Kamis, 29 November 2018

Mendung Pagi Ini

Jumat, 30/11/18



Mendung pagi mengantung, diakhir bulan November. Kutatap lekat wajahnya yang masih setia mengunyah nasi goreng buatanku. Dia pasti lelah, pulang larut ditambah kehujanan. Aku masih mengingat ketika dia menelponku kemarin, dengan sedikit gugup, dia bilang kalau hari itu harus lembur dan pulang terlambat. Aku hanya mengiyakan kabar darinya tersebut. Lega rasanya, aku punya waktu saat dia pulang telat untuk sendiri. Aku tak menyukainya. Setan masih setia mengendapkan rasa cinta dihatiku untuknya. Dua bulan menikah dengannya, rasa yang kata orang akan tumbuh karena terbiasa bertemu, justru tak pernah tumbuh dalam hatiku.

"Ada apa, kok melihatnya begitu?"
Aku menunduk, kikuk, bingung harus memulai darimana. Dia tersenyum melihat tingkahku, balas menatapku.
"Apa kakak mencintaiku?"
Justru aku membalas pertanyaan dengan pertanyaan balik. Walau kita suami istri, aku masih memanggilnya kakak dan dia memanggilku adek, terlalu aneh atau mungkin aku tak terbiasa memanggil dia sayang, bebi atau panggilan manis lainnya. Manik matanya tetap meneduhkan. Seperkian detik meja makan hening dan aku hanyut dalam pesonanya yang selama ini aku abaikan. Dia menghentikan aktivitas sarapannya, nasi goreng dipiringnya sudah habis. Dia tak langsung menjawab pertanyaanku, tapi masih sempat minum teh madu yang aku buat tadi, lalu dia kembali menatap dan tersenyum kepadaku.
"Jujur kakak tak pernah mengerti definisi cinta itu seperti apa. Namun, kakak merasa senang saat adek ada disamping kakak, saat kakak bangun dan tidur. Menikmati setiap masakan dan minuman yang adek hidangkan. Merasa lega saat tahu kabar adek baik-baik saja saat kakak kerja. Banyak banget yang kakak rasakan saat bersama adek. Mungkin kakak tak bisa menyebut semua itu cinta, tapi kakak merasa beruntung menikah dengan adek."
Pertahananku jebol, aku menangis dalam diam. Penjelasan dia menohok hatiku. Tak seharusnya aku meragukan perasaannya, justru yang patut diragukan perasaannya adalah diriku sendiri.
"Kenapa adek menangis? Apa kakak salah ngomong?"
Dia terlihat khawatir, sungguh itu tulus dari hatinya, aku hanya mampu menggeleng menjawab kekhawatirannya tersebut.
"Kakak tak salah apa-apa, tapi adeklah yang tak tahu diri. Adek seharusnya ...,"
"Sudahlah jangan terlalu berat dipikirkan, kakak sudah menerimanya dan memeluk semua masa lalu adek. Jadi, jangan bahas itu lagi, terpenting adek sekarang sudah belajar menerima itu semua,"
potongnya yang sepertinya tak ingin membahas permasalahan ini lagi. Sebelum menikah pun dia telah mengetahui masa laluku, aku sudah menceritakannya dengan jujur kepadanya.
Kembali aku menggeleng, "ini sudah bulan kedua kita menikah, kak. Namun, kenapa hati adek belum bisa menerimanya. Maafkan adek kak! Seharusnya kakak berhak mendapat yang lebih baik dari ini semua."
Air mata kembali deras membanjiri pipi, aku terisak. Dia beringsut duduk disampingku menyandarkanku didadanya, lalu mengelus pucuk kepalaku. Aku seperti anak kecil yang merajuk lalu menangis didekapan seorang ayah. Hangat dan menenangkan.
"Jangan pernah membenci masa lalu, Dek. Adek tidak akan pernah menang melawan masa lalu itu, sekalipun adek punya kekuatan lebih untuk melawannya. Terima, dekap dan peluk semua itu, Dek. Rasakan kalau adek punya hari baru yang lebih baik daripada harus meratapi masa lalu yang sudah jauh tertinggal."
Penjelasannya kali ini lebih menenangkanku, dari penjelasan di awal kita memulai langkah baru. Aku selalu melawannya, membiarkannya tumbuh menjadi kebencian. Namun, mendung pagi ini meluruhkan semuanya, gerimis membersihkan sisanya. Masa lalu adalah pembelajaran yang tak harus merusak masa kini dan masa depan yang masih utuh.
Kini, aku lebih tenang dan lega. Dia melepaskan dekapannya lalu menyeka sisa air mata dipipiku.
"Ohnya tadi kenapa adek melihat kakak kok segitunya!"
godanya sambil gemas mencubit pipiku. Aku merajuk sambil tersenyum malu.
"Kakak libur kan hari ini?" dia mengangguk, " Kalau begitu ..."
"Melanjutkan sunah rasul yang tertunda karena kakak lembur tadi malam!"
Aku mencubit pinggangnya dan dia pura-pura kesakitan.
"Lebay deh! Maksudku, kalau begitu kakak bisa bantu adek buat ngepel rumah dan cuci piring."
Dia terkekeh lalu kembali membenamkan kepalaku didadanya.
"Terimakasih, akhirnya adek kembali setelah dua tahun lamanya, senyum ini tak pernah lagi ada. Senyum tulus dari gadis yang kakak sayang, Aulia Putri Azzahra."


Dua tahun lalu aku pernah terluka bahkan nyaris tak bisa melanjutkan hidup. Perselingkuhan yang dilakukan ayah, membuat istana kebahagian yang ayah dan ibu bangun runtuh seketika. Siapa sangka jika kebahagian dan rasa cinta antara ayah dan ibu adalah kamuflase belaka. Saat itu tak percaya cinta dan kesetiaan, hidupku berkutat dengan kepura-puraan. Hingga tiga bulan lalu, dia datang membawa secercah harapan untuk aku menuai kembali benih itu. Benih cinta yang telah lama mati. Dia tak pernah menjanjikanku apa-apa, dia hanya butuh berani dan sabar. Benteng yang aku bangun dulu perlahan goyah, sedikit demi sedikit runtuh. Keseriusan, kedewasaan dan cara dia bersikap mampu merobohkan benteng ego yang ada di hatiku. Terimakasih, Kak, telah sabar menanti dan berjuang. Aku akan terus belajar mencintaimu, seperti mendung pagi ini, menebar dingin di tubuh, tapi mampu menghangatkan setiap rasa di hati ini. Aku memilihnya yang pernah kusebut dalam doa walau itu kapan, dialah Arjuna Perwira, lelakiku, suamiku.

_END_




1 komentar:

  1. bagus gan artikelnya. sepertinya sudah berpengalaman tentang menulis... alur ceritanya bisa dipahami pembaca...

    BalasHapus