Pagi Baru
Oleh
: Yanuari Purnawan
Seharusnya
aku bisa melupakan semua itu. Menjadi diri yang baru, tanpa terusik oleh bayang
masa lalu. Berkali-kali mencoba, tetapi masih saja sama. Kupandang layar
ponsel, sebuah pesan darinya. Membuat pikiran tersita sementara. Sebagai humas
di biro perjalanan haji dan umroh. Aku tak ingin masalah pribadi tersebut membuat
pekerjaan terganggu. Aisyah, seharusnya mengerti akan kondisi ini. Atau aku
sebagai lelaki yang tidak tegas mengambil keputusan.
“Permisi
… Pak!”
“Iya
… ada apa Rudi?” tanyaku sedikit gugup dan membuyarkan lamunan tentang Aisyah
dan masa lalu.
“Ada
seseorang yang mau bertanya tentang biro perjalanan haji dan umroh kita,” jawab
Rudi yang merupakan salah satu staf karyawan di biro travel ini.
“Suruh
dia datang ke ruang kerjaku.”
“Baik,
Pak!”
Setelah beberapa menit menunggu. Ada suara
ketukan pintu dan salam dari luar. Sepertinya suara perempuan.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, silahkan masuk!” jawabku
ramah. Terdengar suara ganggang pintu ditarik. Deg! Jantungku seolah berhenti
berdegup. Aku masih tak percaya dengan sosok perempuan yang ada dihadapanku.
“Siska
…!” teriakku kaget.
“Ridwan
…!” jawabnya tak kalah kaget denganku. Sungguh ini benar-benar kebetulan atau
hanya sekedar mimpi. Bukan, ini bukan mimpi! Tetapi, ini kenyataan. Dia kembali
lagi dan ada dihadapanku sekarang. Beberapa saat kami terpaku dangan pikiran
masing-masing.
“Tidak
menyangka kita bisa ketemu lagi disini. Oh ya … bagaimana kabarnya?” sapanya
memecah kebisuan diantara kami.
“Iya
… Alhamdulillah baik,” ucapku sedikit
grogi.
“Senang
bertemu kamu kembali.” Senyum mengembang dari bibir Siska. Perkataannya seolah
mengingatkanku pada kenangan masa lalu itu. Aku hanya bisa membalas dengan
senyuman.
“Kamu
sudah menikah lagi?” tanyanya, seketika membuat bibirku keluh untuk menjawab
apa. Hanya gelengan yang mampu kulakukan, sambil menyerahkan brosur travel haji dan umroh.
“Silahkan
dipilih paket mana yang sesuai keinginanmu?” ucapku tanpa mampu mampu memandang
wajahnya.
“Kalau
paket bulan madu, ada tidak?” Pertanyaan Siska tersebut membuatku mendongakkan
kepala menatapnya.
“Tak,
perlu kaget begitu. Aku sudah menikah lagi.” lanjutnya sambil menunjukan cincin
pernikahan di jari manis kirinya.
“Jadi
…!”
“Sejak
aku bercerai dengan Ridwan. Banyak hal yang tak pernah kuketahui sebelumnya.
Hingga pada suatu hari, ada seorang pria yang menawarkan tangannya untuk
menuntunku menuju jalan-Nya,” terang Siska dengan binar wajah yang bahagia.
“Emm
… kayaknya kamu sudah menemukan kebahagiaan sekarang!” ucapku menanggapi
perkataannya.
“Semuanya
juga berkat kamu.” Siska tersenyum, wajah putihnya bersemu merah.
“Maksudmu?”
“Semenjak
kita memutuskan berpisah tahun lalu dan harus menjadi janda. Sungguh, sulit
bagiku untuk bangkit lagi. Berbulan-bulan dalam keterpurukan. Hingga, sepupu mengajakku
ke pengajian di kampusnya. Dari acara tersebut, aku memahami bahwa hidup harus
berjalan terus. Lagi-lagi aku bersyukur lewat pengajian tersebut pula. Akhirnya,
bisa menemukan jodohku yang saat ini,” terang Siska. Kulihat air mata menetes
mambasahi pipi putih itu. Dengan ujung jilbab, dia menyekanya.
“Lalu
… apa hubungannya denganku yang merupakan mantan suamimu?” kejarku penasaran.
Siska hanya tersenyum lalu mengalih pandangan ke arah jendela.
“Seandainya
aku tak pernah mengenalmu. Mungkin, aku tak akan pernah belajar dari kegagalan
di masa lalu. Aku bersyukur atas jalan yang berliku ini. Bukankah kegagalan
kemarin, belum tentu kegagalan esok. Dengan tetap bangkit lalu bergerak maju,
insyaAllah kebahagian itu akan terwujud.”
Entah
mengapa keterangan Siska membuat hati ini sedikit terbuka. Aku tidak boleh
takut akan masa lalu yang pernah gagal. Tetapi, seharusnya aku takut, jika
masih berkutat dengan bayang masa lalu.
“Oke!
Aku pilih paket ini saja. Harganya lumayan dan waktunya juga cukup untuk bulan
madu,” pilihnya untuk travel umroh
sekaligus bulan madu seperti yang dia katakan.
“Ternyata
kamu sudah lebih dewasa dari yang kukenal dulu,” pujiku sambil menatapnya
sebentar.
“Setiap
manusia memiliki fase untuk berbenah dan belajar. Bukankah hari selalu
menawarkan pagi baru. Mengapa kita sebagai manusia tidak?” jelasnya dengan
tersenyum ramah lalu bergegas meninggalkan ruanganku. Sebelum keluar, dia
sempat berkata.
“Ridwan,
semangat untuk bangkit dan kutunggu undangan pernikahanmu.” Aku hanya
menanggapinya dengan tersenyum.
Setelah
Siska keluar dari ruanganku. Buru-buru kuambil ponsel untuk mengirim pesan. Aku
harus menyelesaikan masalah dengan gadis yang tak kalah cantik dan soleha dari
Siska. Sudah berapa bulan ini aku menggantungkan perasaannya. Secepatnya atau
tidak sama sekali. Sebuah pesan singkat terkirim ke nomor ponsel Aisyah.
Selesai
Masih banyak kalimat rancu, Bro. Tapi kalau terus menulis, lama2 pasti bagus sendiri.
BalasHapusMasih banyak kalimat rancu, Bro. Tapi kalau terus menulis, lama2 pasti bagus sendiri.
BalasHapusThanks, Kak! Tetap semangat apalagi dapat masukkan dari kak Nay.
Hapus