Jumat, 19 September 2014

Emak

Emak

Oleh : Yanuari Purnawan



Jum’at, 13 september 2013

            Hari itu, kau menyuruhku mengantar ke malang. Berat rasanya, melihat tubuh tua yang ringkih karena penyakit yang sudah tiga bulan menyerang. Menunggu, hingga tiba mobil datang… Ya, mobil penangkut barang kupersembahkan untuk kau. Anak macam apa aku ini? Tetapi tak pernah ada keluhan yang keluar dari mulutmu.
“Mak, doain aku punya mobil bagus, biar tak bisa rekreasi kemanapun Emak mau nanti,” ucapku, dengan berusaha menahan airmata untuk tidak jatuh.
Hanya anggukan pelan yang kau berikan. Kupeluk tubuh kurus itu dengan penuh rasa sayang.

Selasa, 17 september 2013

            Wajah itu! Hampir saja aku tak mengenalinya lagi, ini Emakku atau bukan? Wajahnya redup, kulitnya terkelupas, rambutnya tinggal segelintir dan suaranya tak bisa kudengar lagi. Emak, ada apa dengan kau? Setiap aku bertanya,
“Mana yang sakit, Mak.”
Kau hanya tersenyum, begitu kuatkah ragamu hingga mampu bertahan akan penyakit ini.
“Mak, makan dulunya?” tanyaku, sambil memeriksa selang kecil yang dipasang dihidungnya. Emak mengidap laryngitis, sehingga sulit bicara dan mencerna. Otomatis harus makan lewat selang tersebut. Setiap cairan semisal air susu kedelai yang dimasukan keselang itu, entah mengapa hatiku teriris. Tes… airmataku terjatuh juga, seharusnya aku kuat, Emak yang sakit saja kuat.
Lagi- lagi airmata ini jatuh, tatkala harus menggsok gigi Emak. Giginya yang jarang dan tak beraturan membuatku harus berhati-hati saat menggosoknya, takut akan melukai mulut yang begitu indah menebar nasehat untukku. Rumah sakit, sudah berapa banyak airmata terjatuh disana.
“Suster… Tolong pasien ruang no.7, infusnya terlepas,” teriakku diruang perawat.
Darah… Darah itu keluar dari tangan Emak, banyak sekali. Kuangkat tubuh itu dan memeluk dan menyanggahnya dari belakang. Bukan hanya darah yang mengalir kesekujur pakaianku tetapi juga muntahan Emak yang ternyata sedang kembung karena kebanyakan susu kedelai. Setelah setengah jam akhirnya Suster sudah selesai membetulkan infus Emak.
“Mak, sakitnya disuntik,” godaku, sambil memeluk tubuhnya. Emak jangan perginya, aku masih ingin memeluk dan tidur dipangkuan kau.

Jum’at, 20 september 2013

            Entah mengapa aku tak bisa tidur, bayangan Emak seolah menari berputar dalam pikiran. Setelah shalat malam, kubuka pintu dapur, kulihat sesosok bayangan wanita berbaju putih dan berambut panjang.
“Emak, tunggu aku. Disini aku merindu kau,” batinku.
Langit seolah runtuh, tubuhku lemas bak tulang ini terlolosi satu-satu, nafas tak beraturan dan airmata tumpah ruah.
“Emaakkkk…,” teriakku histeris.
Telepon seolah petaka yang tak terlupakan. Telepon dari paman yang sedang menunggu di rumah sakit, mengabariku Emak kritis.
Dengan tubuh yang terseok lemah, ku kuatkan diri untuk menemani Emak. Dalam perjalanan, selaksa doa, kupanjatkan untuk kesembuhanya. Emak kuat, tunggu aku, ya.
“Kamu yang sabar,” ucap Paman sambil menangis.
Mendengarnya, tubuhku lemas, terkapar di lantai rumah sakit dan menangis histeris.
Sebuah keranda tertutup kain hitam, terbujur kaku sosok wanita mulia. Melihatnya tangisku pecah lagi, aku tak kuat. Paman berusaha menenangkanku, aku harus kuat. Ku bacakan surat yasin di pinggir keranda itu walau dengan deraian airmata.
Di ambulance, kupegang tangan lembutnya.
“Mak, maafkan akunya belum bisa membuat kau bahagia dan selalu merepotkan.”
Lantunan surat yasin mengiringi kepergian kau menuju peristirahatan terakhir. Aku tak mampu melihat, jasad yang pernah menggendong, mengasuh dan mendidikku tertimbun tanah.
Ya Rabb, ampuni dosanya, terangi dan lapangkan kuburnya, ringankan siksa kuburnya dan tempatkan disisi-Mu, di tempat yang mulia serta kumpulkan kami kelak di surga-Mu.
Aamiin.
Kupersembahkan tulisan ini, untukmu yang selalu menyayangi kami. Terimakasih, Emak. Satu tahun kepergianmu, tak akan mampu menghapus setiap cinta yang pernah kau goreskan dihati ini.

Selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar