Rabu, 02 Maret 2016

Inikah Cinta?

Inikah Cinta?
Yanuari Purnawan


Aku hanya mampu melihat punggung gagahnya. Sejak satu semester aku menjadi pengagum rahasia. Mendengar cerita tentangnya dari teman sekelas hingga gosip ringan dari meja redaksi majalah sekolah. Aku memang fokus dengan ekstrakulikuler jurnalis. Walau banyak teman memilih ikut ekstrakulikuler basket demi lebih dekat dengannya, tetapi aku lebih memilih dunia yang aku cintai daripada berkorban untuknya yang masih semu.

Teriakkan siswi-siswi SMA 40 begitu histeris, melihat sang kapten main basket saat ajang perlombaan basket antar sekolah. Raka, sang kapten yang menjadi bintang saat itu. Beberapa tri point dicetaknya hingga mengantarkan SMA kami menjadi juara. Raka … walau aku tak sehisteris para cewek itu, tetapi dari jauh aku selalu mendukungmu.

Seperti mendapat durian runtuh, aku ditunjuk ketua redaksi untuk wawancara dengan para punggawa basket sekolah. Ini kesempatan emas untuk dekat dengan Raka. Aku harus mempersiapkan ini sesempurna mungkin. Jangan sampai aku kelihatan bodoh di depan mereka, apalagi Raka.

“Permisi … maaf ganggu waktunya?” tanyaku sopan kepada para pemain basket tatkala sedang latihan.
“Ada apa?” jawab salah satu anggota tim basket. Sambil membetulkan letak kacamata minus yang kupakai, terlihat cowok itu mendekatiku: Raka.
“Aku ingin wawancara kalian yang kemarin menang lomba basket antar sekolah ….” jawabku dengan sedikit gemetaran. Dadaku berdesir hebat dan jantung berdebar kencang. Aku tidak menyangka bisa sedekat ini melihatnya.
“Maaf, kami sibuk!” jawab Raka ketus dan meninggalkanku sendiri yang masih mematung melihatnya.

Ya … Rabb, salahkah perasaan ini! Dengan setia aku duduk di kursi penonton sambil menunggu Raka selesai latihan. Beberapa kali jepretan dari kamera ponsel berhasil mengabadikan dia sedang latihan basket. Bulir keringat membasahi wajah dan bajunya, andai aku bisa menyeka keringat itu. Sungguh pemandangan yang sayang jika harus dilewatkan begitu saja.

“Raka, ini air mineralnya!” ucap seorang cewek berambut hitam panjang sambil menyodorkan sebotol air mineral kepada Raka. Tidak lain cewek tersebut adalah Silvy, cewek yang santer digosipkan pacaran dengan Raka. Melihat pemandangan tersebut entah mengapa membuat hatiku panas. Ingin ku remas-remas itu cewek yang berani-beraninya mendekati Rakaku.

Menunggu terlalu lama tanpa terasa aku tertidur hingga tidak menyadari jika latihan basket usai. Lapangan basket sepi, kemana mereka? Aku berlari menuju ruang ganti sudah tidak ada orang. Bagaimana dengan wawancaranya? Aku tidak ingin perjuanganku menunggu berakhir sia-sia.

“Raka?!!” teriakku, tatkala melihat Raka yang sedang sendirian di tempat parkir.
“Ada apa? Masih masalah wawancara!” ucapnya sinis. Mendengar ucapannya aku hanya mampu menganggukan kepala.
“Aku capek dan banyak PR, aku harus pulang,” terangnya lagi sambil menghidupkan mesin sepeda motornya.
“Jangan begitu, apa kamu tidak kasihan denganku? Aku sudah menunggu lama untuk bisa wawancara,” jawabku memelas, berharap dia luluh.
“Oke, aku mau di wawancara asal dengan syarat selama seminggu kamu harus mengerjakan PR-ku. Apa kamu setuju?” tanyanya.

Aku mengangguk menyetujui syarat tersebut. Betapa bahagianya sore itu, walau setumpuk buku berisi PR-nya harus aku kerjakan. Apakah ini yang disebut cinta? Walau kata orang itu buruk, jika melihatnya dengan cinta pasti akan terasa indah.

Tidak terasa sudah empat hari aku mengerjakan syarat darinya. Selama itu pula aku semakin dekat. Namanya Raka Hadi Pratama, anak tunggal dari salah satu anggota dewan di negeri ini, suka warna biru, makanan favorit nasi goreng dan hobi main basket. Itulah sekelumit biodata tentang Raka. Dia sekarang tidak sejaim awal kita bertemu, lebih cair dan ramah.

Sejak perubahan sikapnya, membuat kami semakin akrab. Sesekali kubawakan nasi goreng buatanku untuk bekal makan saat latihan basket. Aku sangat setia menemani latihan, mulai dari menyemangati hingga memberikan handuk kering untuk menyeka keringatnya. Walau kadang merasa lelah harus mengerjakan semua, tetapi setelah melihat senyum Raka, semangatku kembali berenergi lagi. Raka andai kau tahu aku di sini mencintaimu.

Ini hari terakhir aku mengerjakan syarat dari Raka. Entah mengapa bukannya senang malah aku merasa sedih. Aku takut kedekatan yang baru bersemi ini akan berakhir.

“Raka … jika kau perlu sesuatu jangan sungkan panggil aku,” ucapku gugup, saat itu Raka sudah rapi untuk pulang dari latihan basket.
“Oke, tetapi ada apa kok bicara begitu? Takut tidak bisa dekat dengan cowok ganteng kayak aku,” jawabnya sembari tersenyum. Lagi-lagi senyum itu membuatku terpesona. Lapangan basket yang sepi, membuatku berani. Kupeluk Raka.
“Aku tidak ingin kebersamaan ini berakhir. Aku ingin dekat denganmu,” jawabku dengan airmata yang mengalir membasahi pipi. Dada bidang itu membuatku nyaman dipelukannya.
“Jangan melankolis begitu, sudahlah toh aku juga gak pergi jauh. Tenang saja kita tetap sahabatan karena aku nyaman bersamamu,” ucapnya sambil menyeka airmataku. Jantungku berdebar tidak karuan. Mimpikah ini! Raka merasa nyaman denganku. Jika ini mimpi aku tidak mau terbangun, aku ingin tetap dipelukannya.

Waktu berjalan begitu cepat, pagi baru telah menyambut. Aku dan Raka semakin dekat tidak jarang aku main ke rumahnya. Mengerjakan tugas bersama, maklum kami sudah kelas tiga. Kami berjuang untuk mempersiapkan ujian akhir agar bisa lulus. Dalam bidang akademik aku memang di atas Raka. Jadi, tidak jarang berkali-kali aku harus sabar mengajarinya.
Hingga tiba masa itu, di mana aku tidak akan menatap punggung gagahnya sesering sekarang. Kami dinyatakan lulus dan aku mendapat nilai tertinggi. Seharusnya aku senang dengan kabar tersebut, tetapi entah hati ini merasa sedih. Sebentar lagi tak ada lagi senyum yang memberikan ketenangan di hatiku.

Aku harus mengungkapkan perasaan ini, sebelum semuanya terlambat. Aku harus berani, apa pun hasilnya nanti yang terpenting aku sudah jujur dengan perasaan ini. Aku tidak ingin rasa yang terpendam selama tiga tahun ini menjadi bom waktu yang akan menghancurkanku.

Hujan tidak menjadi halangan untuk menemui Raka di salah satu tempat makan. Di mana aku sudah berjanji kepadanya untuk mengatakan sesuatu yang penting. Kulihat Raka sudah datang terlebih dulu.
“Mau bicara apa sih? Kayak serius banget hingga menyuruh datang ke sini,” ucapnya.

Sebelum menjawab pertanyaannya. Tiba-tiba ada cewek cantik berambut panjang dan berpakaian rapi datang menghampiri kami.
“Ohnya, kenalin ini Ratna, pacar aku yang baru,” terang Raka memperkenalkan cewek tersebut.

Mendengarnya seperti petir menyambar tubuhku. Aku masih tertegun tidak percaya. Sakit rasanya hati ini, dengan berat aku melangkah pergi meninggalkan mereka. Terdengar teriakan Raka menyebut namaku.
“Rian?!!”
“Rian … katanya mau bicara sesuatu!”

Suara itu menggema seiring hujan begitu deras mengguyur tubuhku. Inikah cinta itu? Mengapa begitu sakit rasanya. Ternyata, takdir telah mengisyaratkan bahwa aku dan Raka tidak mungkin bersatu. Hujan … hapus semua pedih dan rasa cinta ini bersama setiap tetesanmu.[]


3 komentar: