Selasa, 23 September 2014

Ada Cinta Di kota Santri. #part 8

“Menurut ukhty, kalung ini bagus, tidak,” tanyaku kepada Delia.
Sekonyong-konyong penjaga toko,
“Wah, kalian pasangan yang ideal, kalau kalung ini pasti cocok buat Mbak yang cantik ini,” potong menjaga toko.
Wajahku merona merah, kaget akan ucapan itu. Dengan lembut Delia menepisnya.
“Tidak, aku kesini cuma kebetulan bertemu dengan dia dan aku di suruh membantu memilihkan hadiah buat ulang tahun Ibunya.”

Kalung dengan bandul bunga, menjadi pilihanku untuk diberikan kepada Ibu. Semoga beliau senang dengan hadiah ini. dengan via pos ku kirimkan hadiah yang tak berarti ini jika dibandingkan pengorbanannya saat mengandung, melahirkan dan merawatku dulu.
***
“Kak, gimana jawaban sudah lebih seminggu, Dini menunggu,” ucapnya via telepon.
“Aku ….”
“Kak, Dini sudah siap, apa pun keputusannya itu mungkin yang terbaik bagi Dini. Jadi jangan ragu,” terangnya, yang mendengar suara gugupku.
Kuambil nafas dan mengucap bismilah.
“Afwan, Dini. Kakak tidak bermaksud menyakitimu sama sekali, jujur Kakak sudah menganggap Dini sebagai adik kandung dan tidak lebih dari itu. Untuk menikah, mungkin ada calon yang lebih cocok dengan Dini.”
Dadaku bergemuruh, peluh mengalir di pipi dan semoga ini keputusan yang terbaik untuk kami. Kudengar ada isak tangis di seberang telepon sana, Dini menangis. Tidak ada tanggapan dan telepon langsung dimatikan.
“Maafkan aku, Dini.”

Desakan itu juga bukan dari Dini saja, Nurjannah berkali-kali menghubungi untuk meminta keputusan dariku. Tidak ada alasan untuk menolak gadis soleha, anak Ustad itu. Aku binggung, apa yang harus aku lakukan. Istikharah sudah, yang ada selalu bayangan Ibu. Apakah jdohku itu pilihan Ibu? Tetapi, setiap aku bertanya kepadanya selalu terserah aku, Ibu cuma bisa mendoakan yang terbaik saja.

Ya … Rabb, mengapa begitu rumit. Jika dia jodoh untukku berikan petunjuk-Mu, walau sebatas mimpi. Dalam kebimbangan, hanya mendekat kepada-Nya, hatiku menjadi tenang. Ku rapalkan doa untuk calon bidadariku kelak. Semoga dialah yang bisa menjadi istri dan ibu yang baik dan soleha, yang melahirkan generasi yang kuat akan agamanya, yakni islam. InsyaAllah, Nurjannah …


Bersambung…

Jumat, 19 September 2014

Emak

Emak

Oleh : Yanuari Purnawan



Jum’at, 13 september 2013

            Hari itu, kau menyuruhku mengantar ke malang. Berat rasanya, melihat tubuh tua yang ringkih karena penyakit yang sudah tiga bulan menyerang. Menunggu, hingga tiba mobil datang… Ya, mobil penangkut barang kupersembahkan untuk kau. Anak macam apa aku ini? Tetapi tak pernah ada keluhan yang keluar dari mulutmu.
“Mak, doain aku punya mobil bagus, biar tak bisa rekreasi kemanapun Emak mau nanti,” ucapku, dengan berusaha menahan airmata untuk tidak jatuh.
Hanya anggukan pelan yang kau berikan. Kupeluk tubuh kurus itu dengan penuh rasa sayang.

Selasa, 17 september 2013

            Wajah itu! Hampir saja aku tak mengenalinya lagi, ini Emakku atau bukan? Wajahnya redup, kulitnya terkelupas, rambutnya tinggal segelintir dan suaranya tak bisa kudengar lagi. Emak, ada apa dengan kau? Setiap aku bertanya,
“Mana yang sakit, Mak.”
Kau hanya tersenyum, begitu kuatkah ragamu hingga mampu bertahan akan penyakit ini.
“Mak, makan dulunya?” tanyaku, sambil memeriksa selang kecil yang dipasang dihidungnya. Emak mengidap laryngitis, sehingga sulit bicara dan mencerna. Otomatis harus makan lewat selang tersebut. Setiap cairan semisal air susu kedelai yang dimasukan keselang itu, entah mengapa hatiku teriris. Tes… airmataku terjatuh juga, seharusnya aku kuat, Emak yang sakit saja kuat.
Lagi- lagi airmata ini jatuh, tatkala harus menggsok gigi Emak. Giginya yang jarang dan tak beraturan membuatku harus berhati-hati saat menggosoknya, takut akan melukai mulut yang begitu indah menebar nasehat untukku. Rumah sakit, sudah berapa banyak airmata terjatuh disana.
“Suster… Tolong pasien ruang no.7, infusnya terlepas,” teriakku diruang perawat.
Darah… Darah itu keluar dari tangan Emak, banyak sekali. Kuangkat tubuh itu dan memeluk dan menyanggahnya dari belakang. Bukan hanya darah yang mengalir kesekujur pakaianku tetapi juga muntahan Emak yang ternyata sedang kembung karena kebanyakan susu kedelai. Setelah setengah jam akhirnya Suster sudah selesai membetulkan infus Emak.
“Mak, sakitnya disuntik,” godaku, sambil memeluk tubuhnya. Emak jangan perginya, aku masih ingin memeluk dan tidur dipangkuan kau.

Jum’at, 20 september 2013

            Entah mengapa aku tak bisa tidur, bayangan Emak seolah menari berputar dalam pikiran. Setelah shalat malam, kubuka pintu dapur, kulihat sesosok bayangan wanita berbaju putih dan berambut panjang.
“Emak, tunggu aku. Disini aku merindu kau,” batinku.
Langit seolah runtuh, tubuhku lemas bak tulang ini terlolosi satu-satu, nafas tak beraturan dan airmata tumpah ruah.
“Emaakkkk…,” teriakku histeris.
Telepon seolah petaka yang tak terlupakan. Telepon dari paman yang sedang menunggu di rumah sakit, mengabariku Emak kritis.
Dengan tubuh yang terseok lemah, ku kuatkan diri untuk menemani Emak. Dalam perjalanan, selaksa doa, kupanjatkan untuk kesembuhanya. Emak kuat, tunggu aku, ya.
“Kamu yang sabar,” ucap Paman sambil menangis.
Mendengarnya, tubuhku lemas, terkapar di lantai rumah sakit dan menangis histeris.
Sebuah keranda tertutup kain hitam, terbujur kaku sosok wanita mulia. Melihatnya tangisku pecah lagi, aku tak kuat. Paman berusaha menenangkanku, aku harus kuat. Ku bacakan surat yasin di pinggir keranda itu walau dengan deraian airmata.
Di ambulance, kupegang tangan lembutnya.
“Mak, maafkan akunya belum bisa membuat kau bahagia dan selalu merepotkan.”
Lantunan surat yasin mengiringi kepergian kau menuju peristirahatan terakhir. Aku tak mampu melihat, jasad yang pernah menggendong, mengasuh dan mendidikku tertimbun tanah.
Ya Rabb, ampuni dosanya, terangi dan lapangkan kuburnya, ringankan siksa kuburnya dan tempatkan disisi-Mu, di tempat yang mulia serta kumpulkan kami kelak di surga-Mu.
Aamiin.
Kupersembahkan tulisan ini, untukmu yang selalu menyayangi kami. Terimakasih, Emak. Satu tahun kepergianmu, tak akan mampu menghapus setiap cinta yang pernah kau goreskan dihati ini.

Selesai.

Rabu, 17 September 2014

Gosip Cinta

Gosip Cinta
Oleh : Yanuari Purnawan



“Munafik.” Sekonyong kalimat itu melasat dari bibir manis Aliyah.
“Maksudmu,” ucapku.
Dikepalkan tangannya, wajah cantiknya berubah menjadi merah karena begitu geram akan gosip yang santer disekolah ini.
“Masak ada anak rohis pacaran, katanya mengerti agama tetapi…” kata Elsa.
“Yang benar, jangan su’udzon begitu. Ya, kalau itu benar tetapi kalau tidak.” Rahmi salah satu anggota rohis berusaha menelaah ucapan Elsa.
“Ya sudah kalau kalian tidak percaya, kebenaran pasti akan terungkap juga,” jawab Elsa.
Kulihat wajah Aliyah tidak seperti biasa, redup. Gadis yang biasa aktif dan ceria mendadak berubah seratus delapan puluh derajat.
“Aku tidak mengerti mengapa mereka tega, apakah satu tahun kebersamaan tidak cukup mengenalku?” Tangis Aliyah meledak dipelukanku.
“Sabar, ini hanya sementara, buktikan tuduhan itu hanya fitnah belaka,” ucapku sambil mengelus kepalanya. Begitu hebatkah kau fitnah hingga mampu melemahkan sahabatku, benar bahwa fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Dia telah berhasil perlahan menghancurkan Aliyah.
“Al, maaf jika ini membuatmu tersinggung, tetapi apakah kamu suka dengan Ustad Romi?” Tanyaku hati-hati.
Dia hanya mengambil nafas sebentar, lalu menatapku dalam. Apakah pertanyaanku membuatnya tersinggung.
“Aku mencintainya,Ra. Sebelum gosip ini beredar,” jawabnya dengan menunduk.
“Jadi, gosip itu benar. Kamu mengerti syariat tetapi mengapa melakukan hal itu.” Tidak habis pikir, mengapa Aliyah bisa melakukan hal itu.
“Maksudmu, aku seperti yang mereka bilang ‘ Munafik’ begitu. Kamu tidak akan pernah mengerti apa yang aku rasakan.”
Aku hanya terdiam, kutatap wajah sendunya yang masih menyisahkan bulir airmata dan pergi berlalu meninggalkanku.
***
“ Saya terima nikah dan kawinnya Nur Kumalasari binti Imron dengan mas kawin tersebut tunai,” ucap Ustad Romi tegas, waktu pernikahannya dengan Mala.

Ternyata inikah rasa yang terpendam dari Aliyah, tetapi mengapa dia tidak jujur saja.
“Ra, maafkan aku tidak jujur kepadamu, aku tidak mau ada yang tersakiti,” ucap Aliyah kala di mushalah sekolah.
“Maksudmu,” tanyaku penasaran.
“Ternyata Ustad Romi sudah tunangan dan akan menikah dengan Kak Mala.” Sedikit ada gurat kesedihan diwajahnya.
“Terus mengapa bisa ada gosip antara kamu dengan Ustad Romi?”
“Aku juga tidak mengerti, mungkin Elsa melihatku dibonceng ustad Romi. Saat itu Kak Mala mengundangku keacara lamarannya karena sudah malam Kak Mala menyuruh Ustad Romi mengantarku,” terangnya.
Tes… Airmatanya tumpah juga, seperti ada beban yang dia rasakan. Aku paham bagaimana perasaannya sekarang. Kupeluk dia dan menangis bersama. Biarlah gosip itu berlalu bersama angin dan membawanya pergi bersama luka sahabatku, Aliyah.

Selesai.





Senin, 15 September 2014

Ada Cinta Dikota Santri. #part 7

Assalamualaikum…
Akhy Dimas di kota santri
Kota para mujahid ilmu
Yang selalu bercahaya.

Afwan jika surat ini lancang saya kirim, tetapi apa daya bagi wanita lemah bak siti nurbaya diabad milinium ini.
Saya tidak mau berakhir seperti Romeo dan Juliet, yang harus tragis karena suatu perjodohan. Akhy, saya dijodohkan dengan seorang pria dari kudus namanya Ustad Fadil, dia adalah anak sahabat abah ketika masih nyantri di kudus dulu. Jujur abah menyerahkan perjodohan ini kepada saya, beliau tidak mau memaksa jika tidak setuju.
Berat sekali menolak lamaran pria ini, selain anak sahabat abah tetapi juga riwayat hidupnya sangat mengagumkan. Dia lulusan al-azhar, sekarang salah satu staf pengajaran dipesantren dan doasen tamu di UGM.
Sungguh tidak ada alasan yang tepat untuk menolaknya, saya begitu bimbang dilain sisi abah sangat berharap saya menerima pinangan ini, tetapi apakah saya mampu untuk mencintainya. Karena jujur ada ruang khusus yang telah mengisinya, yaitu cinta akan seoarang ikhwan yang rela mengorbankan diri hanya untuk menyelamatkan seorang gadis yang tak dikenalnya.
Saya mencintai akhy, jika memang akhy juga memiliki rasa yang sama, saya harap segera dihalalkan. Pinang saya, maka masalah perjodohan ini selesai.
Saya tidak berharap lebih, tetapi saya tidak cinta ini hancur dan binasa, karena sesungguhnya cinta itu suci sesuai fitrahnya.

Yang lemah tiada daya

Nurjannah

            Ada apa ini, mengapa begini? Disatu sisi apakah aku pantas dicintai anak seorang ustad dan apa yang harus aku lakukan. Seharusnya aku bangga dan bahagia karena sudah ada dua gadis soleha secara terang menyatakan cinta.
Naif! Sungguh ini pilihan berat dan tidak terasa airmata mengalir, apa yang mereka lihat dari pria yang berlumur dosa, bodoh dan miskin ini.

Apakah tidak ada yang lebih pantas untuk mereka, Andi ataupun Ustad Fadil, mungkin lebih pantas.
Dalam setiap sujudku, selalu memohon agar masalah ini segera terselesaikan dengan baik. Aku tidak ingin menyakiti hati siapapun. Aku tidak ingin nama baik ini dicap sebagai pria penjajah wanita. Astagfirullah!!!

            Lamgit pagi ini begitu cerah, entah tidak mampu mencerahkan hati yang dilanda kebimbangan. Kulihat kalender, hari ini ulang tahun ibu.
Aku segera memacu sepeda motor ke toko perhiasan, semoga kado menjadi kejutan terindah dihari istimewahnya.
Sebelum masuk, kulihat gadis berhijab. Kurasa aku mengenalnya dan ternyata benar dugaanku.
“Assalamualaikum, Akhy.”
“Waalaikumsalam,” jawabku gugup ketika dia tiba-tiba menyapa.
“Ada acara apa, kok ke toko perhiasaan? Jangan-jangan mau lamarannya,” tanyanya.
Pertanyaan itu, membuat wajahku seketika memerah seperti udang rebus. Entah dia mengerti atau tidak.
“Lamaran? Sama siapa, calonnya saja belum ada hehe,” jawabku malu-malu.
“Kalau sama Mbak Nurjannah bagaimana?” ucapnya.

Jlebb… Apakah dia mengerti akan surat itu? Tanda tanya dalam otak ini semakin besar, mengapa harus seperti ini. aku benar-benar tidak mampu menjawabnya. Bibirku keluh, sulit untuk berbicara. Kutatap wajah gadis didepanku, begitu sejuk dengan hijabnya dan aku hanya mampu tersenyum.


Bersambung….

Ada Cinta Dikota Santri. #part6

Aula pesantren berubah bak acara seminar kelas atas, begitu banyak santriwan dan santriwati yang berduyun-duyun untuk mendapatkan cahaya ilmu. Tiba-tiba rasa minder menggelayuti hati, berulangkali tasbih ku baca tetapi tak cukup menenagkan hati ini.


“Akhy, ternyata sudah datang,” sapa Delia, yang begitu anggun dengan jilbab birunya.
“Ayo, akhy duduk disebelah sana,” lanjutnya sambil menunjuk kursi didepan aula.
“Ya, Allah berikan hamba kelancaran dan kemudahan, bismillah,” batinku.

Acara yang dimoderatorin oleh Nurjannah sedikit membuatku sedikit grogi. Kulihat dari depan ternyata begitu banyak yang hadir hingga tempat duduknya tidak cukup.
“Assalamualaikum, hadirin yang dirahmati Allah, terimakasih telah hadir dalam acara “Bedah buku cinta itu!kok gini, buku karangan dari penulis muda tak lain adalah Delia Kumalasari, novel pertama yang menceritak bagaimana cinta itu harus dikemas menurut koridor syar’i,” terang Nurjannah, memulai acara.

Setelah pembukaan dari moderator, diisi pembacaan kalam ilahi. Ternyata bacaan tersebut mampu menenangkan hati. Dan dilanjut dengan prolog singkat dari sang penulis. Acara inti pun dimulai yaitu tanya jawab.
Satriwan berkaca mata, segera memberikan pertanyaan.
“Dalam salah satu bab dalam buku tersebut berjudul “Yang muda yang bercinta” tolong dijelaskan maksudnya itu bagaimana?terimakasih.”
Moderator pun mempersilahkan Delia menjawab terlebih dahulu.

“Mengapa aku mengambil kalimat “Yang muda yang bercinta” karena begitu banyak pemuda salah mengartikan apa itu cinta? Hingga mereka terjerumus kedalam kubangan kemaksiatan, misalnya pacaran. Mengapa mereka mengambil langkah itu?karena mereka belum mampu untuk menikah. Jadi, atas dasar cinta pemuda banyak yang melanggar aturan agama. Cinta bagi pemuda alias remaja yang belum siap menikah adalah dengan cinta kepada Allah, orangtua, ilmu dan negaranya. Itulah maksud dari “Yang Muda yang bercinta.” Terang delia, begitu anggun dalam penyampaiannya, tepuk tangan pun bergemuruh didalam aula.

“Sekarang giliran akhy Dimas,” ucap moderator sambil memandang kearahku.
Dengan sedikit mengambil nafas dan mengucap basmallah,

“Yang muda yang bercinta… Menurutku sebagai yang masih awam dalam dunia percintaan. Pemuda yang mampu menjaga cinta sesuai fitrahnya. Cinta bukan asal ucapan “I Love You” yang sering kita dengar, tetapi dari itu. Allah menciptakan dengan Ar-Rahman dan Rohim-Nya, yang artinya Maha pengasih lagi Maha penyayang. Semoga ini menjadi landasan kita terutama bagi pemuda yang masih labil untuk menjaga cintanya untuk dia persembahkan bagi yang halal menerimanya. Pemuda bercinta dengan ilmu, sehingga dia mengerti jalan mana yang akan ditempuh jika cinta datang. Jangan obral cinta, karena cinta itu amanah yang akan dipertanggung jawabkan kelak diakhirat.”

Tepuk tangan pun memecah suasana diaulia. Sesi tanya jawab pun berlangsung meriah. Ba’da ashar pun acara selesai.
Kulihat begitu banyak pemuda khususnya santriwan ataupun santriwati yang bhaus akan ilmu. Semoga ilmu yang sedikit bisa bermanfaat bagi semua. Dan menjadi ladang amal yang mengalir hingga nanti ketika kita mati.

            Dikamar kost, kulihat undangan merah jambu tertulis, menikah Ratih permata sari dengan M. ikhsan.
“Alhamdulilah, akhirnya dia mendapatkan pasangan yang cocok. Bagaimana jika aku menuruti saran Andi untuk terima cintanya sebagai mainan,” batinku.
Semua menikah, lha aku kapan. Tiba-tiba aku teringat acara tadi, cinta itu fitrah. Benarkah, masih adakah cinta untukku?
Dalam sujud malam, kuadukan segala gundah yang menyesak dihati.
Ya Rabb, tiada yang kuasa selain atas kuasa-Mu. Ampuni segala dosa yang nyata maupun tersembunyi. Jadikan setiap cinta yang ada hati ini berlabuh atas izin-Mu. Jangan biarkan hamba lalai atas cinta yang Kau titipkan untuk hamba.
Aamiin
“Mas, ada titipan amplop dari Nurjannah tadi,” ucap Andi, sambil menyerahkan amplop berwarna putih.
“Terimakasih,” jawabku sambil berlalu menuju kamar.

Kulihat beberapa lembar uang dan secarik kertas.
“Apa-apaan ini,”pikirku.
Kubaca secarik kertas tersebut dan… Deg!!!

Bersambung….


Kamis, 11 September 2014

Rintihan Hati



Rintihan Hati
Oleh : Yanuari Purnawan

Melihatmu begitu dalam
Menyelami kisah paling kelam
Bersama angin malam
Ku sampaikan rindu dari hati terdalam

Kapan semua berakhir
Waktukah yang akan mengukir
Biar sajak-sajak rindu ini terkikir
Menjelma didalam pikir
Entah sampai kapan akan berakhir

Haruskah aku berlari
Menatap mentari
Hingga aku tak sanggup lagi berdiri
Termakan senja dini

Aku merindumu…
Aku menunggumu…
Aku…
A…
K…
U…
Selalu setia untukmu…


Nongkojajar, 12 september 2014

Senin, 01 September 2014

Dompet



Dompet
Oleh : Yanuari Purnawan

“ Wah…dompet siapa nih,” pekikku dalam hati.
Dompet warna merah jambu tergeletak dialas masjid. Pikirku, “ Mungkin dompet jamaah yang tadi ikut majelis.” Bingung harus aku berikan kesiapa! Apa diberikan saja ketakmir masjid. Ah, tidak mungkin disini sudah sepi. Lagian pasti orang yang kehilangan dompet berpikir dua kali untuk kembali kemasjid karena ini kan sudah tengah malam. Lebih baik dompet ini aku kembalikan besok saja.
Dikamar kost, aku gelisah sendiri. Siapakah pemilik dompet ini, “ Ah, mengapa tidak aku buka saja isinya. Siapa tahu ada identitas pemiliknya,” pikirku. Dengan mengucap basmallah, aku buka dompet merah jambu itu, ternyata berisi uang 100 ribuan lima lembar, dan uang 20 ribuan entah berapa jumlahnya. Tetapi aku lebih fokus mencari KTP atau kartu namanya. Ada kartu nama warna ungu dan kubaca tertera nama sang pemilik Delia Safitri, alamat Jalan Kebon Agung No.15 dan owner Butik Muslimah.
Entah mengapa bayang nama itu terus berputar diotak hingga terbawa sampai dalam mimpi. Delia safitri, belum mengerti orangnya sudah berhasil menjajah hati ini, siapakah engkau? Apakah ini yang nama cinta, entahlah mengapa aku bisa berspekulasi seperti ini.
Aku membayangkan pertemuanku dengannya menghasilkan benih cinta, bagai dalam drama korea. Kutatap seluruh tubuhku didepan cermin, “ Ternyata, aku lumayan tampan juga,” batinku.
Dengan sepeda motor, aku siap mengantarkan cinta, eh bukan, dompet. Siapa pun engkau, aku siap untuk hal seburuk apapun entar. Melewati beberapa persimpangan dan belokan, sekitar satu jam akhirnya sampai juga didepan Butik Muslimah, persis seperti alamat yang tertera dikartu nama didompet itu.
“ Assalamualaikum,” ucapku. Dari dalam ada suara seorang wanita yang menjawab salam.  “ Subhanallah, inikah orangnya.” Aku hanya bisa menatap sebentar lalu  menuduk kembali.
“ Maaf, mas cari siapa atau mau belanja pakaian,” tanyanya.
“ Tidak, aku mau mengantarkan dompet yang terjatuh dimasjid At-taqwa kemarin. Benar ini dengan mbak Delia safitri,” terangku. Kulihat ada binar bahagia dimata wanita berjilbab merah itu.
“ Betul, Mas. Saya yang kehilangan dompet. Alhamdulilah ditemukan oleh orang jujur kayak mas,” jawabnya. Entah mengapa kata-katanya seakan menyejukan dan ada desiran halus dihati. Setelah menyerahkan dan menyuruh mengecek kembali isi dompetnya, aku pun berpamitan.
“ Kalau begitu aku permisi pulang dulu.”
“ Sebentar, Mas.” Kulihat dia memanggil seseorang didalam butiknya.
“ Ada apa, ya!” tanyaku.
“ Perkenalkan ini suamiku, Mas. Namanya Mas Heri.” Dia mengenalkan pria yang dipanggilnya tadi.
“ Apa?” pikirku. Gleek..aku hanya bisa menelan ludah sambil menjambat tangan suaminya.
“ Faris,” jawabku.
Sore itu begitu cerah tetapi tidak dengan hatiku, mendung. Ternyata, pertemuan pertama dengan seorang bidadari dunia tidak seindah drama korea. Semua gara-gara dompet.
Selesai