Ini Budi
Oleh
: Yanuari Purnawan
Seribu,
dua ribu, tiga ribu, alhamdulilah
uang lima belas ribu terkumpul hari ini. Di masukannya ke dalam kaleng bekas
susu formula. Uang lecek itu, dia
kumpulkan demi menyambung hidup dan mewujudkan mimpi. Bocah ingusan itu harus
menikmati masa anak-anaknya dengan berjuang di jalanan ibukota yang terkenal
kejam.
Panggil
dia, Budi Akbar. Nama yang begitu mengagumkan untuk anak yang tinggal di
bantaran sungai Ciliwung itu. Bercita-cita menjadi sarjana adalah impiannya.
Terpendam di lubuk hatinya, mungkin ini hanya mimpi semata. Mengulik
kehidupannya, masih jauh dari kata cukup. Untuk makan sehari-hari saja begitu
sulit, apalagi harus sekolah tinggi.
Murid
sekolah dasar, lebih tepatnya sekolah darurat ini selalu berusaha keras untuk
mewujudkan mimpinya. Setiap hari sepulang sekolah dia membantu bapak angkatnya
untuk bekerja menjadi pedagang asongan. Tubuh mungilnya kerap kali menjadi
santapan kekejaman ibukota. Kejar-kejaran dengan Satpol PP mungkin sudah tak asing baginya.
Bocah
sebelas tahun ini harus menerima kenyataan pahit akan jalan hidupnya. Sejak
lahir tak pernah kenal siapa orang tua kandungnya. Karena dia, bayi yang
dibuang orang tuanya di pinggiran sungai. Lantas pak Amir, pria tua yang di
tinggal mati istri dan anaknya, menemukan bayi malang tersebut. Dengan hati
ikhlas dan rasa sayang, pak Amir mengangkat bayi itu sebagai anak angkat.
Nama
Budi Akbar, diberikan pak Amir agar kelak bayi itu bisa menjadi orang besar dan
berbudi luhur. Tetapi, apalah arti sebuah nama, jika kenyataannya berbanding
terbalik. Bapak tua ini yang setiap hari bekerja menjadi pemulung dan pedagang
asongan, tak mungkin bisa membiayai sekolah anak angkatnya tersebut.
“Sudahlah,
Nak. Berhenti untuk sekolah lagi. Biaya sekolah itu mahal, yang penting Budi
sudah bisa membaca dan menulis sudah cukup,” ucap pak Amir menasehati Budi yang
bersikeras mau melanjutkan sekolah SMP.
“Tetapi,
Pak. Budi ingin jadi sarjana. Kata Bu Guru, jika ingin menjadi sarjana harus
Sekolah SMP dulu,” jawab Budi sambil membaca buku usang pemberian donatur sekolah darurat dan di temani
temaram lampu petromak, hingga kadang membuat lubang hidungnya hitam.
Langkah
kecil itu tak pernah berhenti untuk bisa melanjutkan sekolah SMP. Dia begitu
semangat mengejar mimpinya. Walau kerap kali banyak teman sebayanya meremehkan
dan menertawakan mimpi tersebut. Sudah jamak, anak bantaran sungai Ciliwung
hanya lulusan sekolah darurat. Mereka lebih memilih menjadi pengamen atau
pemulung. Karena faktor ekonomi, mereka menyerah dan tak mau bermimpi terlalu
tinggi.
Ini
Budi, bocah yang beda dengan lainnya. Memiliki semangat dan tekad yang kuat
untuk mewujudkan mimpinya. Setiap pulang sekolah berjualan keliling dan malam
hari belajar dengan tekun. Tak jarang air matanya menetes, melihat anak-anak
berseragam biru putih keluar dari gedung bernama SMP itu. Ada sebersit doa di
dalam hatinya bahwa dia pasti bisa sekolah di gedung itu.
Dengan
rasa ikhlas, Budi mengambil uang hasil kerja kerasnya selama ini di dalam
kaleng bekas susu formula. Ini
saatnya dia harus menitih langkah baru untuk mewujudkan mimpinya. Terkumpul
uang tiga ratus empat puluh lima ribu, uang itu dia gunakan untuk daftar masuk
SMP.
Dialah
satu-satunya anak bantaran sungai Ciliwung yang mendaftar SMP. Semua mata
tertuju kepada Budi. Penampilannya begitu lusuh dengan seragam merah putih yang
kusam ditambah lagi sepatu butut yang bolong hingga terlihat ibu jari yang
berbalut kaos kaki dekil. Tetapi semua itu tak di hiraukannya. Bagi dia
mimpinya begitu besar dibanding dengan harus menanggapi pandangan sinis orang
lain.
Serangkaian
tes dia ikuti, dari tes tulis hingga wawancara. Alhamdulilah di lalui dengan baik tanpa hambatan berarti. Walau
anak miskin, masalah kepintaran Budi bisa di adu dengan anak orang kaya yang
beruntung nasibnya.
Hasil
penerimaan siswa baru akan diumumkan. Dengan harap-harap cemas, Budi menunggu
sambil berdoa, berharap dia lolos seleksi. Jantungnya berdetak cepat, tak ada
nama Budi Akbar terpampang di papan pengumuman. Matanya basah, dia merasa gagal
dan mimpinya tak akan pernah terwujud lagi.
Seluruh
peserta siswa baru, disuruh berkumpul di lapangan. Bapak kepala sekolah akan memberi
pengumuman penting. Dengan bangga dan tegas, Bapak kepala sekolah menyampaikan
bahwa Budi Akbar sebagai peserta siswa baru dengan nilai tertinggi dan berhak
mendapatkan beasiswa. Mendengar pengumuman tersebut, Budi sujud syukur, menangis
haru dan bangga. Sebersit doa dia ucap “Alhamdulilah
… ya Allah atas segala nikmat yang telah Engkau beri. Hamba percaya Engkau tak
pernah tidur untuk melihat hamba-Mu yang senantiasa bermunajat.”
Ini
Budi, anak bantaran sungai Ciliwung yang bermimpi menjadi sarjana. Berat memang
untuk mewujudkannya. Tetapi, tidak ada yang tidak mungkin, selalu ada jalan
jika kita mau berusaha dan berdoa.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar