Inikah Cinta?
Yanuari Purnawan
Aku
hanya mampu melihat punggung gagahnya. Sejak satu semester aku menjadi
pengagum rahasia. Mendengar cerita tentangnya dari teman sekelas hingga gosip
ringan dari meja redaksi majalah sekolah. Aku memang fokus dengan
ekstrakulikuler jurnalis. Walau banyak teman memilih ikut ekstrakulikuler
basket demi lebih dekat dengannya, tetapi aku lebih memilih dunia yang aku
cintai daripada berkorban untuknya yang masih semu.
Teriakkan
siswi-siswi SMA 40 begitu histeris, melihat sang kapten main basket saat ajang
perlombaan basket antar sekolah. Raka, sang kapten yang menjadi bintang saat
itu. Beberapa tri point dicetaknya
hingga mengantarkan SMA kami menjadi juara. Raka … walau aku tak sehisteris
para cewek itu, tetapi dari jauh aku selalu mendukungmu.
Seperti
mendapat durian runtuh, aku ditunjuk ketua redaksi untuk wawancara dengan para
punggawa basket sekolah. Ini kesempatan emas untuk dekat dengan Raka. Aku harus
mempersiapkan ini sesempurna mungkin. Jangan sampai aku kelihatan bodoh di
depan mereka, apalagi Raka.
“Permisi
… maaf ganggu waktunya?” tanyaku sopan kepada para pemain basket tatkala sedang
latihan.
“Ada
apa?” jawab salah satu anggota tim basket. Sambil membetulkan letak kacamata
minus yang kupakai, terlihat cowok itu mendekatiku: Raka.
“Aku
ingin wawancara kalian yang kemarin menang lomba basket antar sekolah ….”
jawabku dengan sedikit gemetaran. Dadaku berdesir hebat dan jantung berdebar
kencang. Aku tidak menyangka bisa sedekat ini melihatnya.
“Maaf,
kami sibuk!” jawab Raka ketus dan meninggalkanku sendiri yang masih mematung
melihatnya.
Ya
… Rabb, salahkah perasaan ini! Dengan setia aku duduk di kursi penonton sambil
menunggu Raka selesai latihan. Beberapa kali jepretan dari kamera ponsel
berhasil mengabadikan dia sedang latihan basket. Bulir keringat membasahi wajah
dan bajunya, andai aku bisa menyeka keringat itu. Sungguh pemandangan yang
sayang jika harus dilewatkan begitu saja.
“Raka,
ini air mineralnya!” ucap seorang cewek berambut hitam panjang sambil
menyodorkan sebotol air mineral kepada Raka. Tidak lain cewek tersebut adalah
Silvy, cewek yang santer digosipkan pacaran dengan Raka. Melihat pemandangan
tersebut entah mengapa membuat hatiku panas. Ingin ku remas-remas itu cewek
yang berani-beraninya mendekati Rakaku.
Menunggu
terlalu lama tanpa terasa aku tertidur hingga tidak menyadari jika latihan
basket usai. Lapangan basket sepi, kemana mereka? Aku berlari menuju ruang
ganti sudah tidak ada orang. Bagaimana dengan wawancaranya? Aku tidak ingin
perjuanganku menunggu berakhir sia-sia.
“Raka?!!”
teriakku, tatkala melihat Raka yang sedang sendirian di tempat parkir.
“Ada
apa? Masih masalah wawancara!” ucapnya sinis. Mendengar ucapannya aku hanya
mampu menganggukan kepala.
“Aku
capek dan banyak PR, aku harus pulang,” terangnya lagi sambil menghidupkan
mesin sepeda motornya.
“Jangan
begitu, apa kamu tidak kasihan denganku? Aku sudah menunggu lama untuk bisa
wawancara,” jawabku memelas, berharap dia luluh.
“Oke,
aku mau di wawancara asal dengan syarat selama seminggu kamu harus mengerjakan
PR-ku. Apa kamu setuju?” tanyanya.
Aku
mengangguk menyetujui syarat tersebut. Betapa bahagianya sore itu, walau
setumpuk buku berisi PR-nya harus aku kerjakan. Apakah ini yang disebut cinta?
Walau kata orang itu buruk, jika melihatnya dengan cinta pasti akan terasa
indah.
Tidak
terasa sudah empat hari aku mengerjakan syarat darinya. Selama itu pula aku
semakin dekat. Namanya Raka Hadi Pratama, anak tunggal dari salah satu anggota
dewan di negeri ini, suka warna biru, makanan favorit nasi goreng dan hobi main basket. Itulah sekelumit biodata
tentang Raka. Dia sekarang tidak sejaim awal kita bertemu, lebih cair dan
ramah.
Sejak
perubahan sikapnya, membuat kami semakin akrab. Sesekali kubawakan nasi goreng
buatanku untuk bekal makan saat latihan basket. Aku sangat setia menemani latihan,
mulai dari menyemangati hingga memberikan handuk kering untuk menyeka
keringatnya. Walau kadang merasa lelah harus mengerjakan semua, tetapi setelah
melihat senyum Raka, semangatku kembali berenergi lagi. Raka andai kau tahu aku
di sini mencintaimu.
Ini
hari terakhir aku mengerjakan syarat dari Raka. Entah mengapa bukannya senang
malah aku merasa sedih. Aku takut kedekatan yang baru bersemi ini akan
berakhir.
“Raka
… jika kau perlu sesuatu jangan sungkan panggil aku,” ucapku gugup, saat itu
Raka sudah rapi untuk pulang dari latihan basket.
“Oke,
tetapi ada apa kok bicara begitu? Takut tidak bisa dekat dengan cowok ganteng
kayak aku,” jawabnya sembari tersenyum. Lagi-lagi senyum itu membuatku
terpesona. Lapangan basket yang sepi, membuatku berani. Kupeluk Raka.
“Aku
tidak ingin kebersamaan ini berakhir. Aku ingin dekat denganmu,” jawabku dengan
airmata yang mengalir membasahi pipi. Dada bidang itu membuatku nyaman
dipelukannya.
“Jangan
melankolis begitu, sudahlah toh aku juga gak pergi jauh. Tenang saja kita tetap
sahabatan karena aku nyaman bersamamu,” ucapnya sambil menyeka airmataku.
Jantungku berdebar tidak karuan. Mimpikah ini! Raka merasa nyaman denganku.
Jika ini mimpi aku tidak mau terbangun, aku ingin tetap dipelukannya.
Waktu
berjalan begitu cepat, pagi baru telah menyambut. Aku dan Raka semakin dekat
tidak jarang aku main ke rumahnya. Mengerjakan tugas bersama, maklum kami sudah
kelas tiga. Kami berjuang untuk mempersiapkan ujian akhir agar bisa lulus.
Dalam bidang akademik aku memang di atas Raka. Jadi, tidak jarang berkali-kali
aku harus sabar mengajarinya.
Hingga
tiba masa itu, di mana aku tidak akan menatap punggung gagahnya sesering
sekarang. Kami dinyatakan lulus dan aku mendapat nilai tertinggi. Seharusnya
aku senang dengan kabar tersebut, tetapi entah hati ini merasa sedih. Sebentar
lagi tak ada lagi senyum yang memberikan ketenangan di hatiku.
Aku
harus mengungkapkan perasaan ini, sebelum semuanya terlambat. Aku harus berani,
apa pun hasilnya nanti yang terpenting aku sudah jujur dengan perasaan ini. Aku
tidak ingin rasa yang terpendam selama tiga tahun ini menjadi bom waktu yang
akan menghancurkanku.
Hujan
tidak menjadi halangan untuk menemui Raka di salah satu tempat makan. Di mana
aku sudah berjanji kepadanya untuk mengatakan sesuatu yang penting. Kulihat
Raka sudah datang terlebih dulu.
“Mau
bicara apa sih? Kayak serius banget hingga menyuruh datang ke sini,” ucapnya.
Sebelum
menjawab pertanyaannya. Tiba-tiba ada cewek cantik berambut panjang dan
berpakaian rapi datang menghampiri kami.
“Ohnya,
kenalin ini Ratna, pacar aku yang baru,” terang Raka memperkenalkan cewek
tersebut.
Mendengarnya
seperti petir menyambar tubuhku. Aku masih tertegun tidak percaya. Sakit
rasanya hati ini, dengan berat aku melangkah pergi meninggalkan mereka.
Terdengar teriakan Raka menyebut namaku.
“Rian?!!”
“Rian
… katanya mau bicara sesuatu!”
Suara
itu menggema seiring hujan begitu deras mengguyur tubuhku. Inikah cinta itu?
Mengapa begitu sakit rasanya. Ternyata, takdir telah mengisyaratkan bahwa aku
dan Raka tidak mungkin bersatu. Hujan … hapus semua pedih dan rasa cinta ini
bersama setiap tetesanmu.[]
Kukira si Aku itu cewek...
BalasHapusKukira si Aku itu cewek...
BalasHapusHehe, gimana Kak? Kritik dan sarannya?^^
Hapus