Simponi Pagi
Oleh
: Yanuari Purnawan
Mata
masih menatap ke luar jendela. Hujan masih setia menghiasi pagi, membuat lebih
nyaman duduk dan bermalas-malasan di rumah. Setiap butiran hujan selalu membuka
kembali kenangan masa itu. Hangatnya secangkir kopi, entah mengapa tak mampu
menetralisir rasa yang masih terendap di dasar hati. Rasa tersebut begitu
mencabik lalu menggoreskan luka yang berasa hingga kini.
“Mas
… silahkan diminum kopinya!” ucap Alifa sembari menaruh secangkir kopi di atas
meja. Wajah bersahaja tersebut tersenyum manis sambil menatapku.
“Terima
kasih, bidadariku. Tahu saja, pagi-pagi gini paling nikmat minum secangkir kopi
buatan istri.” Kutarik tangannya untuk duduk di sampingku.
Pagi
bersama rintik hujan membawa kepada suasana yang hangat dan intim. Kunikmati
setiap detik di ruang tamu bersamanya. Dengan balutan gamis biru senada dengan
jilbabnya, bidadariku tampak anggun walau sederhana. Mungkin kesederhanaan
tersebut yang mengantarkanku untuk berdiri di depannya sebagai seorang imam. Keluarga
sederhana yang di bangun atas dasar cinta kepada-Nya.
“Mas,
melamun?” Kornea cokelat itu menangkap ekspresi wajahku yang tidak fokus.
“Emm
… iya nih ada sesosok bidadari yang selalu mengganggu pikiranku,” godaku sambil
tersenyum genit kepadanya. Sontak wajah putihnya bersemu merah.
“Ah
… Mas Irfan makin pintar saja gombalnya!” Cubitan manjanya tepat mengenai
pinggangku.
Suasana
mendadak hening. Hanya rintik hujan yang terdengar, semakin lama hujan semakin
deras. Kunikmati kopi hitam buatan istri seteguk demi seteguk. Hangat perlahan
menjalar ke seluruh tubuh. Kudekap Alifa begitu erat. Hatiku ingin berteriak
lalu berkata aku sangat mencintaimu.
“Mas
…!” ucapnya lirih, bening hangat itu pun luruh membasahi pipinya. Kualihkan
pandang untuk menangkap sorot matanya yang menenangkan tersebut.
“Mas
… sampai kapan ya kemesraan ini akan berlanjut. Jujur, aku takut tak ada lagi
tangan yang mendekap, senyum tulus dan secangkir kopi di pagi hari,” lanjutnya
sedikit terbata. Aku diam sejenak untuk mengatur nafas. Takdir ternyata
berjalan lebih cepat. Pernikahan yang baru berjalan satu tahun ini perlahan
mulai menuai batu sandungan.
“Bidadariku
… setiap ujian yang diberikan oleh-Nya tidak akan melebihi batas kemampuan
hamba-Nya.” Entah mengapa bibirku tercekat dan keluh. Secangkir kopi yang mulai
dingin itu, seteguk demi seteguk kuminum habis.
Mata
yang teduh itu masih menatapku tajam. Ada bias kesedihan yang terpancar dari
wajahnya. Hatiku bagai teriris, tak tega rasanya melihat semua kenyataan ini.
“Mas
… jika memang waktu harus berjalan cepat. Kuharap Mas Irfan bisa menerima
segalanya dengan ikhlas.”
“Sudahlah
… tak perlu dipikirkan! Pasti ada jalan terbaik atas masalah ini, bidadariku.”
Setetes, dua tetes hingga menganak sungai air mata membasahi pipi.
“Mas
… menangis?” Disekanya air mataku dengan ujung jilbabnya. Kupegang jari-jari
lentik tersebut. Berat jika harus berpisah jauh darinya.
Udara
dingin pagi kali ini begitu menusuk tulangku. Secangkir kopi telah terhidang di
meja ruang tamu. Bidadariku, selalu setia menyedukan kopi hitam penyemangat
dalam setiap aktivitasku hari ini. Sebelum berangkat ke kantor, entah mengapa
ada secuil rasa berat untuk meninggalkannya.
“Mas
… jangan khawatir! Aku baik-baik saja kok,” ucapnya menenangkanku. Dia selalu
mengerti apa yang sedang kurasakan. Hampir aku tak pernah bisa membohonginya,
baik suka maupun yang tidak kusuka.
“Kopi
buatan istri memang selalu nikmat,” terangku sambil menghabiskan sisa kopi
buatannya. Setelah berpamitan dan mencium keningnya, kulajukan sepeda motor
menuju kantor. Kulihat dari kaca spion, Alifa melambaikan tangannya. Hanya
seutas senyum menghiasi wajah. Terima kasih, Rabb, Engkau kirim bidadari
tersebut untuk menemani hidupku.
Malam
begitu dingin, tugas kantor menuntutku untuk kerja lembur. Kuhubungi Alifa
lewat telepon agar tidak khawatir. Bayangannya selalu berkelabat dalam otakku.
Tiba-tiba, aku begitu rindu kepadanya. Biasanya dia akan membuatkan secangkir
kopi, jika aku harus kerja sampai malam. Tetapi, kantor dan rumah terlampau
jauh. Kulirik jam menunjukan pukul sebelas malam. Jantungku berdebar kencang,
seolah ada firasat yang tidak enak. Sekuat tenaga aku berusaha menepis perasaan
tersebut.
***
“Alifa
… kamu pasti kuat! Bertahanlah, bidadariku,” ucapku didekat telinganya. Tetapi,
perawat melarangku masuk ruang ICU. Aku hanya bisa menangis di kursi tunggu
rumah sakit.
Alifa
mengalami pendarahan, kanker rahimnya mengalami fase kronis di stadium empat.
Semenjak mengidap penyakit tersebut tak sedikitpun keluhan keluar dari bibir
mungilnya. Berkali-kali kita saling menguatkan, tetapi semua itu hanya
kepura-puraan. Aku mengerti kita sebenarnya sama-sama rapuh dan saling
membutuhkan.
Setelah
menunggu kurang lebih satu jam, dokter mengizinkanku masuk ke ruang ICU.
Kulihat bidadari yang bersahaja itu, tergolek pucat tak berdaya. Sekuat tenaga
Alifa berusaha mengulum senyum kepadaku.
“Mas
Irfan …!” ucapnya lirih. Aku berusaha tegar dan tidak menangis di depannya.
Kupegang erat jemari tangan yang begitu halus.
“Sayang,
pasti sembuh seperti sedia kala.” Kutatap wajah itu, kristal hangat membendung
di kelopak matanya. Secepat mungkin, kualihkan pandangan agar tidak terlihat
rapuh juga.
“Mas
… Alifa takut ini hari terakhirku.” Air mataku pun tumpah, perkataanya seolah
mengisyaratkan bahwa dia akan pergi untuk selamanya.
Suasana
ruang ICU, kembali hening. Hanya alat pedeteksi denyut jantung yang terdengar.
Pagi di rumah sakit seolah menawarkan aroma kematian.
“Sayang,
pernah bilang kepadaku. Bahwa kita harus hidup seperti kopi, walau sudah
disiram air panas, kopi tidak akan lembek atau keras melainkan menawarkan aroma
yang mewangi,” terangku menghiburnya dengan terisak.
“Begitupun,
hidup kita. Walau berbagai ujian datang silih berganti, kita harus berbaik
sangka kepada-Nya. Bahwa itu yang terbaik untuk kita. Itukan yang sayang bilang
kepadaku.” Kupeluk tubuh bidadariku. Perlahan tubuhnya melemah, matanya
redup dan detak jantungnya tidak lagi
berdetak. Rabb, apakah secepat ini Kau ambil kembali bidadariku?
Simponi
pagi yang kelam. Mengalun penuh misteri. Semua yang kita punya tak akan pernah
abadi berada di samping kita. Lambat laun semua akan kembali kepada yang berhak
atasnya. Bidadariku … aku merindukanmu. Rindu secangkir kopi pagi buatanmu.
Sekarang, semua hanya menjadi kenangan indah yang menyayat hati ini. Kupandang
fotoku bersamanya saat pernikahan. Hujan pagi pun belum redah, malah semakin
deras. Ditambah suara gemuruh petir seolah memecah langit. Entah mengapa ucapan
itu kembali mengusik pikiranku.
“Mas
… silahkan diminum kopinya!”
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar