Rabu, 21 September 2016

Aku Bukan Aku

Aku Bukan Aku
Oleh : Yanuari Purnawan



“Saya terima nikah dan kawinnya, Aisyah binti Imron dengan mas kawin tersebut tunai,” ucapku sekali tarikan nafas. Kulihat seorang wanita bergaun pengantin putih dan bercadar datang mendekatiku.

“Aisyah …,” ucapku terbata. Dia hanya mengangguk dan terlihat matanya begitu sejuk di balik cadar.
“Apa aku boleh membuka cadarmu.” Tanpa kata dia hanya mengangguk lagi.
Bismillah ….,” jawabku lirih. Dengan tangan gemetar, pelan, cadar itu pun sedikit terbuka dan wajah itu bercahaya lalu ….

Kringgg … kringgg ….

Aku terjatuh dari tempat tidur, astaga cuma mimpi sambil mengucek mata. Kulirik jam beker yang telah menghancurkan mimpi indah. Jam menunjukan angka tujuh pagi, waduh aku bisa terlambat kuliah, apalagi sekarang mata kuliahnya Pak Anton yang terkenal killer. Dengan tergesa-gesa aku menuju kamar mandi, cuci muka saja lalu ganti baju dan berangkat.

Sial …!!! Ternyata aku terlambat dan tidak boleh ikut mata kuliah Pak Anton. Dari pada kesal, aku menuju kantin. Siapakah gadis itu? Gadis yang baru kutahu namanya Aisyah, anak fakultas ekonomi semester tiga. Menurutku dia hanya mahasiswi yang biasa saja, dibanding Serly yang merupakan primadona kampus. Tetapi yang membuatnya beda terletak pada jilbab yang super panjang itu, sama sekali tidak modis dan kampungan.

Entah mengapa akhir-akhir ini aku jadi sering memikirkan gadis tersebut. Hingga puncaknya sampai terbawa mimpi, astaga apakah aku jatuh cinta kepadanya?

“Hei, Mas Bro. Tumben terlambat, lagi mimpi ketemu bidadari ya!” ledek Bayu teman satu kelas sambil menyerobot teh pesananku.
“Maksudmu? Jangan sok tahu deh …! Jawabku gugup. Temanku satu ini sudah kurus, suka iseng apalagi jika urusan perempuan.
“Kok grogi, pasti benar dugaanku.”
“kamu kenal tidak, dengan junior kita bernama Aisyah?”
“Aisyah anak yang aneh dengan jilbab panjangnya itu, jadi kamu suka dengan dia,” cerocos Bayu, kubungkam mulutnya dengan tangan.
“Jangan keras-keras malu di dengar orang.”
“Sudahlah lupakan dia, pria seperti kamu bukanlah tipenya. Kamu tidak pantas dengan gadis berjilbab itu.”

Perkataan Bayu seakan memupuskan harapanku untuk kenal dekat dengan Aisyah. Tetapi, tidak salah juga perkataan tersebut, mana mungkin gadis seperti dia mau dengan pria yang hampir D.O, tidak lulus-lulus dan tidak mengerti agama. Pasti pria yang dicari dia minimal yang bisa mengaji.

Hari telah berganti tetapi rasa cintaku kepada Aisyah bukannya berkurang tetapi tumbuh subur di hati hingga sulit untuk melupakannya. Setiap kuliah pagi aku sempatkan untuk shalat dzuhur berjamaah di masjid kampus. Wajah yang bersahaja itu tidak membuatku jenuh apalagi malas untuk datang ke masjid.

Aisyah telah mengubah setiap sendi kehidupanku. Aku jadi lebih alim, rajin shalat dan beberapa kali ikut pengajian yang terkadang membuatku tertidur di pojok masjid. Bayu sangat kaget dengan perubahan drastisku. Berkali-kali dia mengingatkanku bahwa aku tidaklah pantas mencintai Aisyah. Menurutnya aku bukan aku yang sebenarnya.

Cinta telah mengubah segalanya, pesonanya begitu halus dan indah menyergap hatiku. Terlalu lama, aku memendam perasaan kepadanya. Kini, saatnya aku harus mengungkapkan perasaanku kepadanya.

“Aisyah …!!!” teriakku kepada Aisyah tatkala setelah selesai pengajian di masjid kampus. Dia menoleh, tersenyum lalu menunduk.
“Apa saya bisa bicara sebentar denganmu?” tanyaku. Dia melihatku sekilas, mungkin merasa aneh dengan penampilanku yang memakai gamis dan celana bahan.
Akhy, mau bicara apa?” tanyanya balik membuatku gugup.
Aku masih grogi, gugup dan lidah keluh, keringat dingin pun keluar membasahi pipi.
“Maaf akhy, aku sedang sibuk. Jika tidak ada yang penting untuk dibicarakan. Saya pamit dulu, assalamu’alaikum.”
Lirih ku membalas salamnya, “Wa’alaikumsalam.”

Aku mengutuk diriku sendiri mengapa aku tidak berani dan pengecut. Tetapi, entah mengapa lidahku keluh saat menatap wajahnya. Aku benar-benar gila mencintainya. Tetiba pikiran itu datang lagi, apakah aku pantas mencintai Aisyah, gadis shaliha tersebut?

Hari ini ada pengajian mingguan di masjid kampus. Tausiyah ustadz tersebut sangat indah dan menohok hatiku.
“Hadirin, sudah benarkah niat kita menjalankan perintah-Nya? Apa karena ingin di bilang alim kita shalat? Jangan biarkan sifat riya’ itu membuat amalan kita ibarat debu yang menempel di batu lalu tertiup angin.”

Mendengar kalimat tersebut tanpa terasa air mataku menetes. Aku memang tidak pantas untuk Aisyah, aku berubah alim bukan karena cinta kepada-Nya tetapi hanya ingin mendapat cinta dari makhluknya. Aisyah, maafkan aku yang masih lemah iman. Semoga kelak aku pantas menjadi imam yang shalih untuk membimbingmu.

Hingga aku lulus kuliah, perasaan ini masih terpendam dalam di hati. Biarlah waktu yang menjawabnya, jika Aisyah adalah jodohku pasti bertemu juga. Dan sekarang aku tidak ingin berpura-pura menjadi orang lain untuk mencintainya. Bayu menyambutku dengan senyum khasnya. Bahwa, aku alim bukan karena orang lain tetapi karena hati sendiri.

Pada musim hujan diawal tahun baru, aku bertemu Aisyah. Ternyata dia sudah menikah dengan ustadz asal Kudus. Aisyah … aku memang tidak pernah pantas untuk mencintaimu.


Selesai

Kamis, 15 September 2016

Patah Hati Terindah

Patah Hati Terindah
Yanuari Purnawan



“Dia menolakku!”
Matanya berkaca-kaca dan raut wajahnya tampak begitu mendung. Suasana kafe pagi ini sepertinya mendukung akan apa yang dia rasakan. Sepi. Mungkin karena masih jam kerja.
“Aku tidak mengerti alasan dia menolakku. Dia bilang aku terlalu baik dan sempurna untuknya. Apa itu alasan yang tidak buat-buat?”
Dia tampak geram, namun yang lebih tepatnya depresi. Penolakkan itu berasa sangat menyakitkan baginya, bagaimana tidak, dia mencintai gadis pujaannya secara diam-diam selama dua tahun ke belakang. Dan pada momen yang tepat dia menyatakan perasaannya, malah kenyataan pahit yang harus diterimanya. Killa, sang gadis pujaan tersebut menolaknya dengan alasan yang bagi Putra itu alasan yang mengada-ada.
“Mungkin aku harus menjadi laki-laki brengsek dulu untuk dicintainya!” lanjutnya yang semakin tampak frustasi. Aku tak mampu berkata apa-apa dan memilih menjadi pendengar setia. Boleh jadi Putra tak perlu argument dariku untuk beberapa saat ini. Seperti halnya tadi saat dia menelponku untuk bicara sesuatu yang sangat penting katanya. Awalnya ku menolak, namun dari nada suaranya ada sesuatu yang tidak beres dalam dirinya hari ini. Dan ternyata, sahabat baikku dari SMA tersebut sedang patah hati.
“Apa yang harus aku lakukan kini, aku benar-benar patah hati?” kesalnya sambil mengacak-acak rambutnya. Putra sekarang memang tampak awut-awutan tak seperti biasanya yang rapi dan bersih. Mungkin kini saatnya aku bicara kepadanya, sebelumnya aku menyodorkan sebuah undangan merah jambu dihadapannya. Matanya langsung membulat membaca undangan tersebut.
“Rania Anjani dengan Ahmad Fathur!” kagetnya sambil menatapku, “Gila, apa ini beneran?” tanyanya yang masih tak percaya dengan kenyataan di depannya. Aku hanya mengangguk sambil minum jus jeruk yang aku pesan tadi.
“Skenario Allah begitu luar biasa! Jawabku yang balik menatap sahabatku tersebut.
“Kenapa kamu tidak pernah cerita kepadaku, jika Rania akan menikah atau lebih tepatnya menikah dengan orang lain?”
Aku hanya diam sambil mengingat kejadian lima hari lalu dimana aku bilang kepada Putra bahwa Rania akan menikah. Spontan dia memeluk dan mengucapkan selamat karena penantianku selama ini berbuah manis. Kembali aku hanya bisa diam ketika dia mengira bahwa aku lelaki beruntung tersebut.
“Maaf … jika aku belum bisa menjadi sahabat yang baik untukmu!”
Raut wajahnya frustasi itu berubah menjadi ekspresi penuh penyesalan. Aku tersenyum dan mengangguk kepadanya.
“Apa kamu tidak patah hati ditinggal nikah oleh Rania?” tanyanya yang mungkin dari tadi dia pendam dan tak berani untuk ditanyakan.
“Iya!”
“Lalu? Hanya itu saja ketika menerima kenyataan orang yang kita cintai akan menikah dengan orang lain?”
Aku hanya tersenyum yang membuatnya semakin penasaran dan bertanya-tanya.
“Setiap orang pasti pernah merasakan yang namanya patah hati atau penolakan. Namun, yang terpenting dari semua itu bukanlah tentang patah hati, tapi bagaimana kita ke depannya bisa mengelola hati.”
Kembali aku meminum jus jeruk yang sudah tinggal setengah. Putra yang duduk di depanku sepertinya tak sabar untuk mendengar penjelasanku.
“Ayolah kawan segera jelaskan bagaimana kita bisa mengelola hati ketika patah hati!
Aku tersenyum mendengarnya, sahabatku ini benar-benar aneh baru saja patah hati dan frustasi sekarang dia malah kepo dengan patah hati orang lain.
“Ikhlaskan semuanya dan serahkan kepada-Nya. Berat memang! Tapi, ketika kita bisa melangkah setapak melewati rasa patah hati itu, insyaaAllah Dia sang punya cinta akan memberi cinta yang lebih dan lebih indah.”
“Maksudmu, kita harus mencari cinta yang baru begitu?”
“Great, kawan! Karena, obat dari patah hati adalah cinta yang lain. Namun, sebelum cinta yang lain itu tumbuh, tumbuhkan cinta itu kepada Sang Pemilik Cinta.”
“Jadikan patah hati itu seperti patah hati terindah yang kamu rasakan, bukan membuat terpuruk namun menjadikanmu lebih keren dan lebih baik. Buat yang menolakmu karena kamu terlalu baik menjadi benar begitu faktanya!”
Putra tersenyum dan binar semangat kembali mengisi raut wajahnya yang tadi sempat mendung.
“Kawan, bolehlah kita patah hati dan galau, namun sekedarnya. Karena, masa depan kita masih utuh dan sayang sekali jika harus diratapi dengan kegalauan,” lanjutku sebelum pergi untuk kembali ke tempat kerja.
“Oke, sekarang aku harus pamit untuk menyambung hidup.”
Aku berdiri dan bergegas meninggalkannya yang masih terdiam di tempat duduknya.
“Kurasa ini adalah patah hati terindahku yang membuatku semakin kece dan keren dari kamu!” ucap Putra sambil tersenyum menatapku.
Pagi yang cerah untuk dua sahabat yang sedang patah hati atau kini lebih tepatnya pernah patah hati. Langit masih biru dan mentari masih bersinar terik, dua jomblo pun masih berlanjut untuk menemukan cinta yang baru, walau kini cinta itu sudah ada yakni cinta kepada Sang Pemilik Cinta.[]

Kalipucang, 16 September 2016
_Jumat yang selalu penuh berkah dan cinta_