Selasa, 26 Agustus 2014

Ada Cinta Dikota Santri #Part 3



“ Ohnya perkenalkan ini anakku, apakah kau ingat dia.” Tanya ustad ilham menjawab rasa penasaranku. Ternyata gadis berjilbab putih itu anak ustad ilham. Sambil mengingat siapakah dia, pernah bertemu dimana. Langsung saja aku ingat acara itu.
“ Alhamdulilah ana ingat ustad, kalau tidak salah dia kan pemenang qiro’atil Qur’an sejatim itu. Yang bulan lalu mengadakan syukuran dan kebutulan ana yang membuat undangan dan sekaligus hadir dalam acara tersebut. Tetapi ana lupa namanya, ustad.” Jawabku.
“ Syukur akhi masih ingat. Perkenalkan saya Nurjannah.” Ucap anak ustad ilham, tanpa sengaja mataku beradu dengannya. Ces, ada getaran dihati ini. Astafirullah, ucapku dalam hati. kucoba menata hati dan menundukan pandanganku.
“ Dan yang ini, delia. Adik dari istri saya, kebetulan dia sedang liburan jadi oleh istri saya disuruh kesini untuk membantu mengajar dipesantren.” Ustad ilham menjelaskan siapa perempuan berjilbab biru itu. Mau tidak mau terpaksa aku pandang wajahnya, subhanallah, diakan perempuan yang kecopetan dibus kemarin.
“ Maafkan saya, akhy. Gara-gara saya, akhy harus berbaring dirumah sakit.” Ucap delia dengan melihat kondisiku.
“ Tidak apa-apa, memang seharusnya kita tolong-menolong dalam kebaikan. Kalau memang harus dirawat dirumah sakit itu hanya bonus.” Jawabku sambil tersenyum.
“ Iya bonus, makanya jadi orang jangan sok jagoan. Kalau begini tahu rasanya kan.” Celetuk andi. Spontan semua tertawa, aku hanya bisa menahan malu.
Setelah tiga hari, dokter mengizinkan aku pulang tetapi dengan syarat setelah satu bulan aku harus cek-up agar memastikan tidak terjadi apa-apa dikepalaku. Alhamdulilah akhirnya aku bisa menghirup udara luar, selama dirumah sakit jenuh sekali tidak bisa beraktivitas.

Aku dan andi menuju temapat administrasi, ketika mau membayar ternyata petugas bilang sudah dibayar. Aku dan andi sempat kaget, siapakah orang baik itu yang mau membayar biaya rumah sakit. Ketika aku bertanya siapa yang membayar, petugas itu hanya bilang “ Kami tidak bisa memberitahukannya karena ini menyangkut privasi.”
Ketika sampai dilobi, Dini dan Wati salah satu pegawai dipercetakanku datang ingin menjenguk.
“ Kak dimas, bagaimana keadaannya. Kok, sudah berkemas apa sudah mau pulang,” ujar Dini.
“ Alhamdulilah kakak sudah tidak apa-apa,” jawabku.
Aku lihat ada gurat kecewa dari wajah dini, tetapi entahlah apa maksudnya. Andi yang berada disampingku berkata, “ yaudah, kita pulang bareng aja.”
Setelah barangku dimasukan kemobil, tiba-tiba Dini berkata.
“ Kak dimas, bisa bicara berdua saja.”
“ Emang ada apa toh, Din. Kok pakai berduaan segala,” jawabku.
“ sebentar saja kok, Kak. Kalau begitu kutunggu ditaman rumah sakit.” Kulihat wajah polosnya, masih saja sama seperti pertama aku mengenalnya. Gadis yatim piatu yang tinggal dipanti asuhan, saat itu dia minta sumbungan ketempat percetakanku. Entah apa yang mendorong aku untuk mengangkat dia sebagai pegawai ditempat kerjaku ini.
Tetapi itulah takdir, daripada harus meminta sumbangan otomatis jika dia bekerja dia bisa membantu para penghuni panti asuhan.
Apa yang dibicarakan gadis itu, sebegitu pentingkah hingga harus bicara berduaan.

Bersambung….



Tidak ada komentar:

Posting Komentar