Sabtu, 19 Desember 2015

Once Upon A Time

Once Upon A Time
Yanuari purnawan


Aku terdiam tertunduk, bulir air mata menetes perlahan. Di kamar yang sunyi, aku berusaha menjernihkan pikiran. Tetapi, masih saja kepedihan itu masih bercongkol di hati.
Kuseka airmata dan mengambil nafas panjang, kutatap wajah di depan cermin. Sungguh menyedihkan, wajah pria yang awut-awutan tanpa gairah.

Tetiba, suara ponsel membuyarkan segala pikiran di otak.

“Kamu jangan gila, pikirkan lagi.” Sebuah pesan singkat dari sahabatku. Pesan itu seolah membuka mata hatiku untuk berpikir waras.

“Bisa ketemu?” balasku.

Sejurus kemudian ada pesan balasan darinya.

“Oke, di tempat biasa kita nongkrong, ya!”

Kupacu sepeda motor dengan perlahan. Aku ingin menikmati udara sore yang begitu segar dan menenangkan. Ternyata, aku lebih dulu datang, setelah beberapa menit menunggu akhirnya dia datang juga. Riski, pria berusia dua puluh lima tahun yang sudah kuanggap saudara kandung sendiri, datang dengan pakaian resmi kerjanya. Maklum dia adalah PNS.

“Sudah lama menunggu?” tanyanya sembari mengambil tempat duduk di sampingku.
Aku hanya mengangguk.

“Apa kamu sudah memikirkannya?” tanyanya lagi.

“Bang, aku sudah lelah menanti. Dan ini saat yang tepat untukku bertemu dengannya,” jawabku-Aku biasa memanggil Riski dengan panggilan abang.

“Dengar Abang. Jangan gila dan bodoh, masih ada hal yang lebih penting dari hal itu. Usiamu masih dua puluh tahun, jadi jangan kau sia-siakan,” ucap Riski tajam menatapku.

“Aku capek Bang. Aku juga ingin bertemu dengan Ibu, sudah delapan belas tahun aku tak pernah menatap langsung wajahnya!”

“Kamu tahu sekarang di mana Ibumu? Malaysia! Apa kamu pernah ke sana? Malaysia itu luas, apalagi kamu belum tahu alamat pastinya,” terang Riski sedikit emosi karena kelakuanku yang dikiranya bodoh.

Aku terdiam dan airmata membasahi pipi. Aku terlalu rindu dengan ibu. Kata orang aku masih punya ibu yang bekerja sebagai TKI di Malaysia. Sudah cukup dewasa, aku bisa memahami keadaan ini. Tetapi, aku bosan dan iri jika melihat seorang anak bisa bermanja ria dengan ibunya.

“Abang mengerti kamu sangat merindukannya. Tetapi, jangan gila seperti ini dengan mau menyusul ke Malaysia,” ucap Riski menenangkanku.

“Menurut Abang, Ibu macam apa yang tega meninggalkan anaknya selama berpuluh tahun dan menitipkannya di panti asuhan!”

“Pada suatu saat kamu pasti akan mengerti, mengapa dia pergi meninggalkanmu di panti asuhan. Jangan bertanya begitu, biarkan waktu yang menjawab semuanya. Sudahlah … kita makan dulu yuk!”

Sebelum berpisah Riski mengatakan, “Kadang sebuah penantian itu hanya berujung dengan penyesalan. Menantilah dengan hati yang ikhlas. Ingat, pada suatu saat kamu akan mengerti makna hidup ini.”

***

Pada suatu hari, di mana musim telah berganti. Aku mengetahui, ibu bekerja menjadi TKI di Malaysia dan meninggalkanku di panti asuhan gegara ayah tak mau bertanggung jawab dan selingkuh dengan wanita lain. Dan ibu telah meninggal tatkala usiaku masih lima tahun, akibat di siksa majikannya. Kutahu semua dari ibu panti yang sudah tak tega melihatku menanti ibu untuk menjemputku dari panti asuhan.


Selesai

Rabu, 16 Desember 2015

Catatan tanpa Jejak

Catatan tanpa Jejak
Oleh : Yanuari Purnawan


Tanpa terasa langkah terlalu lelah, keriput menghiasi wajah dan usia semakin senja. Entah, sampai kapan semua bertahan atau malah berakhir. Musim begitu cepat berganti, tanpa ada kompromi bumi berotasi begitu cepat. Sebuah kata sederhana, ‘Sudah’ kemudian senyum atau tangis yang mengikuti hingga bulan tak purnama lagi.

Tahun berganti, dari angka ganjil menuju genap. Bukan seberapa lama, tetapi sebanyak apa. Seberapa lama kita hidup di dunia, bukan itu masalahnya. Tetapi, sebanyak apa manfaat yang kita tebar untuk sesama. Mungkin esok masih abu-abu, tetapi hari ini adalah kenyataan yang harus dihadapi. Sekalipun langkah lelah dan letih, jatuh dan bangkit adalah warna indah siap menyambut hari.

Sesungguhnya jika hari ini lebih buruk dari hari kemarin maka celakalah, jika hari ini sama dengan hari kemarin maka merugilah dan jika hari ini jauh lebih baik dari kemarin maka beruntunglah. Sebuah paparan yang begitu mengulik bahwa setiap waktu adalah harta yang tak tergadaikan. Sudahkah diri ini menjadi orang yang beruntung? Atau malah golongan orang merugi bahkan celaka? Tanyakan pada mata hati, karena hati tak pernah berdusta.

Sahabat, mengkaji lebih dalam makna tahun baru. Seharusnya merupakan momentum yang tepat bagi kita untuk memuhasabah diri. Mengintropeksi diri selama satu tahun ke belakang. Apa resolusi kita sudah tercapai dan apa saja yang belum, hingga menjadi pembelajaran diri untuk melangkah lebih baik di tahun ke depan. Karena, semua orang menginginkan menjadi insan yang beruntung. Maka, solusi yang tepat hari ini harus jadi lebih baik dari kemarin.

Bukankah hidup adalah kumpulan hari, jam, menit dan detik. Apakah cukup dengan hanya tiupan terompet lalu menyalakan kembang api yang disertai pesta hura-hura? Sempit sekali, jika hidup hanya di tanggal 1 Januari saja. Karena semua yang kita perbuat setiap detiknya, akan menjadi bahan pertanggung jawaban di hari akhir kelak. Jadi, keputusan melangkah bukan aku atau mereka yang menyuruh. Tetapi, dirimu sendiri yang memutuskan mana yang terbaik untuk masa depanmu.

Ketika semua berlomba-lomba merayakannya. Gengsi jika tak berpartisipasi di dalamnya. Bercermin dengan mata hati, apakah mereka nanti yang akan menentukan hari esok kita? Semua ada ditangan diri sendiri. Mau ke arah mana melangkah. Hanya indah sesaat seperti kembang api. Ataukah mewangi menebar manfaat bagi sesama yang menjadi investasi amal kelak. Sebelum waktu memanggil, tinta telah habis hingga semua sia-sia menjadi catatan tanpa jejak.[]