Rabu, 29 Juni 2016

Bukan Roman Picisan

By: Yanuari Purnawan

Ibu jahat! Apa salahnya jika aku ingin menikahi gadis itu. Gadis yang ku kenal tiga bulan yang lalu saat acara pelatihan rohis untuk anak SMA. Gadis yang menginspirasi, dengan kekurangannya mampu melafalkan ayat-ayat suci Al-qur’an dengan indah dan merdu. Aku tersihir akan pesona dan kesejukan akhlaknya.

“Hanna.” Saat kami berkenalan, selesai acara tersebut.

“Robi,” jawabku malu-malu. Entah mengapa ada getaran halus bergelayut di hati.

Hanna, seorang guru di TPQ yang bersahaja dengan hijab panjangnya itu, telah berhasil menjajah hatiku.

Ya … Rabb, aku tidak mampu menahan gejolak ini, semoga Engkau tuntun hamba menuju jalan yang Engkau ridhoi.
***
Airmataku tidak bisa terbendung lagi. Ibu tidak setuju dengan keputusanku menikahi Hanna. Baginya, Hanna hanya gadis kampungan, sampah yang di bungkus kantong hitam lalu di buang ke selokan. Dan satu hal yang membuat hatiku teriris, ibu tidak suka dengannya karena akan menjadi benalu bagiku ke depan.

“Ibu, aku mohon,” pintaku.

“Sudah Ibu katakan, Ibu tidak akan pernah setuju kamu menikahi Hanna,” jawab ibu dengan emosi.

“Apa karena dia tidak sama dengan gadis lainnya?”

Dengan menghela nafas panjang dan mencoba mengatur emosinya, ibu berkata.

“Dengar ibu, kamu harus berpikir jernih jangan hanya nafsu semata. Ini ibu lakukan demi masa depanmu kelak.”

Kulihat airmata ibu menetes, aku tidak sanggup untuk memaksanya lagi, aku yakin pasti ada jalan terbaik untuk hubunganku dengan Hanna.
***
“Hanna, mau tidak menikah dengan Mas,” tanyaku kepada Hanna di sebuah rumah makan sederhana dekat dia mengajar.

“Asal orangtua Mas setuju, Hanna mau,” jawabnya sambil menunduk.

“Apa Mas yakin ingin menikahiku? Mas pasti mengerti aku beda dengan gadis lainnya,” tanyanya sambil memandang ke arahku.

“Mas yakin, tetapi Ibu belum bisa menerimanya,” jawabku dengan menahan untuk tidak menangis.

“Aku mengerti itu Mas, berat untuk menerima gadis sepertiku dan aku tidak mau menikah hanya karena belas kasihan orang lain.” Kulihat airmata membasahi pipinya.

Dengan bantuan tongkat sebagai penuntun langkahnya, dia pergi meninggalkanku. Kupandang punggungnya dan lirih berkata, “Hanna aku mencintaimu.”

Dari kaca rumah makan, kulihat mobil berkecepatan tinggi menabrak seorang gadis.

“Hanna?!” teriakku.

Wajah itu pucat dan darah keluar membasahi jilbab hitamnya. Tubuh terbujur tidak berdaya, bagai mimpi. Aku hanya diam, terpaku melihatnya.
Airmata mengiringi kepergian dia untuk selamanya. Hanna, aku masih ingat apa yang kau ucapkan terakhir kali itu.

“Hanna memang buta Mas, tetapi hati ini tidak pernah buta. Mungkin bagi banyak orang hidup kami gelap, tetapi dengan menghafal kalam-Nya kami punya cahaya yang menuntun langkah ini. Sesungguhnya kebutaan yang sejati, jika dia di beri nikmat melihat tetapi tidak digunakan untuk mengagumi dan mensyukuri keagungan-Nya dan lebih parah lagi, mata hatinya juga ikut buta karena nafsu duniawi semata.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar