Sabtu, 18 Juli 2015

Cewek Bla Bla Bla

Cewek Bla Bla Bla
Oleh : Yanuari Purnawan


Sebuah kalimat yang selalu gue inget dalam hati hingga relung jiwa. “Percayalah jodoh itu sudah ada di tangan Tuhan.” Kalimat tersebut membuat gue semakin percaya hingga kini. Karena, sampai saat ini jodoh gue masih ada di tangan Tuhan. Hal ini mebuat dada sesak dan tisu rumah cepat habis. Ya, iyalah! Gue harus menangis semalaman. Semua gara-gara, pangeran berkuda putih, tak jua datang melamar.

Hal yang paling gue benci di dunia ini adalah disuruh belanja ke Kang Maman. Bukan, karena Kang Maman yang merupakan pedagang sayur keliling dan sudah punya istri dua itu. Apalagi Kang Maman ingin jadiin gue istri yang ketiga. Melainkan, ngomongan pedas, sepedas harga bawang merah ibu-ibu kepo. Para ibu kepo yang merupakan aliansi ibu rumpi se-RT tersebut, membuat gendang telinga jadi bengkak kayak telinga gajah.

“Nis, kapan nih menikah?” tanya Bu Ninis yang merupakan istri Pak RT itu sambil membetulkan kacamatanya lalu tersenyum ke arah gue.
“Iya nih! Non Nisa masak kalah sama Kang Maman yang sudah nikah ampe dua kali,” tambah Kang Maman sambil nyengir kuda, membuat gue infill saja melihat gigi depannya yang tidak tumbuh-tumbuh tersebut.
“Doain saja!” jawab gue singkat sambil memilih sayuran yang akan gue masak hari ini.
“Nunggu apalagi sih, Nis? Umur sudah matang, udah jadi guru Paud lagi,” jelas Bu Leha yang berdaster cokelat dan kedodoran tersebut. Membuat gue ingin pukul tuh perutnya yang udah kayak tanjidor. Dan lagi-lagi gue hanya diam sambil tersenyum ke arah manusia kepo akhir zaman tersebut.
“Apa nunggu Kang Maman jadiin istri ketiga!” Mendengar perkataan Kang Maman tadi, gue ingin ambil golok aja. Bukan buat bunuh tuh aki-aki labil tersebut. Tapi, biar dia sadar gue tuh masih punya otak tajam alias masih waras. Emang gue cewek apaan, dijadiin yang ketiga. Yang pertama saja belum datang melamar.

Seharusnya seseorang yang habis belanja itu senang. Namun, sebaliknya gue hanya bisa menekuk wajah, tak bersemangat. Untung saja gue jadi guru Paud, jadi hampir setiap hari melihat wajah anak-anak yang masih polos. Bebas dari polusi ibu-ibu kepo. Walaupun, samar terlihat gozila kepo tersebut sering ngerumpi sambil menunggu anak-anaknya pulang. Jujur, gue bukan orang yang suka menutup diri. Apalagi mengenai urusan asmara. Sejak duduk di bangku SMA, gue sudah terkena yang namanya virus merah jambu tersebut.

Saat duduk di bangku kelas sebelas SMA, gue sempat menjabat sebagai sekretaris Osis. Dari situlah, gue mulai berkenalan dengan cowok-cowok kece sekolah. Salah satunya Niko atau Nizam Khoirudin. Ya! Karena, dia merupakan punggawa basket sekolah. Jadi, namanya dikeren-kerenin. Keren kagak, aneh iya! Dari Nizam jadi Niko. Cowok inilah yang pertama dekat, lebih tepatnya mendekati gue.

“Sibuk amat! Nih, minum dulu,” sapa Niko alias Nizam sambil menyodorkan botol air mineral. Tersirat senyum manis dengan lesung pipi menghiasi wajahnya.
“Entar aja, Nanggung!” tanggap gue sedikit acuh. Air muka Niko mendadak kecut dan manyun bak Tukul Arwana. Gue pun memalingkan muka dan fokus mengerjakan proposal untuk acara meeting class. Dan kebetulan banget gue berkoordinasi dengan seksi olahraga, yang tak lain dan tak bukan adalah Niko. Suasana mendadak hening, hanya terdengan bunyi tut keyboard komputer. Entah mengapa bulu kuduk tiba-tiba merinding. Bukan karena ada dedemit lagi naksir gue. Tapi, ini bapaknya dedemit berwujud cowok yang sedang mengamati gue.
“Ngapain lo lihatin gue …!” tanya gue sedikit kikuk sambil menatap wajahnya yang mulai salah tingkah. Sambil tersenyum dan memaerkan giginya, dia pun  mulai berbicara.
“Lo itu cewek yang langkah!”
“Maksud lo gue itu cewek purba. Langkah gitu! Udah deh gue sibuk jangan bercanda.” Gue berusaha mengelak walaupun hati ini sedang menari-nari. Bunga-bunga bak Syahrini.
“Lha … itu langkahnya lo! Judes banget sama gue. Jujur ya, semua cewek satu sekolah pada naksir gue. Eh, lo yang beruntung bisa dekat sama gue, malah cuek.” Mata Niko menyiratkan kejujuran yang teramat dalam. Membuat gue sedikit mau terbang.
“Makasih pujiannya. Tapi gue nggak punya recehan!”
“Tapi, jujur gue paling nggak suka sama cowok yang keganjenan sama cewek-cewek,” lanjut gue tegas tanpa mengindahkan wajah Niko.
“Maksud lo itu, gue?” tanyanya ragu. Gue pun menghentikan jari-jari yang lentik untuk mengetik. Dan beralih memandang cowok paling playboy dan nggak lebih ganteng dari Vino G Bastian itu.
“Terutama lo!” jelas gue dengan mimik wajah yang serius.
Semenjak itu, jarak antara gue dan Niko tak lagi dekat. Entahlah! Mungkin kita memang tak ditakdirkan bersama. Dan yang tak pernah berubah dari Niko adalah senyum yang berhias lesung pipinya serta playboy akutnya tersebut. Gue bersyukur, walau hanya sebentar dekat dengannya. Namun, gue pernah dipuji cewek langkah.

Menginjak kelas dua belas, gue pun berkenalan dengan cowok yang menjadi tutor di tempat les. Namanya, Faris Dwi Purnomo. Biasa kami memanggilnya Kak Faris. Cowok ganteng dengan hidung mancung, mata yang kecoklatan serta memiliki otak yang encer khususnya dalam bidang matematika. Hingga, kalau gue perhatikan wajahnya sudah mirip integral bahkan jenggot tipisnya meyerupai Phytagoras. Namun, gue … Ah! Gue jatuh hati sama nih cowok yang berstatus mahasiswa di universitas negeri di kota Surabaya tersebut.

“Nisa …!” Teriakkan tersebut membuyarkan lamunan gue. Dengan masih kaget, gue mendongakkan kepala. Dan … ternyata pangeran gue yang berteriak tadi.
“Kamu melamun!” lanjutnya tegas menyiratkan dia adalah pemuda yang berkarakter.
“Nggak kok, Kak! Tapi, gue sedang membayangkan wajah Phytagoras waktu masih muda,” jelas gue sedikit gugup serta diikuti tawa membahana seisi kelas les yang berjumlah sepuluh orang tersebut.
“Ada-ada saja kamu ini! Sudah cuci muka sana,” ucap Kak Faris yang volume suaranya sedikit melemah dari yang tadi. Gue pun segera bergegas menuju kamar mandi, sebelum Phytagoras tersebut berubah menjadi Hulk.

Hari-hari gue saat itu bagai taman bunga di dalam hati. Semua tentang Kak Faris menjadi hal terindah yang harus gue ketahui. Begitupun ketika selesai ujian nasional, Kak Faris semakin dekat dengan kami yang merupakan anak didiknya. Kami pun diundang ke acara ulang tahunnya yang ke-23. Dalam kesempatan ini gue harus memberikan sesuatu yang spesial untuk dia yang spesial dalam hidup gue.

Mendekati hari H, akhirnya gue mendapatkan kado yang pas buat Kak Faris. Kemeja warna hitam menjadi pilihan gue. Semoga, kado tersebut cocok untuknya. Bersama teman satu les, gue berangkat ke lokasi acara. Gue mengenakan baju yang simple berwarna biru tua dan tak ketinggalan jilbab yang senada dengan warna baju. Setelah tiga jam di depan cermin, gue pun siap untuk menemui sang pangeran gue.

“Selamat ulang tahun … ini kado buat kakak!” ucap gue sambil menyodorkan kotak yang bebalut kertas warna biru kepada Kak Faris. Dia pun menerimanya sambil tersenyum ramah ke arah gue. Berasa gue nggak nginjak tanah melihat senyum tersebut.

Konsep pesta ulang tahun Kak Faris bergaya minimalis. Undangan pun tak banyak, mungkin hanya teman-teman dekatnya saja yang diundang. Menginjak acara inti, yaitu pemotongan kue. Semua undangan disuruh berkumpul di satu titik di mana kue tersebut diletakkan.
“Ini potongan kue pertama buat yang paling spesial dalam hidup saya saat ini,” ucap Kak Faris sambil membawa potongan kue pertamanya. Entah mengapa jantung gue berdetak lebih kencang. Bagai tanjidor yang dipukul keliling komplek saat takbiran. Ya, Tuhan … semoga kue tersebut untuk gue. Sebaris doa gue lantunkan dalam hati. Namun, bak makan durian sama kulitnya. Ternyata kue tersebut bukan untuk gue. Melainkan untuk seorang cewek berambut sebahu dan berbadan ramping serta bebalut gaun hitam yang bernama Sintia.
“Ini buat pacar baru saya, Sintia!” Terlihat Sintia begitu bahagia menerima potongan kue pertama dari Kak Faris. Membuat darah gue mendidih. Cemburu! Mungkin saja. Tapi ada hal yang paling membuat gue menyesal. Menyesal karena gue harus merogoh tabungan untuk membeli kado buat Kak Faris. Kalau tahu gini, gue nggak perlu bersusah payah memilih kado. Patungan dengan teman satu les kan bisa dan lebih irit lagi.

Setelah acara ulang tahun yang berakhir drama tersebut. Gue pun tak lagi berhubungan dengan Kak Faris. Bukan karena dia sudah punya pacar, tapi gue sudah lulus SMA dan tak lagi ikut les. Kini, gue mengajar Paud atau Pendidikan Usia Dini sekaligus kuliah dengan jurusan yang sama. Jadi, gue lebih sering bersua bersama anak-anak yang masih polos dan lucu. Terus bagaimana dengan urusan asmara? Jangan ditanya lagi, gue nggak pernah mengenal istilah kapok. Mati satu tumbuh sejuta. Itulah prinsip gue yang selalu membuka diri untuk berkenalan dengan namanya kaum adam.

Gue pun mulai aktif dalam kegiatan halaqah atau pengajian. Di mana ada tempat menimbah ilmu agama, di situ gue datangi. Walaupun harus berkumpul dengan ibu-ibu majelis taklim. Bagi gue tak masalah, karena dengan begitu gue bisa belajar menjadi ibu rumah tangga yang baik kelak. Bukan sekedar istri yang hanya bisa masak dan mencuci. Tetapi, harus menjadi istri yang memiliki wawasan yang luas. Dan masalahnya kini, siapa yang mau jadi imam gue.
Karena kesendirian gue yang sudah menginjak usia dua puluh tiga. Rani, sahabat gue sekaligus guru Paud juga, selalu membantu gue untuk menemukan jodoh yang dikirim Tuhan buat gue. Pernah, suatu hari dia mengenalkan gue dengan seorang cowok yang begitu dewasa dan berkarakter. Dari perkenalan pertama, kesan gue kepadanya sangat baik. Dan merupakan tipe gue sekali. Wajah ganteng, kebapakan, dewasa dan sudah mapan. Benih-benih berwarna merah jambu pun mulai tumbuh.

Semua itu hanya berlangsung selama seminggu. Karena, Andre nama cowok tersebut, ternyata sudah punya istri. Hal itu kami ketahui setelah proses investigasi ke rumah saudaranya. Jujur, mulai saat itu gue harus lebih berhati-hati dengan namanya kucing garong. Rani pun masih tak putus asa untuk menjodohkan gue. Kebahagian dia saat ini hanya bisa melihat gue bisa duduk di pelaminan. Bukan foto di kondangan pernikahan orang, tapi pernikahan gue sendiri.

Dari pada pusing kepala gue, mending mulai saat ini gue perbanyak belajar agama. Bukankah memperbaiki diri, berarti juga memperbaiki jodoh kita. Gue pun harus bangkit dan bergerak menjadi cewek yang jauh lebih baik. Dan buat semua cewek yang sedang dilanda galau karena jodoh tak kunjung datang. Jangan takut atau nangis sambil nempelin kepala di kaca jendela melihat hujan turun serta diiringi lagu galau. Sudah itu bukan zamannya lagi. Jodoh memang urusan-Nya. Bukan berarti kita tak menyiapkannya.

Gue selalu ingat dalam ayat Al-qur’an bahwa laki-laki yang baik hanya untuk perempuan yang baik. Begitu pun sebaliknya laki-laki yang tidak baik hanya untuk perempuan yang tidak baik pula. Jadi, untuk para single jangan pernah bersedih. Ingat hidup itu bukan hanya masalah kapan menikah, tapi jauh ada yang lebih berharga lagi. Yaitu, jadilah orang yang paling baik dengan menjadi orang yang paling banyak manfaatnya. Tetap sabar dalam penantian, tetap belajar memperbaiki diri dan buka diri untuk bersilaturahmi seluas-luasnya. Semoga, sebentar lagi jodoh impian datang menjemput kita. Bukan karena cintanya, namun semua karena cinta-Nya. Percayalah pasti akan ada pangeran berkuda putih yang siap melamar kita. Dalam waktu, tempat dan skenario yang telah ditetapkan-Nya.

Selesai
_Based True Story From My Friend_