Jumat, 24 November 2017

Kini Selamanya

Kini Selamanya
Oleh : Yanuari Purnawan

“Tuhan tidak adil, mengapa Dia berikan semua ini kepadaku. Aku ingin seperti mereka menikmati masa muda, bebas, gaul dan jalan-jalan bersama teman-teman sebaya. Ah! Ini cuma mimpi dan mimpi belaka,” gumam seorang pemuda kurus sambil mengamati sekitar di luar jendela kamar. Ada perasaan iri dan cemburu di dalam hatinya.

“Sayang, ada apa kok melamun sendiri di kamar?” Sebuah tepukan lembut dari seorang wanita di pundaknya membuat lamunan itu hilang walau masih menyisahkan luka di hati.
“Ibu … tidak ada apa-apa kok!” Tatapan itu membuat dia tidak bisa bohong kepada wanita yang telah melahirkannya.
“Panji, jangan bohong sama ibu! Ibu mengerti kamu sedang menyimpan sesuatu di dalam hati.”
“Bu, Tuhan itu tidak adilnya! Seharusnya panji sekarang bisa sekolah, main dan berprestasi. Bukan seperti ini menjadi benalu,” jawab Panji, pemuda berusia tujuh belas tahun itu yang sudah harus menerima kenyataan pahit dalam hidupnya.
“Sayang, ingat Tuhan memberi kita ujian bukan karena tidak sayang kepada hamba-Nya. Semua itu semata untuk meningkatkan derajat hamba-Nya yang tetap sabar, bangkit dan bersyukur. Ibu yakin Panji bisa berprestasi mungkin bukan saat ini tetapi percaya esok ada hari indah yang telah disiapkan oleh-Nya untuk Panji.” Nasehat dari ibunya mampu membuat bulir hangat luruh membasahi pipi Panji. Dipeluk wanita yang selama beberapa bulan belakangan berjuang sendiri untuk menghidupi anaknya sebagai buruh cuci.

Semangat Panji mulai membara untuk menyambung hidupnya kembali. Kalimat yang keluar dari bibir ibunya ibarat mantra sakti untuk membuka mata hatinya. Kini, Panji mulai menata ulang langkah hidupnya, dia tidak mau terus-terusan menjadi benalu terutama bagi wanita yang banyak berkorban untuknya.

Di ambilnya sebuah krek sebagai pengganti kaki kanan yang sudah diamputasi akibat kecelakaan. Dan peristiwa kelam tersebut juga harus meninggal luka yang begitu dalam bagi keluarga tersebut. Ayah yang menjadi tulang punggung harus meninggalkan mereka untuk selamanya. Berat, apalagi Panji juga harus meneruskan ke perguruan tinggi. Tetapi nasib berkata lain, dia harus merelakan impiannya untuk bisa menyandang status mahasiswa.

Dengan berjalan tertatih, dia menuju mushalla dekat rumahnya. Di tempat tersebut, dia curahkan apa yang terpendam di hatinya.
Ya … Allah, hamba percaya tidak ada ujian yang Kau beri di luar batas kemampuannya hamba-Mu. Maka berkahi dan kuatkan setiap langkah hamba menuju kebaikan yang telah Kau gariskan.”

Episode baru telah dimulai, binar semangat telah mengisi ke dalam sorot matanya. Panji, tak ingin terpuruk lagi. Bangkit adalah jalan yang harus dia tempuh kini.
“Apa yang ingin kamu lakukan, Nak?” tanya ibunya penuh kecemasan.
“Ibu, tenang saja. Alhamdulilah, Panji dapat kerja,” jawab Panji begitu semangat untuk memulai hari pertama kerja.
Alhamdulilah, memang kerja apa, Nak?”
“Pak Budi menyuruhku menjaga warnet, kebetulan beliau butuh orang yang mengerti tentang dunia komputer.” Mata itu lagi-lagi menunjukan jiwa pemuda yang penuh optimisme.

Warnet tempat kerjanya tak jauh dari rumah, sehingga dia bisa berangkat dengan berjalan. Masih ada sebersit rasa khawatir yang hinggap dari wanita tua itu melihat anaknya harus berjalan kaki sejauh satu kilometer menggunakan krek. Mungkin bagi manusia normal jarak tersebut tidak menjadi masalah, tetapi bagi sosok Panji mungkin butuh tenaga ekstra agar sampai dengan selamat.

Panji bekerja dengan ulet dan cekatan walau dalam keterbatasan. Membuat sosoknya menjadi kesayangan Pak Budi selaku bosnya. Hal yang membuatnya lebih di mata Pak Budi, pria berusia tiga puluhan tersebut adalah Panji tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Setiap azan berkumandang dia selalu bergegas untuk memenuhi panggilan-Nya, tanpa beban sama sekali. Sangat kontras dengan remaja saat ini yang lebih memilih hang out di kafe, main game online hingga lupa waktu dan kencan sama pacar yang belum halal.

Panji sekaligus memanfaat kerjanya dengan menggunakan fasilitas yang ada dengan maksimal. Disela pekerjaan menjaga internet, dia juga belajar menjadi reseller bisnis online dengan membuat blog. Pak Budi yang mengetahui hal tersebut memberi restu malah menyuruhnya untuk memasarkan tempat warnetnya.

Sehari, seminggu hingga satu bulan bisnis online Panji ternyata tak berjalan sesuai harapan. Komentar sinis kembali terlontar kepada pemuda cacat tersebut.
“Mimpi mau sukses, jalan saja susah.” Begitulah ocehan orang sekitar melihat kegigihan Panji untuk meraih mimpinya. Panji hanya mampu tersenyum menanggapi komentar sinis tersebut. Dia percaya suatu saat dia akan berhasil.

“Bu, memang orang cacat kayak Panji tidak layak untuk sukses?” tanya Panji sambil rebahan diatas paha ibunya. Dengan lembut ibunya membelai rambut anak semata wayang tersebut.
“Panji masih muda, kuat dan cerdas, jadi tidak ada alasan untuk sukses. Walaupun kondisi Panji tak sempurna. Ingat pesan, Ibu. Sesungguhnya kecacatan sejati itu jika dia punya hati, mata, tangan dan kaki yang sempurna tetapi tidak digunakan untuk mengagungkan asma-Nya.” Kembali energi positif menjalar ke dalam jiwa mudanya.

Langkah itu semakin pasti walau cibiran kerap terlontar dari mulut orang yang tak suka dengannya. Baginya, keterbatasan dan masa muda adalah dua hal yang berbeda tetapi bisa saling mengikat. Panji masih semangat bekerja menjaga warnet. Warnetnya semakin hari semakin ramai hingga Pak Budi akan membuka cabang baru. Dan yang dipercaya untuk mengelolanya adalah panji.

Mendengar kabar itu, pemuda tujuh belas tahun tersebut bersyukur akan amanah barunya. Dia berjanji akan bekerja secara optimal. Remaja seusianya, biasa masih menengadahkan tangan meminta uang kepada orang tuanya. Beda dengan remaja bernama Panji, sekarang dia menyuruh ibunya berhneti jadi buruh cuci. Karena uang yang diperoleh dari hasil kerja sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Bukan hanya itu, remaja yang selalu rajin shalat berjamaah di masjid tersebut mendapat apresiasi dalam bisnis onlinenya. Beberapa hasil dagangan yang dipromosikan lewat internet tersebut laris manis di pasaran. Ada beberapa perusahaan yang menawarkan kerja sama untuk pemasaran produknya.

Ternyata, pencapaian Panji tidak lantas membuatnya besar kepala. Dari penghasilannya, dia sisihkan untuk membantu para penyandang cacat agar mampu bersaing dan bekarya.

“Nak, jangan terlena dengan nikmat ini. Semua hanya titipan, bersyukur dan berbagi itu adalah cara aman untuk menjaganya.” Sebuah nasehat seorang ibu kepada anaknya yang masih remaja dan belajar tumbuh menjadi dewasa.

Kini dan selamanya, remaja cacat tersebut telah membuktikan. Keterbatasan bukan halangan, apalagi diusia yang masih muda. Usia yang gemilang untuk bekarya dan berprestasi. Bukan mengeluh dan bergalau ria terhadap nasib. Gunakan masa mudamu sebelum masa tuamu.


Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar