Kamis, 17 Maret 2016

Maafkan Aku, Karin!

Maafkan Aku, Karin!
Yanuari Purnawan



Saat kau mencintai sesuatu pasti ada rasa ingin dan terus berada di dekatnya. Seperti halnya pepatah jawa ‘Tresno jalaran soko kulino’ yang artinya cinta hadir karena terbiasa bertemu. Begitupun yang sedang terjadi kepadaku. Gara-gara sering belajar bersama, bahkan satu tim untuk mewakili sekolah dalam olimpiade fisika. Membuat diri ini dalam dilema akan pesona gadis bermata bening dengan senyum manisnya. Karina Devi Mayangsari, gadis itulah yang kini berhasil mencuri mimpi-mimpi dalam tidurku.
“Kak …!” Mata itu tepat menatapku yang duduk di depannya. “Hayo, melamunin apa?” candanya sambil tersenyum manis. Hampir saja aku hilang fokus dan salah tingkah. Gadis yang sedang kupikirkan, kini tepat berada di depanku.
“Nggak melamun kok! Kakak cuma lagi mengingat-ingat rumus untuk soal ini,” elakku sambil membuka soal-soal latihan untuk olimpiade fisika. Karin memajukan bibirnya membentuk huruf ‘O’ seolah tak percaya dengan ucapanku barusan. Aku pun kembali tertunduk dan fokus kepada soal-soal. Mendadak suasana menjadi hening dan canggung.
Entah apa yang mendorongku untuk curi-curi pandang ke arahnya. Hingga seperkian detik mata kita beradu. Ces … seperti ada desiran halus menyusup ke dalam hati. Karin tersipu dan sekilas pipinya merona merah. Aku pun merasakan hal yang sama, gugup dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Untuk memecah kecanggungan diantara kita, akhirnya spontan Karin bertanya soal yang entah dia tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti.
“Kak, apa sih maksud soal ini?” tanyanya sambil menyodorkan kertas berisi soal fisika. Kubaca dengan seksama walau masih ada rasa tak menentu di hati.
“Ini tentang tumbukan. Jadi, benda yang mengalami tumbukan dengan massa yang sama akan memantul dengan gaya yang sama pula seperti benda yang menumbuknya. Atau bisa disebut dengan momentum.”
Karin manggut-manggut mendengar penjelasanku barusan. Secara refleks mata kita pun beradu kembali. Kucoba menetralisir perasaan dan mencoba membuka pembicaraan yang lebih serius dengannya.
“Apa kamu pernah merasakan momentum itu?”
Mata beningnya mengerjap memandangku lekat, “Maksud kakak?”
Lidahku mendadak keluh dan tenggorokan terasa menelan duri. Sekuat tenaga kukumpulkan keberanian untuk menjelaskan perasaan ini.
“Apakah Karin merasakan seperti ada tumbukan di hati saat bersama kakak?”
Benar-benar pertanyaan konyol. Sungguh jika aku mampu, aku ingin segera berlari dan meninggalkan tempat ini sejauh-jauhnya. Namun, aku masih kaku untuk menunggu respon dari gadis berjilbab putih di depanku. Aku menunduk sambil menelan ludah. Berkali-kali pikiranku membodohi diri ini. Mana mungkin seorang Karina Devi Mayangsari memiliki rasa yang sama kepada laki-laki yang bukan siapa-siapa.
“Kurasa massa yang menumbuk hati ini sama, hingga menimbulkan gaya yang sama pula!” Senyum merekah dari bibir mungilnya, “Kita jalani saja, kan kita tidak tahu apa yang terjadi kedepannya.”
Kaki ini seakan tak berpijak, burung-burung bercicit merdu dan musim semi menumbuhkan bunga-bunga yang bermekaran. Aku tak pernah menyangka jika perasaanku berbalas indah dari gadis yang selama ini mencuri mimpi-mimpiku. Karin, kaulah yang pertama mengisi hati ini dan kuharap menjadi yang selamanya.
***
Seperti hujan yang dirindu kemarau, begitupun perasaanku kepada Karin. Semakin hari semakin subur dengan lebih intensnya hubungan kita. Dari obrolan mengenai persiapan lomba hingga obrolan tak penting, semisal tanya kabar atau sudah makan apa belum. Sungguh luar biasa virus merah jambu menyerang dua insan yang masih berseragam putih abu-abu ini.
Persiapan untuk lomba semakin intensif karena tinggal lima hari lagi. Namun, hal itu tak membuatku jenuh atau stress, sebab aku semakin dekat dengan Karin. Saat bimbingan, kita sering curi-curi pandang bahkan saling diskusi jika ada soal yang salah satu dari kita tidak mengerti. Bagiku ini sudah cukup berarti, walau dalam hati ini menolak. Ada rasa bersalah setelah itu, namun berkali-kali aku menepis bahwa kita tidak pacaran dan melakukan hal-hal yang dilarang agama.
Kedekatanku dengan Karin tercium juga oleh seniorku Kak Rahmad yang merupakan ketua Remus atau Remaja Mushalla sekolah. Memang semenjak kelas satu aku sudah ikut ekstrakulikuler dibidang keagamaan tersebut. Karena sebagai anak desa yang harus sekolah di kota, aku merasa belum cukup kuat iman ini menahan godaan-godaan yang lebih besar dibanding di tanah kelahiranku.  Maka dari itu aku membutuhkan teman-teman yang setia mengingatkanku ketika salah dalam melangkah. Salah satunya menjadi anggota Remus.
Setelah salat zuhur berjamaah, Kak Rahmad ingin bicara empat mata denganku. Mungkinkah Kak Rahmad mengetahui kedekatanku dengan Karin. Tidak mungkin, karena aku dengan Karin tak pernah macam-macam selama ini. Kita hanya dekat karena satu tim untuk mewakili sekolah dalam olimpiade fisika. Walau tidak munafik ada perasaan khusus yang menyelinap halus di dalam hati ini.
“Gimana kabar, antum?” tanya Kak Rahmad yang duduk di depanku sambil bersila. Mimik wajahnya terlihat serius namun bersahaja. Hembusan angin terasa sejuk menerpa wajah. Serambi mushalla selalu menyejukkan, mungkin karena merupakan rumah Allah.
Alhamdulillah, ana baik.”
“Ada hal penting yang ingin ana tanyakan kepada antum. Tapi, ana harap antum mau menjawabnya dengan jujur.”
Seperti ada gemuruh di dalam dada. Sorot mata tajam Kak Rahmad seolah mengintimidasiku. Aku hanya menelan ludah sambil mengangguk.
“Ada hubungan apa antum dengan Karin?”
Pertanyaan tersebut seolah bumerang  yang tepat menembus jantung. Aku bingung untuk menjawab apa. Jujur selama ini aku memang tak ada hubungan apa-apa dengan Karin. Namun, disatu sisi hubungan kita sudah seperti orang yang pacaran walau tanpa predikat kekasih.
“Kita hanya partner untuk mewakili sekolah dalam olimpiade fisika. Tak lebih dari itu!” jelasku sedikit lesu sambil menunduk. Kak Rahmad menepuk pundakku lalu mendesah panjang.
“Syukur kalau begitu. Jadi, rumor kalau antum ada hubungan khusus dengan Karin hanya fitnah belaka.”
Aku menghela napas panjang, dadaku terasa sesak karena merasa membohongi karib yang bahkan sudah kuanggap kakak sendiri tersebut. Namun, aku tak punya keberanian untuk mengakui kedekatanku dengan Karin.
Ana hanya mau mengingatkan antum bahwa sehebat-hebat fitnah dunia adalah perempuan.” Kak Rahmad diam sebentar mengambil jeda untuk menasihatiku, “Hubungan yang diridhoi Allah hanya melalui pernikahan, selain itu dosa dan mendekati zina semisal pacaran.”
Aku mengangguk dan menyetujui apa yang dijelaskan Kak Rahmad. Tanpa terasa bening hangat meluncur membasahi pipi. Sekali lagi laki-laki yang kuanggap kakak ini menepuk pundakku sebelum pergi meninggalkanku yang merasa bersalah.
“Percayalah jodoh sudah ada yang mengaturnya. Jika, memang kelak ditakdirkan bersama pasti bersatu jua. Namun, ketika usia belum mampu menghalalkannya, maka memantaskan diri menjadi lebih baik itu jauh lebih bermanfaat untuk menjemput jodoh tebaik dari-Nya kelak.”
Air mata semakin menganak sungai mendengar nasihat Kak Rahmad tersebut. Aku tak mampu menatapnya dan terdiam sambil menunduk. Ucapan salam dari Kak Rahmad pun hanya kujawab dalam hati. Aku menyesali semuanya lalu tersungkur sendiri di serambi mushalla yang sudah sepi.
***
Bersyukurlah untuk insan yang sedang jatuh cinta. Jatuh cinta kepada sang pemilik cinta tersebut, yakni Allah SWT. Sejatinya cinta itu suci, bahkan sangat sakral. Jadi, masihkah diri ini terjebak dengan kepalsuan yang mengatasnamakan cinta. Cinta dijemput dengan cara yang halal melalui pernikahan, bukan pacaran yang mengumbar hawa nafsu semata.
Aku tersungkur dan menangis dalam doa di sepertiga malam. Entah berapa lama aku lalai mengingat-Nya. Bahkan semakin jauh dari-Nya ketika rasa itu tumbuh dan mengakar begitu kuat. Secepatnya aku harus menyelesaikan masalah hati ini walau terasa sulit. Namun, aku ataupun Karin tak bisa berlarut-larut dalam cinta yang semu ini.
Hari ini adalah hari terakhir bimbingan untuk persiapan lomba. Selepas bimbangan aku mengajak Karin berbicara empat mata di perpustakaan yang sekaligus tempat bimbangan selama ini. Senyum manis terlukis dari wajahnya. Aku segera menunduk untuk menepis segala pesonanya.
“Ada apa kakak kok ingin bicara empat mata, kayaknya serius banget?” tanyanya selepas bimbingan usai. Matanya memandangku lekat. Aku mengumpulkan keberanian untuk berbicara langsung kepadanya.
“Masih ingat dengan soal momentum?”
Karin mengangguk lalu menjelaskannya, “Jika dua benda yang memiliki massa sama lalu mengalami tumbukan maka benda yang memantul memiliki gaya yang sama pula.”
“Kamu benar. Namun, aku lupa menjelaskan ada momentum tumbukan yang namanya lenting sempurna dan lenting tak sempurna.”
“Maksudnya?” Dahi Karin mengeryit penuh penasaran yang langsung memotong ucapanku.
“Maafkan aku, Karin!” Aku mengambil napas seolah udara di sekitarku membeku. Karin masih serius menunggu penjelasanku. “Seperti hubungan kita ini. Mampu tumbukan lenting sempurna melalui pernikahan. Namun, jika tak mampu sebaiknya kita saling memantaskan diri dengan belajar menjadi orang yang lebih baik lagi seperti halnya tumbukan tak lenting sempurna.”
Seperti ada kristal hangat yang tak mampu dia bendung dari kelopak matanya. Air mata itupun tumpah membasahi kedua pipinya. Aku tak mampu menatapnya lebih lanjut lagi. Hatiku bergejolak antara iba dan harus mengikhlaskan semua hanya kepada-Nya. Semoga perkataanku barusan tak menyakiti hati gadis cantik di depanku tersebut.
“Maafkan aku, Karin!”
Hanya kalimat itu yang kini keluar dari mulutku. Sungguh ingin rasanya aku tak mengenal Karina Devi Mayangsari jika waktu mampu berputar kembali ke masa lalu.
“Untuk apa kakak minta maaf?” Karin mengusap air matanya dengan ujung jilbab lalu menghela napas, “Justru aku berterima kasih kepada kakak yang telah mengingatkanku. Aku juga minta maaf atas kelakukanku selama ini.” Lalu dia merapikan buku-bukunya dan pergi meninggalkanku yang masih terdiam sambil tertunduk di bangku perpustakaan yang sebentar lagi tutup.
Setelah perlombaan, aku jarang sekali berkomunikasi dengan Karin. Aku hanya sesekali melihatnya bersama teman-temannya salat zuhur berjamaah. Lambat laun perasaanku kepadanya mulai terkikis dengan banyaknya tugas sekolah. Aku bersyukur tim kita tidak lolos ke babak selanjutnya dalam olimpiade fisika. Karena ada hikmah dari kegagalan tersebut yakni aku tak lagi intens bertemu dan bertegur sapa dengan Karin. Walau kadang ada rasa rindu yang tiba-tiba mengusik. Namun, segera kutepis dengan berkumpul dengan karib-karibku di Remus.
Dalam perjalanan cinta ini hanya ada dua pilihan, sudahi atau halalkan. Namun jika belum mampu menghalalkan, maka memperbaiki diri menjadi lebih baik jauh lebih bermanfaat daripada menjalin hubungan yang tak diridhoi-Nya yakni pacaran. Tetap fokus belajar dan istiqomah dalam kebaikan hingga kelak disatukan dalam cinta yang penuh berkah atas izin-Nya.[]

Selesai



1 komentar:

  1. Menarik idenya.Namun cara penyampaiannya masih mudah ditebak. Ada satu typo. Overall bagus untuk Putih abu-abu.
    :D

    BalasHapus