Back to Me
Yanuari
Purnawan
Seperti
katamu, malam tak harus tentang gelap. Bisa juga tentang taburan bintang atau
remangnya cahaya bulan. Aku selalu mengingat kalimat itu. Sederhana, namun
mengkristal di dalam hati. Percaya atau tidak, kita pasti sedang memandang
langit yang sama. Terlentang di rumput yang hijau sambil menghitung bintang.
Itukan caramu untuk menghapus sepi dan sedih.
“Lihatlah
langit itu?” suruhmu sambil terlentang melihat langit malam. Taman komplek jam
sepuluh sangat sepi. Entah, apa yang menggiringku untuk ikut denganmu Menikmati
dinginnya malam atau melihat bintang jatuh.
“Biasa
saja. Bintangnya juga sedikit, mungkin mendung!” Kamu menatapku heran lalu
bangkit dan duduk di sampingku.
“Dasar
… kamu tuh emang tidak peka!” protesmu sambil mencubit pipiku yang cubby. Seperti ada desiran halus
menyusup ke dalam dada lalu turun ke hati. Senyum itu yang membuatku kuat
menahan dingin malam. Walau esoknya aku harus merasakan perut yang melilit
karena masuk angin.
”Ih
… sakit tau!” tepisku. Kamu hanya tersenyum manis lalu kembali menatap langit.
“Kenapa
sih kamu suka sekali langit malam? Bagiku sama saja dan tidak ada yang
spesial,” cerocosku yang membuatmu kembali mencubit pipiku gemas.
“Kamu
tuh nanya apa lagi introgasi?” Aku tersenyum menanggapinya.
Beberapa
menit keadaan mulai membisu. Angin malam seakan menusuk tulang. Suasana menjadi
sunyi, hingga kamu mulai bercerita.
“Semua
tentang ini?” jelasmu sambil menunjuk dada. Aku diam tak mengerti.
“Kamu
memang nggak peka!”
“Lha
tunjuk dada, emang sakitnya tuh di sini!” protesku yang berkali-kali dibilang
tidak peka.
Kamu
lalu mengatur napas, seperti ada beban yang sedang disimpan. Tapi, aku tak
berani untuk bertanya lebih lanjut.
“Ini
tentang perasaan. Saat kita jauh hanya langitlah yang dekat dan sama. Dan
mengapa langit malam, karena di balik gelapnya tetap indah dengan taburan
bintang dan cahaya bulan. “
Aku
mendengarkannya dengan serius. Mata tak mampu berkedip, kamu sungguh terlihat
berbeda. Dewasa.
“Kamu
lagi ada masalah?”
Kamu
hanya tersenyum lalu mengajakku untuk pulang. Sungguh, ini terlalu ganjil.
Mengapa kamu tak ingin bercerita? Apakah kamu mengira aku terlalu tak peka akan
masalahmu? Jahat.
***
Tuhan
pasti punya rencana terbaik buat hamba-Nya. Ini bukan tentang aku atau kamu,
namun tentang kita. Kita yang mudah sekali menilai dan berandai-andai.
“Kutunggu
di taman.”
Sms
itu kembali memenuhi inbox di ponsel. Sudah berapa kali kamu mengirimkannya.
Sungguh jika tugas kuliah tak sedang bajibun, aku pasti menemanimu memandang
langit malam.
“Maaf
aku tak bisa. Tugas kuliah sedang menumpuk,” balasku. Mungkin kamu kecewa
dengan sikapku yang lebih mementingkan tugas kuliah. Namun, kuharap kamu juga
mengerti. Karena ini adalah tanggung jawab dan masa depanku.
Aku
tak fokus mengerjakan tugas kuliah. Pikiranku melayang kepadamu. Jujur, aku tak
ingin kamu kecewa. Sepertinya setan telah menghasutku untuk menemuimu. Sial,
kamu berhasil merobohkan pertahananku. Kuambil jaket lalu melangkah menuju
taman komplek. Sesampainya di taman, tak kutemukan sosokmu yang sedang
terlentang memandang langit. Mungkinkah kamu marah dan kecewa kepadaku? Tuhan,
kuharap semua hanya pikiran bawah sadarku. Jika, memang benar, sungguh aku
menyesal.
Air
mataku pun terjatuh sambil kebingungan mencari keberadaanmu. Aku lelah, tak
kutemukan batang hidungmu. Di kursi taman, kutumpuhkan segala kebodohanku.
“Dasar
cengeng!”
Kupandarkan
pandangan, sosok itu tersenyum tipis sambil menyodorkan sapu tangan berwarna
biru ke arahku.
“Udah
tidak peka, cengeng lagi!”
Aku
hanya diam sambil membersihkan air mata dengan sapu tanganmu. Apa yang terjadi
kepadaku. Ini di luar nalar. Tapi, tak kuasa aku menahannya. Iya! Aku kini
memelukmu yang membuat dirimu kebingungan. Dan aku pun terisak di dadamu.
”Apa-apaan
nih? Emang kamu kira aku sudah meninggal di gigit anjing liar malam-malam!”
bentakmu hingga pelukan terhadapmu harus kulepas. Kuseka air mata lalu
memandang dalam.
“Aku
takut kalau kamu diculik Alien!”
Kamu
tertawa sambil menjitak kepalaku. Walau sakit, entah mengapa aku suka.
“Dasar!
Ayo pulang.”
“Karena,
kamu membuatku menangis malam ini. Kamu harus menggendongku sampai depan
rumah.”
Kamu
melotot hingga aku merasa takut dan menyesal berbicara begitu. Namun, apa yang
terjadi. Wajahmu kembali terlihat manis dengan senyum itu. Kamu pun jongkok dan
mengerti maksudku. Kamu memenuhi permintaanku. Tuhan, jika ini mimpi aku tak
ingin terbangun.
***
Aku tak mengerti
Dan tak akan mengerti
Akan sosokmu
Tingkahmu
Pikiranmu
Namun, aku mengerti
sayap-sayap cinta itu
Menerbangkan angan bersamamu
selamanya
Lambat
laun putik itu tumbuh menjadi bunga yang memesona. Seperti perasaan ini
kepadamu. Tak pernah mati, namun selalu tumbuh bermekaran di dalam hati. Aku
mengerti tak seharusnya rasa ini hadir. Tapi, siapa yang mampu memncegahnya.
Sosokmu terlalu istimewa bagiku. Kalau ini salah, mungkin ini adalah kesalahan
yang terindah dalam hidupku.
“Apa
kamu pernah jatuh cinta?” Pertanyaanmu malam ini sungguh membuatku salah
tingkah. Sekuat tenaga aku mengendalikan diri dan berusaha tenang. Walau
jantungku berdegup lebih kencang.
“Kok
tanya gitu? Jangan-jangan kamu sedang jatuh cinta ya!” godaku yang berhasil
membuat pipimu merona merah.
“Hayo
ngaku, sama siapa?”
“Bodoh!
Emangnya kamu ketua RT dan aku harus laporan kepadamu.”
Sifat
jutekmu itu sepertinya sudah mendarah daging. Terlalu gengsi untuk mengakui.
Namun, kini tatapan itu menusuk hingga dadaku. Sesak. Apa yang mau kamu
lakukan. Tidak mungkin! Jangan-jangan ….
“Kamu
benar. Kini aku sedang jatuh cinta.”
Hampir
saja tawaku meledak. Sekuat tenaga aku menahan diri untuk bersikap biasa.
“Aku
jatuh cinta kepada Bella,” lanjutmu sambil melihat langit malam. Kalimat
barusan berhasil menghancurkan puzzle
perasaan yang sudah kususun indah. Tuhan, mungkin kini aku salah dengar atau
sedang mimpi. Ini tidak nyata, bukan? Aku harus kuat dan tak menangis.
“Bella?”
“Dia
adalah perempuan yang aku sukai sejak di bangku SMA.”
Penjelasan
itu membuat dadaku semakin sesak. Aku berharap air mata tak tumpah di
hadapanmu. Apa yang harus kulakukan? Tuhan, bantu aku untuk mengatasi semua
perasaan ini.
“Kamu
kenapa?”
Ingin
rasanya aku berteriak sekarang dan bilang aku sakit dan cemburu.
“Eh
… malah diam!”
Sambil
menghirup udara yang seperti debu, aku beranikan memandangmu tajam, “Apa aku
harus lompat-lompat dan mengucapkan turut bahagia, begitu?”
Aku
pun berlari meninggalkanmu yang mematung kaget akan sikap kekanak-kanakkanku.
***
Bila
mencintai itu sesakit ini, aku tak akan pernah mengenal cinta. Jika mengenalmu
membuat hatiku hancur, ingin kuputar waktu untuk tak menyapamu. Semua sudah
terjawab, aku dan kamu hanya mimpi indah yang kupoles untuk nyata. Keadaan
sudah berbeda, Bella-lah yang memenangkan hatimu. Tuhan pun merestui kalian.
Walau kalian tak tahu, kini aku tersakiti.
“Aku
akan menikah,” jelasmu begitu antusias. Udara malam seperti membekukan semua
perasaan ini. Tak ada rasa senang atau sedih. Datar. Itulah yang kini kurasa.
“Secepat
itukah?”
“Itulah
istimewahnya Bella. Perempuan berjilbab yang tak mau pacaran dan baginya ta’aruf lalu menikah.” Matamu berkilau
saat menjelaskan siapa Bella. Mungkin, cinta telah mengakar di hatimu. Namun,
melayukan rasaku kepadamu.
“Terus
Bella mau denganmu?”
Kamu
hanya mengangguk lalu menunduk, “Mungkin aku bukanlah laki-laki yang sholeh.
Namun, kita sepakat untuk sama-sama belajar. Kita sudah dewasa dan menikah
adalah satu-satunya benteng untuk terhindar dari zina.”
Bella
pun berhasil mengubah kepribadianmu. Kamu kini lebih religius dan dewasa.
“Semoga
kalian berjodoh,” ucapku lirih.
***
Seharusnya
ini menjadi hari bahagia. Sahabat baikku kini akan melepas masa lajangnya
bersama wanita pujaannya. Namun, air mata ini tak mampu kubendung. Kamu yang
selama ini ada dalam setiap imaji indahku harus pergi selamanya. Apa yang harus
kulakukan? Ini terlalu sakit, Tuhan.
Kamu
begitu gagah dengan jas putih bersanding dengan Bella yang begitu cantik dengan
gaun putihnya. Raut wajah penuh kebahagian, duduk berdua di pelaminan.
Ikhlaskan dia … ikhlaskan dia, itulah berkecamuk di dalam hatiku kini.
Aku
memelukmu sambil mengucapkan selamat. Entah keberanian dari mana kata-kata itu
mampu keluar dari mulutku.
“Aku
menyayangimu,” ucapku sambil mempererat pelukan seperti berharap tak akan
berpisah. Namun, kamu begitu dewasa dan mengucapkan kalimat yang hingga kini
masih mengedap dalam hati dan pikiran.
Kutulis jejak rindu
tentangmu
Yang mampu menembus
gravitasi
Membuatku bebas untuk
menghantarkan
Dahaga tentangmu
Iya. Karena, ini semua
tentangmu
Yang mampu mencuri mimpi
indahku
Kini
Aku menuntutmu untuk kembali
Kembali kepadaku
Menceritakan langit malam
Sudah
berapa lama aku terlentang di rumput taman komplek. Setengah jam, satu jam,
mungkin lebih. Kupandangi langit malam yang begitu agung. Bertabur bintang dan
remangnya cahaya bulan. Namun, ini sudah malam ke sembilan puluh Sembilan aku
sendiri memandang langit malam. Aku selalu menyakini, bahwa kita pasti sedang
melihat langit yang sama. Dan itu seperti katamu saat kita bersama menghabiskan
malam yang dingin serta membuat perutku melilit esok paginya.
Jujur
aku berharap kamu kembali. Bercerita tentang langit malam, menghina aku tak
peka, mengolok-olok aku cengeng, mencubit pipi cubby-ku dan menjitak kepalaku yang tak serius. Namun, rasa itu
berhasil kutepis walau pedih. Seperti kata-kata yang kamu ucapkan saat pesta
pernikahan itu. Kata-kata itulah yang selalu melekat dan sedikit mengobati rasa
ini. Bagai mantra-mantra yang menyihirku untuk sadar, bahwa kamu tak akan
pernah kembali kepadaku.
“Aku juga menyayangimu.
Bahkan, lebih dari itu kamu adalah sahabat terbaik yang pernah aku kenal. Dan
aku akan selalu berdoa semoga kamu mendapatkan jodoh terbaik dari-Nya. Wanita
yang cantik nan soleha.”[]
Selesai
Lumayan. Ada kata2 yang kurang tepat dan ada narasi yang harusnya bisa lebih dipertajam. Tapi, ini udah lumayan. Sering2 aja nulis.
BalasHapusterima kasih, Kak. Akan belajar lagi. Semangat^^
Hapus