Kamis, 10 November 2016

Jodohku Maunya Kamu [1]

Jodohku Maunya Kamu
Yanuari Purnawan


Kau adalah bagian dari mimpi-mimpiku yang tak pernah bisa kuraih.

Apa mungkin diri ini sudah gila. Mencintai seseorang hingga tak ingin satupun bisa memilikinya, kecuali aku. Egois memang, tapi inilah cinta. Cinta yang akan aku perjuangkan sampai kapanpun.
Laki-laki tampan dan saleh itu bernama Aditya Putra Angkasa. Entah apa yang terjadi kepadaku, seperti ada medan magnet yang menarikku untuk selalu mendekat kepadanya. Dia adalah lelaki pertama yang mampu menguasai seluruh hati ini. Ketampanannya itu pasti menjadi daya pikatnya, namun bukan itu saja yang membuat dia begitu sempurna di mata kaum hawa. Sikapnya yang begitu sopan dan berwibawa, ilmu agama mempuni serta calon dokter muda. Bagaimana? Paket komplit sebagai calon pengeran surga.

Aku hanya membolak-balik buku yang aku ambil di rak buku tanpa membacanya. Suasana perpustakaan begitu mendukung dengan apa yang kurasa kini. Sunyi. Aku merasa duniaku sudah tak berwarna lagi dan tak ada semangat untuk melanjutkan hidup. Semua rasa kecewa ini hadir karena sosok yang menjadi idola satu kampus, yakni Kak Adit.
“Kasihan tuh buku kalau cuma dibolak-balik saja!” sapa seseorang yang begitu familiar suaranya di gendang telingaku. Kutatap dengan rasa malas siapa yang menyapa, Rahmi, sahabatku sedang tersenyum dimanis-manisin dihadapanku.
“Buku itu buat dibaca, bukan jadi bahan amarah, Neng. Kalau begitu terus kapan pinternya!” lanjut Rahmi lalu mengambil buku di depanku. Aku hanya mendesah sambil menunduk tanpa melihatnya.
“Kayaknya ada yang lebih serius dari sekedar buku?”
Aku tak menggubris perkataan Rahmi yang datang hanya ingin merecoki. Sungguh, aku tak mood untuk berbicara dengan siapapun kini. Masalah Kak Adit, atau tepatnya masalahku sendiri yang begitu besar mencintainya. Rahmi bangkit dari tempat duduknya hendak meninggalkan perpustakaan. Mungkin, dia jengkel karena sedari tadi ucapannya tak mendapat respon baik dariku. Biarlah aku juga ingin sendiri.
“Bella … seberat apapun masalahnya, aku masih Rahmi sahabatmu yang siap mendengarkan semua keluh kesahmu!”
Rahmi siap pergi, namun aku lebih cepat membuatnya tetap berdiri di tempatnya.
“Kurasa kafe dekat kampus nyaman buat ngobrol!”
Sepertinya ucapanku barusan berisi tawaran. Iya. Rahmi benar aku sekarang butuh teman untuk membagi beban yang sedang kurasakan.
“Ba’da zuhur!” Rahmi tersenyum ke arahku sebelum tubuh mungilnya menghilang di balik pintu. Aku membalas dengan senyum yang sedikit kupaksa.
*
Kita tak bisa menawar hati untuk berpaling dari cinta. Cintalah yang menentukan kemana akan berlabuh.

Aku masih mengaduk jus orange yang kupesan dua menit lalu. Rahmi belum datang ke kafe tempat kita janjian tadi. Mungkin dia masih shalat zuhur. Bagiku Rahmi bukan sekedar sahabat, tapi sudah seperti kakak yang setia menasihatiku ketika sedang ada masalah. Dari persahabatan ini, mungkin aku yang lebih diuntungkan oleh sifatnya.
“Maaf ya, sudah lama menunggu?” sapanya dengan nada penyesalan. Aku tersenyum lalu dia duduk di kursi di depanku. Rahmi pun memanggil pelayan dan memesan minuman yang sama denganku.
“Kurasa telingaku sudah siap buat dengerin keluh kesah sang penanti cinta!” goda Rahmi sambil mengedipkan mata ke arahku.
Aku mendesah panjang berusaha mengeluarkan apa yang terpendam di dalam hati dan pikiran. Aku memang tak mampu menyimpannya sendiri.
“Kak Adit akan mengkhitbah Kak hana,” ucapku lirih seperti tak kuat menerima kenyataan ini. Rahmi tersenyum memandangku, mata itu tulus memancarkan kasih.
“Jika itu masalahnya, aku tak bisa berbuat apa-apa. Karena, kamu sedang berurusan dengan dirimu, hatimu.”
Benar apa yang dikatakan Rahmi, yang mampu mengakhiri semua ini hanya ada pada diriku. Tapi, cinta yang sudah tersimpan di hati atas nama Kak Adit sulit untuk dihapus begitu saja. Bagaimana aku bisa move on, jika mendengar namanya saja hati ini sudah berdesir halus.
“Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus mengiba kepada Kak Hana untuk menolak pinangan dari Kak Adit? Atau aku merelakan mereka bahagia di atas deritaku,” terangku sambil menahan agar bening hangat tak jatuh dari kelopak mata. Namun sia-sia, pipiku sudah basa oleh air mata. Rahmi berusaha menguatkanku sambil memegang erat jemariku.
“Apa aku salah terlalu mencintai seseorang yang sebentar lagi mengkhitbah orang lain? Salahkah rasa cinta ini jika menginginkan dia jadi milikku saja?”
Aku menyeka air mataku dan beusaha tenang, tatkala pesanan Rahmi diantar pelayan. Rahmi tersenyum lalu mengucapkan terima kasih. Pelayan itu pun membalas senyum Rahmi lalu bergegas meninggalkan meja kita. Aku meminum jus orange yang dari tadi hanya aku aduk-aduk.
“Aku tahu bersaing dengan Kak Hana hanya akan menyisakan kecewa. Jika, wanita itu bukan Kak Hana mungkin aku bisa mengambil hati Kak Adit dengan mudah. Ya Allah, kenapa harus Kak Hana?” ucapku lirih sambil menutupi wajah dengan telapak tanganku. Rahmi menggapai tanganku lalu meremas erat jemariku. Kita saling berpandangan.
“Bella, aku mengerti perasaanmu kini. Namun, lebih elok lagi jika rasa cintamu itu mampu menjadi taman-taman surga untuk dirimu dan orang lain!” Senyum mengembang dari bibir Rahmi, parasnya begitu menenangkan bagi siapa yang memandangnya. Rahmi memang tak secantik wanita kebanyakan, dia memiliki tubuh mungil dan cubby. Tetapi, dia memiliki kecantikan seorang muslimah yang jarang dimiliki wanita lain.
“Lalu aku harus bagaimana? Sulit bagiku mengikhlaskan rasa cinta ini. Aku selalu percaya bahwa Kak Adit adalah jodohku kelak yang sudah digariskan oleh-Nya.”
“Isabella Putri, lihatlah dirimu secara utuh? Di luar sana banyak pangeran surga yang siap menjemputmu dan akan senantiasa menghapus luka-lukamu, hingga tak ada lagi rasa sakit karena cinta. Tapi, cinta yang menumbuhkan harapan baru di hatimu.”
“Bagiku tak ada cinta lain selain cintaku kepada Kak Adit!”
Rahmi mendesah, mungkin dia jengkel dengan sifat keras kepalaku.
“Itulah masalahnya, kamu sudah membunuh terlalu dini cinta yang lain bahkan sebelum cinta itu tumbuh! Bella … aku tak ingin melihatmu seperti ini, karena senangmu adalah senangku juga, begitu juga dukamu adalah dukaku juga.”
Ada semacam desir halus menyusup ke hati saat Rahmi mengatakan kalimat itu. Beruntungnya aku punya sahabat yang begitu luar biasa menyayangiku. Ya Allah, terima kasih Engkau kirim seorang sahabat seperti Rahmi Assauqila Latief ke dalam kehidupanku. Mungkin, jika dunia berpaling membenciku, pasti tangan yang penuh kasih sayang Rahmi siap terulur menuntunku ke arah-Nya. Kini, haruskah aku menolak saran dari sahabat terbaikku. Mungkin berat menghapus cinta yang begitu dalam kepada Kak Adit, namun pasti jalan terbaik yang disiapkan oleh-Nya atas cintaku nanti.
Balik kini aku yang memegang erat jemari Rahmi, seperti menyalurkan energi untuk saling menguatkan, “Baik, akan aku coba!”
*
Dari kejauhan tanpa sepengetahuan Bella dan Rahmi, ada sesosok pria duduk di meja seberang yang sedari tadi mengamati pembicaraan meraka. Pria itu terburu-buru menghabiskan sisa minumannya lalu bergegas meninggalkan kafe tersebut. Namun sebelum pergi kembali ke kampus, ia mengambil almamater yang bertulis Fakultas Kedokteran yang tadi ia lepas dan di taruh di kursi disampingnya. Ia pun pergi meninggalkan kedua sahabat yang berusaha saling menguatkan, tapi dilain sisi ada sekerat rasa sakit dihati seorang pria yang kini sudah menghilang dari kafe yang menguak rahasia baru dalam hidupnya.


_To be continue_