Rabu, 21 November 2018

When I Look at You

KAMIS, 22/11/18



Lima tahun lalu, dengan jilbab merah jambu senada gamis yang kamu kenakan, kamu mampu dengan mudah mengalihkan duniaku. Saat itu kamu begitu anggun menyampaikan materi seminar tentang ilmu bagi generasi masa kini. Tak banyak yang mengetahui tentang siapa dirimu? Sahabatku yang aktivis kampus pun tak banyak yang mengenal siapa gadis anggun nan cerdas tersebut. Mulai detik itu kuniatkan diri untuk mengenalmu lebih jauh, lalu semestapun mendukung.

Namanya Zahratul Wardah, baru semester dua jurusan pendidikan bahasa, ternyata kamu adalah junior di kampusku. Melihat wawasanmu di seminar itu, aku menyangka dirimu satu angkatan dengan diriku. Luar biasa seorang junior mampu mengisi materi dengan begitu cerdasnya. Begitu banyak teman yang mengelilingi segala aktivitasmu, semua sangat jelas terlihat kamu begitu ramah dengan senyum tulus yang terpancar dari wajah teduhmu. Aku yakin siapapun yang kenal dekat denganmu akan merasa nyaman. Beberapa hari itu aku menjadi secret admirermu, melihat dari jauh segala aktivitasmu di kampus, mengikuti langkah kakimu hingga tanpa kuduga sebelumnya, kamu adalah anak dari penjual soto dekat area kampus. Lagi-lagi aku dibuat kagum oleh sikapmu, tanpa malu kepada mahasiswa lain yang kebetulan makan di situ, kamu sigap dan ramah melayani mereka untuk membantu orang tuamu berjualan soto. Ya Allah, diriku semakin yakin bahwa gadis seperti itulah yang aku cari.

Aku masih ingat betul saat itu gerimis, aku dengan tergesa-gesa masuk ke gang rumahmu. Tak sulit bagiku untuk mencari alamat rumahmu. Ternyata rumahmu tak jauh dari kampus sekitar satu kilometeran. Rumah yang tanpa sederhana, tapi dihuni oleh orang-orang yang luar biasa. Aku sangat grogi dan gugup saat ayahmu menanyakan keperluanku datang ke rumahku. Tanpa basa-basi, lidahku yang terasa keluh berkata bahwa aku ingin melamarmu dan menjadikanmu penyempurna agamaku. Setelah berkata begitu di depan ayahmu, aku hanya mampu menunduk dan gemetar menunggu respon beliau. Tanpa kuduga, ayahmu berkata, "Saya sangat menghargai keberanianmu, Nak. Namun, saya hanya ayah dari Zahra dan yang akan menjalani rumah tangga pun dia, maka keputusan sepenuhnya saya serahkan kepadanya."
Lalu ayahmu memanggil dirimu, kamu menunduk dan aku tahu kamu pasti merasakan hal yang sama dengan apa yang kurasakan saat itu. Gugup dan gemetar. Setelah ayah bercerita tentang niat baikku, sekarang gilliran dirimu sang penentu keputusan.
Dengan anggun dan sopan kamu berkata, "Terima kasih atas keberanian akhi untuk melamar saya, tapi saya bisa memutuskan semuanya jika akhi datang bersama kedua orangtua akhi. Karena bagi saya menikah adalah restu dan ridho orang tua juga."

Ayah sangat mendukung keputusanku, menyerahkan apapun kepadaku, asal dia gadis baik-baik, ayah setuju. Lain halnya, ibu. Ibu tak setuju dengan keputusanku melamarmu. Bagi beliau aku dan tak selevel atau sekufu, ada perbedaan mencolok antara anak pengusaha sukses dengan anak penjual soto. Hampir saja aku melawan keputusan ibu dan nekat menikahimu. Namun, akal warasku masih berjalan, itu berkat dukungan ayah. Saat itu aku sedang mengurung diri di kamar, hampir seminggu aku tak pergi ke kampus, aku patah hati sebelum waktunya. Ayah diam-diam masuk ke kamarku lalu berkata, "Ibumu membuat keputusan begitu pasti ada alasannya. Pasti setiap orangtua terutama ibu, menginginkan pasangan yang terbaik bagi anaknya. Apalagi kamu adalah anak laki-laki satu-satunya di keluarga ini. Kuharap kamu mengerti dan tak menyalahkan ibu."

Waktu bergulir begitu cepat, sedang ibu masih kekeh dengan keputusannya. Berkali-kali aku membujuknya untuk sebentar saja berkenalan denganmu. Namun, ibu beribu alasan tetap menolak bahwa anak seorang penjual soto tak layak bersanding denganku. Nanti apa kata tetangga, saudara dan sahabat beliau, kalau Erlangga Putra Wijaya sang penerus perusahaan Wijaya Company menikah dengan gadis yang tak selevel dengannya. Ya Allah, hanya berdoa dan ikhlas yang bisa aku lakukan. Jika kamu adalah jodohku pasti aku dan kamu akan bersatu, tapi jika tidak kuharap aku dan kamu menemukan bahagianya masing-masing.

Allah mendengar doaku. Begitulah jalanNya, ketika manusia ikhlas dan pasrah pasti ada cara Allah yang begitu indah mengatur segalanya. Sore itu mata ibu berbinar-binar, dengan antusias masuk ke kamarku lalu bercerita atas apa yang beliau temukan saat ikut kajian agama ibu-ibu kompleks. Aku masih ingat betul apa yang ibu katakan saat itu, "Lupakan gadis anak penjual soto itu. Sekarang ibu punya calon yang pastinya sekufu denganmu. Anak kulihan dan pastinya pinter ngaji. Ya Allah, baru kali ini ibu melihat gadis seanggun dan secerdas itu, apalagi suaranya saat melantunkan ayat suci, bagus dan adem hati ini."
Aku hanya diam mendengar perkataan ibu dan iseng bertanya, "Namanya siapa dan kuliah dimana?"
"Tadi waktu ibu-ibu kompleks bertanya namanya ... ah siapa sih ... bentar ibu ingat-ingat dulu. Pokoknya dia kulihnya satu kampus denganmu!" 
"Kalau dia anak penjual soto bahkan anak tukang becak, apa ibu akan setuju?"
Kembali aku iseng bertanya kepada beliau dan tanpa kuduga jawaban ibu waktu itu membuat diriku semakin penasaran kepada gadis yang ceritakannya. Apakah dia lebih hebat darimu saat itu.
"Ah, sekarang ibu nggak peduli dia anaknya siapa? Orangtuanya kerja apa? Karena, saat melihat gadis itu, ibu merasa cocok kalau dia jadi menantu ibu. Ah, dia cantik, cerdas, ngajinya bagus dan sopan."
Pujian ibu kepada gadis itu membuat diriku goyah untuk melanjutkan lamaran atasmu.
"Oh ya, ibu ingat namanya sekarang, tadi sebelum mengaji dia memperkenalkan dirinya, Zahratul Wardah!"

Waktu saat itu terasa berhenti berputar, Allah menjawab doa-doa disetiap pengujung malam atas keyakinanku untuk menikahimu. Lewat caraNya yang begitu luar biasa, aku dan kamu mampu disatukan dengan cara yang halal dan ridho dariNya. 

Pernikahan itu benar terjadi, kamu, Zahratul Wardah telah sah menjadi istri Erlangga Putra Wijaya. Masa sulit mendapat restu ibu terbayar lunas saat ibu tersenyum bahagia dan berkali-kali minta maaf atas kekhilafannya. Aku hanya tersenyum dan mengingat ucapan ayah bahwa setiap orangtua terutama seorang ibu pasti menginginkan pasangan yang terbaik bagi anak-anaknya. 
Usai acara pernikahan itu, aku dan kamu menitih fase baru dalam hidup, yaitu sebagai sepasang suami istri. Tak mudah hampir lima tahun kita membangun rumah tangga ini. Pasang surut dinamika rumah tangga kita rasakan berdua. Beratnya gunjingan dari saudara hingga tetangga kalau dirimu dikatakan menikah denganku semata karena harta. Kembali peranku sebagai kepala rumah tangga bertanggung jawab atas kenyaman dan keamanan istri dan anak-anak.

Kini aku bersyukur dan beruntung memilihmu menjadi penyempurna agamaku. Kamu begitu sabar dan elegan dalam menyikapi masalah. Menghangatkan kala dingin menerpa, menyejukan kala bara dalam rumah mulai membara. Kulihat kamu selesai menemani Fahmi untuk tidur, tak ada gurat lelah di wajahmu. Pasti melelahkan mengurus sendiri anak usia empat tahun dan seaktif Fahmi tersebut. Saat aku menawarkan bantuan babysister untuk meringakan pekerjaanmu, kamu dengan tersenyum menjawab, "Babysister terbaik bagi seorang anak adalah ibunya. Tenang, Bi, insyaAllah umi kuat dan ikhlas menjalani semuanya. Kebahagian umi saat ini adalah mampu mengurus sendiri dengan baik abi dan Fahmi."

"Abi, kok masih diam di ruang tamu, memang belum mengantuk?" tegurmu lalu duduk di sampingku. Aku menggeleng lalu merogoh saku celana.
"Selamat hari pernikahan kita yang kelima tahun, Umi!" Kotak cincin itu sudah kupersiapkan dua minggu yang lalu sebagai hadiah spesial hari jadi pernikahan. Kamu tampak terkejut sambil menutup mulut. Air mata jatuh membasahi wajah teduhmu. Perlahan jemariku menghapusnya dari kelopak mata yang memancarkan kasih sayang yang begitu besar dan tulus bagi keluarga.
"Terima kasih, Bi. Maaf umi belum bisa mengasih apa-apa kepada abi!"
Kusandarkan kepalamu yang berbalut jilbab merah muda ke dadaku. Kucium pucuk kepalamu dan rasakan debar jantungku bahwa aku tulus mencintaimu. Jika aku jantung, kamulah debarannya, istriku, cintaku, Zahratul Wardah.
"Bi, kurasa sebentar lagi Fahmi akan punya adik. Umi telat dua minggu!"

_Selesai_



1 komentar: