Rabu, 24 Agustus 2016

Izinkan Aku Membencimu

Izinkan Aku Membencimu
Oleh : Yanuari Purnawan

Aku tak akan pernah mengerti jalan pikirannya. Semua yang terlintas hanya semu tanpa ada pembenaran nyata. Sulit bagiku harus menuangkan apa yang sebenarnya ada di dalam hati lelaki tua tersebut. Haruskah aku membencinya? Mungkin saja, karena setiap laku dan sifatnya membuatku menangis. Inikah bentuk cintanya? Ternyata, terlalu rumit dijelaskan dengan kata-kata.

“Ayah … mau apa?” tanyaku sambil menatap wajahnya yang mulai keriput termakan usia. Beliau hanya menggeleng lalu mengarahkan padangan ke kaca jendela.

Setetes, dua tetes lalu meganak sungai air mata membasahi wajahku. Sungguh ujian apalagi ini, Rabb. Sebenarnya aku sudah berusaha tegar, tetapi melihatnya dengan kondisi seperti ini membuatku rapuh.

“Kok melamun! Memang ada apa di balik kaca jendela tersebut, Yah?” tanyaku lagi sembari mencari bola matanya yang masih fokus ke arah luar.
“Entahlah … Ayah sendiri tak mengerti,” jawabnya singkat. Mata itu terlihat basah seolah menyimpan berjuta tanya di dalamnya.
“Mungkin Ayah sedang rindu!” jelasku berusaha menyimpulkan apa yang ayah sedang rasakan saat ini. Beliau lalu menatapku dalam dan tersenyum.
“Rindu! Bisakah orang yang sudah tua rentah begini merasakannya.”
“Kenapa, tidak!” kejarku berusaha menyakinkannya. Begitulah ayah tidak pernah mau terlihat rapuh walau di dalam hatinya sedang remuk redam.
“Hapus air matamu. Anak laki-laki tak boleh cengeng, biar urusan ini ayah yang mencari jawabannya.” Kuseka air mata dan menatap sekujur tubuhnya yang sudah ringkih di usia senja tersebut.

Sudah tiga hari aku dan ayah menghabiskan waktu di kamar rumah sakit. Semua gara-gara ayah yang tidak pernah mau jujur akan penyakitnya. Seolah beliau adalah superhero yang kuat dan bisa mengatasi masalah sendiri. Beberapa hari lalu, akhirnya ayah harus terkapar di ruang tamu, karena kram otot kaki. Melihatnya kesakitan, langsung saja kubawa ke puskesmas.

Memang, ayah selalu keras kepala dan tidak mau dikasihani. Hingga dokter puskesmas tidak sanggup menangani, karena ayah mengalami hipertensi dan gula darahnya naik. Dokter tersebut menyarankan untuk dirujuk ke rumah sakit. Tanpa menunggu persetujuan ayah, aku menyetujui saran dokter tersebut.

Menginjakkan kaki di rumah sakit, seolah membuka luka lama. Kami harus merasakan lagi aroma kematian yang begitu tajam menyengat pancaindera. Kulirik ayah yang sedang di gerek menuju kamar inap sedang terpejam. Tetapi, yang membuatku heran bibirnya masih berkomat-kamit, samar terdengar beliau sedang berdzikir.

Hingga kini, aku masih setia menunggui ayah. Aku tidak mau harus menyesal dan mengecewakannya. Alhamdulillah, kondisi ayah mengalami kemajuan, hanya tinggal menunggu kadar gulanya turun. Di rumah sakit, membuat hubunganku bersama beliau semakin dekat. Dulu, berbicara dan bercanda hanya seperlunya atau mungkin tak pernah sama sekali. Maklum aku lebih dekat dengan ibu.

Semenjak ibu telah berpulang ke sisi-Nya, hubungan kami mulai merapat. Ayah sekarang harus menjadi imam sekaligus ibu bagi aku dan adik. Sungguh berat beban yang harus beliau terima. Tetapi, sedikit pun tidak pernah ada keluhan terucap dari bibirnya. Aku sempat berpikir terbuat dari apakah hati ayah tersebut.

“Ayah …!” tegurku kala beliau terbangun dari istirahat siangnya. Kuambil segelas air putih, agar tubuh ayah sedikit segar. Setelah minum beberapa teguk, beliau menyandarkan tubuhnya di atas kasur.
“Nak … sudah makan! Bagaimana kabar adikmu?” tanya ayah sedikit parau.
“Sudah, Ayah! Tidak usah pikirkan kami, yang penting ayah sehat sekarang,” jawabku sambil memeriksa selang infusnya.
“Syukurlah …!”
“Berapa biaya rumah sakitnya, Nak?” Pertanyaan tersebut menyentak hati dan dadaku yang seakan sesak.
“Ayah … jangan pikirkan masalah biaya, yang terpenting ayah sembuh dan sehat dulu,” terangku menahan bening hangat untuk tidak menetes dari kelopak mata.
“Tapi …!”
“Sudahlah, Ayah! Sekarang minum obat lalu istirahat,” potongku agar ayah tidak khawatir akan masalah biaya rumah sakit.

Setelah ayah mau istirahat, aku pamit untuk ke kamar mandi. Aku berlari menuju masjid rumah sakit. Aku tidak kuat untuk menahan lagi. Air mata pun terus mengalir. Kuambil wudhu lalu shalat. Inilah caraku menenangkan hati yang sedang gelisah. Menuju rumah-Nya membuatku tenang dan damai.

Ya … Rabb, kuatkan dan sembuhkan ayah, karena beliau adalah harta paling berharga dalam hidupku. Sebait doa kupanjatkan, terlintas dalam pikiran bayangan ayah. Di balik sifat keras dan cueknya, tersimpan cinta yang begitu besar kepada kami. Walau aku sadar tidak pernah mengerti jalan pikirannya. Ayah begitu misterius dan tertutup. Aku mengerti ayah pasti juga sedang tertekan batin, apalagi beliau harus kehilangan wanita yang paling dicintainya.

Kutatap wajah yang tenang dan bersahaja tertidur pulas. Kupegang tangan yang kekar berotot tersebut dan mengelusnya lembut. Bulir hangat tidak bisa lagi tertahan lalu tumpah dari mataku. Wajah yang begitu tegar, bibir yang mengulum senyum, tangan yang siaga merangkul dan melindungi kami. Semua telah menyatu dalam raga yang tidak pernah lelah dan mengeluh untuk menafkahi kami.

Terima kasih atas semua kebohongan ayah kepada kami. Bohong jika tegar, cuek dan seolah mampu mengurusi dirinya sendiri.  Tetapi sekarang aku mengerti, semua hanya sandiwara agar kami tidak khawatir. Atas kebohongan itu, “Izinkan aku membencimu, Ayah.”


Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar