Izinkan Aku Membencimu
Oleh
: Yanuari Purnawan
Aku
tak akan pernah mengerti jalan pikirannya. Semua yang terlintas hanya semu
tanpa ada pembenaran nyata. Sulit bagiku harus menuangkan apa yang sebenarnya
ada di dalam hati lelaki tua tersebut. Haruskah aku membencinya? Mungkin saja,
karena setiap laku dan sifatnya membuatku menangis. Inikah bentuk cintanya?
Ternyata, terlalu rumit dijelaskan dengan kata-kata.
“Ayah
… mau apa?” tanyaku sambil menatap wajahnya yang mulai keriput termakan usia.
Beliau hanya menggeleng lalu mengarahkan padangan ke kaca jendela.
Setetes,
dua tetes lalu meganak sungai air mata membasahi wajahku. Sungguh ujian apalagi
ini, Rabb. Sebenarnya aku sudah berusaha tegar, tetapi melihatnya dengan
kondisi seperti ini membuatku rapuh.
“Kok
melamun! Memang ada apa di balik kaca jendela tersebut, Yah?” tanyaku lagi
sembari mencari bola matanya yang masih fokus ke arah luar.
“Entahlah
… Ayah sendiri tak mengerti,” jawabnya singkat. Mata itu terlihat basah seolah
menyimpan berjuta tanya di dalamnya.
“Mungkin
Ayah sedang rindu!” jelasku berusaha menyimpulkan apa yang ayah sedang rasakan
saat ini. Beliau lalu menatapku dalam dan tersenyum.
“Rindu!
Bisakah orang yang sudah tua rentah begini merasakannya.”
“Kenapa,
tidak!” kejarku berusaha menyakinkannya. Begitulah ayah tidak pernah mau
terlihat rapuh walau di dalam hatinya sedang remuk redam.
“Hapus
air matamu. Anak laki-laki tak boleh cengeng, biar urusan ini ayah yang mencari
jawabannya.” Kuseka air mata dan menatap sekujur tubuhnya yang sudah ringkih di
usia senja tersebut.
Sudah
tiga hari aku dan ayah menghabiskan waktu di kamar rumah sakit. Semua gara-gara
ayah yang tidak pernah mau jujur akan penyakitnya. Seolah beliau adalah superhero yang kuat dan bisa mengatasi
masalah sendiri. Beberapa hari lalu, akhirnya ayah harus terkapar di ruang
tamu, karena kram otot kaki. Melihatnya kesakitan, langsung saja kubawa ke
puskesmas.
Memang,
ayah selalu keras kepala dan tidak mau dikasihani. Hingga dokter puskesmas
tidak sanggup menangani, karena ayah mengalami hipertensi dan gula darahnya naik. Dokter tersebut menyarankan
untuk dirujuk ke rumah sakit. Tanpa menunggu persetujuan ayah, aku menyetujui
saran dokter tersebut.
Menginjakkan
kaki di rumah sakit, seolah membuka luka lama. Kami harus merasakan lagi aroma
kematian yang begitu tajam menyengat pancaindera. Kulirik ayah yang sedang di
gerek menuju kamar inap sedang terpejam. Tetapi, yang membuatku heran bibirnya
masih berkomat-kamit, samar terdengar beliau sedang berdzikir.
Hingga
kini, aku masih setia menunggui ayah. Aku tidak mau harus menyesal dan
mengecewakannya. Alhamdulillah,
kondisi ayah mengalami kemajuan, hanya tinggal menunggu kadar gulanya turun. Di
rumah sakit, membuat hubunganku bersama beliau semakin dekat. Dulu, berbicara
dan bercanda hanya seperlunya atau mungkin tak pernah sama sekali. Maklum aku
lebih dekat dengan ibu.
Semenjak
ibu telah berpulang ke sisi-Nya, hubungan kami mulai merapat. Ayah sekarang
harus menjadi imam sekaligus ibu bagi aku dan adik. Sungguh berat beban yang
harus beliau terima. Tetapi, sedikit pun tidak pernah ada keluhan terucap dari
bibirnya. Aku sempat berpikir terbuat dari apakah hati ayah tersebut.
“Ayah
…!” tegurku kala beliau terbangun dari istirahat siangnya. Kuambil segelas air
putih, agar tubuh ayah sedikit segar. Setelah minum beberapa teguk, beliau
menyandarkan tubuhnya di atas kasur.
“Nak
… sudah makan! Bagaimana kabar adikmu?” tanya ayah sedikit parau.
“Sudah,
Ayah! Tidak usah pikirkan kami, yang penting ayah sehat sekarang,” jawabku sambil
memeriksa selang infusnya.
“Syukurlah
…!”
“Berapa
biaya rumah sakitnya, Nak?” Pertanyaan tersebut menyentak hati dan dadaku yang
seakan sesak.
“Ayah
… jangan pikirkan masalah biaya, yang terpenting ayah sembuh dan sehat dulu,”
terangku menahan bening hangat untuk tidak menetes dari kelopak mata.
“Tapi
…!”
“Sudahlah,
Ayah! Sekarang minum obat lalu istirahat,” potongku agar ayah tidak khawatir
akan masalah biaya rumah sakit.
Setelah
ayah mau istirahat, aku pamit untuk ke kamar mandi. Aku berlari menuju masjid
rumah sakit. Aku tidak kuat untuk menahan lagi. Air mata pun terus mengalir. Kuambil
wudhu lalu shalat. Inilah caraku menenangkan hati yang sedang gelisah. Menuju
rumah-Nya membuatku tenang dan damai.
Ya … Rabb, kuatkan dan
sembuhkan ayah, karena beliau adalah harta paling berharga dalam hidupku.
Sebait doa kupanjatkan, terlintas dalam pikiran bayangan ayah. Di balik sifat
keras dan cueknya, tersimpan cinta yang begitu besar kepada kami. Walau aku
sadar tidak pernah mengerti jalan pikirannya. Ayah begitu misterius dan
tertutup. Aku mengerti ayah pasti juga sedang tertekan batin, apalagi beliau
harus kehilangan wanita yang paling dicintainya.
Kutatap
wajah yang tenang dan bersahaja tertidur pulas. Kupegang tangan yang kekar
berotot tersebut dan mengelusnya lembut. Bulir hangat tidak bisa lagi tertahan
lalu tumpah dari mataku. Wajah yang begitu tegar, bibir yang mengulum senyum,
tangan yang siaga merangkul dan melindungi kami. Semua telah menyatu dalam raga
yang tidak pernah lelah dan mengeluh untuk menafkahi kami.
Terima
kasih atas semua kebohongan ayah kepada kami. Bohong jika tegar, cuek dan
seolah mampu mengurusi dirinya sendiri.
Tetapi sekarang aku mengerti, semua hanya sandiwara agar kami tidak
khawatir. Atas kebohongan itu, “Izinkan aku membencimu, Ayah.”
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar