Minggu, 31 Agustus 2014

Ada Cinta Dikota Santri. part#5

“ Menikahlah, Nak. Syukuri nikmat yang diberikan oleh-Nya,” bujuk ibu.
“ Dimas juga ingin menikah, tetapi sama siapa? Tidak ada akhwat yang mau sama dimas,” jawabku. Tidur dipangkuan ibu, seakan nyaman sekali. Tetapi aku bisa ada disolo, kan seharusnya aku masih dipasuruan. Entahlah, tetapi aku sangat rindu denganmu, Ibu.
“ Ya nikah sama gadis-gadis soleha itu,” jawab ibu sambil mengelus rambutku.
“ Siapa, Bu. Memang ada gadis soleha yang suka sama dimas?” tanyaku penasaran.
“ Kamu tinggal pilih saja, ada Dini, Nurjannah dan Delia,” terang ibu.
Darimana ibu mengenal ketiga gadis itu. Dengan nada bercanda,
“ Kalau ibu pilih yang mana?” Tanyaku.
“ Kalau ibu mau ya, yang itu,” jawab ibu.
“ Siapa Bu?” kataku dengan rasa penasaran.
“ Dia adalah….?”

Allahuakbar…Allahuakbar…
Suara adzan membuyarkan semuanya, “ ternyata, hanya mimpi toh,” pikirku. Setelah shalat subuh, aku masih memikirkan tentang mimpi itu. Kucoba untuk menghubungi ibu disolo.
“ Assalamuailaikum,Bu.”
“ Waalaikumsalam, ada apa toh,Nak. Pagi buta gini nelpon. Aku sama adikmu jadi khawatir.” Jawab ibu dari seberang desa kecil disolo.
“ Maaf, Bu. Dimas baik-baik saja disini, tetapi ada yang ingin aku tanyakan. Apakah ibu ingin dimas segera menikah,” tanyaku polos.
“ iya, Kak. Buruan nikah entar keburu tua loh.” Kudengar sari, adikku mempotong pembicaraan aku sama ibu.
“ Sudah, jangan dengar adikmu. Kamu tahukan adikmu sudah kangen sama kamu, tetapi lebih kangen kamu segera menikah. Nak, dengar ibu menikah itu bukan urusan disuruh atau paksaan, tanyakan hatimu jika memang kamu sudah siap untuk menikah ya segeralah tetapi ingat jangan tergesa-gesa karena itu perbuatan setan,” jawab ibu.
Seolah ada embun yang menetes kedasar hati, ces..damai sekali. Kata yang keluar dari bibir ibu selalu mengandung nasehat dan cinta. Terima kasih, Bu.

Pagi ini aku malas sekali untuk pergi kepercetakan, aku masih belum siap bertemu dini dan apa yang harus aku katakan jika dia meminta jawaban atas penawarannya kemarin. Tidak, aku harus berani semua harus segera diselesaikan apapun alasannya.
Terlihat kontor sepi, kemana anak-anak mengapa jam segini belum datang. Kulihat wati sedang memeriksa berkas.
“ Kemana yang lain kok sepi?” tanyaku.
“ Maaf  kak, Andi dan Dini tadi mengantar pesanan dan kak rio belum datang katanya masih mau beli bahan yang sudah habis,” jawab wati.
“ Ohnya, hampir lupa tadi ada telpon dari Nurjannah, katanya mau datang kesini mencari kak dimas,” lanjut wati.
Sambil menunggu diberanda, “ Ada apa dia mau kesini,” pikirku.
“ Assalamualikum, Akhy dimas.” Sapa gadis berjilbab putih, tak lain adalah Nurjannah.
Spontan aku gugup..” Waalaikumsalam, silahkan duduk.”
Nurjannah ternyata tidak sendiri, dia bersama Delia sepupunya.
“ Maaf ya, ada urusan apa kalian kesini,” tanyaku.
“ Afwan jika kami mengganggu akhy, begini aku ingin akhy datang keacara bedah buku pertamaku dipesantren.” Jawab delia yang begitu anggun dengan jilbab birunya.
“ InsyaAllah jika tidak ada halangan,” jawabku.
“ Tetapi, Akhy.” Kulihat ada nada khawatir dari ucapan delia, tetapi apa yang ingin dia ucap, begitu pentingkah?


“ Tetapi, aku ingin aku yang jadi pembandingnya,” lanjut delia.
Apa aku tidak salah dengar, harus menjadi pembanding.
“ Ukhty jangan bercanda, ana tidak faham satra,” elakku.
“ Jangan merendah begitu akhy, aku sudah memikirkannya siapa yang pantas jadi pembandingnya dan yang cocok itu, Akhy.” Delia berusaha menyakinkanku.
“ Maaf mungkin ukhty salah orang,” tukasku.
“ Tidak, akhy orang yang paling pas menurutku. Bagaimanapun akhy bekerja didunia percetakan otomatis sering mencetak berbagai novel atau cerita kan. Aku hanya minta akhy mengkritisi dari segi publishing saja.” Terang delia dengan wajah memelas.
“ Akhy, islam menganjurkan setiap muslim harus tolong-menolong dalam kebaikan, maka tolonglah kami agar acara bedah buku ini sikses dan bermanfaat,” timpal nurjannah.
Mendengar keterangan mereka, hatiku menjadi luluh walaupun sedikit ragu.
“ Baiklah, akan aku usahakan tetapi aku minta novelnya agar aku bisa membacanya dan sedikit memberikan referensi,” jawabku.
Kulihat delia mengambil sebuah buku dari tasnya dan menyerahkannya kepadaku. Buku bercover merah hati dan ungu begitu cantik dan judul yang menarik “ Cinta Itu! Kok Gini?

Bersambung…

Sabtu, 30 Agustus 2014

Ada Cinta Dikota Santri. Part#4



“ Aku lagi ada masalah serius, Kak.” Dini mulai bicara masalah yang sedang dihadapi.
“ Masalah apa itu,” Tanyaku.
“ Aku disuruh menikah sama Ibu panti.” Kulihat ada gurat kecemasan diwajahnya.
“ Terus apa yang jadi masalah. Gadis soleha sepertimu pasti banyak ikhwan yang siap melamar,” jawabku.
“ Masalahnya aku sudah mencintai seorang ikhwan,” katanya.
“ Kamu tinggal ungkapkan perasaan itu kepada murabbinya atau kamu mau minta bantuan kakak nih,” godaku.
Wajah dini seketika merona merah dan berusaha menguasai emosinya.
“ Tidak perlu, Kak. Karena dia adalah kakak sendiri,” jawabnya.
Jlebb…bagai ada busur panah menancap didadaku. Dengan hati yang masih tak percaya.
“ Jangan bercanda, Din. Ini masalah serius loh.”
“ Tidak, Kak. Dini serius mencintai kak dimas,” jawabnya.
Dalam mobil menuju kost, aku memilih diam memikirkan apa yang barusan terjadi. Apa ini nyata, ada apa denganku? Dini mencintaiku, bahkan dia sudah siap menjadi istri jika aku bersedia menjadi imamnya. Tetapi apa aku tega menyakiti hati sahabatku sendiri, Andi. Aku jadi ingat obralan bersamanya, selesai shalat isya’ andi ingin bicara serius denganku. Dalam hati,” Tumben anak ini mau bicara serius segala.”
“ Antum pernah jatuh cinta,” tanyanya. Entah apa yang sedang dipikirkannya, aku jadi tertawa.
“ Serius nih, ana rasa sedang jatuh cinta,” lanjutnya.
“ Afwan, alhamdulilah berarti antum masih normal, punya hati. syukuri itu sebagai nikmat dari-Nya. Jagalah sampai dia halal untuk antum,” jawabku. Dengan wajah agak malu andi cuma bisa mengangguk.
“ Wah..siapa itu akhwat yang berhasil membuat pangeran andi jatuh cinta,” godaku.
Malu- malu andi berkata,
“ Dini..”
Antara kaget dan tidak percaya, ternyata andi diam-diam jatuh cinta sama dini.

Aku masih membayangkan apa yang terjadi tadi, mata ini seperti enggan terpejam lelap dalam mimpi. Andai gadis itu bukan dini pasti aku tidak akan seprti ini, terus bagaimana jika andi tahu hal ini. Aku tidak bisa membayangkan betapa hancur perasaannya. Apa yang harus aku lakukan menolaknya maka dini akan sakit hati, kalau tidak andi yang justru harus hancur. Pilihan sulit, mengapa harus begini.
Ya Rabb, aku mengerti ini jalan yang harus aku tempuh, berikan kekuatan untuk bisa menyelesaikan semua ini dengan jalan terbaik bagi kami. Aamiin

Bersambung…

Rabu, 27 Agustus 2014

Izinkan Aku Mencintaimu.

“Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus”

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang,

Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!.

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”

Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.




Sumber cerita S. Sandy mm
Sumber do’a : http://ibuhamil.com/diskusi-umum/18019-renungan-doa-istri-solehah-baca-dulu-yuk-bun.html#ixzz3BTeRskrC

Selasa, 26 Agustus 2014

Ada Cinta Dikota Santri #Part 3



“ Ohnya perkenalkan ini anakku, apakah kau ingat dia.” Tanya ustad ilham menjawab rasa penasaranku. Ternyata gadis berjilbab putih itu anak ustad ilham. Sambil mengingat siapakah dia, pernah bertemu dimana. Langsung saja aku ingat acara itu.
“ Alhamdulilah ana ingat ustad, kalau tidak salah dia kan pemenang qiro’atil Qur’an sejatim itu. Yang bulan lalu mengadakan syukuran dan kebutulan ana yang membuat undangan dan sekaligus hadir dalam acara tersebut. Tetapi ana lupa namanya, ustad.” Jawabku.
“ Syukur akhi masih ingat. Perkenalkan saya Nurjannah.” Ucap anak ustad ilham, tanpa sengaja mataku beradu dengannya. Ces, ada getaran dihati ini. Astafirullah, ucapku dalam hati. kucoba menata hati dan menundukan pandanganku.
“ Dan yang ini, delia. Adik dari istri saya, kebetulan dia sedang liburan jadi oleh istri saya disuruh kesini untuk membantu mengajar dipesantren.” Ustad ilham menjelaskan siapa perempuan berjilbab biru itu. Mau tidak mau terpaksa aku pandang wajahnya, subhanallah, diakan perempuan yang kecopetan dibus kemarin.
“ Maafkan saya, akhy. Gara-gara saya, akhy harus berbaring dirumah sakit.” Ucap delia dengan melihat kondisiku.
“ Tidak apa-apa, memang seharusnya kita tolong-menolong dalam kebaikan. Kalau memang harus dirawat dirumah sakit itu hanya bonus.” Jawabku sambil tersenyum.
“ Iya bonus, makanya jadi orang jangan sok jagoan. Kalau begini tahu rasanya kan.” Celetuk andi. Spontan semua tertawa, aku hanya bisa menahan malu.
Setelah tiga hari, dokter mengizinkan aku pulang tetapi dengan syarat setelah satu bulan aku harus cek-up agar memastikan tidak terjadi apa-apa dikepalaku. Alhamdulilah akhirnya aku bisa menghirup udara luar, selama dirumah sakit jenuh sekali tidak bisa beraktivitas.

Aku dan andi menuju temapat administrasi, ketika mau membayar ternyata petugas bilang sudah dibayar. Aku dan andi sempat kaget, siapakah orang baik itu yang mau membayar biaya rumah sakit. Ketika aku bertanya siapa yang membayar, petugas itu hanya bilang “ Kami tidak bisa memberitahukannya karena ini menyangkut privasi.”
Ketika sampai dilobi, Dini dan Wati salah satu pegawai dipercetakanku datang ingin menjenguk.
“ Kak dimas, bagaimana keadaannya. Kok, sudah berkemas apa sudah mau pulang,” ujar Dini.
“ Alhamdulilah kakak sudah tidak apa-apa,” jawabku.
Aku lihat ada gurat kecewa dari wajah dini, tetapi entahlah apa maksudnya. Andi yang berada disampingku berkata, “ yaudah, kita pulang bareng aja.”
Setelah barangku dimasukan kemobil, tiba-tiba Dini berkata.
“ Kak dimas, bisa bicara berdua saja.”
“ Emang ada apa toh, Din. Kok pakai berduaan segala,” jawabku.
“ sebentar saja kok, Kak. Kalau begitu kutunggu ditaman rumah sakit.” Kulihat wajah polosnya, masih saja sama seperti pertama aku mengenalnya. Gadis yatim piatu yang tinggal dipanti asuhan, saat itu dia minta sumbungan ketempat percetakanku. Entah apa yang mendorong aku untuk mengangkat dia sebagai pegawai ditempat kerjaku ini.
Tetapi itulah takdir, daripada harus meminta sumbangan otomatis jika dia bekerja dia bisa membantu para penghuni panti asuhan.
Apa yang dibicarakan gadis itu, sebegitu pentingkah hingga harus bicara berduaan.

Bersambung….