku. Walau seperti ada ruang kosong di dalam hati. Hampa. Namun, aku harus segera move on. Hari-hariku kini hanya diisi ngampus dan kajian. Iya, aku dan Amel memang sering mengikuti kajian untuk menambah wawasan terutama tentang islam. Bukan hanya itu, Amel yang tahu aku putus dengan Kak Akbar sekarang gencar-gencarnya menjodohkan aku dengan Kak Faris.
“Kak Faris itu cakep, cerdas dan shalih. Wah, beruntung banget cewek yang jadi istrinya nanti!” Amel masih menggebu bercerita tentang Kak Faris. Aku hanya diam sambil menikmati soto di kantin kampus.
“Ra …!” Melihat aku yang tak memperhatikannya, ia langsung mencubit pipi kananku.
“Ada apa sih, Amelia Putri?”
“Gimana dengan Kak Faris?” Ia mengedip-ngedipkan matanya. Aku hanya tersenyum.
“Kalau kamu suka ya bilang saja. Gitu aja kok repot!”
“Rania … ini bukan masalah tentangku, tapi kamu. Tahu nggak tadi aku bilang Kak Faris bahwa kamu mau jadi koordinator untuk kajian minggu depan.” Aku langsung tersedak mendengar ucapan Amel. Buru-buru aku minum es teh hingga tinggal setengah.
“Kamu gila apa? Aku tidak bisa.”
“Jangan begitu, Rania. Bukankah kita diwajibkan tolong-menolong dalam kebaikan. Makanya, sekarang kamu harus membantu Kak Faris.” Aku hanya menelan ludah entah mengapa tenggorakanku jadi kering.
“Rania … aku mengerti tak mudah melupakannya. Namun, jangan berlarut-larut. Sekarang giliranmu untuk move on.” Mataku memandang tajam ke arah Amel. Benar apa yang ia katakan. Sudah saatnya aku melupakan bayangan tentang Kak Akbar.
***
Selama seminggu penuh aku menjadi koordinator untuk kajian islam kampus. Aku semakin dekat dan mengenal kepribadian Kak Faris. Namun, tak bisa kucegah sosoknya seolah menjadi pembanding jika aku berada dekat dengan Kak Faris. Tuhan, mengapa begitu sulit untuk menghapus semua kenangan tentangnya.
“Bagaimana kelanjutannya?” tanya Amel di saat kami sedang asyik ngopi di kafe dekat kampus.
“Entahlah, sepertinya melupakannya terlalu sulit.” Mataku mulai berkaca-kaca. Dengan lembut tangan Amel memegang erat jemariku seakan memberiku kekuatan.
“Ceritakan?”
“Kamu tahu saat aku bersama Kak Faris yang ada dalam pikiranku justru Kak Akbar. Ia seperti hantu bagiku kini. Mungkin, Kak Faris memiliki semuanya. Tampan, pintar dan shalih. Namun, ia memiliki sesuatu entah apa yang justru lebih dari Kak Faris.” Aku terisak. Dengan lembut Amel mengusap air mata dengan tissue.
“Kamu tahu apa yang Kak Akbar pernah ucap akan motor bututnya. Dengan motor seperti ini kita akan terlatih akan bersabar dan menghargai waktu. Ia selalu bilang jangan pernah memunafikan diri karena penampilan. Mungkin ia seperti preman pasar, namun yang mesti kita tahu ia tak pernah ninggalin shalat bahkan yang lebih miris ….” Aku diam sejenak mengumpulkan udara untuk menahan pedih di hati.
“Saat Kak Faris yang aktivis bilang jangan pernah memberi pengemis karena nanti jadi kebiasaan. Namun, apa yang ia katakan kepadaku. Kalau kita punya ya berilah, kalau nggak ya cukup tersenyum. Tak perlu mencari alasan untuk memberi.”
“Aku begitu bodoh!” Aku semakin terisak. Amel diam sambil menyeka air mataku. Kulihat ia pun berkaca-kaca.
“Rania … dengar ini, jangan takut mengakui cinta. Karena, cinta itu tumbuh secara alami dan fitrah. Jika, memang kamu cinta dan yakin Kak Akbar jodohmu pasti Allah akan menyatukan kalian. Dan sekarang hapus air matamu, katakan kepadanya bahwa kamu masih mencintainya.”
Aku menggeleng.
“Kita tak pernah tahu ada berapa kesempatan yang mungkin terjadi dalam hidup kita. Lakukan kini atau menyesal nanti.”
Kalimat Amel berhasil menohok hatiku. Kuseka air mata dengan ujung jilbab lalu mengambil napas panjang sambil tersenyum menatap sahabat terbaikku tersebut.
***
Sudah tiga hari ini aku menunggunya di lantai atas bangunan tua. Namun, sosoknya tak pernah terlihat. Mungkinkah ia marah kepadaku? Pasti, bahkan ia kecewa berat akan keputusanku tersebut.
“Rania …!”
Suara itu. Iya, suara yang selama ini aku rindukan. Kuputar balik tubuhku. Masih sama. Ia yang berambut acak-acakan dan mirip preman pasar. Suasana mendadak hening. Matahari tinggal seperempat lagi tenggelam menuju peraduannya. Senja selalu menawarkan kedamaian. Lidahku keluh. Aku hanya menunduk sambil memainkan ujung jilbab.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya sedikit kaku. Aku memandangnya sekilas. Sekuat tenaga aku menahan kristal hangat untuk tidak luruh.
“Aku baik-baik saja. Sekarang tak ada lagi bunyi bising motor butut, tak ada asap yang mengganggu pernapasan, tak ada bekal makanan, tak ada senja bersama. Aku baik kok, Kak. Bahkan saat ini aku baik, beberapa hari tak melihat sosok preman pasar seperti dulu.” Air mataku pecah.
“Maaf!”
Apa? Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Jeda. Tak ada lagi suara yang keluar dari mulut kita masing-masing. Hatiku hampa.
“Semenjak ayah meninggal tujuh tahun lalu, dunia ini seakan gelap. Tulang punggung kami pergi untuk selamanya.” Ia mendesah sambil memandang senja.
“Ibu sering sakit-sakitan, dua adik masih sekolah dasar sedang aku sudah masuk SMA. Beban biaya hidup semakin tinggi. Maka, aku putuskan untuk berhenti sekolah dan memilih membantu ibu bekerja. Awalnya ibu melarang, namun beliau yang bekerja sebagai buruh cuci mana cukup untuk membiayai sekolahku.” Matanya berkaca-kaca.
“Aku bekerja sebagai buruh panggul di pasar. Berat. Namun, selagi halal apapun pekerjaannya akan aku lakukan.”
Perih mendengar kisah hidupnya. Mengapa aku baru mengerti sekarang.
“Makanya, aku belum bisa datang untuk melamarmu. Bukan karena aku tak mampu, tapi aku ingin memberikan sesuatu yang lebih berarti untuk perempuan yang aku cintai. Aku ingin memuliakannya, menghormatinya dan melindunginya.”
“Kak Akbar!” teriakku. Seandainya aku mampu ingin kupeluk tubuhnya.
“Tapi, kita sudah putus.” Ia mendesah lalu berpaling hendak meninggalkan tempat kenangan ini. Bodoh. Bodohnya aku mengapa tak peka akan keseriusannya selama ini.
“Kak …!” Lututku terasa lemas. Aku pun tersungkur sambil terisak.
“Kenapa kamu masih menangis di situ?” Aku memandang ke arahnya, ia pun memandang ke arahku. Masih sama, tajam namun meneduhkan.
“Sudah sekah air matamu. Masak calon pengantin Muhammad Akbar Syailendra kucel, cenggeng dan jelek begitu.”
Aku mencoba berdiri sambil menyeka air mataku.
“Jahat!” ucapku sambil tersenyum. Ia pun membalas dengan senyum yang begitu hangat. Sehangat senja kali ini.
Mungkin dia tidaklah sempurna, namun kini bersamanya aku merasakan kalau dialah jodoh yang sempurna dari Sang Maha Sempurna.[]
Selesai









Jumat, 18 September 2015

Jodoh Pilihan-Nya

Jodoh Pilihan-Nya
Yanuari Purnawan

Aku menghela nafas panjang. Semua terasa menyesakkan. Angin sore seolah menerpa hatiku yang mulai dingin. Bukan karenanya, namun karena egoku. Seharusnya aku bisa menyadari itu. Tetapi, rasa itu sulit untuk kutolak lalu menghapusnya.
“Aku butuh jeda untuk hubungan ini. Aku tak ingin ada yang tersakiti atau terluka dengan jalinan yang semu dan terlarang untuk dua hati yang belum halal,” terangnya tegas.
Matanya yang tajam tapi meneduhkan membuatku sedikit gugup. Kalimat yang ia lontarkan seolah menjadi tombak yang mengenai hatiku. Tak ada yang tersakiti? Apa-apaan itu. Ucapannya barusan sudah cukup membuatku sakit. Aku hanya bisa menunduk menyembunyikan rasa yang sedang bergejolak di hati.
“Maaf, jika perkataanku menyakitimu. Namun, aku tak ingin kita berlarut dalam hal yang dilarang oleh-Nya. Jika kamu jodohku pasti kita akan disatukan, namun jika tidak, pasti ada jodoh terbaik pilihan-Nya. Biar kita memantaskan diri dulu, aku ingin kamu fokus dengan pendidikanmu, begitupun dengan aku.” Ia pun berbalik arah melangkah menjauh dariku yang masih tertunduk. Tanpa bisa kucegah bening hangat itu membasahi pipi.
“Terima kasih, Kak. Aku akan setia menunggu waktu itu tiba,” ucapku lirih sambil memandang punggung gagahnya yang mulai hilang tertelan senja.
***
Muhammad Budi Wasesa, nama laki-laki yang kini menjadi ketua Lingkar Dakwah Kampus itu. Merupakan mahasiswa jurusan informatika. Tinggi, bersih, dan tampan. Apalagi ditambah sikapnya yang berwibawa, cerdas dan memiliki senyum yang menawan. Siapa wanita yang tidak lumer jika dekat dengannya. Termasuk aku. Mungkin berlebihan, namun apa dikata jika cinta itu hadir semua jadi gila. Pesona Kak Budi—panggilanku untuknya, membuat semua gadis seanterio kampus jatuh hati. Tetapi jangan berharap banyak ya girls, karena Kak Budi cuma untukku.
“Hayo … melamun aja! Melamunin siapa tuh?” canda Kak Nadia yang sedang mengamatiku berimajinasi tentang pesona Kak Budi. Aku pun salah tingkah dengan pipi yang merona merah.
“Enggak kok, Kak!” elakku sambil mengambil buku catatan. Seharusnya acara halaqah semacam ini bukan untuk melamunin pangeran surgaku. Namun, tempat menimbah ilmu. Astaghfirullah ….
“Kak, emang salah ya kalau kita suka sama seseorang!” tanyaku kepada Kak Nadia tatkala acara halaqah sudah selesai.
Mata teduh berbinar menatapku. Membuatku sedikit kikuk.
“Cie … lagi falling in love sama siapa nih?” godanya sambil mengedipkan mata. Aku pun tambah salah tingkah dan merona merah.
“Enggak kok. Cuma nanya saja. Kan banyak banget yang terjangkit virus merah jambu tersebut.” Aku berusaha beralasan, namun dalam hati harus kuakui kalau diri ini juga terjangkit virus merah jambu.
Kak Nadia mengambil posisi lebih dekat denganku sambil tersenyum tulus.
“Cinta itu anugerah dari-Nya, jadi tak ada yang salah dengan cinta.” Kalimatnya terhenti lalu mengatur nafas panjang. “Mencintai dan dicintai itu fitrah, jadi nikmati setiap episode dari-Nya. Namun, ada hal yang paling penting dari cinta itu.”
“Apa itu, Kak?” potongku penuh penasaran. Wajah bersahaja berbalut jilbab biru itu tersenyum gemas melihat tingkahku yang tak sabaran.
Kak Nadia diam sebentar, sekarang membuatku yang gemas dengannya.
“Bagaimana kita menyikapi kala cinta itu datang. Jangan sampai keluar jalur yang diperintahkan-Nya. Jemput jodoh dengan cara yang baik misal ta’aruf. Jika, belum mampu menikah mending pantaskan diri dulu hingga kelak dipertemukan oleh jodoh pilihan-Nya.”
Perkataan Kak Nadia seakan menembak tepat hatiku kini. Bening hangat pun luruh. Aku mengusapnya sambil menahan rasa. Entah rasa apa itu. Terpenting, aku malu kepada Kak Nadia dan lebih malu kepada-Nya. Kak Nadia memegang bahuku, berusaha menenangkanku.
“Dek, percayalah jodoh kita sudah tertulis di lauh mahfuz-Nya.”
Aku hanya mampu mengangguk sambil tertunduk. Apakah perasaan ini salah, ya Allah. Aku dalam dilema. Satu sisi aku mencintai Kak Budi, aku takut kehilangannya. Tetapi, aku juga takut akan melanggar perintah-Nya. Apa yang harus aku lakukan?
***
Semua perkataan Kak Nadia sepekan yang lalu bagai angin yang datang lalu pergi begitu saja. Awalnya aku takut dan berusaha menghindar dari pangeran surgaku. Namun, perasaan ini terlampau besar untuk menjauhinya. Dalam hati menolak jika aku salah. Toh, aku juga tidak pacaran dengannya. Kami tidak melanggar syariat. Meskipun, dalam hati kecilku ada sesuatu yang kosong, entah itu apa.
Setiap hari selalu aku mengirim sms kepadanya. Sekedar basi-basi tanya tentang kegiatan dakwah kampus. Hingga, obrolan tak penting semisal tanya kabar dan jadi alarm shalat untuknya. Berlebihan. Mungkin, tapi bagi seseorang yang jatuh cinta itu masih dalam lingkup wajar. Namun, yang tak kumengerti ia masih santai dan biasa saja menanggapinya.
“Kak, apa salah jika ada akhwat yang suka dengan ikhwan namun, ia tak berani mengungkapkannya?” tanyaku lewat sms. Hatiku gamang waktu itu. Keberanian darimana, hingga aku berani mengirim sms seperti itu. Lama tak ada balasan dari Kak Budi. Apa yang terjadi? Apa ia marah kepadaku? Perasaan menyesal tiba-tiba menghantui.
Beep … beep ….
Kulihat layar ponsel, ada pesan darinya. Hatiku pun girang dan buru-buru membukanya.
“Tak ada yang salah, namun kadang kala pengakuan itu perlu agar tak menyesal dikemudian hari. Jika, ia masih malu cukup berdoa minta petunjuk-Nya. Karena, kita tak pernah mengerti jalan takdir-Nya.”
Smsnya membuatku semakin berani untuk mengungkapkan semua perasaan ini kepadanya.
“Kak … sebenarnya akhwat itu adalah aku. Iya, aku sedang suka kepada seorang ikhwan bernama Muhammad Budi Wasesa,” balasku dengan hati yang bergetar. Aku tak tahu apakah ini benar atau salah. Namun, aku merasa lega. Rasa itu melebur bersama sms tersebut. Bukan lagi balasan smsnya, tetapi apa yang akan terjadi nanti yang menganggu pikiranku.
“Afwan, Dek, aku tak bisa menjawabnya lewat sms. InsyaAllah, besok sore kita bicarakan di taman kota.”
Dadaku sesak, sulit sekali bernafas. Menunggu esok terasa lamban dan bertahun-tahun. Mataku tak bisa terpejam, pikiran tentangnya masih bergelayut dalam tempurung otak. Apa yang akan terjadi esok?
***
“Cintai dan benci sesuatu itu sewajarnya saja. Karena, kita tak tahu apa yang terjadi esok. Mungkin, kini kita mencintainya namun esok belum tentu kita akan membencinya. Begitupun sebaliknya. Untuk itu cintailah sesuatu karena Allah. Nanti, apa pun yang terjadi pasti terbaik untuk hamba-Nya.”
Kini, aku mengerti kalimat yang dijelaskan Kak Nadia kala memberi materi dalam acara dakwah kampus untuk para muslimah dua hari yang lalu. Aku masih setia menangis di dalam kamar. Semua episode itu terasa menjadi satu bak film. Salah. Iya, ada yang salah dengan perasaan ini. Bukankah Kak Budi benar memberi jeda untuk hubungan yang tak halal ini. Tetapi, kenapa aku masih sakit. Lebih tepatnya sakit di hati.
Sudah sepekan, rasa sakit itu masih bergelayut di dalam hati. Seharusnya, aku bisa menerima, toh tidak ada yang dirugikan dalam hubungan ini. Kak Budi, sedikit pun tak menggantung perasaanku. Tetapi, akulah yang kegeeran kepada sosoknya yang selalu santun dan ramah.
Gelagatku pun tercium juga oleh Kak Nadia. Wajahku yang biasa cerah, kini redup tak bergairah.
“Dek, jika ada masalah jangan dipendam sendiri. Nih … ada pundak kakak!” ucapnya sambil menepuk pundaknya. Kak Nadia selalu mengerti perasaan adik-adiknya. Suasana sepi setelah acara halaqah tadi membuatku berani. Kristal bening meluncur deras membasahi pipi dan mengalir di pundak Kak Nadia.
Sambil mengelus kepalaku yang berbalut jilbab merah jambu, Kak Nadia lirih berkata.
“Jika ini tentang perasaan adek. Kakak hanya mampu bilang ikhlaskan. Serahkan semua pada takdir-Nya. Jangan membebani diri dengan sesuatu yang belum tentu baik untuk masa depan kita.”
Tangisku semakin kencang kalimat Kak Nadia menohok hatiku. Mengapa aku harus menangis untuk hal yang belum tentu baik untuk masa depanku. Sulit. Tapi, inilah kenyataannya. Aku harus berani. Melangkah jauh lebih baik. Bukankah ia pun berkata demikian. Memantaskan diri. Iya, aku harus jadi muslimah yang baik untuk jodoh tebaik dari-Nya.
***
Hari-hariku kini jauh lebih baik. Bahkan lebih baik setelah tak ada namanya di hatiku. Namun, bukan begitu saja ia terhapus dalam memori. Kadang rasa rindu bersua dengannya bergelayut dalam pikiranku. Namun, buru-buru kupadamkan dengan lebih banyak mendekat kepada-Nya.
“Menikah?”
Aku masih tertegun tak percaya. Air mata pun luruh sambari memeluknya. Hangat. Semoga ia dengan pangeran surganya menjadi keluarga sakinah, mawadah, dan warrahmah.
“Beneran?” tekanku yang masih tak percaya. Ia hanya mengangguk. Wajahnya masih sama bersahaja dan meneduhkan. Kak Nadia akan menikah. Beruntung sekali pria itu mendapatkan muslimah yang insyaAllah saleha tersebut. Ia pun menyodorkan undangan berwarna merah jambu. Manis sekali. Aku pun tersenyum bahagia.
“Kok aku nggak tahu Kak Nadia akan menikah secepat ini!” celetukku sambil memasukkan undangan manisnya ke dalam tas.
“Semua begitu cepat dan kakak pun masih tak percaya. Kami melalui proses ta’aruf sebulan. Karena, ada kemantapan jadi kami pun memutuskan untuk segera menyempurnakan separuh agama. Mungkin, inilah jodoh pilihan-Nya untuk kakak,” terangnya dengan rona bahagia dan sedikit malu. Aku pun merasa bahagia, kakak yang selalu sabar dan setia menemani dan memberi nasihat kebaikan kini akan menikah.
“Tapi, janji jangan tinggalkan kami ya!” Kupeluk Kak Nadia hangat. Ia mengangguk pelan dan sedikit terisak.
***
Skenario-Nya begitu luar biasa. Episode yang lalu kini pecah berkeping-keping. Sesak. Namun, kembali inilah kenyataan. Takdir kini yang menang. Bukankah semua telah tercatat rapi di lauh mahfuz-Nya. Undangan merah jambu itu tak lagi manis di mataku.
Menikah
Nadia Putri
Dengan
Muhammad Budi Wasesa

Aku menangis dalam sujud sepertiga malam. Kuaduhkan semuanya kepada Sang pemilik hati ini. Bukan mengutuk mereka yang sebentar lagi menikah, membina keluarga yang diridhoi-Nya. Namun, aku berdoa untuk kebahagian mereka. Aku bersyukur atas takdir ini. Takdir yang mengantarkanku untuk lebih memahami makna ikhlas. Tidak mudah. Namun, semua akan berjalan indah jika kita libatkan Dia. Dia, Sang Maha Baik yang akan memberikan jodoh terbaik untukku. Jodoh pilihan-Nya dan ia bukan Muhammad Budi Wasesa.
Selesai









Selasa, 01 September 2015

Jangan Menangis Lagi

Jangan Menangis Lagi
Yanuari Purnawan
Aku ingin berlari lalu pergi
Menghapus luka di hati
Tertusuk duri; Mati
Semua terasa sepi
Sunyi
Sendiri dalam mimpi


Aku belari meninggal kerumunan itu. Sekuat tenaga menahan agar air mata tak luruh. Mereka pasti akan melemahkanku jika melihatku menangis. Tidak! Itu tidak akan pernah terjadi. Biarlah mereka puas tertawa kini. Namun, semburat fajar merah masih menyisakan harapan.
Sekuat-kuatnya diri untuk menahannya, tapi bening hangat itupun tanpa kupinta sudah membasahi pipi. Kutumpahkan semua di atas tempat tidur. Raungan menjadi-jadi. Aku sudah tak kuat lagi. Ingin rasanya semua berakhir tanpa jeda. Tuhan, inikah yang disebut keadilan-Mu. Entah mengapa kalimat itu terucap dengan mudah. Bukan tak bersyukur, namun rasa sabar ini sudah melewati limit. Sekali lagi, bukan takdir yang salah tapi diriku.
“Ada apa?” Sebuah sentuhan lembut di pundak. Aku pun menggeser badan. Kupeluk wanita di sampingku dengan derai air mata.
“Menangislah jika itu membuatmu lega!” Tangisku pun meradang. Ingin sekali kutumpuhkan semuanya sekarang dan terakhir kali. Belaian lembut di rambut membuatku sedikit tenang dan nyaman.
“Aku kesepian!” lirih aku mulai bersuara.
“Terus?”
“Aku takut kesepian ini menggerogotiku hingga nanti sampai mati.” Tangisku pun pecah kembali. Belaian tangan halusnya semakin terasa kuat.
“Kamu yakin dengan apa yang kau rasa?” Aku hanya mengangguk dan terbenam dalam pelukannya.
“Apakah ibu tak malu punya anak sepertiku?” Sekonyong-konyong pertanyaan itu melesat dari bibirku. Wajah teduh itu menatapku penuh kasih. Mata malaikat yang mampu membuat ruang hatiku hangat kembali.
“Mengapa harus malu. Sembilan bulan perut ibu buncit juga tidak malu.” Senyum menghias wajahnya. Aku hanya diam menikmati dekapan hangat darinya. Kamarku yang gelap menjelma hening. Sesekali isak tangisku yang masih terdengar.
“Tapi ….!”
“Setiap manusia punya caranya sendiri untuk bahagia, Nak. Mungkin yang terlihat oleh mata tak sama dengan apa yang terasa di hati.” Kalimat yang dari bibir seolah menjadi oase di tengah gersangnya sahara. Menjadi obat yang mampu menyumbuhkan luka.
“Tapi, aku takut, Bu. Takut tak akan mampu lagi berdiri tanpamu di sisiku. Takut jika gelap itu masih saja bergelayut dalam hidupku,” jelasku dengan isak tangis. Ketakutan yang terpendam dalam hati ingin sekali aku hapus dengan air mata ini.
“Ibu percaya bahwa anak ibu adalah anak yang kuat dan semangat.” Senyum kembali menghias wajah teduhnya. “Sekalipun orang lain menghinamu, ibu tak akan sanggup melakukan hal yang sama seperti mereka. Darah kita menyatu, apakah ibu sanggup.” Air mata ibu perlahan membasahi pipinya.
“Bu …,!” Kuseka air matanya. “Maafkan, anakmu ini.”
“Bukan kamu yang salah, Nak. Tetapi ibu yang salah. Terlalu cepat pergi meninggalkanmu sendiri.”
“Tidak, bu. Ibu adalah penyemangatku, pelindungku dan pembelaku. Akulah anak ibu yang belum bisa membanggakanmu walau secuil.” Kami pun dalam dekapan hangat berselimut isak tangis.
“Jangan menagis lagi!” ucap ibu sambil menyeka air mataku. Mataku sembab.
“Janji kepada ibu, kau akan tetap menjadi anak ibu yang baik walau dalam kondisi yang tak baik. Biar orang berkata apapun tentang hidupmu. Namun, kamu harus jadi apa yang hatimu ingin. Jangan biarkan ketakutan, kesepian dan hinaan menjadi batu sandungan yang menjatuhkanmu.” Kulihat senyum itu begitu tulus penuh kasih sayang.
“Aku merindukanmu, Bu!” Bayangan itu memudar seiring cahaya fajar mulai menerpa kisi-kisi jendela kamar. Aku tersengkur sendiri di kamar yang gelap dan sepi.

Selesai
Kalipucang, 1 september 2015





Jumat, 28 Agustus 2015

Muhasabah Cinta


Sepenggal Kisah:

Andaikata aku seperti dirimu, aku tak tahu seperti apa diriku sekarang.
Andaikata aku  seperti dirimu, apakah kita bisa bersama?
Tapi, aku bangga dengan diriku sekarang.
Aku Ridha dengan semuanya.
Dan aku cinta dengan kehidupanku di atas agama-Nya.

Ketika aku tak ingin merasakan ini, hati merangkai cerita lain. Aku begitu tersipu dan tersiksa dalam waktu bersamaan. Aku seperti di atas awan di tengah petir yang menyambar.
Kini, kulihat ia tepat di depan kelas, berjalan ke arahku. Kusisipkan pandangan pada sesosok lelaki yang dengan cepat  berjalan dan berlalu di sampingku.
Aku benar-benar dalam belanggu cinta yang tak kuinginkan, tak disyariatkan oleh agama.
Hatiku memancarkan kebahagiaan melihat senyum di wajahnya. Aku merasa dalam kebahagian yang sangat.
“Ya Allah, inikah cinta yang Engkau tanam di hatiku?”

Seindah Langit­- Nailah Maddin

###
Cinta memang menghadirkan banyak rasa. Senang, sedih, cemas dan ragu, semua bergumul menjadi satu atas nama cinta. Namun, bagaimana jika cinta itu hadir tak tepat waktu? Maka bermuhasabah terhadap cinta itulah jalannya.
Dari pada galau, baca saja keseluruhan kisah cinta yang penuh inspiratif lainnya dalam buku ini.
###

Kontributor:

Rere Zivago, Noviyanti, Diata Ma, Nanik Maryanti, Mila Nurmila, Nada Aprilia, Syifa An-Nabila, Rizky Ramadhon, Ife Ayubi, Nur Rahmah AR, Halimahtussahdiah D, Anisa Faqot, Zyukron, Agustin Faridatul Hasanah, Nailah Maddin, dan Shofiyatus Sholihah.

Judul Buku: Muhasabah Cinta
Penerbit: Pena Indis
Distributor: New Indie Press
ISBN: 978-602-0897-32-5
Desain: Fandy Said
Editing: Yanuari Purnawan
Harga Umum: 40.000 (Belum Ongkir)
Harga kontributor= 37.000 (Belum Ongkir)

CARA PESAN:
Kirim pesan dengan format:
Judul Buku_Nama Pemesan_Alamat lengkap + Kode Pos_No. Hp_Jumlah Pesanan
Ke No. Hp; 085649947840 (Sdr. Yanuari Purnawan) atau Inbox ke fb New Indie Press