“
Ohnya perkenalkan ini anakku, apakah kau ingat dia.” Tanya ustad ilham menjawab
rasa penasaranku. Ternyata gadis berjilbab putih itu anak ustad ilham. Sambil
mengingat siapakah dia, pernah bertemu dimana. Langsung saja aku ingat acara
itu.
“
Alhamdulilah ana ingat ustad, kalau tidak salah dia kan pemenang qiro’atil
Qur’an sejatim itu. Yang bulan lalu mengadakan syukuran dan kebutulan ana yang
membuat undangan dan sekaligus hadir dalam acara tersebut. Tetapi ana lupa
namanya, ustad.” Jawabku.
“
Syukur akhi masih ingat. Perkenalkan saya Nurjannah.” Ucap anak ustad ilham,
tanpa sengaja mataku beradu dengannya. Ces, ada getaran dihati ini.
Astafirullah, ucapku dalam hati. kucoba menata hati dan menundukan pandanganku.
“
Dan yang ini, delia. Adik dari istri saya, kebetulan dia sedang liburan jadi
oleh istri saya disuruh kesini untuk membantu mengajar dipesantren.” Ustad
ilham menjelaskan siapa perempuan berjilbab biru itu. Mau tidak mau terpaksa
aku pandang wajahnya, subhanallah, diakan perempuan yang kecopetan dibus
kemarin.
“
Maafkan saya, akhy. Gara-gara saya, akhy harus berbaring dirumah sakit.” Ucap
delia dengan melihat kondisiku.
“
Tidak apa-apa, memang seharusnya kita tolong-menolong dalam kebaikan. Kalau
memang harus dirawat dirumah sakit itu hanya bonus.” Jawabku sambil tersenyum.
“
Iya bonus, makanya jadi orang jangan sok jagoan. Kalau begini tahu rasanya
kan.” Celetuk andi. Spontan semua tertawa, aku hanya bisa menahan malu.
Setelah
tiga hari, dokter mengizinkan aku pulang tetapi dengan syarat setelah satu
bulan aku harus cek-up agar memastikan tidak terjadi apa-apa dikepalaku. Alhamdulilah
akhirnya aku bisa menghirup udara luar, selama dirumah sakit jenuh sekali tidak
bisa beraktivitas.
Aku
dan andi menuju temapat administrasi, ketika mau membayar ternyata petugas
bilang sudah dibayar. Aku dan andi sempat kaget, siapakah orang baik itu yang
mau membayar biaya rumah sakit. Ketika aku bertanya siapa yang membayar,
petugas itu hanya bilang “ Kami tidak bisa memberitahukannya karena ini
menyangkut privasi.”
Ketika
sampai dilobi, Dini dan Wati salah satu pegawai dipercetakanku datang ingin
menjenguk.
“
Kak dimas, bagaimana keadaannya. Kok, sudah berkemas apa sudah mau pulang,”
ujar Dini.
“
Alhamdulilah kakak sudah tidak apa-apa,” jawabku.
Aku
lihat ada gurat kecewa dari wajah dini, tetapi entahlah apa maksudnya. Andi yang
berada disampingku berkata, “ yaudah, kita pulang bareng aja.”
Setelah
barangku dimasukan kemobil, tiba-tiba Dini berkata.
“
Kak dimas, bisa bicara berdua saja.”
“
Emang ada apa toh, Din. Kok pakai berduaan segala,” jawabku.
“
sebentar saja kok, Kak. Kalau begitu kutunggu ditaman rumah sakit.” Kulihat wajah
polosnya, masih saja sama seperti pertama aku mengenalnya. Gadis yatim piatu
yang tinggal dipanti asuhan, saat itu dia minta sumbungan ketempat percetakanku.
Entah apa yang mendorong aku untuk mengangkat dia sebagai pegawai ditempat
kerjaku ini.
Tetapi
itulah takdir, daripada harus meminta sumbangan otomatis jika dia bekerja dia
bisa membantu para penghuni panti asuhan.
Apa
yang dibicarakan gadis itu, sebegitu pentingkah hingga harus bicara berduaan.
Bersambung….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar