Selasa, 08 Maret 2016

Tragedi Pernikahan

Tragedi Pernikahan
Yanuari purnawan


            Jujur apakah aku masih punya muka jika harus berhadapan dengan mereka. Harusnya bukan begitu, karena kejadian itu bukanlah skenario yang sengaja aku buat. Tetapi rasa malu mengubah semuanya, dari tak sengaja menjadi ada-ada saja. Tuhan, mengapa semua harus terjadi. Lalai atau memang bodoh diriku ini, biarlah nasi sudah menjadi gaplek, tak mungkin bisa diubah lagi.

            Batik khas Pekalongan dipadu dengan celana bahan hitam, membuat aku seperti pejabat teras. Ganteng dan berwibawa saat menatap diri di depan cermin. Ternyata, aku tak kalah dengan Joe Taslim atau Reza Rahadian aktor film itu, mungkin hanya nasibku saja kurang beruntung. Bersyukur saja, karena walaupun begitu aku masih punya banyak fans. Terutama ibu-ibu, lha secara aku penjual pakaian wanita hehe.

            Kusiapkan diri sesempurna mungkin untuk menghadiri acara resepsi pernikahan sahabatku. penampilan sudah keren, saatnya berangkat. Jarak rumah dengan acara resepsi lumayan jauh kira-kira sepuluh kilometeran, semoga saja penampilanku nanti tidak kusut dan acak-acakan. Malu, walau orang desa aku juga harus punya harga diri hingga orang lain tidak memandang sebelah mata.

            Sial! Sepeda motorku macet,  harus bagaimana ini. Acaranya tinggal satu jam lagi. Dengan berat hati dan terpaksa, aku harus naik angkot. Sudah keren, dengan wangi aroma malaikat subuh harus berdesakan di angkot. Bagaimana nanti penampilanku di resepsi. Tenang! Persiapan selalu ada, parfum, sisir dan kaca lengkap di dalam tas kecilku.

            Berdesakan di dalam angkot, membuatku mual. hampir saja jackpot, untung masih bisa ditahan. Mengapa kok begini mau ke acara pernikahan saja sial. Ini belum seberapa, aku harus berhimpitan dengan penumpang ibu-ibu. Tubuhnya sudah segede gajah, ditambah lagi belanjaannya itu, ikan yang bau amis. Nasib, haruskah ini terjadi kepadaku.

            Setelah perjuangan hampir satu jam, akhirnya sampai juga ke acara resepsi pernikahan. Sebelum masuk, aku putar haluan menuju mushala kecil di samping gedung resepsi pernikahan itu di selenggarakan. Di kamar mandi, kubenahi penampilan. Kaca dan sisir, senjata utama ku keluarkan. Setelah rapi, masya Allah … badanku bau ikan, amis. Terpaksa, parfum aroma malaikat subuh harus ku semprotkan ke sekujur tubuh.

            Beres dengan penampilan, saatnya tancap ke lokasi acara. Naas, undangan yang harus di bawah tertinggal di rumah. Dengan sedikit malu dan basa-basi, aku menceritakan bahwa undanganku tertinggal kepada penjaga daftar tamu yang hadir. Wanita berkonde dan berkebaya itu, sedikit ragu dengan penjelasanku. Mungkin di kiranya aku orang yang ingin makan gratisan lagi.

            Beberapa menit menunggu, akhirnya aku di izinkan masuk. Sedikit kesal, acara begini saja, penjagaannya kalahin anak pejabat. Ruang resepsi begitu besar, maklum aku anak desa jadi untuk hajatan pernikahan seperti ini sudah termasuk kelas atas. Dengan konsep adat jawa sangat terasa dengan iringan gamelan. Tamunya banyak banget dan terlihat dari penampilannya mungkin orang-orang kaya.

            Duduk di pelaminan, kulihat Si Empunya acara, Ridwan sahabatku begitu gagah dengan baju pengantin adat jawanya. Tetapi, untuk pengantin wanita sepertinya ku kenal. Karena dari jauh samar saja aku melihatnya. Setelah mengantri kayak ekor ular, akhirnya sampai juga untuk salaman dengan mempelainya.

            “Barakallah, semoga menjadi keluarga sakinah, mawadah dan warrahmah,” ucapku tatkala menjabat tangan Ridwan. Dia mengangguk dan tersenyum bahagia kepadaku. Setelah itu, saat mau bersalaman dengan pengantin wanita, Astaghfirullah.

            “Semoga ba-ha-gia,” ucapku terbata-bata. Tidak ku sangka ternyata yang bersanding dengan Ridwan adalah Syifa, gadis yang ku taksir sejak kita satu kelas di SMA dulu. Perasaanku  hancur berkeping-keping, seperti lagu Sakitnya tuh di sini. Setelah menata hati yang porak-poranda, aku langsung melahap jamuan yang telah di sajikan.

            Baso, nasi goreng dan gado-gado, ku lahap dengan nikmat campur sakit hati. mungkin aku kesetanan, sambil melihat dua insan yang tengah bahagia duduk di pelaminan.
            “Mas, maaf. Apa tidak salah?” ucap pramusaji di sampingku.
            “Tidak perlu khawatir Mas, aku ke sini bawa ampou gede,” ucap sambil melahap baso. Aduh … kenapa ini? Kok basonya kayak peltasan. Pedas banget.
            “Mas, air putihnya! Kok tidak bilang kalau banyak sambal yang ku masukkan ke dalam baso,” teriakku.
            “Lha Mas sendiri bilang tak perlu khawatir.”

            Ya Tuhan, mengapa nasib sial ini harus terjadi. Ku rasakan perut sakit dan harus segera ke toilet ini. Dengan raut wajah seperti udang rebus, aku meminta salah satu pramusaji untuk menunjukan arah toiletnya. Hampir jebol pertahananku, kalau terlambat sedikit bisa jadi malapetaka. Benar sekali, petaka terjadi, air di toilet mampet. Aku harus cebok dengan apa ini, terpaksa tisu toilet kupakai. Seperti halnya orang barat, tidak ada air, tisu pun jadi.

            Seperti ada yang aneh, semua mata tertuju kepadaku tatkala aku berpamitan untuk pulang. Ridwan dan istrinya hanya tersenyum. Aku diam saja, mungkin mereka bahagia di atas penderitaan orang. Melewati pintu keluar orang-orang masih saja menatapku aneh. Cuek saja, mungkin mereka terpesona oleh penampilanku.

            Deg … saat mau memberikan ampou baru  aku sadar. Kalau ampounya tertinggal juga bersama undangan tadi. Bodoh banget diriku ini, kepada penjaga ampou aku minta maaf dan akan memberikannya besok. Malu, mungkin lagi-lagi mereka kira aku datang, hanya ingin makan gratisan.

            “Tidak apa-apa Mas, yang penting ekornya tidak ketinggalan,” ucap gadis penjaga ampou tersebut. Ekor! Langsung saja tanganku memeriksa bagian belakang. Ternyata, tisu dari toilet tadi masih nyangkut di celana. Kali ini, aku benar-benar seperti udang rebus. Malu dan menyesal, mengapa aku datang ke acara sial begini. Dengan garuk-garuk kepala dan langkah seribu, aku pergi dari resepsi pernikahan tersebut. Sayup-sayup terdengar dari dalam gedung  ada tawa membahana. Mungkin mereka sedang menertawakan kekonyolanku.


Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar