Emak
Oleh :
Yanuari Purnawan
Jum’at, 13 september 2013
Hari itu, kau menyuruhku mengantar
ke malang. Berat rasanya, melihat tubuh tua yang ringkih karena penyakit yang
sudah tiga bulan menyerang. Menunggu, hingga tiba mobil datang… Ya, mobil
penangkut barang kupersembahkan untuk kau. Anak macam apa aku ini? Tetapi tak
pernah ada keluhan yang keluar dari mulutmu.
“Mak, doain
aku punya mobil bagus, biar tak bisa rekreasi kemanapun Emak mau nanti,”
ucapku, dengan berusaha menahan airmata untuk tidak jatuh.
Hanya anggukan
pelan yang kau berikan. Kupeluk tubuh kurus itu dengan penuh rasa sayang.
Selasa, 17
september 2013
Wajah itu! Hampir saja aku tak
mengenalinya lagi, ini Emakku atau bukan? Wajahnya redup, kulitnya terkelupas,
rambutnya tinggal segelintir dan suaranya tak bisa kudengar lagi. Emak, ada apa
dengan kau? Setiap aku bertanya,
“Mana yang
sakit, Mak.”
Kau hanya
tersenyum, begitu kuatkah ragamu hingga mampu bertahan akan penyakit ini.
“Mak, makan
dulunya?” tanyaku, sambil memeriksa selang kecil yang dipasang dihidungnya.
Emak mengidap laryngitis, sehingga sulit bicara dan mencerna. Otomatis harus
makan lewat selang tersebut. Setiap cairan semisal air susu kedelai yang
dimasukan keselang itu, entah mengapa hatiku teriris. Tes… airmataku terjatuh
juga, seharusnya aku kuat, Emak yang sakit saja kuat.
Lagi- lagi
airmata ini jatuh, tatkala harus menggsok gigi Emak. Giginya yang jarang dan
tak beraturan membuatku harus berhati-hati saat menggosoknya, takut akan
melukai mulut yang begitu indah menebar nasehat untukku. Rumah sakit, sudah
berapa banyak airmata terjatuh disana.
“Suster…
Tolong pasien ruang no.7, infusnya terlepas,” teriakku diruang perawat.
Darah… Darah
itu keluar dari tangan Emak, banyak sekali. Kuangkat tubuh itu dan memeluk dan
menyanggahnya dari belakang. Bukan hanya darah yang mengalir kesekujur
pakaianku tetapi juga muntahan Emak yang ternyata sedang kembung karena
kebanyakan susu kedelai. Setelah setengah jam akhirnya Suster sudah selesai
membetulkan infus Emak.
“Mak,
sakitnya disuntik,” godaku, sambil memeluk tubuhnya. Emak jangan perginya, aku
masih ingin memeluk dan tidur dipangkuan kau.
Jum’at, 20
september 2013
Entah mengapa aku tak bisa tidur,
bayangan Emak seolah menari berputar dalam pikiran. Setelah shalat malam,
kubuka pintu dapur, kulihat sesosok bayangan wanita berbaju putih dan berambut
panjang.
“Emak, tunggu
aku. Disini aku merindu kau,” batinku.
Langit seolah
runtuh, tubuhku lemas bak tulang ini terlolosi satu-satu, nafas tak beraturan
dan airmata tumpah ruah.
“Emaakkkk…,”
teriakku histeris.
Telepon seolah
petaka yang tak terlupakan. Telepon dari paman yang sedang menunggu di rumah
sakit, mengabariku Emak kritis.
Dengan tubuh
yang terseok lemah, ku kuatkan diri untuk menemani Emak. Dalam perjalanan,
selaksa doa, kupanjatkan untuk kesembuhanya. Emak kuat, tunggu aku, ya.
“Kamu yang
sabar,” ucap Paman sambil menangis.
Mendengarnya,
tubuhku lemas, terkapar di lantai rumah sakit dan menangis histeris.
Sebuah keranda
tertutup kain hitam, terbujur kaku sosok wanita mulia. Melihatnya tangisku
pecah lagi, aku tak kuat. Paman berusaha menenangkanku, aku harus kuat. Ku bacakan
surat yasin di pinggir keranda itu walau dengan deraian airmata.
Di ambulance,
kupegang tangan lembutnya.
“Mak, maafkan
akunya belum bisa membuat kau bahagia dan selalu merepotkan.”
Lantunan surat
yasin mengiringi kepergian kau menuju peristirahatan terakhir. Aku tak mampu
melihat, jasad yang pernah menggendong, mengasuh dan mendidikku tertimbun
tanah.
Ya Rabb, ampuni dosanya, terangi dan lapangkan
kuburnya, ringankan siksa kuburnya dan tempatkan disisi-Mu, di tempat yang
mulia serta kumpulkan kami kelak di surga-Mu.
Aamiin.
Kupersembahkan
tulisan ini, untukmu yang selalu menyayangi kami. Terimakasih, Emak. Satu tahun
kepergianmu, tak akan mampu menghapus setiap cinta yang pernah kau goreskan
dihati ini.
Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar