Rabu, 27 April 2016

PHP

PHP (Penantian Hingga Pelaminan)
Yanuari Purnawan



Jika kita punya masa lalu yang kelam bukan berarti kita mempunyai masa depan yang kelam juga. Tak ada yang mengerti apa yang akan terjadi esok, jadi bersabar dan lakukanlah yang terbaik untuk hari ini.
*
Aku sedang duduk di halte bus, lima menit lagi perjalanan baru siap di mulai. Tak ada lagi air mata atau penyesalan akan takdir-Nya. Percaya bahwa semua adalah bentuk takdir terindah yangd diberikan Allah. Aku mendesah panjang lalu mengambil ransel, bus jurusan Pasuruan-Jember sudah ada di depanku. Aku lebih memilih duduk di tengah samping jendela, entah mengapa tanpa sadar bayangan itu kembali memenuhi otak. Kupejamkan mata lalu menerawang jauh seiring bus yang perlahan meninggalkan terminal lama-Pasuruan.
“Apa aku boleh duduk di sini?”
Mataku mengerjap sambil melepas earphone yang setia menemaniku menunggu bus untuk berangkat. Perempuan muda berjilbab putih kini ada depanku sambil tersenyum yang memperlihatkan lesung pipinya. Aku hanya mengangguk dan mempersilakan. Kurang lebih sepuluh menit setelah bus meninggalkan terminal Jember, aku dan perempuan muda yang ada di sampingku tak ada komunikasi kita memilih diam dan terpasung oleh pemikiran masing-masing.
“Mas, mau ke mana?”
Aku menoleh ke arahnya sembari memberikan senyum terbaik yang kupunya.
“Biasa pulang kampung!” Dia hanya terkekeh, “Aldi Septian Putra …,” lanjutku sedikit kikuk memperkenal diri kepadanya, sungguh konyol dan memalukan. Lagi-lagi dia hanya tersenyum manis yang memperlihatkan pahatan sumur kecil dikedua pipinya.
“Almira!” jawabnya singkat tanpa membalass uluran tanganku yang ingin berjabat tangan. Kembali untuk beberapa saat kita bergelut dengan keheningan hanya deruh mesin bus serta degup jantungku yang mulai terdengar.
“Kalau boleh tahu kampungnya di mana?” Sekilas mata kita beradu yang menimbulkan sedikit getaran halus di dada.
“Pasuruan!”
“Heh! Sejak kapan ya Pasuruan sudah menjadi kampung?” Mira−panggilan untuknya−terkekeh sambil menutup mulutnya, “Maaf!”
“Sejak aku duduk di bus ini dan bertemu kamu,” candaku sambil tersenyum puas mengerjai dia yang tak berkutik dengan jawabaanku.
“Konyol!” ucapnya sambil meninju lenganku pelan.
Bus sudah sampai terminal Probolinggo, sejam lagi aku akan sampai di Pasuruan. Sejak dua jam perjalanan aku dan Mira saling bertukar informasi tentang aktivitas yang sedang kita jalani. Ternyata Mira adalah mahasiswa tingkat akhir jurusan keperawatan Universitas Jember dan kini dia pulang karena liburan. Beda denganku yang merantau ke Jember untuk mengais rezeki dan kini aku pulang karena adik perempuanku akan menikah.
Bus sudah berhenti di terminal lama-Pasuruan lima menit yang lalu, entah mengapa sebagian hati merasa tak ikhlas bus terlalu cepat menurunkan penumpang di sini. Mira tersenyum lalu mendekat kearahku.
“Senang berkenalan dengan mas Aldi!”
Terlihat rona merah memenuhi kedua pipinya. Kita sama-sama kikuk tak tahu kalimat perpisahan apa yang terlihat berkesan.
“Jika jodoh pasti kita dipertemukan kembali!”
Jantungku seakan berhenti berdetak, ‘jodoh’ dia bilang kalau berjodoh akan bertemu? Aku hanya mengamiininya di dalam hati.
“Sama-sama! Ohnya pulang ke rumahnya sama siapa?” tanyaku basa-basi hanya untuk mengulur waktu agar kita tak terlalu cepat berpisah.
“Sudah ada jemputan! Ya sudah kalau begitu aku pamit duluan dan sampai jumpa.”
Mira melambaikan tangan dan tersenyum, momen tersebut kepergunakan untuk merekam sesosok perempuan berjilbab putih dan memiliki lesung pipi yang menambah manis ketika dia tersenyum. Kini aku terdiam lalu mengumpat di dalam hati, mengapa aku tidak meminta nomor ponselnya atau alamat sosial medianya. Dasar bodoh! Kalimat Mira jika jodoh kita akan dipertemukan kembali membuat sedikit harapan memenuhi isi hatiku. Semoga saja Allah yang Maha Baik memberikan skenario terindah untuk hamba-Nya nanti.
*
“Kakak capek, Dek!”
Tapi rengekkan adikku masih setia memenuhi gendang telinga. Sudah dua hari ini aku ada di rumah dan kini adikku satu-satunya tersebut merajuk untuk diantar ke Taman Kota.
“Sama Mas Hadi kan bisa, Dek!”
Mas Hadi adalah calon suaminya atau lebih tepatnya empat hari lagi sudah sah menjadi imam untuk adik perempuanku.
“Alya kan maunya sama Kak Aldi!” Matanya berkaca-kaca, “Sebentar lagi Alya akan menjadi istri, mungkin jatah kebersamaan kita pun akan berkurang. Aku ingin sebelum menikah kita bisa membuat momen kebersamaan yang indah. Dan kakak minggu depan juga akan kembali ke Jember.”
“Kayaknya kakak takut Taman Kota Pasuruan pindah ke Paris jika tidak kita kunjungi!” Alya pun memelukku dan aku tak kuasa untuk menolak akan permintaannya yang begitu tulus.
Taman Kota sore ini tak terlalu ramai, mungkin karena bukan malam minggu yang biasa dibuat muda-mudi untuk berpacaran. Beberapa kali kamera ponsel menangkap bayangan aku dan Alya. Alya ingin mengabadikan momen bersamaku di Taman Kota sebelum dia menyandang status istri dari Hadi Purnomo. Mataku terbelalak dan kembali jantung berdegup tak normal, iya! Aku tak mungkin salah, perempuan muda berjilbab ungu sambil membawa kamera DSLR tersebut adalah Almira. Senyum dan lesung pipi itu masih membekas di alam bawah sadarku.
“Almira!” teriakku sembari mendekat ke arahnya, Alya tertegun sambil mengikuti langkahku.
“Mas Aldi!” Dia kaget dan merasa tak percaya kini kita dipertemukan kembali. Namun, bola mata Mira sekarang menatap penuh tanda tanya ke arah Alya.
“Ohnya, kenalin ini adikku, Alya!”
Mereka saling berjabat tangan dan berkenalan satu sama lain. Aku sedikit canggung ketika Alya menatapku sedikit menyelidik tentang aku dan Mira. Namun, itu tak berlangsung lama karena Mira terlebih dulu menjelaskan bagaimana kita bisa saling kenal. Alya hanya mengangguk sambil sesekali tertawa dengan melihatku. Sekitar lima belas menit, kami bertiga mengitari Taman Kota dan tak jarang Alya minta difotoin dengan berbagai gaya.
“Kayaknya sudah mau maghrib nih, Mira harus pamit duluan!” ucap Mira sambil melihat jam tangannya.
“Gimana kalau kita antar?” celetuk Alya tanpa disaring terlebih dulu. Mukaku kini merona dan tertunduk menunggu jawaban Mira.
“Maaf, Dek! Bukannya kakak tidak mau, tapi kakak sudah ada yang jemput.”
Ada sebersit kecewa yang hinggap di dalam hati mendengar jawaban perempuan muda berjilbab ungu di depanku tersebut.
“Ya sudah aku duluannya!”
“Kak Mira … punya nomor ponsel kan? Siapa tahu kita bisa jadi sahabat dekat?” Lagi-lagi aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan adik perempuanku satu ini. Sembari menyebutkan nomor ponselnya, gendang telingaku fokus merekamnya. Nomor ponsel dan orangnya sama-sama cantik.
*
Sayang sekali Almira tak bisa menghadiri acara pernikahan Alya. Tadi malam dia bilang melalui sambungan telepon kalau dia minta maaf tak bisa hadir karena ada acara keluarga. Aku tak mungkin memaksanya untuk hadir, apalagi nanti akan kukenalkan dengan keluargaku. Sungguh kenyataan tak seindah angan-angan. Namun, aku tetap bersyukur karena kini aku lebih dekat dengannya, tiga hari belakangan tak ada hari yang terlewat untuk berkomunikasi dengan perempuan muda berjilbab tersebut lewat SMS atau telepon.
“Kapan kakak nyusul?” goda Alya sambil menggandeng suaminya, Hadi. Aku tersenyum kecut lalu menatap mereka berdua yang kini menjadi pasangan suami-istri.
“Doakan saja kakakmu ini. Jika ada calon yang cocok buat kakak segera kenalin!” balasku sambil mengedipkan mata.
“Bagaimana kalau Kak Mira!”
Deg! Dunia seakan membeku dan waktu tak berputar, kenapa dengan nama Mira? Apakah Alya merasakan apa yang kini sedang kurasakan kepada perempuan yang berkenalan dengannya di Taman Kota tersebut.
“Kalau diam berarti iya!” Kembali Alya menggodaku yang kini berhasil membuat wajahku seperti udang rebus.
“Sudah! Kasihan Kak Aldi jadi salah tingkah begitu. Intinya siapapun jodohnya pasti itu yang terbaik buat Kak Aldi, bukankah pria baik hanya untuk perempuan baik dan begitupun sabaliknya,” timpal Hadi begitu bijak, membuat aku dan Alya terdiam sejenak.
“Tuh … dengerin suamimu!” ucapku sambil mengelus kepala adik perempuanku satu-satunya yang dengan tega mendahului kakaknya menikah. Lebih tepatnya bukan tega tapi lebih pantas menyempurnakan separuh agamanya duluan.
*
Hari ini adalah hari terakhirku di Pasuruan, besok aku harus kembali ke Jember untuk mencari rezeki lagi. Sungguh lima hari yang sangat berkesan bagiku, berkenalan, dekat dan mungkin saat inilah aku harus menjemput jodohku. Aku janjian dengannya untuk bertemu di Taman Kota sekitar pukul tiga sore. Sekarang atau tidak sama sekali karena kita tak akan pernah tahu jika tidak mencobanya.
“Maaf aku … terlambat!” sapa Mira sambil sedikit terbata-bata. Aku hanya tersenyum lalu mempersilahkannya duduk sekitar dua meter dari bangku yang aku duduki. Dia masih mengatur napasnya yang sempat tesenggal-senggal.
“Ada apa Mas Aldi mengajak ketemuan, kayaknya ada yang serius?”
Pertanyaan barusan menyadarkanku yang sempat melamun memikirkan apa yang akan aku katakan kepadanya. Almira tampak anggun dengan jilbab putihnya.
“Mas Aldi … mau tanya sesuatu … apakah Dek Mira mau menjadi bagian dalam hidup mas?” Matanya membulat dan udara sekitar seakan lenyap untuk mengisi paru-paruku.
“Maksudnya?”
“Maukah Dek Almira jadi kekasih halalku?” Tenggorakkanku kering mendadak dan sulit untuk mengatakan kalimat yang lebih baik dari kalimat barusan.
Mira tersenyum lalu memandang lurus ke depan melihat anak-anak kecil yang sedang main perosotan.
“Memiliki cinta di hati itu adalah anugerah, mencintai seseorang itu adalah fitrah. Namun ada kalanya penantian akan cinta yang menjadi anugerah dan mencintai menjadi fitrah berbanding terbalik dengan takdir-Nya.” Kini dia menunduk terlihat dari ujung matanya luruh kristal hangat.
“Maaf jika perkataan Mas menyakiti adek!” Dia menggeleng, jilbab putihnya berkibaran tertiup angin sore.
“Sungguh aku menghargai keseriusan Mas Aldi, tapi ….” Ada jeda beberapa detik, Mira seperti mengumpulkan energi untuk melanjutkan ucapannya. “Tapi Mas Aldi harus mengerti penantian hingga menuju pelaminan adalah hal yang sakral. Banyak ujian dan godaan, ya mungkin seperti ini ujian dan godaan yang menerpaku.”
“Maksudnya Dek Mira!”
“Aku sudah dikhitbah seseorang yang insyaaAllah menjadi imamku kelak,” jelas Almira tegas tanpa keraguan sedikitpun dari perkataannya. Kini hatiku remuk-redam mendengar pengakuan dari perempuan muda berjilbab putih yang aku kenal di dalam bus. Sungguh skenario Allah begitu luar biasa atas jalan cintaku.
“Maafkan aku Mas, jujur banyak wanita di luar sana yang masih menanti calon imam seperti Mas Aldi.” Aku tersenyum mendengar ucapannya barusan dan dia pun buru-buru untuk segera pulang. Mira pun menjelaskan bahwa penantian hingga pelaminan bukanlah hal mudah, namun jika kita masih berada di koridor jalan-Nya insyaaAllah kita akan selamat dari ujian dan godaan, semisal pacaran atau kakak-adik temu gede. Itulah sindiran halus darinya kepadaku yang lupa akan syariat dan adab dalam pergaulan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim.
“Kuharap kalian menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan warrahmah.”
Lesung pipinya menambah manis jika dia tersenyum, perlahan perempuan muda tersebut menghilang bersama senja yang segera berganti malam.
*
Kalian tahu bagaimana rasanya patah hati, mungkin seperti luka yang terkena siraman air jeruk. Perih. Namun, ada satu hal yang aku syukuri kini adalah hijrah atau berbenah kearah yang lebih baik lagi. Belajar memantaskan diri menjadi laki-laki yang baik hingga kelak dipertemukan dengan perempuan yang juga memantaskan dirinya. Aku percaya di luar sana banyak pula seseorang yang menanti jodohnya dan salah satunya adalah jodohku yang tercatat rapi di lauh mahfuz-Nya.
Bus semakin jauh meninggalkan Kota Pasuruan, begitupun dengan kenangan indah yang kini aku tinggal untuk pembelajaran di masa yang akan datang. Aku mendesah panjang sambil menatap jendela bus. Rumah, sawah dan tiang listrik seolah bergerak bak roll film yang tak pernah putus seperti episode kehidupan ini. Sekarang aku duduk manis sambil tersenyum menanti apa yang akan terjadi esok di hari yang baru, kota yang baru, udara yang baru dan juga cinta yang baru.[]