Kamis, 29 November 2018

Mendung Pagi Ini

Jumat, 30/11/18



Mendung pagi mengantung, diakhir bulan November. Kutatap lekat wajahnya yang masih setia mengunyah nasi goreng buatanku. Dia pasti lelah, pulang larut ditambah kehujanan. Aku masih mengingat ketika dia menelponku kemarin, dengan sedikit gugup, dia bilang kalau hari itu harus lembur dan pulang terlambat. Aku hanya mengiyakan kabar darinya tersebut. Lega rasanya, aku punya waktu saat dia pulang telat untuk sendiri. Aku tak menyukainya. Setan masih setia mengendapkan rasa cinta dihatiku untuknya. Dua bulan menikah dengannya, rasa yang kata orang akan tumbuh karena terbiasa bertemu, justru tak pernah tumbuh dalam hatiku.

"Ada apa, kok melihatnya begitu?"
Aku menunduk, kikuk, bingung harus memulai darimana. Dia tersenyum melihat tingkahku, balas menatapku.
"Apa kakak mencintaiku?"
Justru aku membalas pertanyaan dengan pertanyaan balik. Walau kita suami istri, aku masih memanggilnya kakak dan dia memanggilku adek, terlalu aneh atau mungkin aku tak terbiasa memanggil dia sayang, bebi atau panggilan manis lainnya. Manik matanya tetap meneduhkan. Seperkian detik meja makan hening dan aku hanyut dalam pesonanya yang selama ini aku abaikan. Dia menghentikan aktivitas sarapannya, nasi goreng dipiringnya sudah habis. Dia tak langsung menjawab pertanyaanku, tapi masih sempat minum teh madu yang aku buat tadi, lalu dia kembali menatap dan tersenyum kepadaku.
"Jujur kakak tak pernah mengerti definisi cinta itu seperti apa. Namun, kakak merasa senang saat adek ada disamping kakak, saat kakak bangun dan tidur. Menikmati setiap masakan dan minuman yang adek hidangkan. Merasa lega saat tahu kabar adek baik-baik saja saat kakak kerja. Banyak banget yang kakak rasakan saat bersama adek. Mungkin kakak tak bisa menyebut semua itu cinta, tapi kakak merasa beruntung menikah dengan adek."
Pertahananku jebol, aku menangis dalam diam. Penjelasan dia menohok hatiku. Tak seharusnya aku meragukan perasaannya, justru yang patut diragukan perasaannya adalah diriku sendiri.
"Kenapa adek menangis? Apa kakak salah ngomong?"
Dia terlihat khawatir, sungguh itu tulus dari hatinya, aku hanya mampu menggeleng menjawab kekhawatirannya tersebut.
"Kakak tak salah apa-apa, tapi adeklah yang tak tahu diri. Adek seharusnya ...,"
"Sudahlah jangan terlalu berat dipikirkan, kakak sudah menerimanya dan memeluk semua masa lalu adek. Jadi, jangan bahas itu lagi, terpenting adek sekarang sudah belajar menerima itu semua,"
potongnya yang sepertinya tak ingin membahas permasalahan ini lagi. Sebelum menikah pun dia telah mengetahui masa laluku, aku sudah menceritakannya dengan jujur kepadanya.
Kembali aku menggeleng, "ini sudah bulan kedua kita menikah, kak. Namun, kenapa hati adek belum bisa menerimanya. Maafkan adek kak! Seharusnya kakak berhak mendapat yang lebih baik dari ini semua."
Air mata kembali deras membanjiri pipi, aku terisak. Dia beringsut duduk disampingku menyandarkanku didadanya, lalu mengelus pucuk kepalaku. Aku seperti anak kecil yang merajuk lalu menangis didekapan seorang ayah. Hangat dan menenangkan.
"Jangan pernah membenci masa lalu, Dek. Adek tidak akan pernah menang melawan masa lalu itu, sekalipun adek punya kekuatan lebih untuk melawannya. Terima, dekap dan peluk semua itu, Dek. Rasakan kalau adek punya hari baru yang lebih baik daripada harus meratapi masa lalu yang sudah jauh tertinggal."
Penjelasannya kali ini lebih menenangkanku, dari penjelasan di awal kita memulai langkah baru. Aku selalu melawannya, membiarkannya tumbuh menjadi kebencian. Namun, mendung pagi ini meluruhkan semuanya, gerimis membersihkan sisanya. Masa lalu adalah pembelajaran yang tak harus merusak masa kini dan masa depan yang masih utuh.
Kini, aku lebih tenang dan lega. Dia melepaskan dekapannya lalu menyeka sisa air mata dipipiku.
"Ohnya tadi kenapa adek melihat kakak kok segitunya!"
godanya sambil gemas mencubit pipiku. Aku merajuk sambil tersenyum malu.
"Kakak libur kan hari ini?" dia mengangguk, " Kalau begitu ..."
"Melanjutkan sunah rasul yang tertunda karena kakak lembur tadi malam!"
Aku mencubit pinggangnya dan dia pura-pura kesakitan.
"Lebay deh! Maksudku, kalau begitu kakak bisa bantu adek buat ngepel rumah dan cuci piring."
Dia terkekeh lalu kembali membenamkan kepalaku didadanya.
"Terimakasih, akhirnya adek kembali setelah dua tahun lamanya, senyum ini tak pernah lagi ada. Senyum tulus dari gadis yang kakak sayang, Aulia Putri Azzahra."


Dua tahun lalu aku pernah terluka bahkan nyaris tak bisa melanjutkan hidup. Perselingkuhan yang dilakukan ayah, membuat istana kebahagian yang ayah dan ibu bangun runtuh seketika. Siapa sangka jika kebahagian dan rasa cinta antara ayah dan ibu adalah kamuflase belaka. Saat itu tak percaya cinta dan kesetiaan, hidupku berkutat dengan kepura-puraan. Hingga tiga bulan lalu, dia datang membawa secercah harapan untuk aku menuai kembali benih itu. Benih cinta yang telah lama mati. Dia tak pernah menjanjikanku apa-apa, dia hanya butuh berani dan sabar. Benteng yang aku bangun dulu perlahan goyah, sedikit demi sedikit runtuh. Keseriusan, kedewasaan dan cara dia bersikap mampu merobohkan benteng ego yang ada di hatiku. Terimakasih, Kak, telah sabar menanti dan berjuang. Aku akan terus belajar mencintaimu, seperti mendung pagi ini, menebar dingin di tubuh, tapi mampu menghangatkan setiap rasa di hati ini. Aku memilihnya yang pernah kusebut dalam doa walau itu kapan, dialah Arjuna Perwira, lelakiku, suamiku.

_END_




Rabu, 21 November 2018

When I Look at You

KAMIS, 22/11/18



Lima tahun lalu, dengan jilbab merah jambu senada gamis yang kamu kenakan, kamu mampu dengan mudah mengalihkan duniaku. Saat itu kamu begitu anggun menyampaikan materi seminar tentang ilmu bagi generasi masa kini. Tak banyak yang mengetahui tentang siapa dirimu? Sahabatku yang aktivis kampus pun tak banyak yang mengenal siapa gadis anggun nan cerdas tersebut. Mulai detik itu kuniatkan diri untuk mengenalmu lebih jauh, lalu semestapun mendukung.

Namanya Zahratul Wardah, baru semester dua jurusan pendidikan bahasa, ternyata kamu adalah junior di kampusku. Melihat wawasanmu di seminar itu, aku menyangka dirimu satu angkatan dengan diriku. Luar biasa seorang junior mampu mengisi materi dengan begitu cerdasnya. Begitu banyak teman yang mengelilingi segala aktivitasmu, semua sangat jelas terlihat kamu begitu ramah dengan senyum tulus yang terpancar dari wajah teduhmu. Aku yakin siapapun yang kenal dekat denganmu akan merasa nyaman. Beberapa hari itu aku menjadi secret admirermu, melihat dari jauh segala aktivitasmu di kampus, mengikuti langkah kakimu hingga tanpa kuduga sebelumnya, kamu adalah anak dari penjual soto dekat area kampus. Lagi-lagi aku dibuat kagum oleh sikapmu, tanpa malu kepada mahasiswa lain yang kebetulan makan di situ, kamu sigap dan ramah melayani mereka untuk membantu orang tuamu berjualan soto. Ya Allah, diriku semakin yakin bahwa gadis seperti itulah yang aku cari.

Aku masih ingat betul saat itu gerimis, aku dengan tergesa-gesa masuk ke gang rumahmu. Tak sulit bagiku untuk mencari alamat rumahmu. Ternyata rumahmu tak jauh dari kampus sekitar satu kilometeran. Rumah yang tanpa sederhana, tapi dihuni oleh orang-orang yang luar biasa. Aku sangat grogi dan gugup saat ayahmu menanyakan keperluanku datang ke rumahku. Tanpa basa-basi, lidahku yang terasa keluh berkata bahwa aku ingin melamarmu dan menjadikanmu penyempurna agamaku. Setelah berkata begitu di depan ayahmu, aku hanya mampu menunduk dan gemetar menunggu respon beliau. Tanpa kuduga, ayahmu berkata, "Saya sangat menghargai keberanianmu, Nak. Namun, saya hanya ayah dari Zahra dan yang akan menjalani rumah tangga pun dia, maka keputusan sepenuhnya saya serahkan kepadanya."
Lalu ayahmu memanggil dirimu, kamu menunduk dan aku tahu kamu pasti merasakan hal yang sama dengan apa yang kurasakan saat itu. Gugup dan gemetar. Setelah ayah bercerita tentang niat baikku, sekarang gilliran dirimu sang penentu keputusan.
Dengan anggun dan sopan kamu berkata, "Terima kasih atas keberanian akhi untuk melamar saya, tapi saya bisa memutuskan semuanya jika akhi datang bersama kedua orangtua akhi. Karena bagi saya menikah adalah restu dan ridho orang tua juga."

Ayah sangat mendukung keputusanku, menyerahkan apapun kepadaku, asal dia gadis baik-baik, ayah setuju. Lain halnya, ibu. Ibu tak setuju dengan keputusanku melamarmu. Bagi beliau aku dan tak selevel atau sekufu, ada perbedaan mencolok antara anak pengusaha sukses dengan anak penjual soto. Hampir saja aku melawan keputusan ibu dan nekat menikahimu. Namun, akal warasku masih berjalan, itu berkat dukungan ayah. Saat itu aku sedang mengurung diri di kamar, hampir seminggu aku tak pergi ke kampus, aku patah hati sebelum waktunya. Ayah diam-diam masuk ke kamarku lalu berkata, "Ibumu membuat keputusan begitu pasti ada alasannya. Pasti setiap orangtua terutama ibu, menginginkan pasangan yang terbaik bagi anaknya. Apalagi kamu adalah anak laki-laki satu-satunya di keluarga ini. Kuharap kamu mengerti dan tak menyalahkan ibu."

Waktu bergulir begitu cepat, sedang ibu masih kekeh dengan keputusannya. Berkali-kali aku membujuknya untuk sebentar saja berkenalan denganmu. Namun, ibu beribu alasan tetap menolak bahwa anak seorang penjual soto tak layak bersanding denganku. Nanti apa kata tetangga, saudara dan sahabat beliau, kalau Erlangga Putra Wijaya sang penerus perusahaan Wijaya Company menikah dengan gadis yang tak selevel dengannya. Ya Allah, hanya berdoa dan ikhlas yang bisa aku lakukan. Jika kamu adalah jodohku pasti aku dan kamu akan bersatu, tapi jika tidak kuharap aku dan kamu menemukan bahagianya masing-masing.

Allah mendengar doaku. Begitulah jalanNya, ketika manusia ikhlas dan pasrah pasti ada cara Allah yang begitu indah mengatur segalanya. Sore itu mata ibu berbinar-binar, dengan antusias masuk ke kamarku lalu bercerita atas apa yang beliau temukan saat ikut kajian agama ibu-ibu kompleks. Aku masih ingat betul apa yang ibu katakan saat itu, "Lupakan gadis anak penjual soto itu. Sekarang ibu punya calon yang pastinya sekufu denganmu. Anak kulihan dan pastinya pinter ngaji. Ya Allah, baru kali ini ibu melihat gadis seanggun dan secerdas itu, apalagi suaranya saat melantunkan ayat suci, bagus dan adem hati ini."
Aku hanya diam mendengar perkataan ibu dan iseng bertanya, "Namanya siapa dan kuliah dimana?"
"Tadi waktu ibu-ibu kompleks bertanya namanya ... ah siapa sih ... bentar ibu ingat-ingat dulu. Pokoknya dia kulihnya satu kampus denganmu!" 
"Kalau dia anak penjual soto bahkan anak tukang becak, apa ibu akan setuju?"
Kembali aku iseng bertanya kepada beliau dan tanpa kuduga jawaban ibu waktu itu membuat diriku semakin penasaran kepada gadis yang ceritakannya. Apakah dia lebih hebat darimu saat itu.
"Ah, sekarang ibu nggak peduli dia anaknya siapa? Orangtuanya kerja apa? Karena, saat melihat gadis itu, ibu merasa cocok kalau dia jadi menantu ibu. Ah, dia cantik, cerdas, ngajinya bagus dan sopan."
Pujian ibu kepada gadis itu membuat diriku goyah untuk melanjutkan lamaran atasmu.
"Oh ya, ibu ingat namanya sekarang, tadi sebelum mengaji dia memperkenalkan dirinya, Zahratul Wardah!"

Waktu saat itu terasa berhenti berputar, Allah menjawab doa-doa disetiap pengujung malam atas keyakinanku untuk menikahimu. Lewat caraNya yang begitu luar biasa, aku dan kamu mampu disatukan dengan cara yang halal dan ridho dariNya. 

Pernikahan itu benar terjadi, kamu, Zahratul Wardah telah sah menjadi istri Erlangga Putra Wijaya. Masa sulit mendapat restu ibu terbayar lunas saat ibu tersenyum bahagia dan berkali-kali minta maaf atas kekhilafannya. Aku hanya tersenyum dan mengingat ucapan ayah bahwa setiap orangtua terutama seorang ibu pasti menginginkan pasangan yang terbaik bagi anak-anaknya. 
Usai acara pernikahan itu, aku dan kamu menitih fase baru dalam hidup, yaitu sebagai sepasang suami istri. Tak mudah hampir lima tahun kita membangun rumah tangga ini. Pasang surut dinamika rumah tangga kita rasakan berdua. Beratnya gunjingan dari saudara hingga tetangga kalau dirimu dikatakan menikah denganku semata karena harta. Kembali peranku sebagai kepala rumah tangga bertanggung jawab atas kenyaman dan keamanan istri dan anak-anak.

Kini aku bersyukur dan beruntung memilihmu menjadi penyempurna agamaku. Kamu begitu sabar dan elegan dalam menyikapi masalah. Menghangatkan kala dingin menerpa, menyejukan kala bara dalam rumah mulai membara. Kulihat kamu selesai menemani Fahmi untuk tidur, tak ada gurat lelah di wajahmu. Pasti melelahkan mengurus sendiri anak usia empat tahun dan seaktif Fahmi tersebut. Saat aku menawarkan bantuan babysister untuk meringakan pekerjaanmu, kamu dengan tersenyum menjawab, "Babysister terbaik bagi seorang anak adalah ibunya. Tenang, Bi, insyaAllah umi kuat dan ikhlas menjalani semuanya. Kebahagian umi saat ini adalah mampu mengurus sendiri dengan baik abi dan Fahmi."

"Abi, kok masih diam di ruang tamu, memang belum mengantuk?" tegurmu lalu duduk di sampingku. Aku menggeleng lalu merogoh saku celana.
"Selamat hari pernikahan kita yang kelima tahun, Umi!" Kotak cincin itu sudah kupersiapkan dua minggu yang lalu sebagai hadiah spesial hari jadi pernikahan. Kamu tampak terkejut sambil menutup mulut. Air mata jatuh membasahi wajah teduhmu. Perlahan jemariku menghapusnya dari kelopak mata yang memancarkan kasih sayang yang begitu besar dan tulus bagi keluarga.
"Terima kasih, Bi. Maaf umi belum bisa mengasih apa-apa kepada abi!"
Kusandarkan kepalamu yang berbalut jilbab merah muda ke dadaku. Kucium pucuk kepalamu dan rasakan debar jantungku bahwa aku tulus mencintaimu. Jika aku jantung, kamulah debarannya, istriku, cintaku, Zahratul Wardah.
"Bi, kurasa sebentar lagi Fahmi akan punya adik. Umi telat dua minggu!"

_Selesai_



Senin, 19 November 2018

TITIK TERENDAH

Selasa, 20/11/18



Setiap manusia pasti mengalami masa berada di titik terendahnya masing-masing. Menginjak usia dewasa pasti kita akan dihadapkan dengan berbagai problematika kehidupan. Kadang itu masalah remeh temeh, hingga puncaknya masalah itu menjadi blunder yang menguras tenaga dan pikiran. Sedih, nangis, menyalahkan diri sendiri dan orang lain kerap menjadi pelampiasan kita ketika masalah itu tak kunjung menemukan titik terang. Ah, begitulah tabiat manusia, termasuk diri saya pribadi.

Kita pasti mengenal orang-orang yang sukses di luar sana, bahkan sampai ada yang dijuluki orang terkaya di dunia, lalu pertanyaannya apakah mereka tidak mengalami titik terendah dalam hidupnya? Jawabannya pasti pernah. Sebut saja JK Rowling, penulis paling kaya atas karya fenomenal Harry Potter tersebut pernah mengalami fase terendah dalam hidupnya. Apakah dia lantas menyalahkan keadaan dan nasib hidupnya? Tidak, dia bangkit dan berjuang walau dengan tertatih serta air mata yang dikorbankan. Dari sedikit gambaran hidup JK Rowling tersebut, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa setiap manusia yang masih bernyawa pasti pernah mengalami perputaran roda dalam kehidupannya.

Demi Masa
(Raihan)
Demi masa sesungguhnya manusia kerugian
Melainkan yang beriman dan beramal sholeh
Demi masa sesungguhnya manusia kerugian
Melainkan nasehat kepada kebenaran dan kesabaran
Gunakan kesempatan yang masih diberi moga kita takkan menyesal
Masa usia kita jangan disiakan kerna ia takkan kembali
Ingat lima perkara sebelum lima perkara
Sihat sebelum sakit
Muda sebelum tua
Kaya sebelum miskin
Lapang sebelum sempit
Hidup sebelum mati
Demi masa sesungguhnya manusia kerugian
Melainkan yang beriman dan beramal sholeh
Gunakan kesempatan yang masih diberi moga kita takkan menyesal
Masa usia kita jangan disiakan kerna ia takkan kembali
Ingat lima perkara sebelum lima perkara
Sihat sebelum sakit
Muda sebelum tua
Kaya sebelum miskin
Lapang sebelum sempit
Hidup sebelum mati
Muda

Lagu Raihan-Demi Masa tersebut mengingatkan saya bahwa waktulah yang membuat orang belajar memaknai proses dalam kehidupannya. Saat sakit, kita menyadari bahwa sehat itu mahal, saat sehat kita bisa melakukan aktivitas dengan lancar tak terkendala kodisi tubuh. Muda foya-foya, tua mati masuk surga, siapa yang tak mau kehidupan seperti itu. Pertanyaannya apakah kita bisa menjamin umur kita panjang sampai tua? Kaya sebelum miskin, inilah titik terendah yang menjadi jarak dalam hidup bersosial, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Namun, ada kalanya roda berputar yang kaya sama rata dengan si miskin. Refleksi untuk diri ini pribadi adalah saat terjadi bencana alam, kita melihat tak ada yang namanya 'kamu si kaya' dan 'kamu si miskin' melainkan membaur menjadi satu bernama manusia. Lapang sebelum sempit, saat lapang, segala sesuatunya dipermudah, terkadang kita lupa buat berbagi dengan sesamanya, sibuk membesarkan perut sendiri. Namun, saat sempit tiba semua terlihat gelap dan menyalahkan lainnya. Semoga kita bukan manusia seperti itu, saat lapang berbagi, saat sempit tetap berjuang. Terakhir hidup sebelum mati, semoga hidup kita menjadi hidup yang mampu menebar manfaat buat sesama, kelak jika jasad sudah tertimbun tanah, ruh kembali kepadaNya dengan sebaik-baik hambaNya.

Seperti awal tadi saya tak akan menulis tentang motivasi bagaimana menghadapi titik terendah. Namun, saya ingin merefleksi diri bahwa setiap manusia punya bagian masing-masing fase kehidupannya, kadang di atas penuh kemudahan dan kenikmatan, kadang pula harus berdarah-darah, menangis, bangkit dan berjuang saat roda itu berputar ke bawah. Bersyukur saat di atas, bersabar saat diuji. Jangan menyerah buat kalian yang kini sedang berada di titik terendah kehidupan, ingat kalian tidak sendirian, di belahan bumi lain banyak manusia yang diuji lebih berat dari kalian. Bersabarlah, karena buah dari sabar adalah nikmat dariNya. Ingat ini, saat kita berada di titik terendah, hanya ada satu jalan buat kalian yaitu naik ke titik tertinggi kehidupan kalian. Semangat bahwa hari ini , esok dan seterusnya adalah fase terbaik dalam hidup kita.^^

Minggu, 18 November 2018

RUMAH

SENIN, 19/11/18


Rumah tangga macam apa ini, dia yang kusebut suami tak pernah bertanggung jawab atas kewajibannya. Semua gara-gara abi dan umi, jika mereka tak menjodohkan dengan pria itu pasti hidupku bahagia seperti sahabatku yang sudah menikah. Tidak, ini bukan salah mereka, tapi salah pria itu yang kini berhasil mempersuntingku. Jika dia tidak datang membawa angin surga kepada keluarga besarku, mungkin pernikahan ini tak akan pernah terjadi.

Fikri Abdillah, nama pria itulah yang selalu mengisi hariku selama tiga bulan ini. Iya, kita memang masih pengantin baru, tapi aku belum pernah merasakan menjadi pengantin baru seperti sahabatku lainnya yang juga sebagai pengantin baru. Rena, baru empat bulan menikah kini sedang berbunga-bunga menyusun program kehamilan bersama sang suami. Semua terlihat jelas dari postingan instagramnya yang menampilakan foto kemesraan dia dan suami. Lalu, Bella sahabatku yang baru dua minggu menikah, lagi giat-giat memamerkan foto honeymoon bersama suami di sosial medianya. Tuhan, apakah ini adil? Aku yang sudah menikah tiga bulan lebih belum pernah merasakan apa yang kedua sahabatku tersebut rasakan.

Aku dan Mas Fikri terlalu sibuk dengan aktivitas masing-masing. Berkali-kali aku mengasih kode agar dia lebih perhatian, ternyata dia tak peka. Kegiatan yang bisa kita lakukan berdua hanya salat berjamaah, terkadang dilanjut dengan murajaah bersama. Hanya itu. Sebagai seorang wanita, aku juga sekali-kali ingin diperhatiin, dimanja semisal diajak keluar, jalan-jalan berdua, nonton bareng atau sekedar makan di kafe. Kurasa itu hanya akan jadi khayalanku semata melihat Mas Fikri terlalu kaku dan aku malu untuk bicara secara terbuka kepadanya. Maklum kita menikah bukan dari proses pacaran, tapi melalui perjodohon atau lebih tepatnya ta'aruf.

Aku, Rena, dan Bella sedang berada disalah satu kafe tempat kami biasa nongkrong dulu. Kita sudah janjian ingin bertemu, sebab setelah menikah kita jarang banget bisa kumpul kayak begini. Aku sudah menghubungi suamiku, lagi-lagi aku hanya bisa membuang napas kesal dengan jawabannya. Dia hanya bilang, "yaudah pulangnya jangan malam-malam!" lalu dia mematikan ponselnya karena masih sibuk. Kesal banget rasanya, waktunya dia lebih perhatian sedikitlah, seperti bilang, "ati-ati di jalan, nanti kalau pulang jika mas pulang lebih awal, mas jemput!" atau sederhananya, "Hati-hati, pulangnya jangan kemalaman ya!" aku juga berhak mendapat perhatian tersebut toh kita kan sudah sepasang suami istri.

"Eh, melaman aja, awas entar kemasukan setan loh!" ucap Bella yang duduk disampingku. Aku hanya tersenyum kecil menanggapi ucapannya barusan.

"Ada apa, Neng! Ceritalah kalau ada masalah," tanggap Rena yang memang dari dulu lebih dewasa dari aku dan Bella. Dia yang duduk di depanku, tetap seperti dulu anggun dengan jilbab lebarnya dan memancarkan pesonanya sendiri.

"Apakah kalian pernah berpikiran menyesal sudah menikah?" Mata kedua sahabatku langsung tertuju ke arahku.

"Wait ... wait, jangan bilang kamu nyesel menikah dengan Mas Fikri?" tebak Bella spontan tanpa filter apapun. Sungguh tebakan dia begitu jitu. Apakah kalimatku barusan sangat ketara kalau rumah tanggaku sedang tidak baik? Aku hanya mengangguk membenarkan tebakan Bella tersebut.

"No, Ra! Nggak boleh, Zahra yang aku kenal nggak mungkin sepesimis ini!" Bella menatapku tajam lalu menggeleng tak memercayainya.

"Udah Bella, kita tunggu penjelasan Zahra dulu." Lalu mata Rena kembali ke arahku, "Zahra jika kamu perlu bicara masalah apa yang terjadi dalam pernikahanmu, silahkan kita siap mendengarnya. Namun, jika kamu merasa itu koridor privasimu, Zahra boleh tidak cerita kepada kita."
Perkataan Rena begitu bijak membuat bening hangat begitu halus membasahi pipi. Aku hanya mampu menunduk. Tangan Bella mengelus bahu seakan memberi energi agar aku kuat.

"Ra, aku kemarin juga merasa nyesel kenapa menikah dengan Mas Gilang!" Mendengar pengakuan Bella, sontak membuatku kaget dan tak percaya.

"Jangan bohong kamu, Bel? Bukankah kamu dan Mas Gilang sangat romantis. Itu terlihat banget di psotingan instagrammu!" jelasku sambil menyeka air mata.

"Ya ampun, Ra! Apa yang terposting di media sosial, belum tentu sama dengan yang dirasa dalam dunia nyata. Benar sih, banyak yang komentar kalau aku dan Mas Gilang adalah pasangan paling berbahagia abad. Namun, Ra, siapa sangka jika kita juga hamba Allah yang jauh dari sempurna. Jujur selama dua minggu lebih ini, aku merasa terkekang dengan sifat Mas Gilang yang begitu posesif. Ini itu harus lapor dia, emangnya aku tahanan polisi!"
Aku tersenyum sediri mendengar penjelasan sahabatku satu ini yang memang terkenal ceplas-ceplos, naif dan polos.

"Tapi kan enak, Bel, diperhatiin begitu! Daripada suamiku cuek bebek, nggak ada greget perhatian dan romantisnya. Sebagai wanita kan kita ingin banget disayang dan dimanja. Mungkin itu hanya menjadi khayalanku saja, sebab Mas Fikri terlahir dengan sifat tidak peka!"

Rena yang dari tadi menyimak pembicaraan aku dan Bella terkekeh sambil menutup mulutnya.
"Kalian itu lucu, yang satu dapat suami yang overprotectif dan satu lagi dapat suami yang tak peka ..."

"Kalau Rena sendiri sama suami bagaimana?" potongku yang penasaran dengan cerita rumah tangga sahabatku ini yang terkenal bijak dan baik.

Rena tersenyum lalu berkata, "Zahra, Bella, pernikahanku sama kok kayak kebanyakan orang yang sudah berumah tangga. Marah, kesel, kecewa mungkin jadi bumbu pelengkapnya. Namun, percaya atau tidak, setan selalu pintar untuk menemukan cela agar suami istri berpisah atau jauh dari kata sakinah, mawadah dan warahmah ...,"

"lalu?" Kali ini Bella yang mulai penasaran dengan penjelasan Rena. Kembali senyum menghias wajah teduhnya. kedua tangannya meraih jemariku dan Bella.

"Kita sebagai istrilah yang harus pintar mengolah perbedaan tersebut. Kenapa istri? Karena istri punya sense atau kadar kepekaan yang lebih dari suami. Ingat kita sebagai istri sudahkah mampu menjadi rumah yang nyaman saat suami pulang dan kembali berangkat kerja?"

Aku dan Bella hanya menggeleng lalu kembali mendengar penjelasan Rena tentang istri sebagai rumah tersebut.

"Bukan hanya rumah yang nyaman buat suami, tapi juga aman buat anak kelak. Rumah dengan dasar ilmu agama yang kuat, kepintaran mengolah emosi dan saling menghormati serta menghargai pasangan kita. Terpenting fokuskan diri kita bukan hanya pada kekurangan pasangan, tapi sekali-kali lihat kelebihan pasangan. Itulah yang Rena pelajari saat ketidaksempurnaan terlihat dari pasangan."

Perkataan Rena seratus persen benar. Selama ini aku hanya fokus dengan kekurangan Mas Fikri, tanpa melihat kelebihannya. Selama tiga bulan lebih tinggal dengannya tak pernah dia berlaku kasar kepadaku, bekerja keras begitupun pasti Mas Fikri memikirkan masa depanku dan anak-anakku kelak untuk punya rumah sendiri agar kita tidak mengontrak lagi. Maafkan kelakuanku salama ini Mas Fikri.

Rena dan Bella sudah dijemput suaminya masing-masing. Bella sudah mulai manja kepada suaminya yang katanya tadi posesif, keromatisan mereka lebih telihat natural daripada sekedar foto di istagramnya. Rena dan suami menunjukan keromatisan dari sudut yang berbeda, sederhana dan hangat. Perasaan iri sempat halus mengisi hati, kenapa Mas Fikri tak menjemputku juga. Kedua sahabatku tersenyum sambil melambaikan tangannya kepadaku. Aku membalas dengan tersenyum dan melambaikan tangan mengiringi kesendirianku di depan kafe. Aku menghela nafas dan berpikir pasitif, toh masih ada gojek atau grab. 

Tinn.... 
Suara klakson sepeda motor tersebut membuyarkan lamunanku dan seketika membuatku terkejut.

"Mas Fikri!"
Dia tersenyum lalu berkata, "Maaf tadi agak macet, jadi telat jemput!"
Aku menggeleng, tersenyum lalu sigap duduk di sadel belakang.
"Tak masalah asal yang ditunggu suami tercinta, Mas Fikri!"
"Eh kok gitu?"
Terlihat dari gerak badannya kikuk saat tanganku melingkar dipinggangnya.
"Nggak suka ya?" ucapku pura-pura ngambek, tapi enggan melepas pelukan dipinggangnya.
Mas Fikri hanya diam sambil geleng-geleng kepala lalu menstarter sepeda motornya.

Maafkan aku, suamiku, mulai hari ini dan seterusnya, Zahra Khairunisa akan belajar menjadi rumah yang nyaman buat sang pangeran halalku, Fikri Abdillah.






Jumat, 16 November 2018

Alhamdulillah, Nikah!

Sabtu, 17/11/18



Namanya Zakiyatul Putri, wanita yang dua bulan lagi genap berumur tiga puluh tahun ini selalu memberi senyum tulus kepada siapa yang menyapanya. Di lihat dari segi fisik mungkin ia bukan tipe wanita ideal untuk mengikuti ajang kecantikan. Dengan badan berisinya ia tampak ringan dan supel banget untuk menjalankan segala aktivitas. Jilbab panjang selalu menghiasi setiap penampilannya, kalau ia bilang seperti Mamah Dedeh kw super.

Perkenalan itu terjadi saat aku dan Kak Kia--panggilan buat Kak Zakiyatul Putri, mengikut seminar pra nikah di salah satu kawasan kota Surabaya. Sepanjang acara ia tampak fokus mengikuti acara tersebut, saya yang kebetulan duduk di sampingnya pun kepo untuk bertanya kepada wanita yang lebih dewasa dari saya itu.

"Kak, serius amat!" Ia menoleh lalu tersenyum kecil menambah manis di balik kecubbyannya.
"Sayang kan uang 50 ribu ya kalau kita hanya main-main, Dek!" Aku hanya mengangguk mendengar penjelasannya tersebut.
"Ini kali pertama ya ikut seminar pra nikah kayak gini, Dek?" lanjutnya di sela acara yang hampir selasai.
Aku mengangguk kembali membenarkan apa yang di tanyakan Kak Kia.
"Pantas ...,"
"Eh, kok gitu, Kak!" potongku tanpa permisi mendengar penjelasan wanita berjilbab tosca di sampingku.
"Yaelah, Dek, gitu aja baper! Dengernya mungkin ini udah kesekian puluh kakak ikut seminar pra nikah, tapi lihat kan hasilnya."
"Tetap jomblo ya, kak!" timpalku dibarengi kekehan kecil dari aku dan Kak Kia.
Kukira Kak Kia akan tersinggung dan marah kepadaku, tetapi kenyataannya ia malah tersenyum tulus kepadaku.
"Iya sih, Dek, mungkin belum saatnya dipertemukan dengan pengeran halal kakak. Mungkin, saat ini kakak masih di suruh belajar tentang ilmu pernikahan sebelum saat ikatan suci itu terjadi."
Penjelasan dari wanita berhijab tersebut benar-benar tulus dari hatinya. Tidak ada raut kecewa bahkan penyeselan atas skenarioNya. Dari sorot matanya, saya yakin Kak Kia telah melewati banyak proses dalam hidupnya hingga menjadikan Kak Kia yang ada di sampingku sekarang. Saya melihatnya dewasa, hangat, ramah dan cerdas.

"Siapa sih, Dek, yang tak ingin menyempurnakan separuh agamanya?" jelasnya tatkala kita sedang ngopi di salah satu kafe yang tak jauh dari acara seminar pra nikah tadi. Ngobrol dengannya memang tak cukup sejam atau dua jam bahkan sehari pun saya banyak mengambil hikmah dari setiap perjalanan hidupnya.

"Jujur dulu kakak sempat down dan menyalahkan Allah, mengapa Dia menciptakan aku seperti ini kok nggak kayak Raisa!" Senyum mereka dari wajah teduhnya, ia memang tak secantik artis di TV, tetapi sikap dan tutur katanya pasti membuat siapa yang kenal dengannya akan merasa nyaman di dekatnya.

"Namun, semakin bertambahnya usia dan berbagai macam penolakan dari lawan jenis, seketika itu aku merasa bersyukur dengan yang Allah kasih buatku. Dengan bentuk tubuh dan wajah kayak gini, secara tak sadar aku bisa mencari pasangan halal yang benar-benar tulus mencintaiku apa adanya!"
Binar mata itu kembali melukiskan bahwa Kak Kia dulu pasti menghadapi perjalanan hidup yang tak mudah. Pembullyan karena bentuk fisik, penolakan dari lawan jenis hingga dimanfaatkan sudah pernah ia alami.


Pertemuan singkat itu tak lantas berakhir di situ. Entah takdir dariNya membawa skenario baru atas kehidupan Kak Kia selanjutnya. Sejak pertemuan pertama itu, saya dan Kak Kia menjadi lebih dekat bahkan kita sering chatting, sharing tentang ilmu agama bahkan penantian akan jodoh.
Tanpa ada yang tahu bagaimana skenarioNya berjalan, kini kulihat senyum merekah dari dua insan yang baru saja resmi menjadi pasangan halal sambil menyapa para tamu undangan.
Dua bulan lalu, saya bercerita kepada Kak Ridho--sepupuku, tentang Kak Kia. Siapa sangka dari cerita tersebut mengantarkan pada suatu takdir yang indah atas kehendakNya. Kak Ridho dan Kak Kia resmi menjadi sepasang suami istri sekarang.

"Alhamdulillah, Nikah!" ucap Kak Kia sambil memeluk saya yang sedang memberi ucapan selamat atas pernikahannya. Tanpa terasa air mata pun ikut luruh mengiringi kebahagian dua insan yang berbahagia atas ridhoNya. Semoga penantian jodoh saya pun akan berakhir indah. Aamiin.


Kamis, 15 November 2018

Hari Untuk Saya

Jumat, 16/11/18



Beberapa hari tak ada catatan yang mengisi blog ini. Ada sesuatu yang menghantui pemikiran saya, takut stuck menulis kembali lagi. Namun, bagaimana lagi manusia hanya bisa berencana, sedang Allah yang menentukan hasilnya.

Hari selasa kemarin entah mengapa nafsu makan mulai berkurang, nggak ada selera sama sekali. Efek malamnya maag kembali kambuh. Naas, hari rabu harus ditambah diare yang lumayan parah. Sudah minum obat, masih nggak mempan. Tubuh lemas, pusing dan buat makan pun rasanya mual. Hari itupun drop, hingga beberapa aktivitas harus tertunda. Dan saya harus menghela napas, "hilang deh hari produktif saya!"

Setelah diposir dengan minum berbagai macam obat, alhamdulillah, hari kamis diarenya sudah hilang walau masih menyisakan nyeri di dalam perut. Bersyukur banget saya nggak harus kembali semedi di WC. Namun, buat aktivitas ternyata tubuh masih enggan diajak kompromi. Lemas dan pusing. Maka seharian full aktivitasnya, tidur-tiduran.

Saat sakit begini banyak sekali yang saya renungkan. Tentang sehat, waktu dan pastinya kematian. Mungkin terkesan lebay, tapi inilah kenyataan bagi sebagian orang yang di beri bonus sakit. Sakit ringan atau berat pasti membuat kita merenung bahwa sekuat-kuatnya kita jika Dia sang punya jiwa berkehendak lain pasti bakal sakit juga. Jadi, masih patutkah kita sebagai manusia yang hanya hambaNya berjalan di muka bumi ini dengan sombong. Sombong bukan hanya tentang perilaku bahwa saya lebih baik dari mereka. Sombong pun bisa juga kita yang kadang lalai akan perintahNya saat sehat dan lapang. Memberi waktu sisa kepada Sang Maha Pemberi hidup. Suara azan bagai angin lalu, "ah, nanti saja, masih banyak waktu buat shalat." Kadang kata nanti itulah yang membuat kita lupa bahwa kita telah berlaku sombong.

Mengapa judul tulisan kali ini adalah, 'Hari Untuk Saya', karena bagi saya ketika sakit banyak hal di otak menjadi bahan perenungan. Mengingatkan saya akan hakikat hidup sebenarnya di muka bumi ini. Banyak sekali waktu yang terbuang percuma saat sehat dan itu terlihat saat sakit. Semisal menulis ini, waktu sehat banyak sekali alasan menunda. Namun, pas sakit dan tubuh tak bisa di ajak produktif, saya menyadari mengapa tidak dari kemarin saya mengerjakan hal itu. Jadi ingat kata orang bijak, penyesalan itu selalu belakangan, kalau di awal namanya pendaftaran. kesimpulan dari tulisan nggak jelas ini adalah sayangi dirimu, terus menebar hal positif, dan jangan menunda sesuatu selagi tubuh fit dan waktu terbuka lebar.

At least, kepada diri saya yang masih berkutat dengan selimut, terima kasih atas kerja kerasnya selama ini, maaf jika selama ini membuang waktumu hanya untuk leha-leha dengan aktivitas tak berguna. Semoga sakit ini tidak lantas membuat semangat untuk berbagi hal positif meredup. Semangat dan lekas sembuh serta cepat mengambil alih waktu produtif lagi.



Senin, 12 November 2018

A Man Called Bapak

Selasa, 12/11/18

Engkaulah nafaskuYang menjaga di dalam hidupkuKau ajarkan aku menjadi yang terbaikKau tak pernah lelahS'bagai penopang dalam hidupkuKau berikan aku semua yang terindah

Reff:Aku hanya memanggilmu ayahDi saat aku kehilangan arahAku hanya mengingatmu ayahJika aku tlah jauh darimu

   (Ayah - Seventeen)




Jujur aku sama bapak tak pernah dekat, tapi semenjak ibu meninggal benteng ego itu perlahan terkikikis. Dulu bagiku beliau adalah laki-laki yang pendiam, acuh dan tak bertanggung jawab pada keluarga. Malu, itulah kata yang tepat untuk mendeskripsikan tentang beliau. Karena, dimataku yang penuh keegoan tersebut, ibu adalah tulang punggung keluarga. Lalu otak kecilku berkelana dimana peran seorang suami dan bapak itu?

Sebegitukah egoku tersebut! Mungkin lebih, ketidaksukaanku terhadap bapak hanya mampu aku pendam dalam hati dan pikiran. Benar, aku masih punya budaya ketimuran untuk sadar tentang apa itu andap asor alias sopan santun. Walau begitu, gerak-gerikku terhadap beliau sekedarnya atau seperlunya, bahkan jarang banget bertegur sapa. Bapak adalah musuh dalam ruang egoku yang masih labil dalam mengertikan kehidupan yang sebenarnya.

Enam tahun lalu, ibu sakit dan berjuang melawan penyakitnya. Kembali pertanyaan berkecamuk di dada kemana peran suami dan bapak sebagai kepala keluarga? Perih itu semakin mengangah lebar tatkala Tuhan mengambil satu sayap dalam hidupku. Ibu. Kenapa harus ibu? Ego perang dengan pikiran kalutku saat itu.

Kematian itu perlahan menampilkan pembelajaran baru bagi hidupku selama ini. Bapak yang dulu aku lihat acuh, luruh dalam sedih, air mata itu jatuh perlahan membasahi wajah keriputnya. Tuhan, kemana saja aku selama ini? Bapak yang selama ini berjuang dalam diamnya, ternyata menyimpan luka paling dalam di hatinya? Tuhan jangan hukum hamba yang lalai dan lena dalam ego bahwa bapak adalah musuh. Di saat anak lain membanggakan bapaknya, aku malah malu menyebutnya pahlawan dalam keluarga. 

Kali ini benteng keegoan itu luruh dan hanyut dalam perasaan banggaku kepada bapak. Beliau memang sosok  pendiam dan terkesan acuh. Namun dari sikapnya tersikapnya tersebut, aku belajar bahwa bapak tak ingin istri dan anak-anaknya khawatir. Beliau berjuang tenaga, pikiran dan hidupnya agar kami hidup layak, hidup dengan menjaga martabat keluarga dan berkorban untuk waktu senangnya buat kami. 

Bapak, kini aku sadar arti diam dan acuhmu. Bukan tetang ketidakmampuan menjadi kepala keluarga, tapi semua itu bapak lakukan semata bentuk cinta dengan cara yang berbeda untuk keluargamu. Terimakasih atas keringat dan perjuanganmu, Pak. Maafkan anakmu ini yang belum bisa membuat engkau tersenyum bangga. Namun, kami anakmu sangat menyayangimu, bapak.

Selamat Hari Bapak/ Ayah/ Papa/ Daddy/ Bokap Nasional.




Sabtu, 10 November 2018

LAMA

Minggu, 11/11/18



Hey... My Blog, how are you? Kuharap kamu baik-baik saja walau sudah lama banget tak pernah aku sapa kurang lebih satu tahun ke belakang. Tadi, kukira kamu sudah penuh sarang laba-laba dan mulai angker untuk dikunjungi lagi. Ya Tuhan, maafkan aku telah melalaikan blog yang kubuat dengan susah payah dulu.

Kini aku ingin sedikit menyapamu dan kembali memperhatikanmu. Kuharap kamu tak menyalakanku selama itu menelantarkanmu tanpa ada karya apapun di berandamu (Eh... Emang aku punya karya T.T). Oh iya, apakah kamu juga merindukanku? Pembaca juga (eits... emang siapa yang mau baca blog receh gini), lagi-lagi mengelus dada dan menampar diri, "sadar woy!"


Dari bentuk kekurangan ajaranku kepadamu, izinkan aku kembali menuliskan semua apa yang di otak dan imajinasiku, pertanyaannya apakah kamu mengizinkan? Of course, pasti kamu rindu juga 'kan! (Jangan sok kepedean deh!)


Maaf sekali lagi, jujur aku tak perlu beralasan mengapa selama ini aku acuh kepadamu hingga efeknya tak ada satu tulisan baru pun terpampang nyata di berandamu. Malas, write block atau sejenisnya menurutku basi jika menjadi alasan selama setahun aku meninggalkanmu. Mungkin kamu beranggapan sudah berbuat tapi tak bertanggung jawab. Oke, aku memang salah, tapi salah kamu juga tak semenarik aplikasi lain yang terkini dan viral, kamu tetap seperti itu-itu saja. Jangan sedih ya! Memang begitulah sifat manusia, ada yang baru dan lebih oke pasti lupa dengan yang lama. Ingat tak semua seperti itu kok. Mungkin mereka termasuk saya berpaling darimu hanya sebagai pelarian sesaat hingga lupa lalu mati suri hehe.


Menyadari itu aku benar-benar tertampar lalu tertantang untuk kembali padamu. Bersamamu menuangkan apa yang menjadi gundah gulana dalam pikirian. Karena, aku sadar hanya dirimu yang paling mengerti diriku ini. Menulis dengan tak sopannya hingga dibilang ceker ayam pedas oleh sebagian orang, tapi kamu setia mengekspos semua itu tanpa komplain. Terimakasih, kamu menerimaku kembali, menuntun jari untuk nyaman di rumah yang dulu ada menemaniku dalam kondisi apapun. Love you, My Blog!💓💓



--Maaf Banget Buat Para Pembaca Ini hanya tulisan receh dari pikiran penulis receh pula--




Salam Rindu dari aku buat semuanya!!!^^ Adakah yang rindu denganku? Jika ada silahkan komentar bagaimana blog ini ke depannya. Terima kasih.