Jumat, 18 September 2015

Jodoh Pilihan-Nya

Jodoh Pilihan-Nya
Yanuari Purnawan

Aku menghela nafas panjang. Semua terasa menyesakkan. Angin sore seolah menerpa hatiku yang mulai dingin. Bukan karenanya, namun karena egoku. Seharusnya aku bisa menyadari itu. Tetapi, rasa itu sulit untuk kutolak lalu menghapusnya.
“Aku butuh jeda untuk hubungan ini. Aku tak ingin ada yang tersakiti atau terluka dengan jalinan yang semu dan terlarang untuk dua hati yang belum halal,” terangnya tegas.
Matanya yang tajam tapi meneduhkan membuatku sedikit gugup. Kalimat yang ia lontarkan seolah menjadi tombak yang mengenai hatiku. Tak ada yang tersakiti? Apa-apaan itu. Ucapannya barusan sudah cukup membuatku sakit. Aku hanya bisa menunduk menyembunyikan rasa yang sedang bergejolak di hati.
“Maaf, jika perkataanku menyakitimu. Namun, aku tak ingin kita berlarut dalam hal yang dilarang oleh-Nya. Jika kamu jodohku pasti kita akan disatukan, namun jika tidak, pasti ada jodoh terbaik pilihan-Nya. Biar kita memantaskan diri dulu, aku ingin kamu fokus dengan pendidikanmu, begitupun dengan aku.” Ia pun berbalik arah melangkah menjauh dariku yang masih tertunduk. Tanpa bisa kucegah bening hangat itu membasahi pipi.
“Terima kasih, Kak. Aku akan setia menunggu waktu itu tiba,” ucapku lirih sambil memandang punggung gagahnya yang mulai hilang tertelan senja.
***
Muhammad Budi Wasesa, nama laki-laki yang kini menjadi ketua Lingkar Dakwah Kampus itu. Merupakan mahasiswa jurusan informatika. Tinggi, bersih, dan tampan. Apalagi ditambah sikapnya yang berwibawa, cerdas dan memiliki senyum yang menawan. Siapa wanita yang tidak lumer jika dekat dengannya. Termasuk aku. Mungkin berlebihan, namun apa dikata jika cinta itu hadir semua jadi gila. Pesona Kak Budi—panggilanku untuknya, membuat semua gadis seanterio kampus jatuh hati. Tetapi jangan berharap banyak ya girls, karena Kak Budi cuma untukku.
“Hayo … melamun aja! Melamunin siapa tuh?” canda Kak Nadia yang sedang mengamatiku berimajinasi tentang pesona Kak Budi. Aku pun salah tingkah dengan pipi yang merona merah.
“Enggak kok, Kak!” elakku sambil mengambil buku catatan. Seharusnya acara halaqah semacam ini bukan untuk melamunin pangeran surgaku. Namun, tempat menimbah ilmu. Astaghfirullah ….
“Kak, emang salah ya kalau kita suka sama seseorang!” tanyaku kepada Kak Nadia tatkala acara halaqah sudah selesai.
Mata teduh berbinar menatapku. Membuatku sedikit kikuk.
“Cie … lagi falling in love sama siapa nih?” godanya sambil mengedipkan mata. Aku pun tambah salah tingkah dan merona merah.
“Enggak kok. Cuma nanya saja. Kan banyak banget yang terjangkit virus merah jambu tersebut.” Aku berusaha beralasan, namun dalam hati harus kuakui kalau diri ini juga terjangkit virus merah jambu.
Kak Nadia mengambil posisi lebih dekat denganku sambil tersenyum tulus.
“Cinta itu anugerah dari-Nya, jadi tak ada yang salah dengan cinta.” Kalimatnya terhenti lalu mengatur nafas panjang. “Mencintai dan dicintai itu fitrah, jadi nikmati setiap episode dari-Nya. Namun, ada hal yang paling penting dari cinta itu.”
“Apa itu, Kak?” potongku penuh penasaran. Wajah bersahaja berbalut jilbab biru itu tersenyum gemas melihat tingkahku yang tak sabaran.
Kak Nadia diam sebentar, sekarang membuatku yang gemas dengannya.
“Bagaimana kita menyikapi kala cinta itu datang. Jangan sampai keluar jalur yang diperintahkan-Nya. Jemput jodoh dengan cara yang baik misal ta’aruf. Jika, belum mampu menikah mending pantaskan diri dulu hingga kelak dipertemukan oleh jodoh pilihan-Nya.”
Perkataan Kak Nadia seakan menembak tepat hatiku kini. Bening hangat pun luruh. Aku mengusapnya sambil menahan rasa. Entah rasa apa itu. Terpenting, aku malu kepada Kak Nadia dan lebih malu kepada-Nya. Kak Nadia memegang bahuku, berusaha menenangkanku.
“Dek, percayalah jodoh kita sudah tertulis di lauh mahfuz-Nya.”
Aku hanya mampu mengangguk sambil tertunduk. Apakah perasaan ini salah, ya Allah. Aku dalam dilema. Satu sisi aku mencintai Kak Budi, aku takut kehilangannya. Tetapi, aku juga takut akan melanggar perintah-Nya. Apa yang harus aku lakukan?
***
Semua perkataan Kak Nadia sepekan yang lalu bagai angin yang datang lalu pergi begitu saja. Awalnya aku takut dan berusaha menghindar dari pangeran surgaku. Namun, perasaan ini terlampau besar untuk menjauhinya. Dalam hati menolak jika aku salah. Toh, aku juga tidak pacaran dengannya. Kami tidak melanggar syariat. Meskipun, dalam hati kecilku ada sesuatu yang kosong, entah itu apa.
Setiap hari selalu aku mengirim sms kepadanya. Sekedar basi-basi tanya tentang kegiatan dakwah kampus. Hingga, obrolan tak penting semisal tanya kabar dan jadi alarm shalat untuknya. Berlebihan. Mungkin, tapi bagi seseorang yang jatuh cinta itu masih dalam lingkup wajar. Namun, yang tak kumengerti ia masih santai dan biasa saja menanggapinya.
“Kak, apa salah jika ada akhwat yang suka dengan ikhwan namun, ia tak berani mengungkapkannya?” tanyaku lewat sms. Hatiku gamang waktu itu. Keberanian darimana, hingga aku berani mengirim sms seperti itu. Lama tak ada balasan dari Kak Budi. Apa yang terjadi? Apa ia marah kepadaku? Perasaan menyesal tiba-tiba menghantui.
Beep … beep ….
Kulihat layar ponsel, ada pesan darinya. Hatiku pun girang dan buru-buru membukanya.
“Tak ada yang salah, namun kadang kala pengakuan itu perlu agar tak menyesal dikemudian hari. Jika, ia masih malu cukup berdoa minta petunjuk-Nya. Karena, kita tak pernah mengerti jalan takdir-Nya.”
Smsnya membuatku semakin berani untuk mengungkapkan semua perasaan ini kepadanya.
“Kak … sebenarnya akhwat itu adalah aku. Iya, aku sedang suka kepada seorang ikhwan bernama Muhammad Budi Wasesa,” balasku dengan hati yang bergetar. Aku tak tahu apakah ini benar atau salah. Namun, aku merasa lega. Rasa itu melebur bersama sms tersebut. Bukan lagi balasan smsnya, tetapi apa yang akan terjadi nanti yang menganggu pikiranku.
“Afwan, Dek, aku tak bisa menjawabnya lewat sms. InsyaAllah, besok sore kita bicarakan di taman kota.”
Dadaku sesak, sulit sekali bernafas. Menunggu esok terasa lamban dan bertahun-tahun. Mataku tak bisa terpejam, pikiran tentangnya masih bergelayut dalam tempurung otak. Apa yang akan terjadi esok?
***
“Cintai dan benci sesuatu itu sewajarnya saja. Karena, kita tak tahu apa yang terjadi esok. Mungkin, kini kita mencintainya namun esok belum tentu kita akan membencinya. Begitupun sebaliknya. Untuk itu cintailah sesuatu karena Allah. Nanti, apa pun yang terjadi pasti terbaik untuk hamba-Nya.”
Kini, aku mengerti kalimat yang dijelaskan Kak Nadia kala memberi materi dalam acara dakwah kampus untuk para muslimah dua hari yang lalu. Aku masih setia menangis di dalam kamar. Semua episode itu terasa menjadi satu bak film. Salah. Iya, ada yang salah dengan perasaan ini. Bukankah Kak Budi benar memberi jeda untuk hubungan yang tak halal ini. Tetapi, kenapa aku masih sakit. Lebih tepatnya sakit di hati.
Sudah sepekan, rasa sakit itu masih bergelayut di dalam hati. Seharusnya, aku bisa menerima, toh tidak ada yang dirugikan dalam hubungan ini. Kak Budi, sedikit pun tak menggantung perasaanku. Tetapi, akulah yang kegeeran kepada sosoknya yang selalu santun dan ramah.
Gelagatku pun tercium juga oleh Kak Nadia. Wajahku yang biasa cerah, kini redup tak bergairah.
“Dek, jika ada masalah jangan dipendam sendiri. Nih … ada pundak kakak!” ucapnya sambil menepuk pundaknya. Kak Nadia selalu mengerti perasaan adik-adiknya. Suasana sepi setelah acara halaqah tadi membuatku berani. Kristal bening meluncur deras membasahi pipi dan mengalir di pundak Kak Nadia.
Sambil mengelus kepalaku yang berbalut jilbab merah jambu, Kak Nadia lirih berkata.
“Jika ini tentang perasaan adek. Kakak hanya mampu bilang ikhlaskan. Serahkan semua pada takdir-Nya. Jangan membebani diri dengan sesuatu yang belum tentu baik untuk masa depan kita.”
Tangisku semakin kencang kalimat Kak Nadia menohok hatiku. Mengapa aku harus menangis untuk hal yang belum tentu baik untuk masa depanku. Sulit. Tapi, inilah kenyataannya. Aku harus berani. Melangkah jauh lebih baik. Bukankah ia pun berkata demikian. Memantaskan diri. Iya, aku harus jadi muslimah yang baik untuk jodoh tebaik dari-Nya.
***
Hari-hariku kini jauh lebih baik. Bahkan lebih baik setelah tak ada namanya di hatiku. Namun, bukan begitu saja ia terhapus dalam memori. Kadang rasa rindu bersua dengannya bergelayut dalam pikiranku. Namun, buru-buru kupadamkan dengan lebih banyak mendekat kepada-Nya.
“Menikah?”
Aku masih tertegun tak percaya. Air mata pun luruh sambari memeluknya. Hangat. Semoga ia dengan pangeran surganya menjadi keluarga sakinah, mawadah, dan warrahmah.
“Beneran?” tekanku yang masih tak percaya. Ia hanya mengangguk. Wajahnya masih sama bersahaja dan meneduhkan. Kak Nadia akan menikah. Beruntung sekali pria itu mendapatkan muslimah yang insyaAllah saleha tersebut. Ia pun menyodorkan undangan berwarna merah jambu. Manis sekali. Aku pun tersenyum bahagia.
“Kok aku nggak tahu Kak Nadia akan menikah secepat ini!” celetukku sambil memasukkan undangan manisnya ke dalam tas.
“Semua begitu cepat dan kakak pun masih tak percaya. Kami melalui proses ta’aruf sebulan. Karena, ada kemantapan jadi kami pun memutuskan untuk segera menyempurnakan separuh agama. Mungkin, inilah jodoh pilihan-Nya untuk kakak,” terangnya dengan rona bahagia dan sedikit malu. Aku pun merasa bahagia, kakak yang selalu sabar dan setia menemani dan memberi nasihat kebaikan kini akan menikah.
“Tapi, janji jangan tinggalkan kami ya!” Kupeluk Kak Nadia hangat. Ia mengangguk pelan dan sedikit terisak.
***
Skenario-Nya begitu luar biasa. Episode yang lalu kini pecah berkeping-keping. Sesak. Namun, kembali inilah kenyataan. Takdir kini yang menang. Bukankah semua telah tercatat rapi di lauh mahfuz-Nya. Undangan merah jambu itu tak lagi manis di mataku.
Menikah
Nadia Putri
Dengan
Muhammad Budi Wasesa

Aku menangis dalam sujud sepertiga malam. Kuaduhkan semuanya kepada Sang pemilik hati ini. Bukan mengutuk mereka yang sebentar lagi menikah, membina keluarga yang diridhoi-Nya. Namun, aku berdoa untuk kebahagian mereka. Aku bersyukur atas takdir ini. Takdir yang mengantarkanku untuk lebih memahami makna ikhlas. Tidak mudah. Namun, semua akan berjalan indah jika kita libatkan Dia. Dia, Sang Maha Baik yang akan memberikan jodoh terbaik untukku. Jodoh pilihan-Nya dan ia bukan Muhammad Budi Wasesa.
Selesai









Selasa, 01 September 2015

Jangan Menangis Lagi

Jangan Menangis Lagi
Yanuari Purnawan
Aku ingin berlari lalu pergi
Menghapus luka di hati
Tertusuk duri; Mati
Semua terasa sepi
Sunyi
Sendiri dalam mimpi


Aku belari meninggal kerumunan itu. Sekuat tenaga menahan agar air mata tak luruh. Mereka pasti akan melemahkanku jika melihatku menangis. Tidak! Itu tidak akan pernah terjadi. Biarlah mereka puas tertawa kini. Namun, semburat fajar merah masih menyisakan harapan.
Sekuat-kuatnya diri untuk menahannya, tapi bening hangat itupun tanpa kupinta sudah membasahi pipi. Kutumpahkan semua di atas tempat tidur. Raungan menjadi-jadi. Aku sudah tak kuat lagi. Ingin rasanya semua berakhir tanpa jeda. Tuhan, inikah yang disebut keadilan-Mu. Entah mengapa kalimat itu terucap dengan mudah. Bukan tak bersyukur, namun rasa sabar ini sudah melewati limit. Sekali lagi, bukan takdir yang salah tapi diriku.
“Ada apa?” Sebuah sentuhan lembut di pundak. Aku pun menggeser badan. Kupeluk wanita di sampingku dengan derai air mata.
“Menangislah jika itu membuatmu lega!” Tangisku pun meradang. Ingin sekali kutumpuhkan semuanya sekarang dan terakhir kali. Belaian lembut di rambut membuatku sedikit tenang dan nyaman.
“Aku kesepian!” lirih aku mulai bersuara.
“Terus?”
“Aku takut kesepian ini menggerogotiku hingga nanti sampai mati.” Tangisku pun pecah kembali. Belaian tangan halusnya semakin terasa kuat.
“Kamu yakin dengan apa yang kau rasa?” Aku hanya mengangguk dan terbenam dalam pelukannya.
“Apakah ibu tak malu punya anak sepertiku?” Sekonyong-konyong pertanyaan itu melesat dari bibirku. Wajah teduh itu menatapku penuh kasih. Mata malaikat yang mampu membuat ruang hatiku hangat kembali.
“Mengapa harus malu. Sembilan bulan perut ibu buncit juga tidak malu.” Senyum menghias wajahnya. Aku hanya diam menikmati dekapan hangat darinya. Kamarku yang gelap menjelma hening. Sesekali isak tangisku yang masih terdengar.
“Tapi ….!”
“Setiap manusia punya caranya sendiri untuk bahagia, Nak. Mungkin yang terlihat oleh mata tak sama dengan apa yang terasa di hati.” Kalimat yang dari bibir seolah menjadi oase di tengah gersangnya sahara. Menjadi obat yang mampu menyumbuhkan luka.
“Tapi, aku takut, Bu. Takut tak akan mampu lagi berdiri tanpamu di sisiku. Takut jika gelap itu masih saja bergelayut dalam hidupku,” jelasku dengan isak tangis. Ketakutan yang terpendam dalam hati ingin sekali aku hapus dengan air mata ini.
“Ibu percaya bahwa anak ibu adalah anak yang kuat dan semangat.” Senyum kembali menghias wajah teduhnya. “Sekalipun orang lain menghinamu, ibu tak akan sanggup melakukan hal yang sama seperti mereka. Darah kita menyatu, apakah ibu sanggup.” Air mata ibu perlahan membasahi pipinya.
“Bu …,!” Kuseka air matanya. “Maafkan, anakmu ini.”
“Bukan kamu yang salah, Nak. Tetapi ibu yang salah. Terlalu cepat pergi meninggalkanmu sendiri.”
“Tidak, bu. Ibu adalah penyemangatku, pelindungku dan pembelaku. Akulah anak ibu yang belum bisa membanggakanmu walau secuil.” Kami pun dalam dekapan hangat berselimut isak tangis.
“Jangan menagis lagi!” ucap ibu sambil menyeka air mataku. Mataku sembab.
“Janji kepada ibu, kau akan tetap menjadi anak ibu yang baik walau dalam kondisi yang tak baik. Biar orang berkata apapun tentang hidupmu. Namun, kamu harus jadi apa yang hatimu ingin. Jangan biarkan ketakutan, kesepian dan hinaan menjadi batu sandungan yang menjatuhkanmu.” Kulihat senyum itu begitu tulus penuh kasih sayang.
“Aku merindukanmu, Bu!” Bayangan itu memudar seiring cahaya fajar mulai menerpa kisi-kisi jendela kamar. Aku tersengkur sendiri di kamar yang gelap dan sepi.

Selesai
Kalipucang, 1 september 2015