Rabu, 29 November 2017

Cinta di Atas Kerutan Kening


|Cinta di Atas Kerutan Kening|
By: Muhammad Asqalani eNeSTe


Dy: Qubeb, bolehkah aku mencium keningmu dengan panas bibirku, agar agama dan segala pemahamanmu retak. Qubeb: jangan mushankan aku Dy, seperti cintamu yang bergelantungan itu, aku tak ingin jatuh tanpa agama. Dy: oh, kekasihku yang teramat rapi menyimpan cumbu, keluarkanlah segala kemunafikanmu, agar kita benar-benar menikmati hidup tanpa baju. Qubeb: tidak Dy, aku tak sehina itu, jangan pernah kauhina jiwaku yang tetap percaya keperkasaan Tuhan yang gemar menunggu. Dy: oh! Qubeb: tinggalkan aku dengan segala sendu dan airmata yang masih menggenang mengenang ibu, hilanglah dari hidupku jika ini semua menurutmu pilihanku paling keliru. Dy: tidak sayang, aku mencintaimu, seperti halnya Tuhan yang bergonta-ganti baju itu. 2017

Muhammad Asqalani eNeSTe. Suka berbicara Bahasa Inggris. Rentang tahun 2021-2028 bercita-cita tinggal di Australia. Aktif di Community Pena Terbang (COMPETER). WA: 082385449383. Buku puisinya yang akan terbit di awal 2018 adalah: Anglocita Nama Cumbu.

Senin, 27 November 2017

On The Sky No More Blue


|On The Sky No More Blue|
By : Muhammad Asqalani eNeSTe
https://www.google.co.id
Koza: On the sky no more blue. Eyebrow: sebab itu betapa rahasia. Koza: seperti langit-langit dadamu? Eyebrow: langit-langit dadaku senantiasa biru. Koza: jangan berdusta, tidakkah dadamu kini pucat dan pudar warna? Eyebrow: kenapa? Koza: sebab kau telah lama ranggas cinta, hidupmu kandas tanpa kecupan-kecupan. Eyebrow: aku pengagum kesendirian, hiruk-pikuk hanya suara batuk setan. Koza: jangan mengaku suci, jika kesucian tak lagi kaumiliki. Eyebrow: kau menohokku. Koza: aku ingin mencintaimu lagi, hingga cabik-cabik fantasi, hingga telanjang segala mimpi. Eyebrow: tidakkah kenyataan telanjang lebih kau impikan, tidakkah ilmu raba hendak kau amalkan? Koza: aku ingin memperdalam hal-hal paling tidak masuk akal dari kekuatan sentuhan. Di luar hujan, aku kedinginan dan menggigil membekukan tangisan. Hatiku telah lama salju, warna biru hanya kamu, yang kini hitam. sebentar lagi aku akan tenggelam, dalam cerita yang kuciptakan. Minum tehmu tuan, seseorang yang mirip kamu, menyentuh bibirku dengan santai, aku mendadak akan lebur seperti pasir di pantai, di mana kau sebagai penidur yang gemar berkubang. ---- Jika seribu tahun lagi langit runtuh, akankah kau memeluk iman baru, atau masih setia pada keyakinan, on the sky no more blue. 2017

Muhammad Asqalani eNeSTe. Suka berbicara Bahasa Inggris. Rentang tahun 2021-2028 bercita-cita tinggal di Australia. Aktif di Community Pena Terbang (COMPETER). WA: 082385449383

Jumat, 24 November 2017

Kini Selamanya

Kini Selamanya
Oleh : Yanuari Purnawan

“Tuhan tidak adil, mengapa Dia berikan semua ini kepadaku. Aku ingin seperti mereka menikmati masa muda, bebas, gaul dan jalan-jalan bersama teman-teman sebaya. Ah! Ini cuma mimpi dan mimpi belaka,” gumam seorang pemuda kurus sambil mengamati sekitar di luar jendela kamar. Ada perasaan iri dan cemburu di dalam hatinya.

“Sayang, ada apa kok melamun sendiri di kamar?” Sebuah tepukan lembut dari seorang wanita di pundaknya membuat lamunan itu hilang walau masih menyisahkan luka di hati.
“Ibu … tidak ada apa-apa kok!” Tatapan itu membuat dia tidak bisa bohong kepada wanita yang telah melahirkannya.
“Panji, jangan bohong sama ibu! Ibu mengerti kamu sedang menyimpan sesuatu di dalam hati.”
“Bu, Tuhan itu tidak adilnya! Seharusnya panji sekarang bisa sekolah, main dan berprestasi. Bukan seperti ini menjadi benalu,” jawab Panji, pemuda berusia tujuh belas tahun itu yang sudah harus menerima kenyataan pahit dalam hidupnya.
“Sayang, ingat Tuhan memberi kita ujian bukan karena tidak sayang kepada hamba-Nya. Semua itu semata untuk meningkatkan derajat hamba-Nya yang tetap sabar, bangkit dan bersyukur. Ibu yakin Panji bisa berprestasi mungkin bukan saat ini tetapi percaya esok ada hari indah yang telah disiapkan oleh-Nya untuk Panji.” Nasehat dari ibunya mampu membuat bulir hangat luruh membasahi pipi Panji. Dipeluk wanita yang selama beberapa bulan belakangan berjuang sendiri untuk menghidupi anaknya sebagai buruh cuci.

Semangat Panji mulai membara untuk menyambung hidupnya kembali. Kalimat yang keluar dari bibir ibunya ibarat mantra sakti untuk membuka mata hatinya. Kini, Panji mulai menata ulang langkah hidupnya, dia tidak mau terus-terusan menjadi benalu terutama bagi wanita yang banyak berkorban untuknya.

Di ambilnya sebuah krek sebagai pengganti kaki kanan yang sudah diamputasi akibat kecelakaan. Dan peristiwa kelam tersebut juga harus meninggal luka yang begitu dalam bagi keluarga tersebut. Ayah yang menjadi tulang punggung harus meninggalkan mereka untuk selamanya. Berat, apalagi Panji juga harus meneruskan ke perguruan tinggi. Tetapi nasib berkata lain, dia harus merelakan impiannya untuk bisa menyandang status mahasiswa.

Dengan berjalan tertatih, dia menuju mushalla dekat rumahnya. Di tempat tersebut, dia curahkan apa yang terpendam di hatinya.
Ya … Allah, hamba percaya tidak ada ujian yang Kau beri di luar batas kemampuannya hamba-Mu. Maka berkahi dan kuatkan setiap langkah hamba menuju kebaikan yang telah Kau gariskan.”

Episode baru telah dimulai, binar semangat telah mengisi ke dalam sorot matanya. Panji, tak ingin terpuruk lagi. Bangkit adalah jalan yang harus dia tempuh kini.
“Apa yang ingin kamu lakukan, Nak?” tanya ibunya penuh kecemasan.
“Ibu, tenang saja. Alhamdulilah, Panji dapat kerja,” jawab Panji begitu semangat untuk memulai hari pertama kerja.
Alhamdulilah, memang kerja apa, Nak?”
“Pak Budi menyuruhku menjaga warnet, kebetulan beliau butuh orang yang mengerti tentang dunia komputer.” Mata itu lagi-lagi menunjukan jiwa pemuda yang penuh optimisme.

Warnet tempat kerjanya tak jauh dari rumah, sehingga dia bisa berangkat dengan berjalan. Masih ada sebersit rasa khawatir yang hinggap dari wanita tua itu melihat anaknya harus berjalan kaki sejauh satu kilometer menggunakan krek. Mungkin bagi manusia normal jarak tersebut tidak menjadi masalah, tetapi bagi sosok Panji mungkin butuh tenaga ekstra agar sampai dengan selamat.

Panji bekerja dengan ulet dan cekatan walau dalam keterbatasan. Membuat sosoknya menjadi kesayangan Pak Budi selaku bosnya. Hal yang membuatnya lebih di mata Pak Budi, pria berusia tiga puluhan tersebut adalah Panji tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Setiap azan berkumandang dia selalu bergegas untuk memenuhi panggilan-Nya, tanpa beban sama sekali. Sangat kontras dengan remaja saat ini yang lebih memilih hang out di kafe, main game online hingga lupa waktu dan kencan sama pacar yang belum halal.

Panji sekaligus memanfaat kerjanya dengan menggunakan fasilitas yang ada dengan maksimal. Disela pekerjaan menjaga internet, dia juga belajar menjadi reseller bisnis online dengan membuat blog. Pak Budi yang mengetahui hal tersebut memberi restu malah menyuruhnya untuk memasarkan tempat warnetnya.

Sehari, seminggu hingga satu bulan bisnis online Panji ternyata tak berjalan sesuai harapan. Komentar sinis kembali terlontar kepada pemuda cacat tersebut.
“Mimpi mau sukses, jalan saja susah.” Begitulah ocehan orang sekitar melihat kegigihan Panji untuk meraih mimpinya. Panji hanya mampu tersenyum menanggapi komentar sinis tersebut. Dia percaya suatu saat dia akan berhasil.

“Bu, memang orang cacat kayak Panji tidak layak untuk sukses?” tanya Panji sambil rebahan diatas paha ibunya. Dengan lembut ibunya membelai rambut anak semata wayang tersebut.
“Panji masih muda, kuat dan cerdas, jadi tidak ada alasan untuk sukses. Walaupun kondisi Panji tak sempurna. Ingat pesan, Ibu. Sesungguhnya kecacatan sejati itu jika dia punya hati, mata, tangan dan kaki yang sempurna tetapi tidak digunakan untuk mengagungkan asma-Nya.” Kembali energi positif menjalar ke dalam jiwa mudanya.

Langkah itu semakin pasti walau cibiran kerap terlontar dari mulut orang yang tak suka dengannya. Baginya, keterbatasan dan masa muda adalah dua hal yang berbeda tetapi bisa saling mengikat. Panji masih semangat bekerja menjaga warnet. Warnetnya semakin hari semakin ramai hingga Pak Budi akan membuka cabang baru. Dan yang dipercaya untuk mengelolanya adalah panji.

Mendengar kabar itu, pemuda tujuh belas tahun tersebut bersyukur akan amanah barunya. Dia berjanji akan bekerja secara optimal. Remaja seusianya, biasa masih menengadahkan tangan meminta uang kepada orang tuanya. Beda dengan remaja bernama Panji, sekarang dia menyuruh ibunya berhneti jadi buruh cuci. Karena uang yang diperoleh dari hasil kerja sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Bukan hanya itu, remaja yang selalu rajin shalat berjamaah di masjid tersebut mendapat apresiasi dalam bisnis onlinenya. Beberapa hasil dagangan yang dipromosikan lewat internet tersebut laris manis di pasaran. Ada beberapa perusahaan yang menawarkan kerja sama untuk pemasaran produknya.

Ternyata, pencapaian Panji tidak lantas membuatnya besar kepala. Dari penghasilannya, dia sisihkan untuk membantu para penyandang cacat agar mampu bersaing dan bekarya.

“Nak, jangan terlena dengan nikmat ini. Semua hanya titipan, bersyukur dan berbagi itu adalah cara aman untuk menjaganya.” Sebuah nasehat seorang ibu kepada anaknya yang masih remaja dan belajar tumbuh menjadi dewasa.

Kini dan selamanya, remaja cacat tersebut telah membuktikan. Keterbatasan bukan halangan, apalagi diusia yang masih muda. Usia yang gemilang untuk bekarya dan berprestasi. Bukan mengeluh dan bergalau ria terhadap nasib. Gunakan masa mudamu sebelum masa tuamu.


Selesai

Selasa, 14 November 2017

Remaja yang Bercinta

Remaja yang Bercinta
Oleh : Yanuari Purnawan


Jatuh cinta itu berjuta rasanya. Ada rasa senang, rindu, cemas dan galau. Semua campur aduk seperti adonan kue. Hati dag dig dug saat melihat orang yang dicintai. Malu tapi mau hingga kayak kucing cacingan. Dan paling parah apapun aktivitasnya selalu bayangan dia yang menyertai. Sungguh virus merah jambu tersebut begitu besar dampaknya.

Dulu yang tidak suka dandan sekarang hampir dua jam bercermin. Yang cowok jadi memperhatikan penampilan, wangi dan rambut jadi klemis. Kalau yang cewek pakai bedak sampai cerminnya mau retak, bimbang harus pakai baju apa hingga dilema sambil dengerin lagu galau. Merasa diri mereka butiran debu yang separuh jiwanya pergi karena cinta sakitnya tuh di sini!*Nunjuk gigi karena lagi sakit gigi hehe.

Cinta … oh cinta, begitu hebat pengaruhmu. Hingga yang tak suka puisi menjelma menjadi pujangga. Apa yang dilihat dan dirasa menjadi kata-kata indah nan puitis. Apalagi virus tersebut menginfeksi para remaja masa kini. Mengapa remaja-remaja lagi? Karena masa remaja adalah masa penjajakkan dan pencarian jati diri. Ingin dihargai, dicintai merupakan hal yang wajar dalam fase usia mereka.

“Jadi remaja boleh dong cinta-cintaan?” Boleh banget malah harus. Kita sebagai makhluk-Nya wajib mencintai makhluk lainnya. Saling menyayangi, menhormati dan menghargai. “Kalau sama lawan jenis gimana?” Tidak masalah, ‘kan itu fitrah. “Jadi, remaja boleh dong pacaran!” eits … memang siapa yang bolehin pacaran? Yang boleh ‘kan saling mencintai sebagai makhluk-Nya. Kalau masalah pacaran, tunggu dulu perlu bertapa dan menyepi untuk menalarkannya.^^

“Kak, gimana dong aku kan terlanjur cinta sama si doi?” tanya seorang remaja cowok yang sedang kasmaran terhadap seorang cewek.
“Nggak mungkin dong aku putusin si doi!” lanjutnya dengan muka kusut.
Mendengar pertanyaan remaja cowok tersebut jadi tersenyum geli. Memangnya jika putus, si cewek akan mati atau gantung diri. Hei … kamu yang merasa benar-benar lelaki jangan sempit pemikirannya. Justru ketika kamu memutuskan hubungan pacaran dengan cewek tersebut. Kamu telah berhasil menjaga kehormatanmu dan kehormatan si cewek tersebut. Tenang Bro and Sis, kalau jodoh tak lari ke mana.

“Jadi nggak boleh ya pacaran?” Boleh asal tidak di tempat punyanya Allah. Jadi, cari saja tempat di alam semesta ini yang bukan merupakan kekuasaan-Nya.
“Ya … mana ada, Kak!” Kalau begitu sudah jelas ‘kan mengenai pacaran tersebut. Islam tidak mengajarkan umatnya untuk berkhalawat alias pacaran. Karena, aktivitas pacaran sama juga dengan mendekati zina. Islam cuma mengenal istilah ta’aruf, bukan pacaran islami loh! Dan ta’aruf ini juga ditujukan bagi dia yang mampu untuk komitmen serius alias menikah. Kalau kalian yang masih remaja, memang sudah siap menikah. Tuh … jika bahas menikah langsung kabur deh.

Jangan gegana (Galau, gelisah, merana) dulu, islam adalah agama yang komplit dan sistematis. Setiap permasalahan, pasti ada solusinya. Bagaimana jika remaja yang bercinta? Yang masih belum mampu mandiri dan cukup dewasa untuk menikah. Tetapi, rasa cinta di dalam dada tak bisa terbendung. Yuk simak hadits di bawah ini.

Dan barang siapa belum mampu menikah, hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum membentengi dirinya.” (HR.Al-Bukhari dan Muslim)
Sudah jelaskan bukan islam mengaturnya. Bagi remaja yang belum mampu berkomitmen serius alias menikah. Bukan pacaran solusinya, melainkan shaum (puasa). Jadi, perbanyak puasa dan mengingat Allah, agar hati menjadi tenang hingga waktu datang untuk meminang dan dipinang.

“Lalu, bagaimana remaja yang bercinta menurut pandangan islam tersebut?” Remaja yang bercinta menurut pandangan islam adalah menjaga kehormatan diri dan menata cinta sampai waktunya tiba. Bro and sis (biar lebih gaul hehe) … percayalah cinta itu universal, jangan memandang sempit makna cinta. Bukan hanya masalah aku dan kamu, tapi cinta itu luas.
Remaja yang bercinta pertama adalah bangga dan cinta akan agamanya, yakni islam. Selalu menjalankan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Mengikuti sunnah rasul-Nya dan mengamalkannya. Sungguh inilah cinta yang hakiki, cinta Allah kepada hamba-Nya. Jadi, apakah kita harus berpaling dengan melakukan hal yang dibenci oleh-Nya yakni pacaran. Ayo! Dipikir ulang kalau mau pacaran hehe … jangan ngotot dan ngeles kayak bajaj. Setuju nggak setuju, setuju!^^

Remaja yang bercinta kedua adalah cinta kepada orangtua. Mengapa cinta orang tua, karena cinta mereka tak ada duanya kepada kamu. Seburuk apapun perlakuan kamu terhadap mereka. Mereka tetap mencintai dan mendoakan yang terbaik untuk kamu. Sudahlah, sebelum kamu bilang i love you kepada lawan jenis, ucapankan dulu kepada orangtuamu. Sebelum memegang yang belum halal untukmu, lebih baik pegang dan cium punggung tangan orangtuamu.

Sudahlah tak perlu risau masalah cinta-cintaan. Karena, cinta remaja hanya sebatas cinta semu dan miskin komitmen. Sebelum terlambat, jangan sampai terjebak virus merah jambu tersebut. Bagi yang sudah mulai terinfeksi, mulai putar haluan. Dekatkan diri kepada-Nya dan minta kekuatan untuk bisa menjaga kehormatan diri. Sudahi atau akhiri demi kebaikkan diri.

Ya … Allah, kuatkan remaja islam, remaja penerus tegaknya agama ini dalam kebaikkan. Jadikan hidup dan langkah mereka dalam keberkahan dan kebermanfaatan. Kokohkan iman islam di dada mereka hingga mampu menjaga kehormatan diri dan agama. Aamiin … aamiin yaa robbal allamin.





Senin, 16 Oktober 2017

Aku yang Jatuh Cinta

Aku yang Jatuh Cinta
-YP-

Jika pada akhirnya takdir menuliskan kita bersama, dimanapun aku dan kamu berada pasti akan bersatu juga. Pun sebaliknya, jika takdir berkata lain kita tak bisa bersatu maka sedekat apapun aku dan kamu pasti berpisah juga.
*
Delapan tahun. Waktu yang begitu singkat untuk mereka karena mereka sedang bahagia-bahagianya menikmati proses atau bahkan dalam tahap menuju kesuksesan dalam hidupnya. Bukan untukku, delapan tahun adalah waktu terlama buat menunggu dan kembali menatap mata itu yang sorot matanya begitu tajam tapi meneduhkan. Delapan tahun, rasaku untukmu masih sama seperti awal aku berjumpa denganmu.
“Jangan takut!” sapamu sambil menepuk pundakku. Aku langsung menoleh ke arahmu yang dibalas dengan sorot mata yang begitu tajam. Oh Tuhan, saat itu aku seperti terkena aritmia. Mata yang indah dibalut dengan senyum yang menawan.
“Biasalah kalau MOS begini digunakan oleh senior untuk menunjukkan keseniorannya atau ya mereka gunakan untuk ajang balas dendam karena tahun kemarin mereka juga diperlakukan seperti kita.” Aku hanya tersenyum mendengar penjelasannya yang begitu panjang tersebut.
“Ohnya, hampir lupa. Kenalin, aku Pandu Dimas Revandra. Emm… kamu pasti Krisna Wahyu Pratama!” Kurasakan wajahku merona saat kamu tahu nama lengkapku. Namun, sedetik kemudian aku hanya mampu tersenyum bodoh sambil garuk-garuk tengkuk yang tak gatal.
“Benerkan itu nama kamu? Pas sekali dengan wajahmu yang manis,” ucapmu lagi sambil menunjuk papan nama dari kertas karton yang menempel di dadaku.
Itulah kali pertama aku berkenalan denganmu. Mungkin dari situlah awal takdir sedang menuliskan tentang kisah hidupku yang tak lagi sendiri melainkan ada namamu bersama mata tajam indah tersebut.
Kuedarkan pandanganku ke setiap sudut rumah makan, kenangan tentangmu menyeruak kembali. Delapan tahun yang lalu ditempat ini, yang dulu masih kita sebut warung nasi goreng. Namun, warung itu menjelma menjadi rumah makan yang cukup luas dengan menu tak sebatas nasi goreng seperti dulu. Ah, ternyata waktu begitu mudah mengubah segalanya, tapi mengapa waktu tak mampu mengubah perasaanku kepadamu.
Tuhan begitu baiknya menuliskan takdir aku denganmu. Bukan lagi kita yang satu gugus saat MOS, satu sekolahan, tapi kita sekarang satu kos-kosan. Hampir saja aku loncat kegirangan kalau tidak sadar bahwa aku harus jaga image di depanmu.
“Lucu ya ternyata kita bisa satu kos-kosan!” ucapmu lalu beralih mengambil ransel dan menuju ke kamar kosmu. Aku hanya diam sambil mengekorimu sambil menetralkan jantungku yang sejak menatapmu berdetak tak menentu.
“Kamarmu yang mana?” Aku menatapnya kembali. Masih sama mata tajam yang indah bagiku. Aku gelagapan untuk menjawabnya.
“Kamarku di depan kamarmu …!” jawabku sambil menunjuk kamar di depanmu. Kamu tersenyum lalu berkata yang membuat mukaku merona.
“Apa kamu ingin pindah dan sekamar denganku?”
“Maksudnya?”
“Sejak tadi kamu berdiri di kamarku. Sedang aku mau tidur dulu sebelum menata barang bawaan. Apa kamu masih ingin di sini juga, tidur sama aku!” godamu yang sukses membuat aku semakin merona.
“Sial!” Aku hanya mampu tertunduk lalu melangkah meninggalkan kamarmu. Walau dalam hati aku berharap itu terjadi. Tidur sekamar denganmu. Tuhan … mengapa si mata tajam itu membuatku segila ini. Kembali aku mengutuk diriku yang tak bisa meredam rasaku untukmu.
Hampir lima belas menit aku menunggumu. Namun, batang hidungmu pun tak tampak sekarang. Apa kamu masih ingat tentang rumah makan ini? Mungkinkah kamu tersesat karena rumah makan yang sekarang berbeda jauh dengan dulu. Sebodoh itukah dirimu jika masih lupa, bukankah kamu sendiri yang kemarin membuat janji bertemu di rumah makan Pakde Sapto ini. Aku masih setia mengamati rumah makan ini yang terlihat ramai apalagi ini sudah sore.
“Mas, jadi mau pesan apa?” kembali pelayan menanyaiku untuk memesan makan dan kembali aku menjawab sambil tersenyum.
“Nanti ya mbak … maaf temanku masih diperjalanan!” Sang pelayan pun mendengus lalu pergi. Mungkin dia kira aku hanya pengunjung yang numpang duduk sambil wi-fian gratis.
Saat itu aku masih sibuk mengerjakan soal-soal fisika yang begitu rumit. Sedang kamu sedang asyik mengotak-atik ponsel. Jujur aku begitu iri denganmu yang begitu banyak punya waktu luang, sedang aku selalu habis pulang sekolah, mandi, shalat lalu kembali mengejakan PR yang begitu menumpuk dan besok harus dikumpulkan. Maklum dulu aku anak IPA sedang kamu masuk jurusan IPS. Namun, kamu begitu populer ditambah lagi kamu adalah kapten tim futsal sekolah. Sungguh, aku begitu sebal dan kesal sekali setiap ada cewek-cewek ganjen yang berusaha mendekatimu. Bahkan, teman sekelasku pun begitu agresif tanya ini itu tentangmu terhadapku. Menyebalkan sekali bukan! Emang mereka kira  aku babysistermu. Cukup bahas cewek-cewek itu yang bikin emosi tingkat dewa.
Aku begitu pusing menentukan rumus tentang soal listrik statis, listrik dinamis, kukira sebentar lagi kepalaku akan mengeluarkan asap. Dari ujung mata, kulihat kamu tersenyum diambang pintu kamarku.
“Sibuk ya?”
“Lumayan. Kurasa guru fisika sedang semangat-semangatnya mengasih tugas!”
Kamu hanya geleng-geleng saja mendengar jawabanku. Lalu mengambil buku yang ada di depanku.
“Kurasa kamu tak akan tinggal kelas hanya tidak mengerjakan soal-soal tersebut dan kurasa kamu sedang butuh makan yang banyak untuk mengisi energimu kembali!” ucapmu sambil menimpuk pelan dengan buku ke kepalaku.
“Maksudmu?”
“Kita makan di luar sekarang, aku dan anak futsal lainnya sedang merayakan kemenangan tim kami minggu lalu. Dan kamu harus ikut denganku!”
“Tapi …,”
“Sudah, aku tunggu dua menit lagi!” potongmu sambil menatapku tajam. Aku yang ditatap seperti itu hanya bisa menurut tanpa membantah lagi.
Ramai. Itulah kesan pertamaku saat makan nasi goreng bersama teman-teman futsalmu. Namun, ada hal yang sebelumnya tak kumengerti tentangmu kini sedikit banyak mulai kuketahui dari obrolanmu bersama teman-temanmu. Ternyata, kamu diam-diam suka sama cewek bernama Almira kelas dua belas Ipa satu, sungguh hal itu membuat dadaku sesak. Selama makan nasi goreng entah mengapa yang kurasakan hanya hambar. Kurasa lidahku mulai mati rasa, bukan hanya lidah mungkin juga hatiku.
Kamu melambaikan tangan ke arahku lalu dengan sedikit tergesa-gesa duduk di kursi depan mejaku. Mata tajam indah itu kembali memenuhi otakku.
“Maaf membuatmu menunggu!” ucapmu sambil tersenyum menatapku.
“Mungkin sebentar lagi aku sudah ubanan gara-gara menunggumu.” Aku dan kamu pun tertawa bersama, tawa yang tak pernah kulihat lagi selama delapan tahun.
“Kamu sudah pesan makanan?” Aku menggeleng sambil mengamati dirimu yang tak banyak berubah setelah delapan tahun. Masih sama seperti dulu hanya sekarang kamu berjenggot yang tertata rapi di bagian rahang.
Aku masih mengingat kenangan delapan tahun lalu di tempat ini dan hari dimana itu adalah hari terakhirku melihatmu.
“Jam empat sore ini ya!” ucapku lesuh tanpa binar semangat sambil meminum es jeruk yang sedari tadi aku aduk-aduk saja.
“Iya. Ayah bilang sih begitu! Terima kasih ya dua tahun ini kamu menjadi teman satu sekolah dan kosanku yang begitu baik,” terangmu santai. Tak seperti dirimu, aku begitu gugup dan tak tahu apa yang terjadi ke depannya sepeninggal kamu tak ada lagi dalam hidupku.
“Kuharap setelah di sekolah barumu kamu tak akan melupakanku!” Apa yang kuucapkan barusan. Begitu bodohnya kalimat itu harus keluar dari mulutku. Kulirik kamu hanya tersenyum lalu dengan gemas mengacak-acak rambutku.
“Kamu sangat lucu, Kris … kamu harus tahu ini bahwa setiap yang datang pasti akan pergi atau menetap tergantung takdir yang menuliskannya bagaimana. Aku tak akan melupakan teman sebaik dirimu!” Hampir saja air mata menetes dari kelopak mata mendengar ucapan tersebut. Sekuat tenaga aku tahan, aku tak ingin terlihat cenggeng di hadapanmu kali ini. Aku harus kuat dan ikhlas biar takdir yang menjawab semua rasa ini untukmu.
Malam itu adalah malam dimana bantalku kuyup oleh air mata. Semalaman aku menangisi kepergianmu untuk pindah sekolah. Tuhan kalau boleh aku meminta biarkan dia tetap di sini bersamaku. Namun, kembali takdir berbicara lain kamu tetap pergi bersama ayahmu untuk pindah ke sekolah baru.
Delapan tahun. Waktu yang begitu menyiksa diriku untuk mengenang semua tentangmu. Kini, kamu benar-benar ada di depanku dalam wujud nyata. Tuhan, jika ini mimpi biarkan aku tidur selamanya dan jika ini imajinasiku biarkan aku bermain-main hingga napas terhenti.
“Kurasa kamu masih suka makanan ini, bukan?” Kulihat di meja sudah ada nasi goreng dan jus jeruk. Aku tersenyum sambil menatapmu dan kamu pun begitu membalas dengan senyum yang begitu menawan. Tuhan, ternyata dia masih mengingatnya.
“Kukira kamu sudah lupa!” Kamu tersenyum sambil menyantap nasi goreng. Perasaan itu kembali menyeruak tatkala kamu tersenyum seperti itu lagi.
“Mengapa baru kemarin kamu menghubungiku setelah delapan tahun kita tak pernah bertemu?” tanyaku yang membuat kamu berhenti mengunyah lalu menatapku.
“Tak ada alasan apapun. Sejujurnya aku tak enak hati mengganggu calon dokter sepertimu. Aku yakin kamu terlalu sibuk hanya sekedar membalas chat aku!”
Alasan konyol. Delapan tahun tanpa kabar darimu hanya bilang aku terlalu sibuk. Sekarang aku sadar sesadarnya kalau dirimu memang tak menganggapku berarti dalam hidupmu. Aku kecewa, tapi apa dayaku yang cinta sendiri kepadamu.
Tak ada obrolan berarti, aku dan kamu kembali sibuk dengan pemikiran masing-masing.
“Aku senang sekali bisa bertemu denganmu kembali. Seperti yang kukatakan tadi, aku sangat berharap kamu datang!” ucapmu lalu berdiri hendak meninggalkanku sedang aku hanya bisa sekuat tenaga tersenyum kepadamu walau kini hatiku begitu perih.
Kali ini aku berusaha untuk tak meneteskan air mata untukmu. Aku harus menerima takdir ini, bahwa aku dan kamu tak mungkin bisa bersatu. Aku memahami bukan dirimu yang tak peka akan perasaanku, tapi aku sendiri yang jatuh cinta kepadamu. Dan aku tak menyalahkan dirimu yang tak mencintaiku dan memilih seorang wanita untuk kamu nikahi. Kulihat undangan warna merah jambu di meja depanku. Kembali aku mengingat ucapanmu tadi.
“Aku ingin kamu datang ke acara pernikahanku dan aku lebih berharap lagi kamu mau jadi pendampingku nanti saat prosesi akad nikahku!”
“Mengapa harus aku?” tanyaku dengan nada bergetar menahan diri untuk tidak menangis.
“Karena kamu adalah satu-satunya sahabat yang tulus dan benar-benar aku sayangi. Dan kupastikan kamu juga punya rasa itu bukan!”
Aku hanya mampu menelan ludah lalu menatap mata tajam indahmu itu. Rasaku kepadamu adalah aku jatuh cinta kepadamu sedang kamu tidak.
“Terima kasih sudah menyayangiku, Pandu Dimas Revandra!”


_Selesai_

Kamis, 03 Agustus 2017

Restu Bumi

Restu Bumi adalah cerpen yang sempat mengalami Save-Delete berulang kali. Dan akhirnya dengan napas lega selesai juga. Maaf jika cerpen kali ini atau memang semua cerpenku tidak memuaskan hati para reader (Ceileh … emang punya pembaca ge er amat^^). Intinya jangan lupa kasih kritik dan sarannya. Selamat membaca!

Restu Bumi
Yanuari Purnawan


Pemuda tujuh belas tahun itu mengadu kesakitan. Di ruang bangsal rumah sakit tersebut dia menahan untuk tidak meneteskan air mata. Tangan lembut seorang wanita paruh baya dengan penuh kasih sayang mengelus-elus wajah pemuda yang sedang menahan sakit itu. Sang wanita paruh bayu itupun berusaha untuk tetap tegar di depan anak semata wayangnya.
“Bu … sakit …!” teriak sang anak sambil menggenggam erat tangan ibunya. Sang ibu berusaha menenangkan anaknya.
“Sabar ya, sayang! Bentar lagi dokternya datang.” Air mata sang ibu pun terjatuh membasahi pipinya yang keriput di makan usia. Bagaimanapun hati ibu mana yang tidak sedih kalau melihat darah dagingnya menangis kesakitan.
Hingga beberapa menit kemudian, seorang dokter pria muda menghampiri bangsal tempat pemuda yang kesakitan tersebut.
“Dengan keluarga Bu Nurhayati?” tanya sang dokter yang diikuti dengan seorang suster. Sang ibu mengangguk menjawab pertanyaan sang dokter tanpa melepas jemarinya yang digenggam sang anak.
“Saya  Dokter Restu Pradipta ahli bedah tulang,” ucap Dokter Restu memperkenalkan diri sebelum memeriksa sang pemuda. Mata Dokter Restu memandang sang pemuda itu dengan rasa iba dan kagum. Iba karena tampak begitu kesakitan dan kagum dengan wajahnya yang begitu manis.
“Mana yang sakit, Dek?” tanya Dokter Restu, entah mengapa tiba-tiba dia memanggil pasiennya dengan sebutan ‘Adek’. Mungkin bagi Dokter Restu karena usia sang pasien lebih muda darinya. Sang pemuda yang kesakitan tersebut menunjuk pergelanggan kakinya. Spontan Dokter Restu memeriksa pergelangan kaki sang pemuda. Dia sempat tertegun melihat kaki sang pemuda, mulus seperti kaki anak perempuan.
“Suster, minta foto sito ekstremitas bawah lalu bawah foto basahnya pada saya,” ucap Dokter Restu kepada sang suster yang begitu cekatan menulis perintahnya.
“Bagaimana, Dok, kaki anak saya?” tanya Bu Nurhayati dengan nada penuh kekhawatiran.
“Dari hasil foto nanti kita bisa lihat lebih jelas,” ucap Dokter Restu lalu pergi meninggalkan ruang bangsal tersebut. Ada setitik rasa entah itu apa yang begitu halus menyergap Dokter Restu tatkala matanya memandang sang pemuda tersebut. Mungkin hanya takdir yang mampu menerjemahkan semua rasa itu.
*
Dokter Restu begidik melihat hasil foto sang pemuda tersebut. Dokter muda itu terlihat kalut dengan apa yang dia lihat ini. Kasihan pemuda seusianya harus berjuang melawan penyakit yang begitu berbahaya.
“Kemungkinan besar osteosarkoma,” ucap Dokter Restu lirih.
Osteosarkoma adalah kanker ganas yang menyerang tulang. Kemudian Dokter Restu menghubungi suster untuk segera melakukan CT scan.
“Lakukan CT scan untuk pasien Bumi Syailendra!”
Nama yang begitu indah, seindah paras sang pemilik nama tersebut. Bagaimanapun dia adalah pasienmu, ingat itu Restu. Pikiran Dokter Restu tidak hanya terfokus pada penyakit sang pemuda itu, tetapi juga kepada diri sang pemuda tersebut.
Setelah melihat hasil CT scan, memang menyokong diagnosis Dokter Restu.
“Segera lakukan biopsi agar kita bisa menentukan tingkat keganasan kanker secara histologis,” perintah Dokter Restu. “Panggil pasiennya,” lanjutnya datar.
*
“Masih sakit?” Pemuda yang usianya kira-kira tujuh belas tahun itu mengerjap menatap sang pemilik suara. Matanya lekat memandang dokter muda di depannya. Dokter ganteng nan menawan pikirnya kemudian. Bumi menggeleng tanpa berkata apapun. Dokter Restu memandangnya dengan rasa gemas, ingin baginya mengacak-acak rambut sang pasien itu. Namun, segera niat itu pupus karena dia tahu kalau dia adalah dokter dan harus menjaga etika serta profesional kerja.
“Dokter … apa penyakitku ini parah?” tanya Bumi dengan tatapan sendu. Sekali lagi Dokter Restu memandang Bumi dengan rasa iba dan entah rasa apa lagi itu yang sulit dia jabarkan sendiri. Sejak tadi dia menahan untuk tidak bertindak jauh, tetapi jemari-jemarinya berhasil mengacak-acak rambut Bumi.
“Kami akan melakukan yang terbaik. Jadi, tugas Bumi harus tetap optimis untuk sembuh!” Senyum mengembang dari keduanya. Senyum penuh ketulusan dan pengharapan akan sebuah takdir yang tertulis tentang mereka.
*
“Amputasi, Dok!” Bu Nurhayati merasa tak percaya mendengar penjelasan Dokter Restu bahwa anak semata wayangnya harus mengidap penyakit kanker ganas yang mengharuskan anaknya kehilangan kaki kirinya.
“Apa tidak ada pilihan lagi, Dok?”
Dokter Restu menggeleng, “ini adalah cara satu-satunya agar sel kanker tidak menyebar ke organ lainnya.”
Mendengar kenyataan itu terasa begitu pahit dan memiluhkan bukan hanya bagi Bu Nurhayati, tetapi terlebih bagaimana beliau mampu menjelaskan semua kepada sang anak, Bumi.

“Begitu parahkah, Dok, penyakitku ini sampai-sampai aku harus diamputasi?” tanya Bumi ke Dokter Restu yang sedang siaga mengecek kondisi Bumi sebelum melakukan amputasi. Dokter muda itu hanya memberikan senyum terbaik kepada pasiennya tersebut.
“Dokter … apakah di dunia ada orang buntung yang menjadi dokter?”
“Maksudnya?” Dokter Restu mengalihkan pekerjaaanya sebentar untuk menatap Bumi yang memiliki mata malaikat itu, bening dan penuh ketulusan.
“Dulu aku bercita-cita menjadi dokter, tetapi setelah kenyataan bahwa aku akan jadi buntung mungkin cita-citaku akan pupus begitu saja!”
Air mata telah membasahi pipi cubby Bumi. Dokter Restu yang melihatnya menjadi tersentuh dan seketika memeluk Bumi penuh kehangatan.
“Semuanya ada takdirnya masing-masing!” Dokter Restu berusaha menyemangati Bumi dengan mengelus-elus punggung pemuda yang begitu menarik perhatiannya.
“Iya, Dok. Kalau tidak jadi dokter mungkin aku bisa jadi suster ngesot,” ucap Bumi sambil melepas pelukan Dokter Restu. Mereka pun tertawa bersama di dalam kesedihan. Rasa yang entah bagaimana datangnya menghangat di hati Restu dan Bumi.
*
Ada rasa takut menjalar ketika Bumi harus masuk ke ruang operasi. Namun, dia masih bersyukur karena ada Dokter Restu yang siaga di sampingnya. Sejak mau masuk ruang operasi jemari Bumi dengan erat menggenggam jemari Dokter Restu. Baginya dengan menggenggam jemari dokter idolanya tersebut ada secercah energi baru yang masuk ke dalam tubuhnya. Dokter Restu hanya diam dan fokus walau ada rasa hangat di hatinya. Diam-diam dia berdoa agar Bumi kuat dan tenang saat operasi nanti.
“Dok, aku takut?” ucap Bumi lirih.
“Tenang ya … nanti adek dibius. Jadi, tidak akan merasakan apa-apa!” jelas Dokter Restu dengan nada begetar. Di sampingnya sudah ada dua dokter lainnya yang membantu operasi beserta dua perawat.
“Sebelum dibius aku mau bilang semoga aku bisa mendengar suara Dokter Restu lagi!” Dokter Restu tersenyum tegar dan perlahan mata bening yang memancarkan ketulusan itu terpejam.
Empat jam lebih operasi itu berlangsung dan berjalan lancar. Dokter Restu masih setia menjaga Bumi di ruang pemulihan pasca operasi. Matanya tak lepas memandang sesosok pemuda yang masih tertidur akibat obat bius. Tangannya perlahan membelai wajah yang begitu teduh dan manis itu. Tanpa sadar air mata menggenang di pelupuk mata Dokter Restu hingga perlahan membasahi wajah tampannya.
“Dek, kamu harus kuat!” ucap Dokter Restu sambil menggenggam jemari putih pucat milik Bumi. Dikecupnya jemari tersebut lalu dia pun mengecup kening Bumi penuh kasih sayang.
*
Matanya masih sembab, dia berusaha tegar untuk tidak meratapi nasibnya. Namun, apa daya dia terlalu muda menerima kenyataan bahwa dia harus kehilangan kaki kirinya. Tuhan tak adil pikir Bumi. Ibunya pun berusaha membesarkan hati putranya tersebut.
“Percayalah, Nak, akan ada pelangi setelah badai,” ucap Bu Nurhayati lembut sambil memegang tangan anaknya. Beliau paham dengan apa yang dirasakan Bumi, persis seperti lima tahun lalu ketika Bu Nurhayati kehilangan suaminya akibat kecelakaan. Raut wajah Bumi pun sama ketika dia kehilangan sang ayah untuk selamanya dan kini dia pun harus mendapati kalau kakinya tak sempurna lagi.
“Permisi … adek sudah baikkan?” sapa Dokter Restu tanpa digubris Bumi, tatapannya masih fokus pada perban di kaki kirinya.
“Kalau diam berarti sudah baik nih!” Bumi menatap dokter idolanya tersebut dengan tatapan sendu tanpa binar semangat seperti biasanya.
“Mendapati aku sekarang buntung, apa aku harus teriak kegirangan!” ucap Bumi sinis kembali matanya menahan bendungan agar tidak jatuh. Dokter Restu diam, lidahnya kelu dan entah ada rasa iba serta sayang di hatinya.
Sebelum meninggalkan ruangan tersebut Dokter Restu tersenyum ke arah Bumi lalu berkata, “Dek, minggu ini kamu sudah pulang. Bolehkah dokter mengajakmu jalan-jalan?” Mata Bumi lekat memandang bola mata yang indah di depannya tersebut tanpa mampu berkata apa-apa.
“Karena diam, maka dokter rasa adek setuju. Oke, sampai ketemu minggu depan!” Dokter Restu pun menghilang dari pandangan Bumi yang berhasil menyisahkan rasa penasaran di hati Bumi sekarang.
*
“Setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing.”
Suara itu berhasil memecah kebisuan di antara mereka berdua. Bumi masih fokus melihat apa yang ada di depan matanya kini. Hatinya tersentuh dan menyesal pernah berpikir bahwa Tuhan tak adil akan hidupnya. Sekarang dengan mata kepalanya sendiri dia melihat bagaimana anak-anak dengan tidak kesempurnaannya begitu luar biasa semangat untuk melanjutkan hidup.
“Ini buat Dokter Restu dan ini buat Kak Bumi,” ucap gadis mungil itu sambil menyodorkan gelang dari manik-manik warna cokelat muda kepada Dokter Restu dan Bumi. Bumi menerima gelang tersebut dengan hati bergerimis.
“Terima kasih, Tasya manis!” Gadis bernama Tasya itu pun berlalu yang sebelumnya tersenyum ke arah mereka berdua. Bumi melihat Tasya berjalan dengan menggerakkan tangan dan tubuhnya. Tasya tidak punya kaki.
“Tasya kecelakaan satu tahun lalu yang mengharuskan dua kakinya di amputasi,” terang Dokter Restu yang menangkap rasa penasaran di wajah Bumi.
“Dok … apa rasa syukur itu sebenarnya?” Mata Bumi mengerjap tanpa memandang Dokter Restu. Sang dokter idola itu menarik lengan Bumi hingga tubuh Bumi berhimpit dengannya. Bumi bisa merasakan detak jantung dan bau parfum Dokter Restu.
“Rumah Pelangi ini kami dirikan karena adanya rasa syukur itu. Bersyukur kala nikmat dan bersabar kala ujian menerpa. Kamu tahu dimana rasa syukur itu?” Kembali Mata Dokter Restu memandang wajah manis di sampingnya tersebut. Bumi pun melakukan hal yang sama dengan Dokter Restu. Mata mereka beradu, desiran halus itupun menyusup ke dalam hati mereka yang mulai menghangat karena adanya rasa, rasa memiliki dan menyayangi.
“Rasa syukur itu terletak di hati kita masing-masing. Ketika hati ini peka akan segala nikmat-Nya percaya sebesar apapun ujian dari-Nya, semua akan terasa ringan karena kita akan menyadari bahwa nikmat-nya jauh lebih besar dari segala ujian yang menimpa. Dek, ibarat besi semakin ditimpah beban berat, besi tidak mengeluh tetapi mampu menjelma menjadi pedang yang tajam.”
Kecupan di pipi Dokter Restu itu begitu cepat. Bumi hanya tertunduk sambil tersipu malu, sedangkan Dokter Restu tertegun mendapat kecupan mendadak tersebut.
“Maaf, Dok! Aku tidak bisa menahannya!”
Dokter Restu masih tak percaya dengan apa yang terjadi barusan. Bumi mengecup pipi kanannya, ada rasa hangat yang menyelingkupi hatinya.
Dalam perjalanan pulang pun Dokter Restu tak banyak bicara dan fokus mengemudi mobil. Sedangkan Bumi yang duduk di sebelahnya pun diam dengan memandang ke arah luar jendela. Hening. Hujan pun turun begitu deras memecah kesunyian diantara mereka.
“Terima kasih atas hari ini, Dok!” ucap Bumi tatkala mereka sudah sampai di depan rumah Bumi. Dokter Restu mengambil payung mengeluarkan krek dari bagasi lalu menuju beranda rumah. Melihat hal tersebut Bumi bertanya-tanya mengapa kreknya di taruh di beranda. Dokter Restu mengetuk kaca mobil, seketika Bumi membukanya. Belum hilang rasa penasarannya, Dokter Restu sudah membungkuk.
“Buruan sebelum hujannya tambah deras. Ayo naik!”
“Tapi, Dok!” Bumi ragu untuk naik ke atas punggung Dokter Restu.
“Apa perlu aku paksa kamu untuk mau digendong?” Bumi tersenyum mendengar ucapan Dokter Restu, hatinya menghangat ketika dia berada dalam gendongan dokter idolanya tersebut.
*

Tiga minggu pasca operasi, Bumi menjalani rawat jalan. Dan Dokter Restu yang bertugas di poliklinik bedah. Dengan ceketan dia kembali memeriksa foto tulang dan hasil biopsinya. Dia berharap kalau anak sebar kankernya tidak sampai ke paru-paru, walaupun dalam pemeriksaan sebelum operasi tidak ditemukan metastasis jauh ke organ lain. Namun, setelah melakukan punksi percobaan untuk mengeluarkan cairan dari paru-paru Bumi. Dokter muda itu melihat cairan yang keluar dari paru-paru itu memerah seperti cucian air daging. Dokter restu mencoba menahan untuk tidak menangis. Ternyata amputasi kaki untuk Bumi sia-sia belaka. Anak sebarnya telah sampai ke paru-paru, hampir tidak ada harapan lagi.
Dilihatnya Bumi yang sedang asyik membaca di ruang rawat inap. Setelah mengetahui tingkat anak sebarnya, Dokter Restu menyarankan untuk rawat inap.
“Dek, bagaimana keadaanmu?” ucap Dokter Restu lesuh. Melihat ekspresi Dokter Restu, Bumi menangkap ada sesuatu yang terjadi dalam dirinya walaupun dia pun sudah merasakannya.
“Seperti yang dokter lihat aku baik-baik saja. Malah dua minggu yang lalu aku belajar melukis!” Binar di mata Bumi membuat Dokter Restu ingin memeluk pasien favoritnya yang tegar dan penuh semangat tersebut.
“Apa dokter bisa melihat hasil lukisannya?”
“Semoga saja ya, Dok, sebelum Bumi pulang!”
Dokter Restu mengacak-acak rambut Bumi penuh sayang dan sedih. Karena, dia harus mendapati Bumi yang masih muda tersebut tak akan lama menapaki hidup.
“Dokter … terima kasih atas semua kenangan indahnya selama ini!”
Air mata menganak sungai di mata Dokter Restu, sekuat tenaga dia menahannya agar terlihat tegar dihadapan Bumi. Jemari mereka saling bertautan, perlahan Bumi melepaskannya sambil menatap haru Dokter Restu.

Bu Nurhayati dengan setia berada di samping anaknya. Matanya bengkak dan terlihat putus asa. Beliau mengetahui bahwa penyakit Bumi sudah berada dalam stadium akhir. Tangannya mengusap lembut wajah lalu membelai punggung tangan anak semata wayangnya yang sedang tertidur pulas. Air matanya tak mampu terbendung lagi, beliau terisak dan berdoa jika memang telah tiba saatnya semoga Bumi berada di tempat yang mulia di sisi-Nya.
Tiba-tiba Bumi bangun dengan keadaan sesak napas. Bu Nurhayati panik bergegas memanggil dokter. Dokter Restu yang siaga lalu berhambur ke ruangan Bumi bersama para perawat. Dokter Restu memimpin tindakan resusitasi terhadap pasiennya.
“Ayo … Bumi … bertahanlah!” Dalam kepanikan Dokter Restu masih berharap Bumi mampu bertahan lebih lama lagi. Dia masih ingin melihat senyum dan binar ketulusan dari mata Bumi.
Namun setelah berjuang selama satu jam akhirnya mereka menyerah juga. Bumi mengembuskan napas terakhirnya, tanpa sempat mengucapkan sepata kata terakhir kepada ibunya dan Dokter Restu. Kepedihan menyelimuti hati Bu Nurhayati yang mendapati harus ditinggalkan oleh suami dan anaknya. Di sudut lain, seorang dokter muda berusaha untuk tegar dan tidak menangis. Dokter Restu menulis surat laporan kematian Bumi dengan hati yang ditabah-tabahkan, sebenarnya saat ini dia ingin berteriak dan menangis sekeras-kerasnya. Walaupun dia sering menangani pasien meninggal dunia, entah mengapa pada Bumi, Dokter Restu merasakan benar-benar terpukul dan kehilangan. Di dalam mobil saat hendak pulang, Dokter Restu tak bisa lagi menahan untuk tidak menangis. Dia menangis dalam sepi dan hening, bayangan Bumi berkelabat di otaknya.
*

Gundukkan tanah itu basah dengan taburan bunga yang masih segar, tertulis di batu nisan ‘Bumi Syailendra’ 28 Januari 1999-20 April 2016. Beberapa orang sudah meninggalkan pemakaman. Tak terkecuali Bu Nurhayati yang harus dipapah para kerabat saat meninggalkan pemakaman, beliau begitu terpukul dan sempat pingsan.
Hanya ada satu orang yang masih setia berada di pemakaman. Dokter Restu menatap batu nisan di depannya, diusapnya perlahan. Dia menangis dalam diam tanpa air mata, hatinya bergerimis. Dia menahan semua rasa itu sendiri kini, rasa untuk selalu bersama dan memiliki utuh pasien muda berparas manis. Bumi. Hampir air matanya tumpah ketika melihat tubuh orang yang dekat dengannya harus tertimbun tanah dan tak akan pernah kembali lagi untuk selamanya. Setelah puas memandang pusara Bumi, Dokter Restu beranjak pergi yang sebelumnya dia mengecup batu nisan baru tersebut.
“Selamat jalan …!”

Di dalam mobil Dokter Restu melepas kacamatanya yang tadi sempat menyembunyikan bola matanya yang merah. Dia menatap kotak warna cokelat yang berada di sampingnya. Sebenarnya dia ingin membukanya sewaktu dia tahu siapa pengirim kado tersebut. Namun, dia urungkan karena sibuk dengan pasien lain dan proses pemakaman Bumi. Perlahan dibukanya kotak itu, ternyata berisi kertas kecil dan kertas besar yang digulung. Dibacanya isi tulisan di kertas kecil tersebut.

For, Dokter Restu Pradipta

Ketika angin membawa harapan
Terhempas ke dalam cawan
Beisi secercah kehidupan
Pada takdir tertawan
Terikat restu bumi keabadian

From, Bumi Syailendra

Diambilnya kertas yang digulung itu lalu dibuka, air mata membasahi pipi Dokter Restu. Wajah dalam lukisan itu begitu teduh dengan binar mata penuh ketulusan.
“Terima kasih, Dek!” Didekapnya lukisan itu bersama luka kenangan yang tak akan terhapus oleh hujan dan waktu.

_Selesai_