PHP (Penantian Hingga Pelaminan)
Yanuari
Purnawan
Jika
kita punya masa lalu yang kelam bukan berarti kita mempunyai masa depan yang
kelam juga. Tak ada yang mengerti apa yang akan terjadi esok, jadi bersabar dan
lakukanlah yang terbaik untuk hari ini.
*
Aku
sedang duduk di halte bus, lima menit lagi perjalanan baru siap di mulai. Tak
ada lagi air mata atau penyesalan akan takdir-Nya. Percaya bahwa semua adalah
bentuk takdir terindah yangd diberikan Allah. Aku mendesah panjang lalu
mengambil ransel, bus jurusan Pasuruan-Jember sudah ada di depanku. Aku lebih
memilih duduk di tengah samping jendela, entah mengapa tanpa sadar bayangan itu
kembali memenuhi otak. Kupejamkan mata lalu menerawang jauh seiring bus yang
perlahan meninggalkan terminal lama-Pasuruan.
“Apa
aku boleh duduk di sini?”
Mataku
mengerjap sambil melepas earphone
yang setia menemaniku menunggu bus untuk berangkat. Perempuan muda berjilbab
putih kini ada depanku sambil tersenyum yang memperlihatkan lesung pipinya. Aku
hanya mengangguk dan mempersilakan. Kurang lebih sepuluh menit setelah bus
meninggalkan terminal Jember, aku dan perempuan muda yang ada di sampingku tak
ada komunikasi kita memilih diam dan terpasung oleh pemikiran masing-masing.
“Mas,
mau ke mana?”
Aku
menoleh ke arahnya sembari memberikan senyum terbaik yang kupunya.
“Biasa
pulang kampung!” Dia hanya terkekeh, “Aldi Septian Putra …,” lanjutku sedikit
kikuk memperkenal diri kepadanya, sungguh konyol dan memalukan. Lagi-lagi dia
hanya tersenyum manis yang memperlihatkan pahatan sumur kecil dikedua pipinya.
“Almira!”
jawabnya singkat tanpa membalass uluran tanganku yang ingin berjabat tangan.
Kembali untuk beberapa saat kita bergelut dengan keheningan hanya deruh mesin
bus serta degup jantungku yang mulai terdengar.
“Kalau
boleh tahu kampungnya di mana?” Sekilas mata kita beradu yang menimbulkan
sedikit getaran halus di dada.
“Pasuruan!”
“Heh!
Sejak kapan ya Pasuruan sudah menjadi kampung?” Mira−panggilan
untuknya−terkekeh sambil menutup mulutnya, “Maaf!”
“Sejak
aku duduk di bus ini dan bertemu kamu,” candaku sambil tersenyum puas mengerjai
dia yang tak berkutik dengan jawabaanku.
“Konyol!”
ucapnya sambil meninju lenganku pelan.
Bus
sudah sampai terminal Probolinggo, sejam lagi aku akan sampai di Pasuruan.
Sejak dua jam perjalanan aku dan Mira saling bertukar informasi tentang
aktivitas yang sedang kita jalani. Ternyata Mira adalah mahasiswa tingkat akhir
jurusan keperawatan Universitas Jember dan kini dia pulang karena liburan. Beda
denganku yang merantau ke Jember untuk mengais rezeki dan kini aku pulang
karena adik perempuanku akan menikah.
Bus
sudah berhenti di terminal lama-Pasuruan lima menit yang lalu, entah mengapa
sebagian hati merasa tak ikhlas bus terlalu cepat menurunkan penumpang di sini.
Mira tersenyum lalu mendekat kearahku.
“Senang
berkenalan dengan mas Aldi!”
Terlihat
rona merah memenuhi kedua pipinya. Kita sama-sama kikuk tak tahu kalimat
perpisahan apa yang terlihat berkesan.
“Jika
jodoh pasti kita dipertemukan kembali!”
Jantungku
seakan berhenti berdetak, ‘jodoh’ dia bilang kalau berjodoh akan bertemu? Aku
hanya mengamiininya di dalam hati.
“Sama-sama!
Ohnya pulang ke rumahnya sama siapa?” tanyaku basa-basi hanya untuk mengulur
waktu agar kita tak terlalu cepat berpisah.
“Sudah
ada jemputan! Ya sudah kalau begitu aku pamit duluan dan sampai jumpa.”
Mira
melambaikan tangan dan tersenyum, momen tersebut kepergunakan untuk merekam
sesosok perempuan berjilbab putih dan memiliki lesung pipi yang menambah manis
ketika dia tersenyum. Kini aku terdiam lalu mengumpat di dalam hati, mengapa
aku tidak meminta nomor ponselnya atau alamat sosial medianya. Dasar bodoh!
Kalimat Mira jika jodoh kita akan dipertemukan kembali membuat sedikit harapan
memenuhi isi hatiku. Semoga saja Allah yang Maha Baik memberikan skenario
terindah untuk hamba-Nya nanti.
*
“Kakak
capek, Dek!”
Tapi
rengekkan adikku masih setia memenuhi gendang telinga. Sudah dua hari ini aku
ada di rumah dan kini adikku satu-satunya tersebut merajuk untuk diantar ke
Taman Kota.
“Sama
Mas Hadi kan bisa, Dek!”
Mas
Hadi adalah calon suaminya atau lebih tepatnya empat hari lagi sudah sah
menjadi imam untuk adik perempuanku.
“Alya
kan maunya sama Kak Aldi!” Matanya berkaca-kaca, “Sebentar lagi Alya akan
menjadi istri, mungkin jatah kebersamaan kita pun akan berkurang. Aku ingin
sebelum menikah kita bisa membuat momen kebersamaan yang indah. Dan kakak
minggu depan juga akan kembali ke Jember.”
“Kayaknya
kakak takut Taman Kota Pasuruan pindah ke Paris jika tidak kita kunjungi!” Alya
pun memelukku dan aku tak kuasa untuk menolak akan permintaannya yang begitu
tulus.
Taman
Kota sore ini tak terlalu ramai, mungkin karena bukan malam minggu yang biasa
dibuat muda-mudi untuk berpacaran. Beberapa kali kamera ponsel menangkap
bayangan aku dan Alya. Alya ingin mengabadikan momen bersamaku di Taman Kota
sebelum dia menyandang status istri dari Hadi Purnomo. Mataku terbelalak dan
kembali jantung berdegup tak normal, iya! Aku tak mungkin salah, perempuan muda
berjilbab ungu sambil membawa kamera DSLR tersebut adalah Almira. Senyum dan
lesung pipi itu masih membekas di alam bawah sadarku.
“Almira!”
teriakku sembari mendekat ke arahnya, Alya tertegun sambil mengikuti langkahku.
“Mas
Aldi!” Dia kaget dan merasa tak percaya kini kita dipertemukan kembali. Namun,
bola mata Mira sekarang menatap penuh tanda tanya ke arah Alya.
“Ohnya,
kenalin ini adikku, Alya!”
Mereka
saling berjabat tangan dan berkenalan satu sama lain. Aku sedikit canggung
ketika Alya menatapku sedikit menyelidik tentang aku dan Mira. Namun, itu tak
berlangsung lama karena Mira terlebih dulu menjelaskan bagaimana kita bisa
saling kenal. Alya hanya mengangguk sambil sesekali tertawa dengan melihatku. Sekitar
lima belas menit, kami bertiga mengitari Taman Kota dan tak jarang Alya minta
difotoin dengan berbagai gaya.
“Kayaknya
sudah mau maghrib nih, Mira harus pamit duluan!” ucap Mira sambil melihat jam
tangannya.
“Gimana
kalau kita antar?” celetuk Alya tanpa disaring terlebih dulu. Mukaku kini
merona dan tertunduk menunggu jawaban Mira.
“Maaf,
Dek! Bukannya kakak tidak mau, tapi kakak sudah ada yang jemput.”
Ada
sebersit kecewa yang hinggap di dalam hati mendengar jawaban perempuan muda
berjilbab ungu di depanku tersebut.
“Ya
sudah aku duluannya!”
“Kak
Mira … punya nomor ponsel kan? Siapa tahu kita bisa jadi sahabat dekat?”
Lagi-lagi aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan adik perempuanku
satu ini. Sembari menyebutkan nomor ponselnya, gendang telingaku fokus
merekamnya. Nomor ponsel dan orangnya sama-sama cantik.
*
Sayang
sekali Almira tak bisa menghadiri acara pernikahan Alya. Tadi malam dia bilang
melalui sambungan telepon kalau dia minta maaf tak bisa hadir karena ada acara
keluarga. Aku tak mungkin memaksanya untuk hadir, apalagi nanti akan kukenalkan
dengan keluargaku. Sungguh kenyataan tak seindah angan-angan. Namun, aku tetap
bersyukur karena kini aku lebih dekat dengannya, tiga hari belakangan tak ada
hari yang terlewat untuk berkomunikasi dengan perempuan muda berjilbab tersebut
lewat SMS atau telepon.
“Kapan
kakak nyusul?” goda Alya sambil menggandeng suaminya, Hadi. Aku tersenyum kecut
lalu menatap mereka berdua yang kini menjadi pasangan suami-istri.
“Doakan
saja kakakmu ini. Jika ada calon yang cocok buat kakak segera kenalin!” balasku
sambil mengedipkan mata.
“Bagaimana
kalau Kak Mira!”
Deg!
Dunia seakan membeku dan waktu tak berputar, kenapa dengan nama Mira? Apakah
Alya merasakan apa yang kini sedang kurasakan kepada perempuan yang berkenalan
dengannya di Taman Kota tersebut.
“Kalau
diam berarti iya!” Kembali Alya menggodaku yang kini berhasil membuat wajahku
seperti udang rebus.
“Sudah!
Kasihan Kak Aldi jadi salah tingkah begitu. Intinya siapapun jodohnya pasti itu
yang terbaik buat Kak Aldi, bukankah pria baik hanya untuk perempuan baik dan
begitupun sabaliknya,” timpal Hadi begitu bijak, membuat aku dan Alya terdiam
sejenak.
“Tuh
… dengerin suamimu!” ucapku sambil mengelus kepala adik perempuanku
satu-satunya yang dengan tega mendahului kakaknya menikah. Lebih tepatnya bukan
tega tapi lebih pantas menyempurnakan separuh agamanya duluan.
*
Hari
ini adalah hari terakhirku di Pasuruan, besok aku harus kembali ke Jember untuk
mencari rezeki lagi. Sungguh lima hari yang sangat berkesan bagiku, berkenalan,
dekat dan mungkin saat inilah aku harus menjemput jodohku. Aku janjian
dengannya untuk bertemu di Taman Kota sekitar pukul tiga sore. Sekarang atau
tidak sama sekali karena kita tak akan pernah tahu jika tidak mencobanya.
“Maaf
aku … terlambat!” sapa Mira sambil sedikit terbata-bata. Aku hanya tersenyum
lalu mempersilahkannya duduk sekitar dua meter dari bangku yang aku duduki. Dia
masih mengatur napasnya yang sempat tesenggal-senggal.
“Ada
apa Mas Aldi mengajak ketemuan, kayaknya ada yang serius?”
Pertanyaan
barusan menyadarkanku yang sempat melamun memikirkan apa yang akan aku katakan
kepadanya. Almira tampak anggun dengan jilbab putihnya.
“Mas
Aldi … mau tanya sesuatu … apakah Dek Mira mau menjadi bagian dalam hidup mas?”
Matanya membulat dan udara sekitar seakan lenyap untuk mengisi paru-paruku.
“Maksudnya?”
“Maukah
Dek Almira jadi kekasih halalku?” Tenggorakkanku kering mendadak dan sulit
untuk mengatakan kalimat yang lebih baik dari kalimat barusan.
Mira
tersenyum lalu memandang lurus ke depan melihat anak-anak kecil yang sedang
main perosotan.
“Memiliki
cinta di hati itu adalah anugerah, mencintai seseorang itu adalah fitrah. Namun
ada kalanya penantian akan cinta yang menjadi anugerah dan mencintai menjadi
fitrah berbanding terbalik dengan takdir-Nya.” Kini dia menunduk terlihat dari
ujung matanya luruh kristal hangat.
“Maaf
jika perkataan Mas menyakiti adek!” Dia menggeleng, jilbab putihnya berkibaran
tertiup angin sore.
“Sungguh
aku menghargai keseriusan Mas Aldi, tapi ….” Ada jeda beberapa detik, Mira
seperti mengumpulkan energi untuk melanjutkan ucapannya. “Tapi Mas Aldi harus
mengerti penantian hingga menuju pelaminan adalah hal yang sakral. Banyak ujian
dan godaan, ya mungkin seperti ini ujian dan godaan yang menerpaku.”
“Maksudnya
Dek Mira!”
“Aku
sudah dikhitbah seseorang yang insyaaAllah
menjadi imamku kelak,” jelas Almira tegas tanpa keraguan sedikitpun dari
perkataannya. Kini hatiku remuk-redam mendengar pengakuan dari perempuan muda
berjilbab putih yang aku kenal di dalam bus. Sungguh skenario Allah begitu luar
biasa atas jalan cintaku.
“Maafkan
aku Mas, jujur banyak wanita di luar sana yang masih menanti calon imam seperti
Mas Aldi.” Aku tersenyum mendengar ucapannya barusan dan dia pun buru-buru
untuk segera pulang. Mira pun menjelaskan bahwa penantian hingga pelaminan
bukanlah hal mudah, namun jika kita masih berada di koridor jalan-Nya insyaaAllah kita akan selamat dari ujian
dan godaan, semisal pacaran atau kakak-adik temu gede. Itulah sindiran halus
darinya kepadaku yang lupa akan syariat dan adab dalam pergaulan antara
laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim.
“Kuharap
kalian menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan warrahmah.”
Lesung
pipinya menambah manis jika dia tersenyum, perlahan perempuan muda tersebut
menghilang bersama senja yang segera berganti malam.
*
Kalian
tahu bagaimana rasanya patah hati, mungkin seperti luka yang terkena siraman
air jeruk. Perih. Namun, ada satu hal yang aku syukuri kini adalah hijrah atau
berbenah kearah yang lebih baik lagi. Belajar memantaskan diri menjadi
laki-laki yang baik hingga kelak dipertemukan dengan perempuan yang juga
memantaskan dirinya. Aku percaya di luar sana banyak pula seseorang yang
menanti jodohnya dan salah satunya adalah jodohku yang tercatat rapi di lauh mahfuz-Nya.
Bus
semakin jauh meninggalkan Kota Pasuruan, begitupun dengan kenangan indah yang
kini aku tinggal untuk pembelajaran di masa yang akan datang. Aku mendesah
panjang sambil menatap jendela bus. Rumah, sawah dan tiang listrik seolah
bergerak bak roll film yang tak pernah
putus seperti episode kehidupan ini. Sekarang aku duduk manis sambil tersenyum
menanti apa yang akan terjadi esok di hari yang baru, kota yang baru, udara
yang baru dan juga cinta yang baru.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar