Tragedi
Pernikahan
Yanuari purnawan
Jujur
apakah aku masih punya muka jika harus berhadapan dengan mereka. Harusnya bukan
begitu, karena kejadian itu bukanlah skenario yang sengaja aku buat. Tetapi
rasa malu mengubah semuanya, dari tak sengaja menjadi ada-ada saja. Tuhan,
mengapa semua harus terjadi. Lalai atau memang bodoh diriku ini, biarlah nasi
sudah menjadi gaplek, tak mungkin
bisa diubah lagi.
Batik
khas Pekalongan dipadu dengan celana bahan hitam, membuat aku seperti pejabat
teras. Ganteng dan berwibawa saat menatap diri di depan cermin. Ternyata, aku
tak kalah dengan Joe Taslim atau Reza Rahadian aktor film itu, mungkin hanya nasibku saja kurang beruntung. Bersyukur
saja, karena walaupun begitu aku masih punya banyak fans. Terutama ibu-ibu, lha secara aku penjual pakaian wanita hehe.
Kusiapkan
diri sesempurna mungkin untuk menghadiri acara resepsi pernikahan sahabatku.
penampilan sudah keren, saatnya berangkat. Jarak rumah dengan acara resepsi
lumayan jauh kira-kira sepuluh kilometeran, semoga saja penampilanku nanti
tidak kusut dan acak-acakan. Malu, walau orang desa aku juga harus punya harga
diri hingga orang lain tidak memandang sebelah mata.
Sial!
Sepeda motorku macet, harus bagaimana
ini. Acaranya tinggal satu jam lagi. Dengan berat hati dan terpaksa, aku harus
naik angkot. Sudah keren, dengan wangi aroma malaikat subuh harus berdesakan di
angkot. Bagaimana nanti penampilanku di resepsi. Tenang! Persiapan selalu ada,
parfum, sisir dan kaca lengkap di dalam tas kecilku.
Berdesakan
di dalam angkot, membuatku mual. hampir saja jackpot, untung masih bisa ditahan. Mengapa kok begini mau ke acara
pernikahan saja sial. Ini belum seberapa, aku harus berhimpitan dengan
penumpang ibu-ibu. Tubuhnya sudah segede gajah, ditambah lagi belanjaannya itu,
ikan yang bau amis. Nasib, haruskah ini terjadi kepadaku.
Setelah
perjuangan hampir satu jam, akhirnya sampai juga ke acara resepsi pernikahan.
Sebelum masuk, aku putar haluan menuju mushala kecil di samping gedung resepsi
pernikahan itu di selenggarakan. Di kamar mandi, kubenahi penampilan. Kaca dan
sisir, senjata utama ku keluarkan. Setelah rapi, masya Allah … badanku bau ikan, amis. Terpaksa, parfum aroma
malaikat subuh harus ku semprotkan ke sekujur tubuh.
Beres
dengan penampilan, saatnya tancap ke lokasi acara. Naas, undangan yang harus di
bawah tertinggal di rumah. Dengan sedikit malu dan basa-basi, aku menceritakan
bahwa undanganku tertinggal kepada penjaga daftar tamu yang hadir. Wanita
berkonde dan berkebaya itu, sedikit ragu dengan penjelasanku. Mungkin di
kiranya aku orang yang ingin makan gratisan lagi.
Beberapa
menit menunggu, akhirnya aku di izinkan masuk. Sedikit kesal, acara begini
saja, penjagaannya kalahin anak pejabat. Ruang resepsi begitu besar, maklum aku
anak desa jadi untuk hajatan pernikahan seperti ini sudah termasuk kelas atas.
Dengan konsep adat jawa sangat terasa dengan iringan gamelan. Tamunya banyak
banget dan terlihat dari penampilannya mungkin orang-orang kaya.
Duduk
di pelaminan, kulihat Si Empunya acara, Ridwan sahabatku begitu gagah dengan
baju pengantin adat jawanya. Tetapi, untuk pengantin wanita sepertinya ku
kenal. Karena dari jauh samar saja aku melihatnya. Setelah mengantri kayak ekor
ular, akhirnya sampai juga untuk salaman dengan mempelainya.
“Barakallah, semoga menjadi keluarga sakinah, mawadah dan warrahmah,” ucapku
tatkala menjabat tangan Ridwan. Dia mengangguk dan tersenyum bahagia kepadaku.
Setelah itu, saat mau bersalaman dengan pengantin wanita, Astaghfirullah.
“Semoga
ba-ha-gia,” ucapku terbata-bata. Tidak ku sangka ternyata yang bersanding
dengan Ridwan adalah Syifa, gadis yang ku taksir sejak kita satu kelas di SMA
dulu. Perasaanku hancur
berkeping-keping, seperti lagu Sakitnya
tuh di sini. Setelah menata hati yang porak-poranda, aku langsung melahap
jamuan yang telah di sajikan.
Baso,
nasi goreng dan gado-gado, ku lahap dengan nikmat campur sakit hati. mungkin
aku kesetanan, sambil melihat dua insan yang tengah bahagia duduk di pelaminan.
“Mas,
maaf. Apa tidak salah?” ucap pramusaji di sampingku.
“Tidak
perlu khawatir Mas, aku ke sini bawa ampou gede,” ucap sambil melahap baso.
Aduh … kenapa ini? Kok basonya kayak peltasan. Pedas banget.
“Mas,
air putihnya! Kok tidak bilang kalau banyak sambal yang ku masukkan ke dalam
baso,” teriakku.
“Lha
Mas sendiri bilang tak perlu khawatir.”
Ya
Tuhan, mengapa nasib sial ini harus terjadi. Ku rasakan perut sakit dan harus
segera ke toilet ini. Dengan raut wajah seperti udang rebus, aku meminta salah
satu pramusaji untuk menunjukan arah toiletnya. Hampir jebol pertahananku,
kalau terlambat sedikit bisa jadi malapetaka. Benar sekali, petaka terjadi, air
di toilet mampet. Aku harus cebok dengan apa ini, terpaksa tisu toilet kupakai.
Seperti halnya orang barat, tidak ada air, tisu pun jadi.
Seperti
ada yang aneh, semua mata tertuju kepadaku tatkala aku berpamitan untuk pulang.
Ridwan dan istrinya hanya tersenyum. Aku diam saja, mungkin mereka bahagia di
atas penderitaan orang. Melewati pintu keluar orang-orang masih saja menatapku
aneh. Cuek saja, mungkin mereka terpesona oleh penampilanku.
Deg
… saat mau memberikan ampou baru aku
sadar. Kalau ampounya tertinggal juga bersama undangan tadi. Bodoh banget
diriku ini, kepada penjaga ampou aku minta maaf dan akan memberikannya besok.
Malu, mungkin lagi-lagi mereka kira aku datang, hanya ingin makan gratisan.
“Tidak
apa-apa Mas, yang penting ekornya tidak ketinggalan,” ucap gadis penjaga ampou
tersebut. Ekor! Langsung saja tanganku memeriksa bagian belakang. Ternyata,
tisu dari toilet tadi masih nyangkut di celana. Kali ini, aku benar-benar
seperti udang rebus. Malu dan menyesal, mengapa aku datang ke acara sial
begini. Dengan garuk-garuk kepala dan langkah seribu, aku pergi dari resepsi
pernikahan tersebut. Sayup-sayup terdengar dari dalam gedung ada tawa membahana. Mungkin mereka sedang
menertawakan kekonyolanku.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar