Engkaulah nafaskuYang menjaga di dalam hidupkuKau ajarkan aku menjadi yang terbaikKau tak pernah lelahS'bagai penopang dalam hidupkuKau berikan aku semua yang terindah
(Ayah - Seventeen)
Jujur aku sama bapak tak pernah dekat, tapi semenjak ibu meninggal benteng ego itu perlahan terkikikis. Dulu bagiku beliau adalah laki-laki yang pendiam, acuh dan tak bertanggung jawab pada keluarga. Malu, itulah kata yang tepat untuk mendeskripsikan tentang beliau. Karena, dimataku yang penuh keegoan tersebut, ibu adalah tulang punggung keluarga. Lalu otak kecilku berkelana dimana peran seorang suami dan bapak itu?
Sebegitukah egoku tersebut! Mungkin lebih, ketidaksukaanku terhadap bapak hanya mampu aku pendam dalam hati dan pikiran. Benar, aku masih punya budaya ketimuran untuk sadar tentang apa itu andap asor alias sopan santun. Walau begitu, gerak-gerikku terhadap beliau sekedarnya atau seperlunya, bahkan jarang banget bertegur sapa. Bapak adalah musuh dalam ruang egoku yang masih labil dalam mengertikan kehidupan yang sebenarnya.
Enam tahun lalu, ibu sakit dan berjuang melawan penyakitnya. Kembali pertanyaan berkecamuk di dada kemana peran suami dan bapak sebagai kepala keluarga? Perih itu semakin mengangah lebar tatkala Tuhan mengambil satu sayap dalam hidupku. Ibu. Kenapa harus ibu? Ego perang dengan pikiran kalutku saat itu.
Kematian itu perlahan menampilkan pembelajaran baru bagi hidupku selama ini. Bapak yang dulu aku lihat acuh, luruh dalam sedih, air mata itu jatuh perlahan membasahi wajah keriputnya. Tuhan, kemana saja aku selama ini? Bapak yang selama ini berjuang dalam diamnya, ternyata menyimpan luka paling dalam di hatinya? Tuhan jangan hukum hamba yang lalai dan lena dalam ego bahwa bapak adalah musuh. Di saat anak lain membanggakan bapaknya, aku malah malu menyebutnya pahlawan dalam keluarga.
Kali ini benteng keegoan itu luruh dan hanyut dalam perasaan banggaku kepada bapak. Beliau memang sosok pendiam dan terkesan acuh. Namun dari sikapnya tersikapnya tersebut, aku belajar bahwa bapak tak ingin istri dan anak-anaknya khawatir. Beliau berjuang tenaga, pikiran dan hidupnya agar kami hidup layak, hidup dengan menjaga martabat keluarga dan berkorban untuk waktu senangnya buat kami.
Bapak, kini aku sadar arti diam dan acuhmu. Bukan tetang ketidakmampuan menjadi kepala keluarga, tapi semua itu bapak lakukan semata bentuk cinta dengan cara yang berbeda untuk keluargamu. Terimakasih atas keringat dan perjuanganmu, Pak. Maafkan anakmu ini yang belum bisa membuat engkau tersenyum bangga. Namun, kami anakmu sangat menyayangimu, bapak.
Selamat Hari Bapak/ Ayah/ Papa/ Daddy/ Bokap Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar