Jumat, 26 Desember 2014

Mencuri Pelangi

Mencuri Pelangi
Oleh : Yanuari Purnawan


Sudah berakhir, semua hancur dan musnah. Ini tidak adil, apa salahku? Allah murkakah Kau kepadaku? Hingga semua yang ku punya harus lenyap dalam seketika. Di mana pengasih dan penyayang-Mu. Terlintas dalam pikiran, inilah ganjaran untuk dia yang membangkang akan kuasa-Nya. Di lempar kerikil aku masih acuh dan pura-pura tidak merasa hingga batu besar itu pun di lempar, agar aku merasa dan menengadakan tangan kepada Sang Maha Pencipta semesta alam ini.

Dengan gontai aku menuju rumah, terdengar azan subuh berkumandang dari masjid sebelah rumah. Sudah menjadi kebiasaan pulang larut malam kadang hingga subuh. Hanya untuk memuaskan nafsu duniawi semata. Dugem, mabuk hingga pesta narkoba menjadi santapan kami jika berkumpul. Harta dan kekuasaan orang tua yang menjadi salah satu anggota dewan telah membutakan mata. Buat apa semua ini, kalau tidak dihabiskan untuk hura-hura.

Hari masih terlalu pagi, aku masih terlelap dalam mimpi indah karena aku baru pulang dan mabuk. Hingga ada gedoran keras mengagetkan seluruh penghuni rumah, tidurku sedikit terusik. Siapa sepagi ini bertamu ke rumah orang? Terdengar gerak kaki, ternyata bukan hanya satu orang. Membuatku mau tidak mau membuka mata yang rasanya masih terjilit lem. Sayup terdengar dari ruang tamu.

“Kami KPK! Kami harus menyita kekayaan bapak karena bapak sudah terlibat kasus korupsi bersama rekan anggota dewan lainnya. Ini surat penangkapan dan penyitaannya,” ucap suara seorang pria.
“Ini pasti salah! Mana mungkin aku melakukan perbuatan keji tersebut.” Suara ayah sepertinya mengelak laporan tersebut.
“Maaf, Pak. Kami melakukan tugas yang sudah tertera dalam surat tersebut.”

Seketika itu pun aku berlari ke ruang tamu. Kulihat sebuah borgol melingkar di kedua tangan ayah. Beberapa orang sibuk menggeledah dan membawa barang berharga milik kami untuk disita. Mimpikah ini? Berkali-kali aku menepuk pipi, berharap semua ini hanya mimpi belaka. Ibu yang berada di samping kananku, teriak histeris dan berusaha menahan orang-orang tersebut untuk membawa barang-barang berharga milik kami.

“Maaf, kalian sebaiknya segera berkemas karena rumah ini juga akan disita,” ucap seorang pria bertubuh gempal dan berkumis tebal tersebut.

Aku masih tertegun, diam sambil menutup mulutku. Kulihat ayah dibawa paksa oleh orang-orang tersebut. Ibu berlari mengejar ayah dan menangis histeris, sekuat tenaga dia berharap ada sedikit empati untuk melepaskan ayah. Tetapi bagai tidak punya hati, mereka membawa ayah bak seekor binatang buruan. Untuk petama kali aku menangis, bening hangat dan sesak di dada tidak bisa tertahan lagi.

Bagai badai di pagi hari, semua lenyap dalam seketika. Kekayaan dan kekuasaan yang kemarin melenakan, kini tidak tersisa sepeser pun. Roda berputar ke bawah, bahkan paling bawah. Bagaimana kami bisa bertahan sedang uang atau barang berharga tak punya sama sekali. Dan lebih menyayat hati, ibu mengalami depresi berat. Atas saran Om Wisnu yang merupakan pengacara sekaligus sahabat ayah. Maka, ibu terpaksa harus dirawat di RSJ.

“Andrian, maafkan Om tidak bisa membantu banyak. Kini semua tergantung kepada dirimu sendiri,” ucap Om Wisnu, terlihat semburat sedih dari wajah kebapakannya tersebut.

Berat beban mental ini, tetapi aku tidak mau binasa. Kucoba menghubungi teman-teman baikku selama ini, ternyata tidak ada satu pun yang mau berempati menolong. Bagi mereka anak seorang koruptor adalah barang najis yang harus dijauhi. Dalam gelap, hampir diri ini tersesat. Lagi-lagi Om Wisnu membantuku, agar aku pergi kesuatu desa. Katanya, di sana ada kerabat dekat ayah.

Perjalanan yang cukup jauh dan menguras tenaga. Uang pemberian Om Wisnu harus aku manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Dulu, betapa mudah aku menghambur-hamburkan uang seakan tidak akan pernah habis. Kristal bening tidak bisa terbendung dari kelopak mata, bayangan itu berputar kembali. Dugem, mabuk hingga pesta narkoba bersama teman-teman. Semua memuji dan memujaku sebagai orang kaya. Kini yang tersisa hanya kemunafikan dari mereka. Semua menjauh dan membenciku.

Setelah bertanya-tanya kepada penduduk sekitar desa, akhirnya aku sampai ke alamat yang diberikan Om Wisnu. Sebuah bangunan yang luas walau tampak sederhana. Tertulis di gapura depan ‘Pondok Pesantren Da’arul Ilmi’. Seorang pria menegurku, setelah kuceritakan maksud kedatanganku, dengan ramah dia mengantarku kepada pengurus pesantren. Jadi, tempat ini adalah pondok pesantren dan ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di tempat para orang alim.

Kyai Lutfi selaku pengasuh pondok pesantren sekaligus kerabat dekat ayah tersebut menyarankan aku untuk tidur di kamar para santri. Dengan kondisi yang lelah aku terpejam. Hingga sayup terdengar lantunan ayat-ayat suci Al-qur’an mengusik gendang telingaku. Damai dan tentram, itulah yang merasuk dalam hati. Baru pertama aku mendengar lantunan ayat suci yang begitu merdu, tanpa terasa bening hangat menetes dari kelopak mata.

Sudah berapa lama aku tidak merasakan kedamaian seperti ini. Ya … Allah, aku ingin kembali menjadi muslim seutuhnya, ampunilah hamba yang penuh dosa dan hina ini.
Akhy, sudah bangun. Mengapa akhy menangis?” tanya seorang laki-laki berkoko dan berpeci putih yang kukenal dari Kyai bernama Rahmat tersebut.
“Kini aku sadar dan menyesal. Dulu, sering melalaikan perintah-Nya dan senang dengan apa yang dilarang-Nya. Apakah Allah akan memaafkan aku yang berlumur dosa ini?” Air mata semakin membanjiri pipi, teringat semua kebodohan yang kuperbuat selama ini.
Akhy … percayalah bahwa Allah itu Maha Pemurah. Jika kita datang dengan merangkak, Allah akan datang dengan berjalan. Jika kita datang dengan berjalan, Allah akan datang dengan berlari. Berbaik sangka dan yakin skenario Allah lebih baik dari apa yang kita duga sebelumnya. Allah pasti mengampuni akhy,” terang Rahmat. Kulihat wajah yang begitu teduh dan bersahaja terpancar darinya.
“Bantu aku mengenal dan mencintai Allah lagi, Mat!” Dia hanya mengangguk sambil tersenyum tulus.

Tanpa terasa satu bulan sudah aku berada di pesantren. Di tempat ini banyak sekali ilmu dan saudara baru yang aku miliki. Kini, kutemukan kembali cinta-Nya yang lama hilang di dalam hati. Tidak akan pernah aku sia-siakan hidayah yang baru datang dalam bentuk cinta kepada sang Ilahi ini. Masa lalu hanya pelajaran untuk melangkah lebih baik di masa depan. Aku tidak ingin terjatuh dalam lembah kegelapan lagi.

“Mat, aku ingin mencuri pelangi,” ucapku kepada Rahmat tatkala kami sedang istirahat di sore hari.
“Maksud, akhy?” Ada sebuah gurat tanya diwajahnya. Aku menatap matanya yang begitu teduh tersebut. Lalu kualihkan memandang langit biru yang dihiasi mega merah.
“Aku ingin mencuri pelangi. Akan kuambil setiap warnanya dan kupersembahkan kepada mereka yang pernah mencintaiku. Aku ingin menjadi anak soleh yang bisa mendoakan orang tuanya,” terangku. Tanpa terasa setetes, dua tetes lalu menganak sungai air mata membasahi wajahku.
“Aku yakin akhy pasti bisa!” ucap Rahmat sambil menepuk pundakku.
“Pelangi itu indah, selalu datang tatkala badai redah. Begitu pun hidup ini, kadang di atas, kadang juga terpuruk di bawah. Tetapi aku percaya sekarang Allah selalu ada dan tidak pernah menjauhi hamba-Nya.” Langit sore itu begitu menyejukan hatiku.

Kurangkul sahabat baruku tersebut dan menangis dalam dekapan ukhuwah yang tidak ternilai ini. Ya … Allah, terima kasih atas cinta-Mu selama ini. Kuatkan langkah dan iman yang baru sejengkal ini untuk terus berada dalam kebaikan.


Selesai

Rabu, 24 Desember 2014

Satu Menit Saja

Satu Menit Saja
Oleh : Yanuari Purnawan


Sulit mengerti dan dimengerti. Semua menjadi fatamorgana tak bertepi. Sudah berapa lama menunggu hingga dedaunan meranggas dari tangkai. Aku masih saja setia duduk di bangku bercat putih sambil menatap telaga yang memerah. Bias senja seolah mengabur kejernihan mata air tersebut. Suasana senja kali ini sungguh mewangi beraroma cinta.

Semilir angin membuat rambut bergerak seirima dengan detak jantung yang semakin kencang. Haruskah aku pergi? Sebuah pemikiran konyol untuk seorang pria sepertiku. Harum ini membuat indra penciumku mendeteksi sesosok makhluk bernama wanita. Sesosok berbadan langsing semampai dengan rambut hitam panjang menjuntai hingga punggungnya.

“Apa yang kamu cari di sini?” tanyanya membuatku sedikit menatap mata yang biru itu.
“Aku … menunggumu!” jawabku sedikit terbata. Seketika wajah bak pualam itu tersenyum manis, membuat jantungku lebih cepat berdetak.
“Kamu … takut?”
“Tidak! Semua juga akan berakhir dan tinggal menunggu waktu,” terangku sambil menghirup aroma senja. Hening. Kami terlibat dengan pemikiran masing-masing.

Erika, itulah nama gadis berwajah cantik dan sendu tersebut. Perkenalan yang tak terduka mengantarkanku kepada lembah bernama cinta. Entahlah … apakah itu benar-benar cinta atau hanya rasa kagum saja? Yang kutahu hanya satu aku nyaman bersamanya.

“Chano …!” sapanya membuyarkan segala lamunanku tentangnya. Untuk kesekian kali aku menatap wajahnya.
“Kamu melamun?” lanjutnya sambil tersenyum memandangku. Sepertinya dia mengerti kegugupanku, lekas dia beralih memandang telaga.

Pesona,sifat dan lakunya telah menjadi virus yang menjangkit kesekujur raga ini. aku berusaha menepis tetapi virus tersebut begitu halus menginfeksi setiap rasa yang tersemat di hati. Erika, makhluk apakah kamu sebenarnya?

“Aku boleh tanya, tidak?” ucapku penuh keraguan. Erika hanya mengangguk dan masih setia menatap telaga. Suasana tepian telaga menambah kesan melankolis.
“Apakah Erika pernah jatuh cinta?” Sebuah pertanyaan yang tak penting untuk dijawab sebenarnya. Tetapi, dia langsung menatapku dalam kemudian tersenyum. Erika, kumohon jangan tersenyum lagi, bisa-bisa melumer hati ini.
“Emmh … pernah!”
“Sama siapa?” potongku tak sabar penuh rasa penasaran.

Kami terdiam. Hanya semilir angin meniup dedaunan yang telah kering dan membuat rambut kami melambai-lambai. Dadaku seakan sesak dan tak sabar menunggu jawabanya.

“Sama Aliens ganteng, yang bernama Chanopus,” jelasnya sambil menatapku tajam. Sebuah kalimat yang tak terduga sebelumnya akan keluar dari bibir mungil itu.
“Serius … nih!” sanggahku masih tak percaya.
“Apakah aku terlihat bercanda? Jujur pertama melihatnya aku langsung jatuh cinta, entah apakah ini cinta? Sampai saat ini aku belum mampu menguraikanya.” Sebuah penjelasan yang sama dengan apa yang kini kurasakan.

Kutatap langit, sebentar lagi akan malam. Senja perlahan tetapi pasti akan memudarkan mega merah di ufuk barat. Sebuah pemandangan romantis. Tiba-tiba kepala Erika bersandar di pundak. Ingin sekali mengelus lembut kepala tersebut. Seakan tangan ini berat untuk bergerak, biarlah terpenting aku masih menikmati wangi rambutnya.

“Apakah Chano juga merasakanya?” Aku diam lalu menoleh kearah suara itu. Wajah itu basah oleh kristal bening yang jatuh dari kelopak matanya.
“Apakah aku harus menjawabnya?” tanyaku balik. Erika bangun dari bersandar di pundakku.

Air matanya semakin menganak sungai membasahi wajah putih itu. Senja di tepian telaga itu seolah menjadi saksi dua insan yang mencintai tanpa bisa memiliki.

“Aku takut rasa ini hanya seutas rasa tanpa berwujud nyata. Chano, pasti mengerti apa yang kurasakan kini. Mencintaimu mungkin bisa menjadi bumerang yang siap membunuhku. Tetapi aku tak sanggup berpura-pura untuk berkata tidak. Bukankah cinta itu memberi dan terus memberi walaupun harus binasa.” Penjelasan tersebut meluluhkan hati yang bersikeras menepis rasaku kepadanya.

“Erika … kamu pasti mengerti mencintaiku hanya akan membuatmu binasa. Tetapi, aku akan menjadi bintang yang setia menemani dan menjagamu.”

Pelukan mendarat tepat ke tubuhku. Erika memelukku begitu erat dan tangisnya pun pecah.
“Aku akan setia mencintamu, Chanopus.”

Aku hanya diam dan merasakan begitu lembut cinta mengaliri sekujur tubuh. Dingin menjadi hangat. Perlahan senja menjelma pekat. Langit gelap, bintang pun enggan berkedip. Tubuh yang semula menghangat, sedikit demi sedikit mulai terasa membakar. Tuhan, izinkan satu menit saja, aku memeluknya.

Kudekap tubuh Erika dengan sisa tenaga yang kupunya. Tuhan, satu menit saja. Berulang kali kuucap kalimat itu. Hingga pelukan itu mulai tak berasa lagi. Tangan, kaki, lalu seluruh badan mulai mengabur. Sebelum wajah mengabur juga oleh pekat malam, kukulum senyum terakhir untuk bidadari bumiku, Erika.

Erika … jangan menangis. Pandanglah bintang yang bersinar terang bernama Chanopus. Dia akan selalu mengintip, tersenyum dan menjaga setiap malam yang kamu rindukan. Satu menit saja, pandang aku. Chanopus.

Selesai


Sabtu, 13 Desember 2014

Once Upon A Time

Aku terdiam tertunduk, bulir air mata menetes perlahan. Di kamar yang sunyi, aku berusaha menjernihkan pikiran. Tetapi, masih saja kepedihan itu masih bercongkol di hati.
Kuseka airmata dan mengambil nafas panjang, kutatap wajah di depan cermin. Sungguh menyedihkan, wajah pria yang awut-awutan tanpa gairah.

Tetiba, suara ponsel membuyarkan segala pikiran di otak.

“Kamu jangan gila, pikirkan lagi.” Sebuah pesan singkat dari sahabatku. Pesan itu seolah membuka mata hatiku untuk berpikir waras.
 
“Bisa ketemu?” balasku.

Sejurus kemudian ada pesan balasan darinya.

“Oke, di tempat biasa kita nongkrong, ya!”

Kupacu sepeda motor dengan perlahan. Aku ingin menikmati udara sore yang begitu segar dan menenangkan. Ternyata, aku lebih dulu datang, setelah beberapa menit menunggu akhirnya dia datang juga. Riski, pria berusia dua puluh lima tahun yang sudah kuanggap saudara kandung sendiri, datang dengan pakaian resmi kerjanya. Maklum dia adalah PNS.

“Sudah lama menunggu?” tanyanya sembari mengambil tempat duduk di sampingku.
Aku hanya mengangguk.

“Apa kamu sudah memikirkannya?” tanyanya lagi.

“Bang, aku sudah lelah menanti. Dan ini saat yang tepat untukku bertemu dengannya,” jawabku-Aku biasa memanggil Riski dengan panggilan abang.

“Dengar Abang. Jangan gila dan bodoh, masih ada hal yang lebih penting dari hal itu. Usiamu masih dua puluh tahun, jadi jangan kau sia-siakan,” ucap Riski tajam menatapku.

“Aku capek Bang. Aku juga ingin bertemu dengan Ibu, sudah delapan belas tahun aku tak pernah menatap langsung wajahnya!”

“Kamu tahu sekarang di mana Ibumu? Malaysia! Apa kamu pernah ke sana? Malaysia itu luas, apalagi kamu belum tahu alamat pastinya,” terang Riski sedikit emosi karena kelakuanku yang dikiranya bodoh.

Aku terdiam dan airmata membasahi pipi. Aku terlalu rindu dengan ibu. Kata orang aku masih punya ibu yang bekerja sebagai TKI di Malaysia. Sudah cukup dewasa, aku bisa memahami keadaan ini. Tetapi, aku bosan dan iri jika melihat seorang anak bisa bermanja ria dengan ibunya.

“Abang mengerti kamu sangat merindukannya. Tetapi, jangan gila seperti ini dengan mau menyusul ke Malaysia,” ucap Riski menenangkanku.

“Menurut Abang, Ibu macam apa yang tega meninggalkan anaknya selama berpuluh tahun dan menitipkannya di panti asuhan!”

“Pada suatu saat kamu pasti akan mengerti, mengapa dia pergi meninggalkanmu di panti asuhan. Jangan bertanya begitu, biarkan waktu yang menjawab semuanya. Sudahlah … kita makan dulu yuk!”

Sebelum berpisah Riski mengatakan, “Kadang sebuah penantian itu hanya berujung dengan penyesalan. Menantilah dengan hati yang ikhlas. Ingat, pada suatu saat kamu akan mengerti makna hidup ini.”

***

Pada suatu hari, di mana musim telah berganti. Aku mengetahui, ibu bekerja menjadi TKI di Malaysia dan meninggalkanku di panti asuhan gegara ayah tak mau bertanggung jawab dan selingkuh dengan wanita lain. Dan ibu telah meninggal tatkala usiaku masih lima tahun, akibat di siksa majikannya. Kutahu semua dari ibu panti yang sudah tak tega melihatku menanti ibu untuk menjemputku dari panti asuhan.

Selesai


(Kisah nyata, dari seorang anak panti asuhan yang sabar menatap jendela kamarnya. Berharap ibunya datang untuk menjemputnya. Terima kasih, adek telah mengajariku makna mencintai)

Rabu, 10 Desember 2014

Assalamualaikum, Jodohku


“Maafkan aku, Dek. Aku harus pergi!” Suara telepon tersebut membuyarkan segala impianku bersamanya.
“Bang … apa harus secepat ini?” jawabku sambil terisak, bening hangat tidak mampu terbendung di kelopak mata.
“Sekali lagi, ini bukan kuasa Abang. Tetapi ini panggilan jiwa, ada yang lebih penting dari pada kesenangan Abang sendiri.”
“Baiklah, Bang. Adek mengerti sekarang. Jaga diri Abang baik-baik …,” ucapku terbata.
“Adek, ingatlah jika kita memang berjodoh, di mana pun kita berada pasti akan bersatu juga.”
“Ya, sudah Bang. Assalamualaikum.”

Sebelum Bang Arif menjawab salam, telepon langsung kumatikan. Aku tidak sanggup menahan diri untuk tidak menangis. Bang Arif adalah pria yang aku kenal saat koas di rumah sakit Ganesa. Dia adalah dokter muda, ganteng dan pasti saleh. Pertama mengenalnya entah mengapa hatiku selalu bergetar dan jantung berdebar kencang. Pesonanya sebagai dokter muda bukan hanya memikat hatiku tetapi juga teman-teman perempuan satu kelompok koas.

Ternyata, Bang Arif adalah sepupu dari sahabatku Mila. Aku sangat terkejut tatkala dia datang ke acara tasyakuran pernikahan Mila dengan Mas Fajar. Dan semenjak pertemuan di acara sahabatku itu, tidak jarang Mila berkali-kali menjodohkanku dengan Bang Arif.

“Sudahlah, Dian. Jujur saja, kamu sukakan sama Bang Arif?” tanya Mila saat aku berkunjung ke rumahnya untuk meminjam buku.
“Maksudmu?” jawabku kaget. Pertanyaan Mila ibarat meteor yang jatuh pas di hulu hatiku.
“Benarkan, Dian! Kamu itu tidak akan bisa bohong sama aku. Lihatlah wajah kamu sudah kayak udang rebus.”

Aku memang tidak bisa bohong sama sahabatku yang satu itu. Akhirnya, ku ceritakan bahwa aku memang mencintai Bang Arif. Semenjak peristiwa itu, Mila bersama suaminya mengatur perjodohanku dengan Bang Arif. Ternyata, tidak butuh waktu lama. Bang Arif juga mencintaiku.

Dunia seakan penuh bunga yang bermekaran. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang istri dan calon ibu bagi anak-anakku kelak. Tetapi, kebahagian itu hanya sesaat. Seminggu setelah ta’aruf, Bang Arif membatalkannya. Dia mendapat tugas menjadi relawan untuk korban perang di Gaza. Hanya air mata keikhlasan yang mampu mengantarkan dia ke bumi jihad tersebut.

Sebulan, dua bulan hingga satu tahun lebih, Bang Arif tidak ada kabar. Setiap ku tanya kepada Mila, dia hanya menjawab “Sudah lupakan Bang Arif, Dian. Jangan menunggu sesuatu yang belum pasti.” Perkataan Mila tersebut, membuatku membulatkan tekad untuk melupakan Bang Arif. Kucoba berkenalan dengan beberapa pria tetapi tidak satu pun yang mengenah di hati.

Pada lebaran haji, ada seorang ikhwan bernama Yusuf mengkhitbah lewat Pamanku. Dia adalah guru SMP, lulusan IAIN Sunan Ampel dan umurnya kira-kira dua tahun di atasku. Aku tidak mungkin langsung menerimanya. Shalat istikharah dan juga meminta saran sahabat setiaku: Mila, untuk memutuskan semuanya.

Mila sangat mendukungku, asal pria itu saleh dan bertanggung jawab sudah cukup untuk di terima. Aku sangat beruntung memiliki sahabat seperti dia, wanita berhijab panjang dan sedang hamil anak pertamanya tersebut. Setelah shalat istikharah selama seminggu, ada kemantapan hati untuk menerima Yusuf. Mendengar penjelaskanku, seluruh keluarga tersenyum bahagia.

Dua minggu kemudian adalah hari pernikahanku. Entah mengapa ada perasaan takut dan was-was. Mungkin ini adalah godaan setan kepada manusia yang ingin melangsungkan sunah rasul dan menyempurnakan separuh agama. Ternyata, perasaan itu benar. Setelah shalat isya’ ada telepon dari salah satu keluarga Yusuf yang mengabarkan bahwa Yusuf kecelakaan saat mau membeli baju baru untuk tasyakuran pernikahan nanti.

Tangisku pun meledak, ibu memeluk dan menenangkanku bahwa Yusuf tidak akan apa-apa. Ternyata semua berakhir, kulihat seorang pria terbujur kaku dalam balutan kain putih. Kejadian tersebut mengantarkanku menginap di rumah sakit. Mila selalu setia menemaniku dalam keadaan yang terpuruk ini. berkali-kali dia bilang “Dian, kamu harus sabar dan tegar. Ingat semua telah tercatat di lauh mahfuz-Nya.”

Mendung berganti musim semi yang selalu menumbuhkan harapan baru. Termasuk hamba-Nya yang selalu merindukan cinta dari sesama makhluk-Nya.

Assalamualaikum, jodohku,” godanya sambil memegang telapak tanganku. Aku hanya tersenyum malu.
“Kok, senyum-senyum! Malunya bidadariku?” Imamku satu ini selalu saja bisa membuatku tersipu malu akan sifat romantisnya.

Allah mentakdirkan lain, bukan Yusuf tetapi Bang Arif. Dia datang di waktu yang tepat. Di mana ketika hati tandus akan cinta, dia mampu menjadi hujan untuk menyemaikannya. Bang Arif, kembali ke tanah air setelah satu bulan kepergian Yusuf. Dan dia mengulurkan tangan dan pundaknya untuk menjadi sandaran sebagai imamku. Bagaimana pun berlikunya, jika Bang Arif jodohku pasti bertemu juga.

Assalamualaikum, jodohku.” Kalimat itu lagi-lagi terdengar manis di gendang telingaku, menumbuhkan benih cinta yang baru kami jalani sebagai pasangan suami-istri.


Selesai

Rabu, 03 Desember 2014

Membakar Hujan #Bagian2

Tetaplah di sana: meski terhapus yang merah, terobek yang putih

oleh : Billal_HB



Aku tidak membakar Arfan. Tidak. Itu tidak benar. Ya. Tapi aku menyalakan api itu ke tubuhnya. Aku ini apa?
***
Kami duduk di ruangan, hanya berdua. Sementara yang lain sedang sibuk di ruangan lain. Kami tadinya tertawa. Menertawakan bagian yang tidak lucu sebenarnya, tapi begitulah cara kami melawan serbuan rasa jenuh dan gerah yang membungkus tubuh di siang hari. Namun mendadak, kabar yang berhembus masuk melalui pintu, menghentikan pertumbuhan kebahagiaan yang akhir-akhir ini rajin kuukur dengan penggaris perasaanku untuk membasmi duka yang memang sudah tumbuh seperti gulma.

Perempuan itu tiba-tiba berkata begini, “Ini seperti sebuah epilog, Bill. Bagian terakhir. Tetapi tahukah kamu, ini mengawali sesuatu yang baru dan kita tak pernah berjauhan.”

Aku jadi lebih sering terkejut sekarang. Gemetaran dan lututku terasa lemas untuk digerakkan, seakan aku mulai kehilangan kemampuan untuk mengendalikan tiap anggota tubuh. Memilih diam, tak menatap perempuan berkerudung yang tengah berkata padaku itu dari balik mejanya.

“Tidak ada yang menginginkan bagian seperti ini, Bill. Teruslah lakukan dengan ikhlas, meski aku tak pernah lagi ada di tempat aku duduk sekarang.”

Aku mengangguk dan berusaha membalas ucapannya dengan suara berat dan berjeda-jeda.

“Tapi….. Aku sendiri tak yakin, Bunda,” kataku. “ seperti kata ‘PUISI’ yang kehilangan huruf I dan digantikan huruf A, maka aku akan PUASA panjang seharian meski saat senja nanti pada akhirnya aku memakan harapanku sendiri. Itu akan menjadi syair penuh dugaan dan membakar perasaan.”
Perempuan itu tersenyum padaku dan mengangguk yakin. Sama seperti Arfan ketika ia memintaku untuk membakarnya.

“Apa aku harus membakarmu juga, Bunda?” tanyaku memberanikan diri sebelum ia memintaku melakukan hal-hal aneh yang persis dilakukan Arfan. “Karena sebentar lagi hujan penghujung November akan terjatuh tepat di atas kita dan kau benar-benar nyata hilang di bawahnya.”

Perempuan itu mengerutkan dahinya. Barangkali tidak mengerti maksudku, atau aku memang tampak bodoh dengan bertanya seperti itu. Entahlah. Lantas ia menggeleng pelan seraya berkata,

“Hujan kali ini memang seperti asam yang menghantam tubuh, tapi aku tidak akan menghindarinya, Nak. Kamu tahu Bill, kamu harus mensyukuri apa-apa yang dijatuhkan Tuhan dari langitNya meski itu adalah hal-hal yang menghancurkan. Tuhan tahu kita sangat kuat, sampai ia begitu cinta untuk mengetahui bagaimana kita dapat bertahan.”

Aku tersenyum samar menguatkan hati memandangnya yang juga membalas dengan senyuman hangat. Lalu mengalihkan pandangan ke arah luar. Melihat pohon-pohon yang berayun dihembus angin musim akhir tahun dan hujan yang mulai menetes satu-satu. Dadaku lagi-lagi sakit. Dihantui perpisahan itu rasanya seperti berada di atas bukit karang berangin di tepi laut lagi. Aku bisa terjatuh dan tenggelam kapan saja karena aku tidak pandai berenang.

Selagi aku begitu larut dalam pandangan ke luar dan hujan mulai turun lebih renyai, aku melihat sebuah konfigurasi asing yang dibentuk dari kumpulan tetes air hujan di tengah lapangan. Membentuk sesosok yang rasanya tak asing meski berwujud bening. Aku melompat dari kursi dan bergegas menuju pintu. Kulihat sosok itu menjadi lebih padat. Sampai ia sedikit menoleh padaku sesaat, lalu hancur menjadi air kembali ketika angin berhembus lebih deras dan kurasakan perih di sekitar tangan, membuatku meng-aduh karena menahan sakit yang tiba-tiba mendera.

“Kenapa, Bill?” tanya perempuan yang kupanggil Bunda itu.

Telapak tanganku merah bara lagi dan berdenyut-denyut. Mataku sampai berair menahannya. Apa yang sedang terjadi? Apa aku harus melakukannya lagi?

Kutengadah memandang awan-awan berat yang sedang riang mencurahkan kebahagiaannya. Semakin lekat kupandang, semakin pula aku kesakitan dan membara.

“Jangan,” bisikku sendiri menenangkan perasaan yang mulai tak hirau pada keadaan. “Jangan lagi membakar hujan. Bunda sudah berkata hujan itu cinta Tuhan, Bill.”

Aku melawan keinginan. Aku ingin kembali ke masa lalu. Aku ingin membunuh diriku sendiri, agar tak ada yang pergi dariku. Aku…………………………………………….

Tanganku tiba-tiba mengobarkan api besar dan mulai menyambar hujan.

“Apa yang terjadi, Bill?”

Aku berteriak keras. “Jangan mendekat padaku, Bunda! Bergegaslah pergi, cepat!”

Aku tak dapat melihat wajahnya, karena api di tanganku semakin besar berkobar menyambar-nyambar.

Lirik, 28 November 2014 08.45 WIB

Rabu, 26 November 2014

Membakar Hujan #Bagian 1

Ketika aku merasa lebih mati dari biasanya

Oleh: Billal_HB

        


Kami duduk dalam diam berdampingan menghadap laut lepas. Awan mendung bergegas berarak menuju ke arah kami, membuat permukaan laut yang berkilauan menjadi biru beku. Hingga pada akhirnya Arfan, sahabatku memecah bisu yang telah puluhan menit membatu.

“Aku cuma sebesar dan seluas gelas, Bill,” katanya serak. “Aku telah penuh dan tumpah.”

Aku menoleh sesaat padanya ketika angin dingin menghempas wajahku lalu kembali memandang ombak yang bergulung.

“Bukankah kau pernah bilang, jika gelas telah penuh sebaiknya bergegaslah mencari mangkuk, dengan begitu kau bisa membuat muatan yang banyak? Apa kau lupa?” balasku seraya menghela napas.

Kami diam lagi. Kulirik wajah Arfan yang tersenyum pucat dan caranya menarik udara yang semakin dingin ke dalam paru-parunya. Jantungku berdebar tak seperti biasanya. Sekitar mataku menjadi hangat oleh sesuatu yang terbendung.

“Bill.” Arfan memanggilku pelan lalu menatapku dan tersenyum, sementara Aku hanya mengangguk padanya. “Maukah kau berjanji padaku?”

“Berjanji apa?” tanyaku penasaran. Kutatap wajah temanku itu dengan lekat, seakan ia tengah menaruh harapan besar padaku.
“Bilamana aku basah karena hujan, maka segera bakarlah aku,” katanya seraya memberikan aku bola api besar merah yang ia pegang. “Itu cara terbaik untuk hilang.”
Aku tersentak dan tersedak oleh udara yang tengah kuhirup. Membuat apa yang terbendung di mataku jatuh dan mengalir. Sangat tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Arfan, aku hanya merasakan jantungku berdetak lebih cepat.

“Aku tidak mengerti apa maksudmu, kawan,” jawabku ragu. “Api apa itu?”

Arfan tersenyum padaku dan mengangguk yakin. Melihatku menjadi cengeng. Air mata yang terjatuh bebas di daguku. Aku lantas membungkuk dan memaku pandangan ke bawah, pada dedaun yang berserakan di kakiku. Terasa sakit di dada tapi tidak mengerti apa yang menyakiti. Arfan membelai punggungku samar, seperti menyentuh tapi tidak mengenai. Hingga saat aku bangkit dan menyadari keadaan yang berbeda ketika hujan rebas membasahi wajahku.

Aku sendirian. Dibawah hujan yang deras. Tidak duduk di tepi laut, tidak pula bersama Arfan yang tadi ada di sisiku. Melainkan di tepi jalan yang tidak ada siapa-siapa di sana. Dalam ketidakpahamanku, aku merasakan perih yang menjalar dari kedua tanganku yang entah kenapa bisa melepuh merah bara. Dan secara bergantian memandang kedua tanganku yang terbakar dan jalan yang basah tergenang hujan.

“Aku tidak membakarnya,” lirihku. “Tidak benar. Arfan, kau dimana?”

Aku percaya, Aku membakar hujan agar tak membasahinya. Mungkin atau entahlah. Aku tahu dia tidak pergi. Tidak meninggalkanku seperti yang lain. Arfan, akan kutemukan kau meski aku tahu perihnya membakar hujan.



Lirik, 25 November 2014 08.05























































Selasa, 18 November 2014

Pelangi Ikhtiar

Aku gagal dan terjatuh. Semua mata mengarah kepadaku. Mengapa ini harus terjadi? Sungguh tidak mungkin seorang Ilham yang selalu juara kelas di SMP harus terperosok ke urutan duapuluh besar dengan rata-rata tujuh untuk nilai Ujian Nasional.

Airmata tak bisa terbendung lagi, nilai hancur dan masuk SMA favorit pun pupus. Kecewa dan tidak bisa terima mengapa Allah memberikan ujian ini kepadaku. Apa salah dan dosaku, belajar pun tak pernah lalai, justru teman yang malas nilai UNnya jauh lebih bagus. Ini tidak adil.

Di dalam kamar, kuluapkan segala emosi dengan menangis sejadi-jadinya. Merenung apa yang terjadi kemarin sebelum hal ini terjadi. Aku mulai duduk di bangku Sekolah Dasar sampai kelas tiga SMP semester satu selalu juara kelas. Semua orang memuji kepandaianku tetapi sepandai-pandai tupai melompat pasti jatuh juga. Benar kata pepatah, akhirnya kejatuhan dan kegagalan  itu pun nyata dalam rangkaian episode hidupku.

“Aku gagal, Bu!” ucapku kepada ibu.
“Sabar, Nak. Ini ujian dari-Nya untuk menaikan kwalitasmu,” jawab ibu sambil mengusap rambutku.
Aku tak kuasa menahan airmata, mengalirlah membasahi pipi.
“Allah tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Mungkin menurut kita itu jelek belum tentu jelek di mata-Nya, atau sebaliknya menurut kita itu baik belum tentu baik di mata-Nya,” lanjut ibu berusaha menenangkanku.
Entah seperti mantra yang mujarab, kalimat yang terucap dari bibirnya mampu menenangkan hati yang sedang gundah. Aku yakin skenario Allah pasti jauh lebih baik dari apa yang di rencanakan hamba-Nya. Terima kasih, Bu. Ku kecup keningnya tulus.
***
Gelap berganti terangnya matahari, pagi menyambut insan yang senantiasa bertasbih kepada Sang Pencipta. Seperti mendapat energi baru, aku lebih siap untuk menerima kegagalan ini walau begitu berat belajar ikhlas. Kulihat saat wisuda SMP bukan lagi namaku yang di panggil sebagai juara. Tidak apalah masih ada hari esok dan aku akan berprestasi lagi. Entah mengapa, api semangat berkobar begitu besar di dada.

Akhirnya keputusan melanjutkan ke SMA favorit harus terganti dengan SMA biasa. Ternyata rasa kecewa itu masih tersimpan di hati, apalagi melihat teman yang bisa melanjutkan ke SMA favorit, harusnya aku juga bersaing bersama mereka.

“Ilham, ada apa kok melamun?” tanya sahabatku Azis sambil menepuk pundakku.
“Tidak apa-apa, hanya aku masih belum percaya bisa sekolah di sini,” jawabku gugup.
“Aku mengerti kamu pasti kecewa, sang juara kelas harus sekolah di SMA biasa, ya kan!”
Aku mengangguk lalu menunduk, lagi-lagi airmata menetes.
“Ilham, mungkin inilah jodohmu,” seru Azis.
“Maksudnya.”
“ini sudah skenario Allah untukmu jadi terimalah dengan ikhlas. Mungkin sulit bagimu, tetapi percayalah akan ada pelangi di balik besarnya badai. Kamu tunjukan kepada mereka di mana pun berada selalu berprestasi.”
Entah mengapa nasehat Azis begitu menusuk ke dalam hatiku. Sepercik harapan baru mulai tumbuh dan semangat untuk bangkit semakin besar. Mungkin kemarin aku gagal, tetapi kali ini aku harus melangkah jauh lebih baik dari kemarin.

Percaya atau tidak di SMA ini, aku bukan hanya belajar ilmu umum saja tetapi juga ilmu agama, mulai dari shalat dhuha hingga shalat dzuhur berjamaah. Sungguh pemandangan aneh tetapi di sinilah aku bangkit dan menjadi Ilham yang berkarakter islami dan berprestasi.

Gelar ketua osis melekat di balik diriku sebagai seorang siswa. Tidak pernah menyangka, dulu untuk menjadi ketua osis mungkin hanya mimpi sekarang gelar ini pun aku raih. Aku masih belum puas aku ingin membanggakan sekolah ini. Banyak orang yang merendahkan murid dari SMA di mana aku sekolah.

“Untung anakku tidak sekolah di SMA itu, muridnya bodoh dan nakal.”

Cibiran orang di luar sana mengenai SMA di mana aku bersekolah, begitu membuat gendang telinga ini panas. Aku akan membuktikan bahwa murid di sini tidak sebodoh dan senakal yang mereka kira, tetapi mereka mampu bersaing dan berprestasi.

Sebagai ketua osis, aku menebar semangat bagi teman-teman agar bangkit dan tidak malas untuk belajar lebih giat lagi serta tidak lupa berdoa kepada-Nya. Banyak sekali hambatan mulai dari rasa malas dan bosan yang kadang datang begitu saja hingga minimnya sarana untuk belajar. Tidak jarang aku harus fotocopy bahan untuk belajar. Alhasil, nilai kita lumayan walau belum mencapai titik luar biasa.

Menginjak kelas tiga SMA, kegiatan kami hanya belajar untuk persiapan Unas. Aku yang pernah gagal sebelumnya, tidak ingin terulang kembali. Tetapi bukan hanya bagiku. Aku ingin kesuksesan nanti juga untuk teman-teman satu SMA.
Sebagai murid yang nilainya paling tinggi, aku harus berbagi membantu teman lainnya untuk bisa. Aku merasa sifat egois dan ingin menang sendiri terkikis oleh ukhuwah yang begitu besar antara aku, teman-teman dan juga guru-guru. Berkali-kali rasa syukur terucap di dalam hati ini, karena bersekolah di SMA biasa ini. Ternyata aku bisa lebih berarti di sini.

Inilah langkah perjuangan kami setelah tiga tahun akan dipertaruhkan dalam tiga hari. Dalam hati kecil, aku berdoa semoga melancarkan unas kali ini bukan hanya untukku tetapi juga teman-teman seperjuangan.
***
“Di balik kesulitan pasti ada kemudahan.” (QS Al-Insyirah(94):5)

Setelah menunggu beberapa bulan, akhirnya pengumuman hasil unas akan kami ketahui. Dalam harap-harap cemas kami yang berada di aula SMA berdoa semoga hasilnya baik.
Dengan kekuasaan-Nya, SMA kami dinyatakan lulus seratus persen. Rasa haru dan bahagia bercampur di aula dan tak lupa sujud syukur kepada-Nya.
Satu persatu dari kami mengecek nama dan urutan nilai. Aku tak melihat namaku sama sekali di urutan atas. Aku panik dan takut jika kegagalan itu harus terulang kembali.
“Ilham, selamatnya,” ucap Azis sambil memelukku.
“Iya sama-sama. Alhamdulilah kita bisa lulus.”
“Bukan itu!”
“Maksudnya?”
“Selamat kamu juara umum sekabupaten Pasuruan tingkat SMA.”
Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Azis, seperti tak percaya. Kemudian Azis menunjukan pengumuman yang  tertulis “Ilham Firmansyah sebagai juara umum sekabupaten Pasuruan.”

Ya … Allah inikah skenario yang Engkau tulisan untuk hamba. Aku bersyukur pernah terjatuh karena dengan begitu, aku mengerti makna bangkit dan berhasil. Tiba-tiba aku teringat nasehat Azis, “Ingatlah pasti ada pelangi di balik badai.”

Selesai

Rabu, 05 November 2014

Gadis Hujan

Aku masih terdiam dan duduk di bangku taman kota. Hujan yang begitu deras mengguyur tubuhku, tetapi tidak membuatku beranjak. Aku masih asyik dengan segala lamunan indah saat bersamanya. Ada percikan rindu teramat dalam di hati.
Hujan seakan menjadi saksi antara dua insan yang saling menyayangi. Dalam hujan kami bertemu dan dalam hujan pula kami harus berpisah. Pertemuan singkat yang mampu membuat hidupku berubah 180 derajat.

“Mengapa kamu hujan-hujanan?” tanyaku pada gadis berhijab putih yang sedang duduk di bangku taman kota itu. Memang saat itu hujan deras, aku kebetulan lagi jalan-jalan tidak disangka hujan turun dengan deras.
Gadis itu menatapku tajam, entah apa yang dipikirkannya. Lalu dia menundukkan wajahnya lagi. Wajah yang begitu teduh dan bermata bening.
“Apa aku boleh duduk di sini?” tanyaku lagi, dia hanya mengangguk.
Aku tidak berani berbicara lebih banyak, aku takut dia marah. Hujan masih deras, aku mau beranjak dari tempat duduk, tubuh ini sudah tidak kuat menahan dingin. Gadis itu masih saja tidak bergeming dari tempat duduknya. Siapa dia, ada apa dia di sini, pikirku.

Gadis misterius itu membuatku penasaran. Mata beningnya seolah menari di dalam otakku. Siapa dia sebenarnya. Berkali-kali aku mencoba untuk meredam rasa ini, tetapi rasa ini terlalu kuat menancap di hatiku.

“Boleh kenalan!” ucapku, dengan badan yang sudah menggigil karena hujan. Setiap hujan, kulihat gadis itu selalu duduk di bangku taman kota.
Dia menatapku tajam, aku sempat tersihir oleh binar matanya yang bening itu.
“Sarah,” ucapnya pelan.
“Firman.”
“Apa kamu tidak kedinginan?” tanyaku, melihat wajahnya yang pucat, ku mengerti kalau dia kedinginan. Tetapi dia hanya menggeleng dan berkata,
“Aku suka hujan, karena hujan mampu menggugurkan setiap kesedihan di hati ini.”
Aku masih belum paham apa yang dia maksud. Dia hanya menengadahkan telapak tangannya untuk menimbun setiap tetesan air hujan. Aku masih tidak berani terlalu lama bicara kepadanya. Sepertinya dia menyimpan kepedihan terlalu dalam.
Setiap hujan ku siapkan tubuh untuk berbasah ria menemani gadis itu. Gadis yang ku panggil gadis hujan itu, seolah tidak membuatku jenuh berada di dekatnya, walau tubuh menggigil kedinginan. Ini pertama kalinya ada wanita yang mampu membuatku luluh dan nyaman bersamanya. Apakah ini cinta, aku tidak mengerti. Gadis hujan itu telah berhasil mencuri sebagian ruang di hatiku.

Ku beli bunga di dekat taman kota sebagai hadiah kejutan untuknya. Hari masih mendung, gadis hujan itu tidak terlihat. Apakah karena belum hujan, dia belum datang atau apa aku yang terlalu berharap dia datang setiap hari.
Detik berganti menit, adzan ashar pun telah berlalu, gadis hujan pujaan hatiku tidak kunjung datang. Apa aku harus menunggu hujan, tetapi jika tidak hujan bagaimana. Hari sudah mulai gelap, kuputuskan untuk pergi dari taman kota. Bunga yang terlanjur ku beli terpaksa ku bawa pulang.
Gadis hujan … aku merindu dan menantimu, sehari terasa lama. Aku ingin memandang wajah dan binar mata yang teduh itu. Aku merana di dalam kamar. Inikah cinta, mengapa begitu menyakitkan. Cinta ini membuatku menjadi sosok pria melankolis.

Hujan, sebentar lagi aku akan bertemu dia. Gadis hujan tunggulah, aku akan menemani dan menghapus setiap luka yang pernah engkau rasakan. Aku berlari menuju taman kota, hujan deras pun ku terobos, aku tidak peduli. Rasa rindu ini harus segera diobati.
Dengan nafas yang masih memburu, kulihat sekitar taman, tidak ada gadis hujan yang ku rindukan. Kemanakah dia sekarang, apa dia sakit. Galau dan kalut, semua berkumpul di dalam pikiranku.

Aku melangkah menuju toko bunga di samping taman kota. Kulihat seorang Bapak tua yang menunggu toko.
“Permisi, Pak. Apa bapak melihat gadis yang biasa duduk di bangku itu?” tanyaku kepada Bapak penjual bunga itu.
“Gadis yang mana ya.”
“Gadis yang biasa pakai hijab putih dan suka hujan-hujanan itu,” terangku.
“Oh … gadis itu.”
“Bapak kenal dia!” potongku.
Bapak tua itu mengangguk dan menghela nafas panjang lalu berkata,
“Dia gadis gila, Nak.”
“Maksud Bapak?”
“Selly, dia adalah anaknya Pak Burhan. Menjadi gila karena suaminya kecelakaan di dekat taman kota ini. saat kejadian tersebut hujan turun deras, oleh sebab itu dia suka hujan-hujanan,” terang Bapak itu.
“Sekarang dia kemana,Pak?” tanyaku semakin penasaran.
“Dia telah meninggal, tertabrak mobil saat hendak di bawa pulang oleh orang tuanya.”
Kaki dan tubuhku lemas, keterangan dari Bapak tua itu seakan mempupuskan harapanku bersama gadis hujan itu. Ternyata gadis itu gila, aku masih tidak percaya.

Hujan pun turun begitu deras, aku tidak bergeming masih tetap duduk di bangku taman kota. Ada perih yang menyayat hati menerima kenyataan ini. hujan basuh luka ini dan gugurkanlah setiap kesedihan di hati bersama tetesanmu.

Selesai