Selasa, 27 Desember 2016

Cahaya Hijrah

Cahaya Hijrah
Yanuari Purnawan


Kota Pasuruan diguyur hujan yang tak begitu lebat, namun mampu membuat orang-orang berhamburan mencari tempat berteduh. Begitupun dengan diriku yang berlari menuju emperan toko yang sedang tutup. Aku menggerutu dan mengutuk diri karena cuaca yang tak bersahabat hingga membuat sebagian kemeja dan celana basah. Andai tadi aku menerima tawaran Andi untuk pulang bareng, pasti tidak akan seperti ini jadinya.

Mataku menelusur ke arah jalan raya, berharap masih ada angkutan umum di jam seperti ini. Iya, biasanya angkutan umum akan lama pas jam mau maghrib. Entah mengapa Pak Sopir akan beroperasi setelah maghrib. Lagi-lagi aku harus mengasihani diri, karena harus terlambat pulang ke rumah. Ketika hendak menerobos hujan, ada sebuah mobil berhenti di depanku lalu seseorang membuka kaca mobilnya.
“Ari, ya?” sapanya sambil tersenyum ke arahku. Aku hanya diam sambil menunjuk diri sendiri.
“Yuk, masuk! Angkot jam segini biasanya lama, daripada lama menunggu, mending bareng. Kita kan se arah.”
Aku menatapnya lalu masuk ke dalam mobil avanza warna silvernya. Aku masih saja diam saat dia menyalakan mobilnya. Kenapa dia baik banget kepadaku? Tapi, sepertinya aku pernah melihatnya, entah kapan dan dimana. Aku berusaha memutar otak, namun dia sepertinya tahu rasa penasaran yang sedang aku rasakan sekarang.
“Ya Allah … ternyata kamu lupa sama aku! Ini aku, Saipul Hadi, mantan anak SMA 1 juga. Inget nggak?” Aku hanya menggeleng dan menyesali diri ini yang pelupa.
“Kalau yang pernah malak kamu di kamar mandi cowok pas SMA, inget kan?”
Keterangan dia barusan membuat diriku tersentak. Siapa yang tidak ingat kejadian naas yang menimpaku waktu itu. Segerombolan anak cowok kelas sebelas sedang nongkrong di toilet dekat kantin. Saat itu aku buru-buru mau ganti baju olahraga, tanpa permisi aku menerobos segerombolan kakak kelas tadi. Malang tidak bisa dielak, mereka malah menarikku masuk ke dalam toilet dan memalakku. Alhasil, uang jajanku yang tak seberapa itu diambil kakak kelas. Dan salah satu kakak kelas itu adalah yang sedang mengemudikan mobil ini.

Sebenarnya aku ingin bertanya kepadanya, namun harus tertahan karena suara azan maghrib berhasil memecah kesunyian sore yang basah ini. Saipul menepikan mobilnya tatkala kita sudah berada di depan pelataran masjid. Aku merasa ragu dan tak percaya, apakah mantan preman sekolah ini akan shalat atau mau mencuri kotak amal masjid?
“Yuk, kita shalat dulu! Bukankah shalat di awal waktu itu lebih utama pahalanya.”
Aku menelan ludah, apa yang terjadi kepadanya sekarang. Bicaranya santun dan terkesan jauh dari dirinya delapan tahun yang lalu. Aku menduga dia pernah gagar otak atau kepalanya pernah membentur tiang listrik.

“Sepertinya ada yang ingin kamu tanyakan dari tadi?” tanyanya sambil meletakkan teh manisnya yang diminumnya sedikit. Tadi, habis salat dia mengajakku untuk makan dulu sebelum pulang. Sebenarnya aku mau menolak, namun cacing di perutku sepertinya tidak bisa diajak kompromi.
“Aku hanya heran dan tak percaya, mantan preman sekolah mendadak alim begini!” Raut wajahnya seketika tampak sedih, “maaf jika ucapanku barusan menyinggung perasaanmu.”
“Bukankah setiap orang berhak untuk berubah! Dan inilah diriku sekarang yang berhijrah dari zaman jahiliyahku dulu. Serta ingin terus belajar untuk menjadi kekasih terbaik-Nya.” Dia menatapku sambil tersenyum, gurat kesedihan yang tadi sempat terlihat di wajahnya hilang. Aku mengangguk, menyetujui apa yang barusan dia ucapkan.
“Terus bagaimana ceritanya kamu bisa berhijrah seperti sekarang dan belajar menjadi kekasih terbaik-Nya?”
Lagi-lagi senyum menghiasi wajah teduhnya, berbeda sekali dengan dia pas zaman SMA yang begitu menyebalkan dan arogan.
“Semua berawal ketika ayah dan ibu memutuskan bercerai, waktu itu aku menginjak bangku SMA. Sungguh, saat itu aku benar-benar tertekan dan melampiaskan dengan menjadi preman sekolah. Dengan membuat onar di sekolah otomatis membuat diriku mendapatkan perhatian, walau kuakui itu salah.” Dia mengambil jeda dengan menarik napas seperti hendak mengumpulkan energi untuk mengenang masa lalunya.
“Semasa SMA itulah aku selalu dicap sebagai anak nakal dan bandel. Ternyata selapas lulus, kehidupanku jauh lebih buruk lagi. Ayah menyuruhku masuk kepolisian, sedang ibu menginginkanku kuliah keguruan. Saat itu aku muak dengan mereka berdua, yang mereka pikirkan hanya reputasi dan nama baik mereka saja. Tanpa mau mendengar apa yang aku mau. Akhirnya aku memutuskan untuk kuliah keguruan, namun itu hanya bertahan satu tahun.” Matanya berkaca-kaca. Sepertinya beban hidup di masa lalunya begitu berat. Jujur, aku tak pernah menyangka jika si preman sekolah punya cerita hidup yang begitu berliku.
“Bertahan satu tahun! Apa kamu di D.O?”
Aku masih penasaran dengan ceritanya. Dia meminum teh manisnya yang tinggal setengah itu lalu menatapku dan mengangguk.
“Kenapa kamu di D.O? Jangan bilang kamu jadi preman kampus!” Dia kembali tersenyum sambil menggeleng.
“Aku D.O karena aku kecanduan narkoba dan hampir mati gara-gara over dosis!”
Aku yang mendengar pengangkuannya hanya geleng-geleng tak percaya. Lalu dia menunjukan lengan tangan kirinya, ada bekas sayatan pisau di situ.
“Saat hampir mati itulah cahaya-Nya seolah menyentuh mata batinku,” lanjutnya yang kini mulai ceria lagi.
“Maksudmu, hijrah?” Dia mengangguk lalu mengambil ponselnya dan menunjukan foto seorang nenek-nenek bersamanya.
“Lewat tangan neneklah aku berjalan tertatih untuk menuju jalan-Nya. Sedang orang tuaku hanya mengirimkan biaya pengobatan, tanpa sedikitpun berempati menjengukku kala itu. Tapi, nenek dengan kasih sayang dan kesebarannyalah yang terus merawat dan menemaniku.”
Obrolan kita pun harus berhenti, tatkala makanan pesanan kita diantar oleh pelayan. Aku menikmati nasi goreng, sedang dia memilih nasi dengan lauk ayam goreng. Di sela-sela makan, rasa penasaranku mengusik untuk bertanya lebih lanjut kepadanya.
“Lalu setelah keluar dari rumah sakit itu kamu langsung berubah jadi baik?”
“Kurasa tidak ada yang instan untuk mencapai sesuatu di dunia ini. Bukankah mie instan saja untuk dimakan masih perlu direbus dulu,” jawabnya penuh filosofis.
“Jadi, kamu kembali ke obat-obatan terlarang itu?” Seperti wartawan saja diriku ini, dari tadi tanya ini itu kepadanya. Namun, aku tak ingin menyia-yiakan samudera ilmu yang ada di depan mata. Bukankah pengalaman orang lain adalah sebagian dari ilmu.
“Saat di rumah nenek, aku kembali sakaw dan ingin bunuh diri. Namun, lagi-lagi Allah menyelamatkanku dan masih memberi kesempatan untuk hidup. Nenek begitu terpukul dengan kelakuan yang tak kunjung berubah. Atas saran teman nenek, aku disuruh di masukan ke pesantren saja.”
Kita pun menghabiskan makanan yang tersaji di meja, sebelum dia melanjutkan cerita hijrahnya.
“Percaya atau tidak, jadi anak pesantren bukanlah impianku. Namun, ditempat itulah cahaya hijrah seorang Saipul Hadi bermula. Berkali-kali aku meminta nenek, untuk mengeluarkan aku dari pesantren itu. Namun, nenek dengan sabar bilang bahwa pesantren adalah rumahku dan menyuruhku untuk merenung dengan apa yang terjadi dalam kehidupanku.”
“Nenekmu begitu luar biasa, ya!” banggaku tulus kepada neneknya, dia pun tersenyum menatapku.
“Tapi, sayang beliau meninggal satu tahun yang lalu karena sakit.” Air mukanya kembali tampak sedih, “Namun berkat kesabaran nenek, kini aku sadar bahwa hidup itu adalah amanah. Jadi, mau digunakan seperti apa hidup ini, mau dikoridor-Nya atau tersesat menuju kegelapan. Jujur aku pernah tersesat, namun aku bersyukur karena cahaya-Nya telah menuntunku untuk kembali dan beusaha menjadi kekasih terbaik-Nya.”

Mobilnya berhenti di depan gang rumahku. Aku terdiam dan tidak langsung turun.
“Kurasa kamu masih punya utang kepadaku, uang yang dipalak kamu itu!” Dia tampak terkejut lalu merogoh dompetnya.
“Bercanda!” jawabku, “aku ikhlas kok dengan kejadian itu dan sudah maafin kamu!” Aku pun turun dari mobilnya. Sebelum menutup pintu mobilnya, dia tersenyum ke arahku.
“Terima kasih sudah mau maafin aku dan menjadi pendengar yang baik.”
“Aku juga berterima kasih. Karena saat mendengar cerita hidupmu, aku jadi semangat lagi untuk terus belajar menjadi kekasih terbaik-Nya.”
Mobil itu pun berlalu dari hadapanku, menyisakan diriku yang masih mematung di depan gang. Aku berusaha mencerna apa yang terjadi dalam kehidupan Saipul Hadi. Bahwa setiap orang punya masa lalunya masing-masing, namun hanya sedikit orang yang beuntung bisa berdamai dengan masa lalunya. Mengambil keputusan untuk mengejar cahaya-Nya dengan cara berhijrah. Ya Allah, tuntun dan kumpulkan hamba dengan orang-orang yang terus belajar untuk menjadi kekasih terbaik-Mu.


Selesai