Jumat, 01 Januari 2021

AWAL

_Awal_⁣

⁣By : YP


 

Temanku pernah mengeluh, "apa yang aku perjuangkan selama ini sia-sia belaka. Karena, kini aku di sia-siakan begitu saja!"⁣

"Kamu harus ingat kata-kataku ini agar kamu tidak mengalami apa yang aku rasakan kini," lanjutnya yang masih di bakar rasa marah, sedih dan kecewa itu.⁣

"Tidak semua cinta dan sayang berakhir manis, kadang pula berakhir kecewa dan nelangsa."⁣
Aku mengelus bahunya, dia sedang terguncang perasaan dan mentalnya.⁣
Aku sangat menyadari, saat itu dia sedang sayang-sayangnya pada sosok pria yang kata dia akan menjadi calon imannya tersebut.⁣
Dia begitu berjuang agar hubungannya dengan sosok pria itu tetap berjalan dan langgeng hingga sampai akad terucap.⁣
Namun, temanku sedikit lupa bahwa terlalu mencintai dan berharap pada makhluknya mungkin ada waktu dimana rasa kecewa itu menyapa.⁣

Satu tahun, dua tahun hingga tahun ketiga hubungan mereka masih berjalan walau tak seharmonis dulu. Perdebatan tak terelakan, kata temanku, "dia sudah tidak seperhatian dulu. Dia lebih suka jalan sama teman-teman kantornya daripada sekedar ngopi denganku!"⁣

Tahun itupun adalah tahun yang begitu dahsyat mengguncang perasaannya. Pria yang selama ini dia anggap calon imamya kelak tersebut, nyatanya mudah meninggalkan temanku hanya untuk mengejar wanita lain.⁣

Frustasi tak terelakan lagi, temanku begitu sayang sama pria tersebut, tapi semudah itu dia menghancurkan kepercayaan temanku.⁣

*⁣
Itu cerita setahun yang lalu, kini temanku banyak berubah. Dia lebih tenang menyikapi setiap masalah yang datang dalam hidupnya apalagi menyangkut urusan pria dan perasaan. ⁣

"Dulu mungkin aku terlihat menyedihkan dan terpuruk karena mencintai makhlukNya secara berlebihan. Aku pernah mengutuk hidupku karena hal itu. Nyatanya, kejadian itu adalah awal dari kehidupanku yang baru," katanya sambil tersenyum yang sesekali membetulkan jilbab birunya terkena kibasan angin sore di taman kota itu.⁣

Aku tak pernah menyangka, dari patah hati, dia menemukan jati dirinya yang baru. Awal itu yang kini aku sebut untuknya adalah dewasa.

#30hbc2101
#30haribercerita

Selasa, 29 September 2020

MAS AGUNG

 ALHAMDULILLAH, SETELAH SEKIAN PURNAMA AKHIRNYA SAYA BISA MENYELESAIKAN SEBUAH CERPEN SEDERHANA INI. SEBENARNYA BANYAK CERPEN YANG SAYA TULIS TAPI SEMUA MASIH STUCK DI JUDUL DAN OPENING SAJA, DASAR BEGITU KEJAMNYA SAYA MENCAMPAKKAN MEREKA BERBULAN-BULAN LAMANYA.

MAKANYA SAYA INGIN SEKALI MERAYAKAN CERPEN PERTAMA INI SETELAH LAMA VACUM DAN SEKARANG AKHIRNYA BISA COMEBACK. FINALLY…. CHEERS! NAMUN CERPEN INI BEGITU AMAT SANGAT SEDERHANA. SEMOGA KALIAN TIDAK BINGUNG ATAU MUAL SAAT MEMBACA CERPEN INI. KRITIK, SARAN DAN APAPUN YANG MEMBANGUN SIAP SAYA TAMPUNG. AT THE LEAST, SELAMAT MEMBACA DAN MENIKMATI.

*



Pernahkah kalian jatuh cinta kepada orang asing yang baru pertama kalian kenal? Jika pernah… harusnya aku sudah menuangkan anggur agar kita bisa saling bersulang merayakan hal itu. Aneh bukan? Tapi tidak ada yang aneh dengan namanya ‘C.I.N.T.A’ semua berjalan alami atas kehendak semesta. Sudah cukup cuap-cuapnya tentang cinta kalian bisa searching sediri di google. Oke… tak pakai panjang kali lebar, aku akan menceritakan tentang kisahku jatuh hati kepada lelaki asing yang membuat diri ini lupa untuk pijak bumi.

“Sial… hujan!” runtuk seorang cowok di sampingku. Aku masih bersyukur karena pengunjung fotokopi tidak terlalu banyak sehingga banyak bangku tunggu yang tersisa. Tinggal aku dan cowok yang menggerutu karena hujan saja. Entah mengapa hujannya semakin lama semakin lebat, sudah sepuluh menit aku dan cowok itu menunggu di depan tempat fotokopian.

“Bakal lama nih redahnya!” ucap cowok itu sambil memandang langit luar. Lalu dia mengotak-atik hapenya, “Dasar sial pakai lowbat lagi!”

Sudah keberapa kalinya aku mendengar gerutuan cowok tersebut. Aku masih setia dengan membaca soal tryout yang tadi sudah di fotokopi.

“Punya korek api nggak?” tanya cowok itu sambil menatap ke arahku. Sontak di balik kacamata, aku melihat jelas cowok yang aku taksir lebih tua dariku dua atau tiga tahun. Aku hanya menggeleng seperti hilang kesadaran. Tampan!

“Dasar kenapa sial banget gue hari ini!” makinya yang entah terdengar sexy di gendang telingaku. Astaga … kenapa denganku jangan-jangan aku sudah kena hipnotis pesonanya. Beberapa menit seperti ada jeda diantara kita, tak ada suara hanya suara hujan yang semakin lebat disertai kilat.

“Hai … loe nggak takut ke sambar petir apa duduk di situ?” tanyanya kepadaku. Aku kembali kayak bocah bloon yang tidak mengerti apa-apa di tanya begitu. Sadar Awan!

“Dasar bocah! Ditanya malah diam… oke gue emang tampan tapi nggak usah sampai terpesona begitu.” Senyumnya…. Tuhan, mengapa dia punya senyum seperti itu yang seakan ingin mencabut hati ini.

“Eh.. em.. takut sih kak!” jawabku gugup dan salah tingkah.

“Kalau takut sini merapat, biar kalau gue atau loe ke sambar petir ada saksinya!” tawarnya sambil menepuk bangku kosong di sampingnya. Seperti kerbau di cucuk hidungnya, aku menurut saja tanpa ada rasa takut kalau dia adalah orang asing.

“Raden Prabu Agung Syailendra… panggil saja Agung,” kenalnya tanpa ada uluran tangan. Namanya begitu panjang dan ningrat sekali. Mungkin dulu orang tuanya suka pelajaran sejarah.

“Baik, Mas Agung.” Sekali lagi dia tersenyum sambil mengangkat dua jempolnya. Kenapa dia begitu serakah selain tampan, dia punya senyum yang menawan.

“Kalau loe ehh adek siapa namanya?” Kenapa aku jadi salah tingkah ketika dia memanggil aku ‘adek’ itu kan hanya bentuk etika saat mengobrol dengan orang yang belum di kenal. Namun sepertinya ada sesuatu yang berdesir di dalam tubuh.

“Awan…!” ucapku gugup.

“Awan saja tanpa nama panjang?” tegasnya setelah mendengar namaku. Aku hanya mengangguk.

Tawanya kini meledak hingga dia kembali diam saat kilat disertai petir mengamuk. Sebel rasanya, setiap kali kenalan dengan orang pasti nama orang panjang-panjang. Namun kenapa orangtuaku dulu tidak kreatif hanya kasih nama dengan satu kata yakni, AWAN.

“Maaf… gue tidak bermaksud mengejek karena baru sekarang gue kenalan dengan orang yang namanya cuma satu kata.” Dia sepertinya ingin memperbaiki suasana karena mendengar tawanya, mukaku langsung kecut tak berbinar lagi.

“Namun nama AWAN adalah nama yang bagus, eh kalau boleh tahu, mengapa  ortu loe kasih nama anaknya cuma satu kata?”

“Janji nggak diketawain!” dia kembali tersenyum sambil menautkan jari telunjuk dan tengahnya hingga jadi simbol swear.

“Ayah dan ibu kan seorang pengusaha, jadi mereka sibuk karena nggak mau repot jadi di kasih tuh nama Awan. Karena bagi mereka, awan adalah nama yang indah dan meneduhkan.”

Dia mengangguk serius mencerna penjelasanku, “Aku pernah sebel sama ayah dan ibu kenapa namaku pendek, tidak ada tambahan atau yang filosofi, ‘kan nama adalah doa…. Lantas mereka menjawab, ‘mengapa nama harus panjang-panjang kalau nanti yang buat panggilan juga nama pendek’ sejak saat itu aku nggak lagi merenggek tentang asal usul namaku.”

Kulihat dia menahan perut dan sekian detik tawanya meledak. Sial! Kenapa juga aku harus cerita tentang namaku kepada orang asing.

“Mas Agung!” teriakku

“Maaf… maaf gue nggak bisa nahan untuk tidak ketawa, mendengar cerita dan ekspresimu begitu lucu!”

Aku memasang wajah masam ke arahnya.

“Astaga jangan pasang wajah mengerikan itu ke mas dong! Kalau kamu begitu tambah imut saja, dek!”

Apa … Kamu? Imut? Tuhan apa aku tidak salah dengar, cowok manly seperti Dimas Anggara itu bilang, aku imut. Kalau aku salah dengar biarkan saja aku tuli. Kupu-kupu seakan berterbangan di dalam perut.

“Awan… eh Dek Awan sekolah di SMA dekat kampus mas situ ya?”

Dek Awan! Please… Mas Agung jangan buat aku baper dan lumer dengan kata-katamu. Aku mengangguk membenarkan perkataannya.

“Mas Agung kuliah di kampus itu… jurusan apa?”

“Teknik Mesin!”

Pantes saja dia begitu manly, bisepnya begitu menggoda untuk bergelayutan di situ. Astaga Awan… jangan mesum dia masih orang asing dan belum tentu dia sefrekuensi denganmu.

“Kalau Dek Awan kelas berapa?

“Kelas 12!”

“Oh… bentar lagi lulus ya. Mau melanjutkan kuliah dimana?”

“Belum tahu rencananya sih mau di bidang kesehatan, tapi nggak yakin!”

“Kenapa nggak yakin? Aku yakin kalau Dek Awan berusaha lebih keras pasti dapat.”

Aku tersenyum mendengar ucapan motivasi yang pertama kali keluar dari bibirnya yang menggoda untuk dilumat selain gerutuan dia tadi.

“Dek Awan jangan tersenyum gitu?”

“Kenapa mas?”

“Karena Dek Awan semakin manis saja.”

Dasar Mas Agung tipekal badboy yang suka merayu perempuan.

“Di jurusan teknik selain diajarkan tentang mesin, juga hapalan gombal ya!”

Oh my ghost! Kenapa kalimat itu yang keluar dari bibirku. Dia kembali terkekeh dan menatapku sambil memamerkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi.

“Dek Awan bisa saja… emang nggak suka di gombalin cowok cakep kayak Mas Agung?”

Mau pakai banget. Itu hanya mampu aku teriakkan di dalam hati. Aku hanya tersenyum karena jika di lanjut takut bisa lupa diri.

“Hujannya mulai redah!” ucapnya sambil melihat langit. Hujannya sudah berganti gerimis, kendaraan depan fotokopi sudah mulai ramai. Mungkin mereka juga berteduh tadi karena hujan. Mas penjaga fotokopi kulihat masih asyik rebahan di atas tikar sambil pakai headset,  kurasa dia tidak mendengar obrolan aku dengan Mas Agung tadi.

“Kurasa sampai disini ya Dek Awan… aku harus kembali ke kampus. Sampai jumpa lagi!” ucapnya sambil tersenyum ke arahku lalu dia menerobos gerimis menuju ke kampusnya yang hanya berjarak 200 meter dari fotokopi tempat aku duduk kini. Punggung gagah itu perlahan menjauh dan hilang tertelan jarak.

Bodohnya aku! Kenapa aku tadi tidak minta nomor hapenya atau alamat emailnya. Bagaimana aku bisa bertemu dengan Mas Agung lagi. Aku pun hanya bisa menghela napas kecewa dan sedih sambil berjalan pulang.

Seminggu sejak pertemuan singkat dengan Mas Agung membuat diriku uring-uringan tidak jelas. Berangkat pagi berharap bisa melihatnya di gerbang kampus dan menjadi agenda rutin naik ke lantai dua sekolah hanya untuk memandangi gedung kampus Mas Agung. Dan yang menjadi korban uring-uringanku adalah Tristan, sahabat sebangku.

“Kamu yakin akan berjumpa lagi dengan Mas Agungmu itu? Atau jangan-jangan dia straight dan sudah punya cewek!” ucap Tristan tanpa disaring lebih dulu, membuat bola mataku membulat di balik kacamata.

“Dasar sialan! Kamu tuh sahabat apa bukan sih?” jawabku ketus. Yups! Tristan adalah sahabat sekaligus tempat curhat bagiku, dia tahu semua rahasiaku termasuk kalau aku seorang cowok yang mempunyai cinta berbeda. Bersyukur sekali dia mau menerima aku apa adanya untuk jadi sahabatnya.

“Hei, Awan yang cupu bin tulul! Ingat Mas Agungmu itu sudah kuliah, mahasiswa yang katamu cakep kayak Dimas Anggara, aku yakin dua ribu persen kalau dia banyak yang naksir.”

Mendengar perkataan Tristan, aku hanya bisa mengacak-acak rambutku yang tidak gatal. Benarkah apa yang dikatakan Tristan? Jika dilihat dari sikap Mas Agung memang logikanya pasti banyak cewek yang naksir sama dia. Ah.. kenapa aku jadi frustasi hanya karena orang asing yang kukenal sekali saja saat hujan itu.

“Aku duluan ya, Awan! Soalnya mau antar ayang Mawar pulang dulu… semoga kali ini kamu beruntung bertemu dengan Mas Agungmu!” ledek Tristan sambil berlalu menuju parkiran sekolah. Aku iri dengan hubungannya bersama Mawar, mereka terlihat begitu saling melengkapi. Tristan yang sedikit selengekan, Mawar gadis yang sabar dan tulus. Andai saja aku punya pasangan, pasti hari ini aku tidak akan menghalu dan bergalau ria terus.

Sesampai di gerbang sekolah, sepintas aku menengok kampus Mas Agung, Tuhan … andai saja Mas Agung tiba-tiba menjemputku hari ini, betapa bersyukur dan bahagianya diriku.

Tin… tin….

Suara klakson sepeda motor itu membuyarkan sebait doa yang ada dalam pikiranku. CBR terbaru dengan pengendara jaket hitam dan tak ketinggalan helm teropong, semakin gagah seseorang di depanku kali. Seperkian detik, aku menikmati dia melepas helmnya. Dunia seakan berhenti berputar, angin membeku dan semua menjadi patung. Senyum itu… iya! Senyum yang selama berhari-hari membuat aku tersenyum sendiri dan susah tidur.

“Dek Awan!” sapanya sambil tersenyum. Tuhan secepat inikah Engkau mengabulkan doaku.

“Eh… dasar bocah di sapa malah bengong! Hello… apa orang di depanku ini tuli?”

Deg! Sadar Awan… hampir saja aku menangis dan menghambur memeluknya kalau tidak segera mengontrol diri ini.

“Mas… Mas Agung!” jawabku sambil terbata antara percaya dengan masihkah diriku halu karena begitu merindukan sosok Mas Agung.

“Ye… siapa lagi kalau bukan Mas Agung, Mahasiswa paling ganteng sefakultas teknik!” candanya penuh percaya diri. Aku yakin kali ini benar-benar nyata yang di depanku adalah makhluk bernama Raden Prabu Agung Syailendra. Aku hanya bisa tersenyum sambil salah tingkah kayak cabe-cabean. Bayangkan cowok manly pakai sepeda motor kayak Boy di anak jalanan ada di depan kalian, pasti kalian juga akan klepek-klepek kayak ikan keluar dari air.

“Maukah Dek Awan aku antar pulang?”

Ya Tuhan… kejutan apalagi ini, Mas Agung akan mengantarkan aku pulang ke rumah. Bolehkah aku memohon agar waktu kali ini berjalan lambat.

Aku pun mengangguk tanda setuju. Mas Agung pun mengasihkan helm satunya lagi dan memasangkannya di kepalaku. Oh My Ghost! Sweet banget Mas Agungku… aku jadi kepikiran mungkin semua ini sudah disiapkannya untuk menjemputku. Hello Awan, jangan kepedean deh!

Di boncengan Mas Agung, tubuh ini terasa panas dingin, bagaimana tidak? Hampir anggota tubuhku begitu intim dengan tubuh Mas Agung yang begitu dekat, sampai aku bisa membaui aroma parfum yang dia pakai. Wanginya begitu maskulin hingga ingin rasanya tangan ini melingkar di pinggangnya agar hidung ini puas membaui aroma tubuhnya. Namun nyatanya aku hanya bisa memegang jaket yang dia pakai.

“Dek, bisa lebih erat pegangannya? Mas akan sedikit mengebut!”

Mukaku menjadi panas, suhu tubuh mendadak meningkat. Tiba-tiba tangan kiri Mas Agung menarik tanganku melingkar di perutnya. Tuhan mimpikah ini? Berusaha setenang mungkin aku menautkan kedua tangan melingkar di perutnya. Dari jarak dekat, aku bisa merasakan semakin lekat aroma tubuh Mas Agung. Aku berharap dia tidak mendengar degup jantungku yang semakin kencang berdebar.

*

Sejak kejadian itu entah takdir yang sedang baik atau bagaimana, Mas Agung seperti lagi pedekate kepadaku. Beberapa kali dia sepertinya sengaja menungguku di gerbang sekolah, tetapi dia beralasan kalau kebetulan lewat. Seperti tadi dia kayaknya mengikutiku yang sedang fotokopi, buktinya tiba-tiba dia ada di sampingku dan bilang kebetulan. Anehnya dia tidak fotokopi atau beli apapun.

Sambil menimbang mana yang betul tentang sikap Mas Agung, tiba-tiba ponselku bordering. What! Mas Agung… ada apa sore-sore gini dia nelpon.

“Sore, Dek! Lagi apa?”

“Lagi santai saja di kamar, Mas! Emang ada apa Mas Agung telpon sore-sore gini?”

“Mas lagi gabut malam minggu sendiri di kos. Ohnya adek sibuk nggak? Kalau nggak, nanti Mas ajak ke tempat rahasia Mas!”

Deg! Mas Agung ngajak kencan malam minggu. Awan… stop! Jangan halu, dia hanya gabut dan butuh teman jalan-jalan saja.

“Halo… apa masih ada orang?”

“Em… iya… Mas… aku nggak sibuk kok!”

“Yaudah setengah jam lagi Mas jemput, buruan dandan yang manis hehe!”

Klik… telpon sudah di putus oleh Mas Agung. Dasar Mas Agung selalu begitu sikapnya, spontan penuh kejutan yang bikin jantung berdegup tak beraturan.

*

“Jangan bilang Mas Agung mau nyulik aku!”

Kelekarku yang mulai merinding memasuki lorong lalu tangga kampus. Entah dapat kunci darimana dia bisa memasuki area kampus dengan mudah.

“Emang ada tampang Mas kayak penculik?” sahutnya dengan tawa kecil.

Entah mau kemana Mas Agung mengajakku bermalam mingguan, kukira aku akan kencan romantis, ternyata malah kayak lagi uji nyali. Bermodal senter kecil yang Mas Agung pegang, kita menapaki tangga menuju lantai atas gedung kampus.

“Dek, pegang tangan Mas agar kamu tidak jatuh atau diculik makhluk halus!”

Dengan sedikit ragu dan gemetar aku memegang telapak tangannya atau lebih tepatnya saling bergandengan tangan. Tuhan, aku berharap waktu melambat untuk malam ini.

“Sampai!” teriak Mas Agung sambil menyeretku masuk. Hembusan angin malam semakin kencang di lantai paling atas gedung kampus Mas Agung.

“Dek Awan kedinginan?” tanyanya sambil menatapku yang sedikit menggigil, tanpa sadar kita pun masih bergandengan tangan. Aku hanya tersenyum, sedetik kemudian menggosok telapak tanganku dengan tangannya. Aku bersyukur karena tempat kita berdiri sekarang agak gelap, kalau tidak… pasti Mas Agung bisa melihat wajahku yang memerah atau menghangat atas sikapnya.

“Sudah sedikit hangat ‘kan? Ayo kita kesana… Mas akan tunjukan malam yang tak pernah Dek Awan lihat sebelumnya!”

Apa-apaan ini… aku hanya mampu menutup mulut melihat pemandangan di depanku. Langit malam yang cerah berhias bintang-bintang serta pemandangan kota lengkap dengan gemerlap cahaya lampunya. Benar-benar pemandangan yang menakjubkan apalagi ditambah dengan seseorang yang beberapa waktu ini mencuri separuh hati berada di sampingku.

Mas Agung mengisyaratkan untuk aku duduk di bangku panjang yang sepertinya sudah siapkan olehnya. Duduk di samping orang yang kita sukai diam-diam membuat diri ini menjadi salah tingkah. Beberapa saat terjadi jeda dan hanya hembusan angin yang mengisi kekosongan di antara kita.

“Bagaimana, Adek suka tempat ini?”

Aku hanya mampu mengangguk dan menatap wajah Mas Agung dalam remang. Kulihat wajahnya yang tegas itu menatap ke depan.

“Inilah tempat rahasia Mas saat butuh sendiri dan ketenangan. Namun, sekarang Dek Awan tahu tempat rahasia ini. Janji jangan katakan ke orang lain!”

Tiba-tiba tangannya menggenggam tanganku, spontan kita saling berpandangan. Shit! Kenapa dia tersenyum, walau dalam keremangan mengapa pesonanya nyaris tak berkurang sama sekali.

“Dek Awan, mas ingin mengatakan ini dari awal kita bertemu, tapi selalu mas tidak momen yang pas untuk mengatakannya!” Pegangannya di tanganku semakin erat, tangan kita kurasa sama-sama berkeringat. Mas Agung menghela napas panjang, tapi matanya masih fokus menatap wajahku.

“Terima kasih… telah mau menjadi adik bagi Mas Agung. Karena Dek Awan mengingatkan mas kepada adik mas yang sepuluh tahun lalu meninggal karena kecelakaan.”

Jleb! Apa? Aku pasti salah dengar atau ini hanya halusinasiku saja. Mas Agung bilang aku mengingatkan akan adiknya yang meninggal. Jadi, selama ini Mas Agung hanya menganggapku sebatas adiknya saja. Seketika aku ingin teriak dan menangis sejadi-jadinya, tapi sekuat tenaga aku menahannya agar tidak luruh di hadapan Mas Agung.

“Dek Awan mau kan jadi adik Mas Agung? Jadi, jika ada apa-apa adek tak perlu sungkan untuk menghubungi mas. Aku pasti akan datang dan sekuat tenaga membantu adek!” ucapnya walau ada keraguan dalam nada bicaranya. Sungguh jika aku tidak punya kendali atas diri ini, mungkin aku ingin menangis dan teriak di hadapannya. Tahukah Mas Agung aku punya perasaan lebih dari sekedar adik-kakak. Tahukah aku diam-diam mencintaimu. Apakah kamu begitu bodoh tidak mengerti akan perasaanku.

Sungguh kamu jahat, Mas Agung. Tunggu! Seharusnya bukan dia yang jahat tapi akulah yang bodoh terlalu berharap lebih kepadanya. Angin berhembus kencang, tak ada pegangan tangan lagi, aku dan Mas Agung sibuk dengan pikiran masing-masing. Tatapan kita sama, memandang langit malam yang begitu cerah berhias kerlap-kerlip bintang, tetapi tidak dengan hatiku saat ini yang begitu mendung bahkan remuk. Sekali lagi ini bukan salahnya, bukan maunya untuk menyakitiku. Semuanya adalah salahku, meletakkan harap yang berlebih tanpa sadar tak ada tempat untuk menampung harap itu di hatinya. Hatinya yang kini tak aku ketahui dan masih membisu dalam hening dan gelap.[]

_FIN_

Epilog

Mas Agung POV

Bodohnya diriku…. Bodoh… bodoh banget loe, Agung! Tega sekali kamu menyakiti laki-laki di boncenganmu kini. Lihatlah sedari tadi dia hanya diam dan kamu dengar isaknya, bukan! Agung… agung… kamu benar-benar pria brengsek.

“Dek Awan baik-baik saja?”

“Tidak apa-apa Mas. Mungkin masuk angin, maklum aku tidak pernah keluar malam!”

“Yaudah cepatan masuk ke dalam lalu tidur ya! Sekali lagi maafin Mas Agung bikin adek sakit.”

Awan hanya menggeleng dan tersenyum lalu bergegas masuk ke rumahnya. Tuhan mengapa ini harus terjadi, matanya merah, jelas-jelas itu bukan karena dia tidak enak badan tapi karena dia menangis sepanjang perjalanan pulang tadi.

Sialan! Aku hanya mampu mengumpat, seharusnya momen tadi jadi momen terindah bagi kita berdua. Agung… mengapa kamu bisa sepengecut itu? Kamu malu kalau dirimu dianggap tak normal? Lalu apakah mereka peduli dengan perasaanmu kini? Bodoh! kamu seorang mahasiswa teknik yang terkenal pintar berargumentasi, tapi kenapa kamu bisa gagu hanya untuk bilang tiga kata, “Aku Cinta Kamu.”

Semua terlambat, Awan pasti membenciku. Semua karena kebodohan dan sifat pengecutku, seharusnya aku lebih berani mengatakannya. Semua terlambat bahkan tak ada lagi harap buatku. Dek Awan, maafin Mas Agung yang begitu tolol menyia-yiakan semuanya. Namun yang harus Dek Awan mengerti sampai kapanpun rasa ini akan tetap sama dan tak akan terganti di hati yakni hanya atas namamu, Awan.[]

 

 

 

 

 

 

 

 

Sabtu, 05 Januari 2019

Ujung Pelangi

Minggu, 06/01/19








Banyak sekali ilmu yang tak mampu ditukar dengan apapun di tempat ini. Kurang lebih satu setengah tahun, aku berproses, belajar dan mengajar bersama mereka. Ini bukan kisah Laskar Pelangi atau Teacher Diary. Lebih dari itu, ini adalah bagian dari kisah hidupku di Smp Islam Al Ibrahimi.

Di sekolah ini banyak sekali hal yang selalu menjadi sorotan para pengajar. Seperti kata Pak Kepala Sekolah, "Disini fokus utamanya bukan tentang anak-anak harus selalu bisa segala mata pelajaran. Melainkan adalah bagaimana mencetak anak-anak dan orang tua serta lingkungan yang sadar akan pentingnya pendidikan." Awal masuk mengajar, hatiku seperti tercabik ketika bertanya kepada salah satu siswa akan cita-citanya. "Apa cita-cita kamu nantinya?" Dengan polosnya dia menjawab, "Jadi pembantu rumah tangga!" Sungguh aku tak pernah menduga mendapat jawaban seperti itu. Aku tak melarang mereka jadi apapun asal itu baik. Namun, aku hanya menjadi pembimbing untuk mereka selalu giat belajar dan menemukan potensi mereka hingga menjadi orang yang berguna kelak.

Banyak sekali pengalaman dan pembelajaran di sekolah ini. Bak pelangi yang indah dengan degradasi warnanya. Mungkin mereka bukanlah siswa yang sempurna dengan kemampuan di atas rata-rata. Namun, mereka adalah ujung pelangi yang memberi warna pada langit yang mendung.

Buat kalian, anak didik yang hiperaktif, teruslah bergerak menggali potensi. Jangan takut akan berubah. Asal baik lakukanlah. Kejar pendidikan setinggi mungkin. Lelah, malas dan jenuh akan segala kekurangan di sekolah, jangan menjadi batu sandungan. Namun, buat itu semua menjadi batu hias yang bernilai mahal.

Sabtu, 01 Desember 2018

Polisi itu Bernama, Andre Ferdiansyah

Minggu, 02/12/18


Kali ini saya akan menulis profil dari sosok polisi ganteng yang lagi viral di jagat sosial media. Siapa yang tidak tahu program 86 di Net Tv? Pasti banyak yang tahu dong dengan acara tersebut yang menampilkan bagaimana seorang polisi bekerja menjalankan tugas negara. Dari sekian banyak polisi yang tampil, ada satu sosok polisi yang sempat mencuri hati para netizen khususnya kaum hawa, siapa dia? Dia adalah Bripda Andre Ferdiansyah Damanik.



Pria ganteng kelahiran Pariaman, 30 Juni 1991 ini selain menjadi polisi juga mempunyai hobi naik gunung dan bersepeda, benar-benar hobi yang semakin bikin rahim kaum hawa menghangat hehe. Daripada panjang kali lebar, saya menjelaskan sosok polisi yang masih aktif di acara 86 ini, yuk kepoin saja aku instagramnya di @andreferdians, semoga cukup memuaskan dan memanjakan mata anda.^^

Fakta-fakta tentang Bripda Andre Ferdiansyah :

1. Suka naik gunung

Yuk intip salah satu hobi polisi ganteng ini, salah satunya pencinta alam.


2. Ramah (Memiliki senyum menawan pemikat hati hehe)


3. Katanya sih sudah punya pacar 


4. Muslim

Pernah menjadi petugas keamana aksi 212 tahun lalu dan ikut shalat jumat bersama para aksi damai 212 lainnya.







Kamis, 29 November 2018

Mendung Pagi Ini

Jumat, 30/11/18



Mendung pagi mengantung, diakhir bulan November. Kutatap lekat wajahnya yang masih setia mengunyah nasi goreng buatanku. Dia pasti lelah, pulang larut ditambah kehujanan. Aku masih mengingat ketika dia menelponku kemarin, dengan sedikit gugup, dia bilang kalau hari itu harus lembur dan pulang terlambat. Aku hanya mengiyakan kabar darinya tersebut. Lega rasanya, aku punya waktu saat dia pulang telat untuk sendiri. Aku tak menyukainya. Setan masih setia mengendapkan rasa cinta dihatiku untuknya. Dua bulan menikah dengannya, rasa yang kata orang akan tumbuh karena terbiasa bertemu, justru tak pernah tumbuh dalam hatiku.

"Ada apa, kok melihatnya begitu?"
Aku menunduk, kikuk, bingung harus memulai darimana. Dia tersenyum melihat tingkahku, balas menatapku.
"Apa kakak mencintaiku?"
Justru aku membalas pertanyaan dengan pertanyaan balik. Walau kita suami istri, aku masih memanggilnya kakak dan dia memanggilku adek, terlalu aneh atau mungkin aku tak terbiasa memanggil dia sayang, bebi atau panggilan manis lainnya. Manik matanya tetap meneduhkan. Seperkian detik meja makan hening dan aku hanyut dalam pesonanya yang selama ini aku abaikan. Dia menghentikan aktivitas sarapannya, nasi goreng dipiringnya sudah habis. Dia tak langsung menjawab pertanyaanku, tapi masih sempat minum teh madu yang aku buat tadi, lalu dia kembali menatap dan tersenyum kepadaku.
"Jujur kakak tak pernah mengerti definisi cinta itu seperti apa. Namun, kakak merasa senang saat adek ada disamping kakak, saat kakak bangun dan tidur. Menikmati setiap masakan dan minuman yang adek hidangkan. Merasa lega saat tahu kabar adek baik-baik saja saat kakak kerja. Banyak banget yang kakak rasakan saat bersama adek. Mungkin kakak tak bisa menyebut semua itu cinta, tapi kakak merasa beruntung menikah dengan adek."
Pertahananku jebol, aku menangis dalam diam. Penjelasan dia menohok hatiku. Tak seharusnya aku meragukan perasaannya, justru yang patut diragukan perasaannya adalah diriku sendiri.
"Kenapa adek menangis? Apa kakak salah ngomong?"
Dia terlihat khawatir, sungguh itu tulus dari hatinya, aku hanya mampu menggeleng menjawab kekhawatirannya tersebut.
"Kakak tak salah apa-apa, tapi adeklah yang tak tahu diri. Adek seharusnya ...,"
"Sudahlah jangan terlalu berat dipikirkan, kakak sudah menerimanya dan memeluk semua masa lalu adek. Jadi, jangan bahas itu lagi, terpenting adek sekarang sudah belajar menerima itu semua,"
potongnya yang sepertinya tak ingin membahas permasalahan ini lagi. Sebelum menikah pun dia telah mengetahui masa laluku, aku sudah menceritakannya dengan jujur kepadanya.
Kembali aku menggeleng, "ini sudah bulan kedua kita menikah, kak. Namun, kenapa hati adek belum bisa menerimanya. Maafkan adek kak! Seharusnya kakak berhak mendapat yang lebih baik dari ini semua."
Air mata kembali deras membanjiri pipi, aku terisak. Dia beringsut duduk disampingku menyandarkanku didadanya, lalu mengelus pucuk kepalaku. Aku seperti anak kecil yang merajuk lalu menangis didekapan seorang ayah. Hangat dan menenangkan.
"Jangan pernah membenci masa lalu, Dek. Adek tidak akan pernah menang melawan masa lalu itu, sekalipun adek punya kekuatan lebih untuk melawannya. Terima, dekap dan peluk semua itu, Dek. Rasakan kalau adek punya hari baru yang lebih baik daripada harus meratapi masa lalu yang sudah jauh tertinggal."
Penjelasannya kali ini lebih menenangkanku, dari penjelasan di awal kita memulai langkah baru. Aku selalu melawannya, membiarkannya tumbuh menjadi kebencian. Namun, mendung pagi ini meluruhkan semuanya, gerimis membersihkan sisanya. Masa lalu adalah pembelajaran yang tak harus merusak masa kini dan masa depan yang masih utuh.
Kini, aku lebih tenang dan lega. Dia melepaskan dekapannya lalu menyeka sisa air mata dipipiku.
"Ohnya tadi kenapa adek melihat kakak kok segitunya!"
godanya sambil gemas mencubit pipiku. Aku merajuk sambil tersenyum malu.
"Kakak libur kan hari ini?" dia mengangguk, " Kalau begitu ..."
"Melanjutkan sunah rasul yang tertunda karena kakak lembur tadi malam!"
Aku mencubit pinggangnya dan dia pura-pura kesakitan.
"Lebay deh! Maksudku, kalau begitu kakak bisa bantu adek buat ngepel rumah dan cuci piring."
Dia terkekeh lalu kembali membenamkan kepalaku didadanya.
"Terimakasih, akhirnya adek kembali setelah dua tahun lamanya, senyum ini tak pernah lagi ada. Senyum tulus dari gadis yang kakak sayang, Aulia Putri Azzahra."


Dua tahun lalu aku pernah terluka bahkan nyaris tak bisa melanjutkan hidup. Perselingkuhan yang dilakukan ayah, membuat istana kebahagian yang ayah dan ibu bangun runtuh seketika. Siapa sangka jika kebahagian dan rasa cinta antara ayah dan ibu adalah kamuflase belaka. Saat itu tak percaya cinta dan kesetiaan, hidupku berkutat dengan kepura-puraan. Hingga tiga bulan lalu, dia datang membawa secercah harapan untuk aku menuai kembali benih itu. Benih cinta yang telah lama mati. Dia tak pernah menjanjikanku apa-apa, dia hanya butuh berani dan sabar. Benteng yang aku bangun dulu perlahan goyah, sedikit demi sedikit runtuh. Keseriusan, kedewasaan dan cara dia bersikap mampu merobohkan benteng ego yang ada di hatiku. Terimakasih, Kak, telah sabar menanti dan berjuang. Aku akan terus belajar mencintaimu, seperti mendung pagi ini, menebar dingin di tubuh, tapi mampu menghangatkan setiap rasa di hati ini. Aku memilihnya yang pernah kusebut dalam doa walau itu kapan, dialah Arjuna Perwira, lelakiku, suamiku.

_END_




Rabu, 21 November 2018

When I Look at You

KAMIS, 22/11/18



Lima tahun lalu, dengan jilbab merah jambu senada gamis yang kamu kenakan, kamu mampu dengan mudah mengalihkan duniaku. Saat itu kamu begitu anggun menyampaikan materi seminar tentang ilmu bagi generasi masa kini. Tak banyak yang mengetahui tentang siapa dirimu? Sahabatku yang aktivis kampus pun tak banyak yang mengenal siapa gadis anggun nan cerdas tersebut. Mulai detik itu kuniatkan diri untuk mengenalmu lebih jauh, lalu semestapun mendukung.

Namanya Zahratul Wardah, baru semester dua jurusan pendidikan bahasa, ternyata kamu adalah junior di kampusku. Melihat wawasanmu di seminar itu, aku menyangka dirimu satu angkatan dengan diriku. Luar biasa seorang junior mampu mengisi materi dengan begitu cerdasnya. Begitu banyak teman yang mengelilingi segala aktivitasmu, semua sangat jelas terlihat kamu begitu ramah dengan senyum tulus yang terpancar dari wajah teduhmu. Aku yakin siapapun yang kenal dekat denganmu akan merasa nyaman. Beberapa hari itu aku menjadi secret admirermu, melihat dari jauh segala aktivitasmu di kampus, mengikuti langkah kakimu hingga tanpa kuduga sebelumnya, kamu adalah anak dari penjual soto dekat area kampus. Lagi-lagi aku dibuat kagum oleh sikapmu, tanpa malu kepada mahasiswa lain yang kebetulan makan di situ, kamu sigap dan ramah melayani mereka untuk membantu orang tuamu berjualan soto. Ya Allah, diriku semakin yakin bahwa gadis seperti itulah yang aku cari.

Aku masih ingat betul saat itu gerimis, aku dengan tergesa-gesa masuk ke gang rumahmu. Tak sulit bagiku untuk mencari alamat rumahmu. Ternyata rumahmu tak jauh dari kampus sekitar satu kilometeran. Rumah yang tanpa sederhana, tapi dihuni oleh orang-orang yang luar biasa. Aku sangat grogi dan gugup saat ayahmu menanyakan keperluanku datang ke rumahku. Tanpa basa-basi, lidahku yang terasa keluh berkata bahwa aku ingin melamarmu dan menjadikanmu penyempurna agamaku. Setelah berkata begitu di depan ayahmu, aku hanya mampu menunduk dan gemetar menunggu respon beliau. Tanpa kuduga, ayahmu berkata, "Saya sangat menghargai keberanianmu, Nak. Namun, saya hanya ayah dari Zahra dan yang akan menjalani rumah tangga pun dia, maka keputusan sepenuhnya saya serahkan kepadanya."
Lalu ayahmu memanggil dirimu, kamu menunduk dan aku tahu kamu pasti merasakan hal yang sama dengan apa yang kurasakan saat itu. Gugup dan gemetar. Setelah ayah bercerita tentang niat baikku, sekarang gilliran dirimu sang penentu keputusan.
Dengan anggun dan sopan kamu berkata, "Terima kasih atas keberanian akhi untuk melamar saya, tapi saya bisa memutuskan semuanya jika akhi datang bersama kedua orangtua akhi. Karena bagi saya menikah adalah restu dan ridho orang tua juga."

Ayah sangat mendukung keputusanku, menyerahkan apapun kepadaku, asal dia gadis baik-baik, ayah setuju. Lain halnya, ibu. Ibu tak setuju dengan keputusanku melamarmu. Bagi beliau aku dan tak selevel atau sekufu, ada perbedaan mencolok antara anak pengusaha sukses dengan anak penjual soto. Hampir saja aku melawan keputusan ibu dan nekat menikahimu. Namun, akal warasku masih berjalan, itu berkat dukungan ayah. Saat itu aku sedang mengurung diri di kamar, hampir seminggu aku tak pergi ke kampus, aku patah hati sebelum waktunya. Ayah diam-diam masuk ke kamarku lalu berkata, "Ibumu membuat keputusan begitu pasti ada alasannya. Pasti setiap orangtua terutama ibu, menginginkan pasangan yang terbaik bagi anaknya. Apalagi kamu adalah anak laki-laki satu-satunya di keluarga ini. Kuharap kamu mengerti dan tak menyalahkan ibu."

Waktu bergulir begitu cepat, sedang ibu masih kekeh dengan keputusannya. Berkali-kali aku membujuknya untuk sebentar saja berkenalan denganmu. Namun, ibu beribu alasan tetap menolak bahwa anak seorang penjual soto tak layak bersanding denganku. Nanti apa kata tetangga, saudara dan sahabat beliau, kalau Erlangga Putra Wijaya sang penerus perusahaan Wijaya Company menikah dengan gadis yang tak selevel dengannya. Ya Allah, hanya berdoa dan ikhlas yang bisa aku lakukan. Jika kamu adalah jodohku pasti aku dan kamu akan bersatu, tapi jika tidak kuharap aku dan kamu menemukan bahagianya masing-masing.

Allah mendengar doaku. Begitulah jalanNya, ketika manusia ikhlas dan pasrah pasti ada cara Allah yang begitu indah mengatur segalanya. Sore itu mata ibu berbinar-binar, dengan antusias masuk ke kamarku lalu bercerita atas apa yang beliau temukan saat ikut kajian agama ibu-ibu kompleks. Aku masih ingat betul apa yang ibu katakan saat itu, "Lupakan gadis anak penjual soto itu. Sekarang ibu punya calon yang pastinya sekufu denganmu. Anak kulihan dan pastinya pinter ngaji. Ya Allah, baru kali ini ibu melihat gadis seanggun dan secerdas itu, apalagi suaranya saat melantunkan ayat suci, bagus dan adem hati ini."
Aku hanya diam mendengar perkataan ibu dan iseng bertanya, "Namanya siapa dan kuliah dimana?"
"Tadi waktu ibu-ibu kompleks bertanya namanya ... ah siapa sih ... bentar ibu ingat-ingat dulu. Pokoknya dia kulihnya satu kampus denganmu!" 
"Kalau dia anak penjual soto bahkan anak tukang becak, apa ibu akan setuju?"
Kembali aku iseng bertanya kepada beliau dan tanpa kuduga jawaban ibu waktu itu membuat diriku semakin penasaran kepada gadis yang ceritakannya. Apakah dia lebih hebat darimu saat itu.
"Ah, sekarang ibu nggak peduli dia anaknya siapa? Orangtuanya kerja apa? Karena, saat melihat gadis itu, ibu merasa cocok kalau dia jadi menantu ibu. Ah, dia cantik, cerdas, ngajinya bagus dan sopan."
Pujian ibu kepada gadis itu membuat diriku goyah untuk melanjutkan lamaran atasmu.
"Oh ya, ibu ingat namanya sekarang, tadi sebelum mengaji dia memperkenalkan dirinya, Zahratul Wardah!"

Waktu saat itu terasa berhenti berputar, Allah menjawab doa-doa disetiap pengujung malam atas keyakinanku untuk menikahimu. Lewat caraNya yang begitu luar biasa, aku dan kamu mampu disatukan dengan cara yang halal dan ridho dariNya. 

Pernikahan itu benar terjadi, kamu, Zahratul Wardah telah sah menjadi istri Erlangga Putra Wijaya. Masa sulit mendapat restu ibu terbayar lunas saat ibu tersenyum bahagia dan berkali-kali minta maaf atas kekhilafannya. Aku hanya tersenyum dan mengingat ucapan ayah bahwa setiap orangtua terutama seorang ibu pasti menginginkan pasangan yang terbaik bagi anak-anaknya. 
Usai acara pernikahan itu, aku dan kamu menitih fase baru dalam hidup, yaitu sebagai sepasang suami istri. Tak mudah hampir lima tahun kita membangun rumah tangga ini. Pasang surut dinamika rumah tangga kita rasakan berdua. Beratnya gunjingan dari saudara hingga tetangga kalau dirimu dikatakan menikah denganku semata karena harta. Kembali peranku sebagai kepala rumah tangga bertanggung jawab atas kenyaman dan keamanan istri dan anak-anak.

Kini aku bersyukur dan beruntung memilihmu menjadi penyempurna agamaku. Kamu begitu sabar dan elegan dalam menyikapi masalah. Menghangatkan kala dingin menerpa, menyejukan kala bara dalam rumah mulai membara. Kulihat kamu selesai menemani Fahmi untuk tidur, tak ada gurat lelah di wajahmu. Pasti melelahkan mengurus sendiri anak usia empat tahun dan seaktif Fahmi tersebut. Saat aku menawarkan bantuan babysister untuk meringakan pekerjaanmu, kamu dengan tersenyum menjawab, "Babysister terbaik bagi seorang anak adalah ibunya. Tenang, Bi, insyaAllah umi kuat dan ikhlas menjalani semuanya. Kebahagian umi saat ini adalah mampu mengurus sendiri dengan baik abi dan Fahmi."

"Abi, kok masih diam di ruang tamu, memang belum mengantuk?" tegurmu lalu duduk di sampingku. Aku menggeleng lalu merogoh saku celana.
"Selamat hari pernikahan kita yang kelima tahun, Umi!" Kotak cincin itu sudah kupersiapkan dua minggu yang lalu sebagai hadiah spesial hari jadi pernikahan. Kamu tampak terkejut sambil menutup mulut. Air mata jatuh membasahi wajah teduhmu. Perlahan jemariku menghapusnya dari kelopak mata yang memancarkan kasih sayang yang begitu besar dan tulus bagi keluarga.
"Terima kasih, Bi. Maaf umi belum bisa mengasih apa-apa kepada abi!"
Kusandarkan kepalamu yang berbalut jilbab merah muda ke dadaku. Kucium pucuk kepalamu dan rasakan debar jantungku bahwa aku tulus mencintaimu. Jika aku jantung, kamulah debarannya, istriku, cintaku, Zahratul Wardah.
"Bi, kurasa sebentar lagi Fahmi akan punya adik. Umi telat dua minggu!"

_Selesai_



Senin, 19 November 2018

TITIK TERENDAH

Selasa, 20/11/18



Setiap manusia pasti mengalami masa berada di titik terendahnya masing-masing. Menginjak usia dewasa pasti kita akan dihadapkan dengan berbagai problematika kehidupan. Kadang itu masalah remeh temeh, hingga puncaknya masalah itu menjadi blunder yang menguras tenaga dan pikiran. Sedih, nangis, menyalahkan diri sendiri dan orang lain kerap menjadi pelampiasan kita ketika masalah itu tak kunjung menemukan titik terang. Ah, begitulah tabiat manusia, termasuk diri saya pribadi.

Kita pasti mengenal orang-orang yang sukses di luar sana, bahkan sampai ada yang dijuluki orang terkaya di dunia, lalu pertanyaannya apakah mereka tidak mengalami titik terendah dalam hidupnya? Jawabannya pasti pernah. Sebut saja JK Rowling, penulis paling kaya atas karya fenomenal Harry Potter tersebut pernah mengalami fase terendah dalam hidupnya. Apakah dia lantas menyalahkan keadaan dan nasib hidupnya? Tidak, dia bangkit dan berjuang walau dengan tertatih serta air mata yang dikorbankan. Dari sedikit gambaran hidup JK Rowling tersebut, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa setiap manusia yang masih bernyawa pasti pernah mengalami perputaran roda dalam kehidupannya.

Demi Masa
(Raihan)
Demi masa sesungguhnya manusia kerugian
Melainkan yang beriman dan beramal sholeh
Demi masa sesungguhnya manusia kerugian
Melainkan nasehat kepada kebenaran dan kesabaran
Gunakan kesempatan yang masih diberi moga kita takkan menyesal
Masa usia kita jangan disiakan kerna ia takkan kembali
Ingat lima perkara sebelum lima perkara
Sihat sebelum sakit
Muda sebelum tua
Kaya sebelum miskin
Lapang sebelum sempit
Hidup sebelum mati
Demi masa sesungguhnya manusia kerugian
Melainkan yang beriman dan beramal sholeh
Gunakan kesempatan yang masih diberi moga kita takkan menyesal
Masa usia kita jangan disiakan kerna ia takkan kembali
Ingat lima perkara sebelum lima perkara
Sihat sebelum sakit
Muda sebelum tua
Kaya sebelum miskin
Lapang sebelum sempit
Hidup sebelum mati
Muda

Lagu Raihan-Demi Masa tersebut mengingatkan saya bahwa waktulah yang membuat orang belajar memaknai proses dalam kehidupannya. Saat sakit, kita menyadari bahwa sehat itu mahal, saat sehat kita bisa melakukan aktivitas dengan lancar tak terkendala kodisi tubuh. Muda foya-foya, tua mati masuk surga, siapa yang tak mau kehidupan seperti itu. Pertanyaannya apakah kita bisa menjamin umur kita panjang sampai tua? Kaya sebelum miskin, inilah titik terendah yang menjadi jarak dalam hidup bersosial, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Namun, ada kalanya roda berputar yang kaya sama rata dengan si miskin. Refleksi untuk diri ini pribadi adalah saat terjadi bencana alam, kita melihat tak ada yang namanya 'kamu si kaya' dan 'kamu si miskin' melainkan membaur menjadi satu bernama manusia. Lapang sebelum sempit, saat lapang, segala sesuatunya dipermudah, terkadang kita lupa buat berbagi dengan sesamanya, sibuk membesarkan perut sendiri. Namun, saat sempit tiba semua terlihat gelap dan menyalahkan lainnya. Semoga kita bukan manusia seperti itu, saat lapang berbagi, saat sempit tetap berjuang. Terakhir hidup sebelum mati, semoga hidup kita menjadi hidup yang mampu menebar manfaat buat sesama, kelak jika jasad sudah tertimbun tanah, ruh kembali kepadaNya dengan sebaik-baik hambaNya.

Seperti awal tadi saya tak akan menulis tentang motivasi bagaimana menghadapi titik terendah. Namun, saya ingin merefleksi diri bahwa setiap manusia punya bagian masing-masing fase kehidupannya, kadang di atas penuh kemudahan dan kenikmatan, kadang pula harus berdarah-darah, menangis, bangkit dan berjuang saat roda itu berputar ke bawah. Bersyukur saat di atas, bersabar saat diuji. Jangan menyerah buat kalian yang kini sedang berada di titik terendah kehidupan, ingat kalian tidak sendirian, di belahan bumi lain banyak manusia yang diuji lebih berat dari kalian. Bersabarlah, karena buah dari sabar adalah nikmat dariNya. Ingat ini, saat kita berada di titik terendah, hanya ada satu jalan buat kalian yaitu naik ke titik tertinggi kehidupan kalian. Semangat bahwa hari ini , esok dan seterusnya adalah fase terbaik dalam hidup kita.^^