By: Yanuari Purnawan
Ibu jahat! Apa salahnya
jika aku ingin menikahi gadis itu. Gadis yang ku kenal tiga bulan yang lalu
saat acara pelatihan rohis untuk anak SMA. Gadis yang menginspirasi, dengan kekurangannya
mampu melafalkan ayat-ayat suci Al-qur’an dengan indah dan merdu. Aku tersihir
akan pesona dan kesejukan akhlaknya.
“Hanna.” Saat kami
berkenalan, selesai acara tersebut.
“Robi,” jawabku
malu-malu. Entah mengapa ada getaran halus bergelayut di hati.
Hanna, seorang guru di
TPQ yang bersahaja dengan hijab panjangnya itu, telah berhasil menjajah hatiku.
Ya … Rabb, aku tidak
mampu menahan gejolak ini, semoga Engkau tuntun hamba menuju jalan yang Engkau
ridhoi.
***
Airmataku
tidak bisa terbendung lagi. Ibu tidak setuju dengan keputusanku menikahi Hanna.
Baginya, Hanna hanya gadis kampungan, sampah yang di bungkus kantong hitam lalu
di buang ke selokan. Dan satu hal yang membuat hatiku teriris, ibu tidak suka
dengannya karena akan menjadi benalu bagiku ke depan.
“Ibu,
aku mohon,” pintaku.
“Sudah
Ibu katakan, Ibu tidak akan pernah setuju kamu menikahi Hanna,” jawab ibu
dengan emosi.
“Apa
karena dia tidak sama dengan gadis lainnya?”
Dengan
menghela nafas panjang dan mencoba mengatur emosinya, ibu berkata.
“Dengar ibu, kamu harus berpikir jernih jangan hanya nafsu semata. Ini ibu lakukan demi
masa depanmu kelak.”
Kulihat
airmata ibu menetes, aku tidak sanggup untuk memaksanya lagi, aku yakin pasti
ada jalan terbaik untuk hubunganku dengan Hanna.
***
“Hanna,
mau tidak menikah dengan Mas,” tanyaku kepada Hanna di sebuah rumah makan
sederhana dekat dia mengajar.
“Asal
orangtua Mas setuju, Hanna mau,” jawabnya sambil menunduk.
“Apa
Mas yakin ingin menikahiku? Mas pasti mengerti aku beda dengan gadis lainnya,”
tanyanya sambil memandang ke arahku.
“Mas
yakin, tetapi Ibu belum bisa menerimanya,” jawabku dengan menahan untuk tidak
menangis.
“Aku
mengerti itu Mas, berat untuk menerima gadis sepertiku dan aku tidak mau menikah
hanya karena belas kasihan orang lain.” Kulihat airmata membasahi pipinya.
Dengan
bantuan tongkat sebagai penuntun langkahnya, dia pergi meninggalkanku.
Kupandang punggungnya dan lirih berkata, “Hanna aku mencintaimu.”
Dari
kaca rumah makan, kulihat mobil berkecepatan tinggi menabrak seorang gadis.
“Hanna?!”
teriakku.
Wajah
itu pucat dan darah keluar membasahi jilbab hitamnya. Tubuh terbujur tidak
berdaya, bagai mimpi. Aku hanya diam, terpaku melihatnya.
Airmata
mengiringi kepergian dia untuk selamanya. Hanna, aku masih ingat apa yang kau ucapkan
terakhir kali itu.
“Hanna
memang buta Mas, tetapi hati ini tidak pernah buta. Mungkin bagi banyak orang
hidup kami gelap, tetapi dengan menghafal kalam-Nya kami punya cahaya yang
menuntun langkah ini. Sesungguhnya kebutaan yang sejati, jika dia di beri
nikmat melihat tetapi tidak digunakan untuk mengagumi dan mensyukuri keagungan-Nya
dan lebih parah lagi, mata hatinya juga ikut buta karena nafsu duniawi semata.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar