Selasa, 30 Agustus 2016

Ini Budi

Ini Budi
Oleh : Yanuari Purnawan


Seribu, dua ribu, tiga ribu, alhamdulilah uang lima belas ribu terkumpul hari ini. Di masukannya ke dalam kaleng bekas susu formula. Uang lecek itu, dia kumpulkan demi menyambung hidup dan mewujudkan mimpi. Bocah ingusan itu harus menikmati masa anak-anaknya dengan berjuang di jalanan ibukota yang terkenal kejam.

Panggil dia, Budi Akbar. Nama yang begitu mengagumkan untuk anak yang tinggal di bantaran sungai Ciliwung itu. Bercita-cita menjadi sarjana adalah impiannya. Terpendam di lubuk hatinya, mungkin ini hanya mimpi semata. Mengulik kehidupannya, masih jauh dari kata cukup. Untuk makan sehari-hari saja begitu sulit, apalagi harus sekolah tinggi.

Murid sekolah dasar, lebih tepatnya sekolah darurat ini selalu berusaha keras untuk mewujudkan mimpinya. Setiap hari sepulang sekolah dia membantu bapak angkatnya untuk bekerja menjadi pedagang asongan. Tubuh mungilnya kerap kali menjadi santapan kekejaman ibukota. Kejar-kejaran dengan Satpol PP mungkin sudah tak asing baginya.

Bocah sebelas tahun ini harus menerima kenyataan pahit akan jalan hidupnya. Sejak lahir tak pernah kenal siapa orang tua kandungnya. Karena dia, bayi yang dibuang orang tuanya di pinggiran sungai. Lantas pak Amir, pria tua yang di tinggal mati istri dan anaknya, menemukan bayi malang tersebut. Dengan hati ikhlas dan rasa sayang, pak Amir mengangkat bayi itu sebagai anak angkat.

Nama Budi Akbar, diberikan pak Amir agar kelak bayi itu bisa menjadi orang besar dan berbudi luhur. Tetapi, apalah arti sebuah nama, jika kenyataannya berbanding terbalik. Bapak tua ini yang setiap hari bekerja menjadi pemulung dan pedagang asongan, tak mungkin bisa membiayai sekolah anak angkatnya tersebut.

“Sudahlah, Nak. Berhenti untuk sekolah lagi. Biaya sekolah itu mahal, yang penting Budi sudah bisa membaca dan menulis sudah cukup,” ucap pak Amir menasehati Budi yang bersikeras mau melanjutkan sekolah SMP.

“Tetapi, Pak. Budi ingin jadi sarjana. Kata Bu Guru, jika ingin menjadi sarjana harus Sekolah SMP dulu,” jawab Budi sambil membaca buku usang pemberian donatur sekolah darurat dan di temani temaram lampu petromak, hingga kadang membuat lubang hidungnya hitam.

Langkah kecil itu tak pernah berhenti untuk bisa melanjutkan sekolah SMP. Dia begitu semangat mengejar mimpinya. Walau kerap kali banyak teman sebayanya meremehkan dan menertawakan mimpi tersebut. Sudah jamak, anak bantaran sungai Ciliwung hanya lulusan sekolah darurat. Mereka lebih memilih menjadi pengamen atau pemulung. Karena faktor ekonomi, mereka menyerah dan tak mau bermimpi terlalu tinggi.

Ini Budi, bocah yang beda dengan lainnya. Memiliki semangat dan tekad yang kuat untuk mewujudkan mimpinya. Setiap pulang sekolah berjualan keliling dan malam hari belajar dengan tekun. Tak jarang air matanya menetes, melihat anak-anak berseragam biru putih keluar dari gedung bernama SMP itu. Ada sebersit doa di dalam hatinya bahwa dia pasti bisa sekolah di gedung itu.

Dengan rasa ikhlas, Budi mengambil uang hasil kerja kerasnya selama ini di dalam kaleng bekas susu formula. Ini saatnya dia harus menitih langkah baru untuk mewujudkan mimpinya. Terkumpul uang tiga ratus empat puluh lima ribu, uang itu dia gunakan untuk daftar masuk SMP.

Dialah satu-satunya anak bantaran sungai Ciliwung yang mendaftar SMP. Semua mata tertuju kepada Budi. Penampilannya begitu lusuh dengan seragam merah putih yang kusam ditambah lagi sepatu butut yang bolong hingga terlihat ibu jari yang berbalut kaos kaki dekil. Tetapi semua itu tak di hiraukannya. Bagi dia mimpinya begitu besar dibanding dengan harus menanggapi pandangan sinis orang lain.

Serangkaian tes dia ikuti, dari tes tulis hingga wawancara. Alhamdulilah di lalui dengan baik tanpa hambatan berarti. Walau anak miskin, masalah kepintaran Budi bisa di adu dengan anak orang kaya yang beruntung nasibnya.

Hasil penerimaan siswa baru akan diumumkan. Dengan harap-harap cemas, Budi menunggu sambil berdoa, berharap dia lolos seleksi. Jantungnya berdetak cepat, tak ada nama Budi Akbar terpampang di papan pengumuman. Matanya basah, dia merasa gagal dan mimpinya tak akan pernah terwujud lagi.

Seluruh peserta siswa baru, disuruh berkumpul di lapangan. Bapak kepala sekolah akan memberi pengumuman penting. Dengan bangga dan tegas, Bapak kepala sekolah menyampaikan bahwa Budi Akbar sebagai peserta siswa baru dengan nilai tertinggi dan berhak mendapatkan beasiswa. Mendengar pengumuman tersebut, Budi sujud syukur, menangis haru dan bangga. Sebersit doa dia ucap “Alhamdulilah … ya Allah atas segala nikmat yang telah Engkau beri. Hamba percaya Engkau tak pernah tidur untuk melihat hamba-Mu yang senantiasa bermunajat.”

Ini Budi, anak bantaran sungai Ciliwung yang bermimpi menjadi sarjana. Berat memang untuk mewujudkannya. Tetapi, tidak ada yang tidak mungkin, selalu ada jalan jika kita mau berusaha dan berdoa.

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar