Jumat, 22 Januari 2016

Back to Me

Back to Me
Yanuari Purnawan



Seperti katamu, malam tak harus tentang gelap. Bisa juga tentang taburan bintang atau remangnya cahaya bulan. Aku selalu mengingat kalimat itu. Sederhana, namun mengkristal di dalam hati. Percaya atau tidak, kita pasti sedang memandang langit yang sama. Terlentang di rumput yang hijau sambil menghitung bintang. Itukan caramu untuk menghapus sepi dan sedih.
“Lihatlah langit itu?” suruhmu sambil terlentang melihat langit malam. Taman komplek jam sepuluh sangat sepi. Entah, apa yang menggiringku untuk ikut denganmu Menikmati dinginnya malam atau melihat bintang jatuh.
“Biasa saja. Bintangnya juga sedikit, mungkin mendung!” Kamu menatapku heran lalu bangkit dan duduk di sampingku.
“Dasar … kamu tuh emang tidak peka!” protesmu sambil mencubit pipiku yang cubby. Seperti ada desiran halus menyusup ke dalam dada lalu turun ke hati. Senyum itu yang membuatku kuat menahan dingin malam. Walau esoknya aku harus merasakan perut yang melilit karena masuk angin.
”Ih … sakit tau!” tepisku. Kamu hanya tersenyum manis lalu kembali menatap langit.
“Kenapa sih kamu suka sekali langit malam? Bagiku sama saja dan tidak ada yang spesial,” cerocosku yang membuatmu kembali mencubit pipiku gemas.
“Kamu tuh nanya apa lagi introgasi?” Aku tersenyum menanggapinya.
Beberapa menit keadaan mulai membisu. Angin malam seakan menusuk tulang. Suasana menjadi sunyi, hingga kamu mulai bercerita.
“Semua tentang ini?” jelasmu sambil menunjuk dada. Aku diam tak mengerti.
“Kamu memang nggak peka!”
“Lha tunjuk dada, emang sakitnya tuh di sini!” protesku yang berkali-kali dibilang tidak peka.
Kamu lalu mengatur napas, seperti ada beban yang sedang disimpan. Tapi, aku tak berani untuk bertanya lebih lanjut.
“Ini tentang perasaan. Saat kita jauh hanya langitlah yang dekat dan sama. Dan mengapa langit malam, karena di balik gelapnya tetap indah dengan taburan bintang dan cahaya bulan. “
Aku mendengarkannya dengan serius. Mata tak mampu berkedip, kamu sungguh terlihat berbeda. Dewasa.
“Kamu lagi ada masalah?”
Kamu hanya tersenyum lalu mengajakku untuk pulang. Sungguh, ini terlalu ganjil. Mengapa kamu tak ingin bercerita? Apakah kamu mengira aku terlalu tak peka akan masalahmu? Jahat.
***
Tuhan pasti punya rencana terbaik buat hamba-Nya. Ini bukan tentang aku atau kamu, namun tentang kita. Kita yang mudah sekali menilai dan berandai-andai.
“Kutunggu di taman.”
Sms itu kembali memenuhi inbox di ponsel. Sudah berapa kali kamu mengirimkannya. Sungguh jika tugas kuliah tak sedang bajibun, aku pasti menemanimu memandang langit malam.
“Maaf aku tak bisa. Tugas kuliah sedang menumpuk,” balasku. Mungkin kamu kecewa dengan sikapku yang lebih mementingkan tugas kuliah. Namun, kuharap kamu juga mengerti. Karena ini adalah tanggung jawab dan masa depanku.
Aku tak fokus mengerjakan tugas kuliah. Pikiranku melayang kepadamu. Jujur, aku tak ingin kamu kecewa. Sepertinya setan telah menghasutku untuk menemuimu. Sial, kamu berhasil merobohkan pertahananku. Kuambil jaket lalu melangkah menuju taman komplek. Sesampainya di taman, tak kutemukan sosokmu yang sedang terlentang memandang langit. Mungkinkah kamu marah dan kecewa kepadaku? Tuhan, kuharap semua hanya pikiran bawah sadarku. Jika, memang benar, sungguh aku menyesal.
Air mataku pun terjatuh sambil kebingungan mencari keberadaanmu. Aku lelah, tak kutemukan batang hidungmu. Di kursi taman, kutumpuhkan segala kebodohanku.
“Dasar cengeng!”
Kupandarkan pandangan, sosok itu tersenyum tipis sambil menyodorkan sapu tangan berwarna biru ke arahku.
“Udah tidak peka, cengeng lagi!”
Aku hanya diam sambil membersihkan air mata dengan sapu tanganmu. Apa yang terjadi kepadaku. Ini di luar nalar. Tapi, tak kuasa aku menahannya. Iya! Aku kini memelukmu yang membuat dirimu kebingungan. Dan aku pun terisak di dadamu.
”Apa-apaan nih? Emang kamu kira aku sudah meninggal di gigit anjing liar malam-malam!” bentakmu hingga pelukan terhadapmu harus kulepas. Kuseka air mata lalu memandang dalam.
“Aku takut kalau kamu diculik Alien!”
Kamu tertawa sambil menjitak kepalaku. Walau sakit, entah mengapa aku suka.
“Dasar! Ayo pulang.”
“Karena, kamu membuatku menangis malam ini. Kamu harus menggendongku sampai depan rumah.”
Kamu melotot hingga aku merasa takut dan menyesal berbicara begitu. Namun, apa yang terjadi. Wajahmu kembali terlihat manis dengan senyum itu. Kamu pun jongkok dan mengerti maksudku. Kamu memenuhi permintaanku. Tuhan, jika ini mimpi aku tak ingin terbangun.
***
Aku tak mengerti
Dan tak akan mengerti
Akan sosokmu
Tingkahmu
Pikiranmu
Namun, aku mengerti sayap-sayap cinta itu
Menerbangkan angan bersamamu selamanya

Lambat laun putik itu tumbuh menjadi bunga yang memesona. Seperti perasaan ini kepadamu. Tak pernah mati, namun selalu tumbuh bermekaran di dalam hati. Aku mengerti tak seharusnya rasa ini hadir. Tapi, siapa yang mampu memncegahnya. Sosokmu terlalu istimewa bagiku. Kalau ini salah, mungkin ini adalah kesalahan yang terindah dalam hidupku.
“Apa kamu pernah jatuh cinta?” Pertanyaanmu malam ini sungguh membuatku salah tingkah. Sekuat tenaga aku mengendalikan diri dan berusaha tenang. Walau jantungku berdegup lebih kencang.
“Kok tanya gitu? Jangan-jangan kamu sedang jatuh cinta ya!” godaku yang berhasil membuat pipimu merona merah.
“Hayo ngaku, sama siapa?”
“Bodoh! Emangnya kamu ketua RT dan aku harus laporan kepadamu.”
Sifat jutekmu itu sepertinya sudah mendarah daging. Terlalu gengsi untuk mengakui. Namun, kini tatapan itu menusuk hingga dadaku. Sesak. Apa yang mau kamu lakukan. Tidak mungkin! Jangan-jangan ….
“Kamu benar. Kini aku sedang jatuh cinta.”
Hampir saja tawaku meledak. Sekuat tenaga aku menahan diri untuk bersikap biasa.
“Aku jatuh cinta kepada Bella,” lanjutmu sambil melihat langit malam. Kalimat barusan berhasil menghancurkan puzzle perasaan yang sudah kususun indah. Tuhan, mungkin kini aku salah dengar atau sedang mimpi. Ini tidak nyata, bukan? Aku harus kuat dan tak menangis.
“Bella?”
“Dia adalah perempuan yang aku sukai sejak di bangku SMA.”
Penjelasan itu membuat dadaku semakin sesak. Aku berharap air mata tak tumpah di hadapanmu. Apa yang harus kulakukan? Tuhan, bantu aku untuk mengatasi semua perasaan ini.
“Kamu kenapa?”
Ingin rasanya aku berteriak sekarang dan bilang aku sakit dan cemburu.
“Eh … malah diam!”
Sambil menghirup udara yang seperti debu, aku beranikan memandangmu tajam, “Apa aku harus lompat-lompat dan mengucapkan turut bahagia, begitu?”
Aku pun berlari meninggalkanmu yang mematung kaget akan sikap kekanak-kanakkanku.
***
Bila mencintai itu sesakit ini, aku tak akan pernah mengenal cinta. Jika mengenalmu membuat hatiku hancur, ingin kuputar waktu untuk tak menyapamu. Semua sudah terjawab, aku dan kamu hanya mimpi indah yang kupoles untuk nyata. Keadaan sudah berbeda, Bella-lah yang memenangkan hatimu. Tuhan pun merestui kalian. Walau kalian tak tahu, kini aku tersakiti.
“Aku akan menikah,” jelasmu begitu antusias. Udara malam seperti membekukan semua perasaan ini. Tak ada rasa senang atau sedih. Datar. Itulah yang kini kurasa.
“Secepat itukah?”
“Itulah istimewahnya Bella. Perempuan berjilbab yang tak mau pacaran dan baginya ta’aruf lalu menikah.” Matamu berkilau saat menjelaskan siapa Bella. Mungkin, cinta telah mengakar di hatimu. Namun, melayukan rasaku kepadamu.
“Terus Bella mau denganmu?”
Kamu hanya mengangguk lalu menunduk, “Mungkin aku bukanlah laki-laki yang sholeh. Namun, kita sepakat untuk sama-sama belajar. Kita sudah dewasa dan menikah adalah satu-satunya benteng untuk terhindar dari zina.”
Bella pun berhasil mengubah kepribadianmu. Kamu kini lebih religius dan dewasa.
“Semoga kalian berjodoh,” ucapku lirih.
***
Seharusnya ini menjadi hari bahagia. Sahabat baikku kini akan melepas masa lajangnya bersama wanita pujaannya. Namun, air mata ini tak mampu kubendung. Kamu yang selama ini ada dalam setiap imaji indahku harus pergi selamanya. Apa yang harus kulakukan? Ini terlalu sakit, Tuhan.
Kamu begitu gagah dengan jas putih bersanding dengan Bella yang begitu cantik dengan gaun putihnya. Raut wajah penuh kebahagian, duduk berdua di pelaminan. Ikhlaskan dia … ikhlaskan dia, itulah berkecamuk di dalam hatiku kini.
Aku memelukmu sambil mengucapkan selamat. Entah keberanian dari mana kata-kata itu mampu keluar dari mulutku.
“Aku menyayangimu,” ucapku sambil mempererat pelukan seperti berharap tak akan berpisah. Namun, kamu begitu dewasa dan mengucapkan kalimat yang hingga kini masih mengedap dalam hati dan pikiran.

Kutulis jejak rindu tentangmu
Yang mampu menembus gravitasi
Membuatku bebas untuk menghantarkan
Dahaga tentangmu
Iya. Karena, ini semua tentangmu
Yang mampu mencuri mimpi indahku
Kini
Aku menuntutmu untuk kembali
Kembali kepadaku
Menceritakan langit malam

Sudah berapa lama aku terlentang di rumput taman komplek. Setengah jam, satu jam, mungkin lebih. Kupandangi langit malam yang begitu agung. Bertabur bintang dan remangnya cahaya bulan. Namun, ini sudah malam ke sembilan puluh Sembilan aku sendiri memandang langit malam. Aku selalu menyakini, bahwa kita pasti sedang melihat langit yang sama. Dan itu seperti katamu saat kita bersama menghabiskan malam yang dingin serta membuat perutku melilit esok paginya.
Jujur aku berharap kamu kembali. Bercerita tentang langit malam, menghina aku tak peka, mengolok-olok aku cengeng, mencubit pipi cubby-ku dan menjitak kepalaku yang tak serius. Namun, rasa itu berhasil kutepis walau pedih. Seperti kata-kata yang kamu ucapkan saat pesta pernikahan itu. Kata-kata itulah yang selalu melekat dan sedikit mengobati rasa ini. Bagai mantra-mantra yang menyihirku untuk sadar, bahwa kamu tak akan pernah kembali kepadaku.
“Aku juga menyayangimu. Bahkan, lebih dari itu kamu adalah sahabat terbaik yang pernah aku kenal. Dan aku akan selalu berdoa semoga kamu mendapatkan jodoh terbaik dari-Nya. Wanita yang cantik nan soleha.”[]

Selesai

Jumat, 15 Januari 2016

Untuk Kayla

 Untuk Kayla



Gelap. Satu kata yang bisa menggambarkan perasaannya kini. Cewek berambut sebahu tersebut berusaha berimaji bagaimana semua itu bisa bermula. Cowok dengan rambut acak-acakan itu seolah menjadi magnet. Merapat dalam ketidaksamaan dan menjauh dalam kesamaan.
"Key ...!"
Panggilan itu mengingatkannya pada kejadian satu tahun lalu. Cowok bermata biru tersebut berusaha berkenalan dengan Kayla dengan ramah. Bukannya senyum hangat yang diterima, namun sikap tak acuh Kayla berhasil membuat cowok pindahan itu harus menelan ludah. Mood Kayla hari itu memang tidak baik, ditambah lagi cowok itu salah menyebut namanya. Bagi Kayla cowok pindahan yang duduk di bangku sampingnya pasti akan membuat harinya semakin kalut.
***
"Nattan!" ucap cowok indo itu sambil menjulurkan tangan ke arah Kayla. Dengan malas Kayla menjawab tanpa mengindahkan uluran tangannya.
"Kayla!"
"Key ... lah!" Nattan berusaha mengeja nama Kayla, namun terasa sulit dan asing bagi cowok yang besar di Sidney tersebut.
Di balik kacamatanya, Kayla menatap Nattan dengan sinis.
"Kay!" balas Kayla dengan kesal.
"Key ...!" Nattan menatap Kayla sambil tersenyum polos.
***
Tak terasa waktu cepat bergulir, dia seperti matahari yang cepat terbit lalu cepat pula tenggelam. Dia yang dulu masih kuncup kecil, kini telah mekar sempurna dan indah.*
Kenangan masa kecilnya membuat air mata begitu mudah mengalir. Di taman belakang sekolah merupakan tempat yang nyaman untuk melampiaskan dahaga rindunya.
Rindu belaian orang tua, dekap hangat sang ibu dan tangan kekar sang ayah saat menggendongnya. Lamunan Kayla tiba-tiba terusik dengan suara bass seorang cowok.
"Key ...!" Mata Kayla yang sembab beradu pandang dengan mata biru cowok yang menjadi idola baru cewek satu sekolah itu.
"Ngapain kamu di sini?" Kayla berusaha menetralisir perasaannya lalu mengusap sisa air mata di pipinya.
"You look ugly if weep!" canda Nattan sambil mendekat ke arah Kayla.
Kayla hanya menunduk lalu menatap bunga-bunga yang tertata rapi. Namun, latar bunga-bunga tersebut tak membuat hatinya ikut berbunga juga. Apalagi kehadiran Nattan, membuatnya semakin bad mood. Nattan pun hanya diam sambil menatap wajah sendu Kayla. Pikirannya pun berusaha mencari alasan, mengapa cewek berkacamata ini menangis di taman belakang sekolah.
***
Akhir-akhir ini, Pikiran Nattan selalu fokus pada Kayla. Cewek pendiam, pintar dan sering menangis di taman belakang sekolah itu. Dia berusaha untuk lebih dekat dengannya. Namun, Kayla masih setia dengan sifat juteknya.
Bel pulang sekolah berbunyi, Nattan masih setia duduk di bangku kelas. Bangku yang terletak di samping kanan bangku Kayla. Mata birunya fokus dengan jemari lentik Kayla. Kayla sepertinya masih asyik dengan kegiatan coret-coret di buku berwarna biru mudanya.
"Key ... kamu tidak pulang?" tanya Nattan sambil tersenyum ke arahnya. Walaupun gaya bicara Nattan masih sama. Selalu salah menyebut nama Kayla. Cewek berambut sebahu itupun membalas dengan senyuman juga.
Bagi Nattan ini awal yang baik untuk mengenalnya lebih dekat.
"Kamu terlihat lebih manis jika tersenyum begitu!" puji Nattan tulus. Wajah Kayla bersipu merah, seperti ada rasa baru dan pertama kali yang dia rasa.
Entah karena itu pujian dari cowok idola baru sekolah. Atau kalimat Nattan mengingatkan kepada seseorang yang dulu pernah ada di hati dan hidupnya.
"Natttan ...?" lirih Kayla menyebut nama Nattan. Mata Nattan kembali fokus ke arah Kayla. Kayla pun membalas tatapan Nattan. Bibir Nattan kembali menyunggingkan senyum manis yang bisa membuat luluh para gadis yang menjadi penggemarnya.
"Ada apa?" Tatapan Nattan semakin tajam ke arah Kayla hingga membuatnya kembali menunduk.
Suasana kelas menjadi hening. Bisu sesaat. Dengan mengambil nafas panjang Nattan pun membuka suara.
"Oke kalau tidak ada yang ditanyakan, aku pamit duluan. See you again!" Bibir Kayla bergetar, namun dia tak mampu berucap atau hanya sekedar membalas ucapan Nattan.
"Key ... percayalah masih ada payung yang siap melindungi kita dari rintik hujan maupun teriknya sinar matahari."
"Maksudmu?" Kayla tak mengerti apa yang sedang Nattan ucapkan. Perkataan tersebut terlalu filosofis baginya yang masih berseragam putih abu-abu tersebut.
Nattan kembali tersenyum tanpa menjawab pertanyaan atau lebih rasa penasaran Kayla tersebut. Dia pun menghilang di balik pintu kelas.
***
Hujan masih setia mengguyur bumi. Seakan mendung dan bau tanah mengerti perasaan Kayla kini. Di balik kacamatanya, dia fokus memandang bangku taman belakang. Basah. Cat abu-abunya pun mulai memudar. Cowok itu kembali mengusik ruang bawah sadar.
"Key ...!" sapa cowok berambut acak-acakan sambil mengatur nafasnya.
"Habis lari marathon ya?" tanya Kayla kesal.
Bukan maksud hati dia harus bersikap jutek. Namun, surat yang terselip di buku biologinya menghantarkan untuk menunggu sang pengirim surat di bangku taman belakang sekolah.
"Sorry ... tadi aku masih dipanggil untuk ke ruang TU!" Perkataan Nattan hanya disambut senyum kecut dari bibir Kayla.
"Key ... maaf atas kelakuanku selama ini kepadamu. Membuatmu marah, kesal dan tak tenang." ucap Nattan yang mulai mencairkan suasana. Kayla yang mendengarnya masih tak bergeming menatap bunga-bunga taman.
Tangan Nattan berusaha meraih tangan Kayla.
"Key ...!" Sebuah kotak berbungkus biru dia serahkan kepada Kayla,
Mata Kayla basah sambil memegang kalung berbandul kunci. Kenangan satu tahun lalu menyisahkan aroma pedih di hatinya.
"Apaan ini?" tanya Kayla terkejut dengan nada juteknya. Nattan hanya tersenyum sambil mengisyaratkan Kayla untuk membukanya.
Sebuah kalung berbandul kunci. Cantik. Mata Kayla berbinar sebentar.
"Key atau kunci. Ah ... sampai kini pun namamu susah kuucap dengan benar. Key ... coba bukalah hatimu, terimalah setiap ujian hidup ini dengan syukur. Aku yakin kamu akan menjadi orang hebat. Bahkan bisa sekelas Chairil Anwar." Nattan tersenyum sambil menyerahkan sebuah buku yang berisi coretan puisi Kayla. Nattan mengumpulkan setiap coretan tersebut di bawah bangku Kayla. Menurut Kayla kertas itu telah menjadi sampah dan dibuang oleh pembersih sekolah. Namun ...,
Bening hangat itupun luruh juga. Kelas mulai sepi. Jam pulang sekolah tak membuatnya bergeming dari bangkunya. Nattan telah pergi, entah dia masih ingat kepada Kayla apa tidak?
"Pindah?" Kayla masih tak percaya. Bu Nur selaku TU sekolah itu pun menjelaskan mengapa Nattan sudah lima hari tak masuk sekolah. Hal tersebutlah yang membawa Kayla bertanya kepada Bu Nur.
London. Jauh. Bahkan sangat jauh bagi Kayla yang yatim piatu tersebut.
"Kay ... ayo ditunggu teman-teman nih buat menjuriin lomba tulis puisi!" teriak Melodi teman sekelas Kayla.
Mendadak lamunan itupun buyar. Sambil tersenyum, Kayla menatap sahabatnya tersebut.
"Terima kasih, Nattan!" ucap Kayla lirih dan untuk terakhir kalinya dia menatap bangku belakang taman sekolah.
Selesai.
*( Diambil dari Novel "Hatiku Berhenti di Kamu" karya Eka Y. Saleem Hal.37)