Senin, 22 Agustus 2016

Jalan Masih Panjang

Jalan Masih Panjang
Yanuari Purnawan

Sebenarnya aku tak pandai berdekatan dengan seoarang perempuan. Jujur lidahku selalu kaku jika berbicara dengan lawan jenis, mungkin itulah yang menjadi alasan bagiku untuk menghindar dari mereka. Namun, tidak kepada perempuan bernama Wulan. Dia adalah perempuan yang duduk di depan bangkuku. Anaknya baik dan murah senyum, itulah kesan pertama saat kita berkenalan.
“Kenalin Wulan!” ucapnya antusias sambil membalikkan badan ke arah tempat dudukku. Aku hanya tersenyum kikuk.
“Arya!”
Senyum mengembang di wajahnya seakan menghipnotisku dan dunia berputar melambat. Entah perasaan apa yang sedang terjadi kepadaku.
“Semoga kita bisa menjadi teman sekelas yang baik,” jelasnya yang lagi-lagi disertai senyum begitu memesona. Aku pun hanya mengangguk sambil membalas senyumnya.
Wulan begitu ramah dan menyenangkan sehingga mudah baginya berteman dengan siapa saja, lain denganku yang sulit bersosialisasi dan pendiam. Jadi, selama beberapa hari temanku hanya buku dan perempuan yang duduk di depan bangku. Iya, hanya Wulan sajalah yang mau mengobrol denganku di sekolah baru ini.
“Sekali-kali jangan menutup diri dan mulai bersosialisasi dengan lainnya!”
Aku hanya diam sambil mengerjakan soal-soal matematika. Merasa tak dihiraukan Wulan yang duduk menghadapku langsung menekankan bolpoin ke jariku.
“Sakit tau!” rancauku sambil memegang jariku yang di tusuk bolpoin.
“Makanya kalau ada orang ngomong dengerin! Emang soal matematika lebih menarik dari aku.”
Aku tak bisa menahan tawa yang membuat Wulan semakin kesal lalu berpaling dari menghadapku.
***
Waktu berjalan begitu cepat tak terasa kedekatanku dengan Wulan semakin intens, apalagi kita sering tugas kelompok bersama. Mungkin orang lain yang melihat hubungan kita sering menganggap kalau kita adalah pasangan kekasih. Termasuk di dalam kelas pun rumor kalau aku pacaran dengan Wulan semakin menjadi saja. Namun, bagiku dan Wulan hubungan kita hanya sebatas teman sekelas yang dekat, tak lebih dari itu. Walau dalam hatiku ada rasa lebih kepadanya, tapi aku sadar diri dan tak mau merusak hubungan pertemanan kita.
“Mbem … apa kamu merasakan ada sesuatu yang aneh dalam hubungan kita ini?”
Tembem adalah panggilan akrab Wulan kepadaku, sedangkan aku memanggilnya dengan sebutan Bawel. Pasti tahu mengapa aku memanggilnya begitu, karena kalau dia bicara tak pernah ada istilah lowbat.
“Aneh gimana sih, Bawel!” balasku sambil mengotak-atik rumus fisika. Kita sedang mengerjakan tugas kelompok fisika di perpustakaan.
“Iya aneh … kayak orang … orang pacaran …,” gumamnya ragu-ragu walaupun begitu masih jelas ditangkap gendang telingaku.
Aku hanya mampu tersenyum dan sedikit gugup akan perkataannya yang begitu vulgar dan jujur. Mungkin itulah yang aku sukai dari dia, gaya bicaranya yang ceplas-ceplos.
“Emangnya kamu mau punya pacar seperti aku?”
Sepertinya aku ingin menelan kembali perkataan tersebut, namun semua terlambat. Wulan menatapku tajam. Apakah dia marah kepadaku?
“Sudahlah … Mbem, nggak perlu dibahas!” jawabnya gugup dan terkesan salah tingkah. Apakah dia juga merasakan hal yang sama denganku? Hanya Allah di atas Arsh yang tahu isi hatinya.
***
Ada yang berubah dari Wulan, kini aku tak menemukan Wulan yang selalu ceplas-ceplos dan suka jailin aku. Dia lebih pendiam dan tertutup, ironisnya dia tak lagi intens mengobral denganku. Apakah aku pernah berbuat salah kepadanya? Sungguh inilah hal terberat dari hidupku harus berjauhan dengan sesosok perempuan yang kusukai secara diam-diam.
Wulan benar-benar berubah, dia bahkan tak lagi heboh berbicara denganku atau saling bertukar sms lucu setiap hari. Dia lebih memilih bergaul dengan teman-teman perempuannya. Sepertinya dia membuat jarak untuk berdekatan denganku. Situasi ini yang membuat pikiranku tersita hingga akhir-akhir ini nilai pelajaranku menurun.
“Jangan sia-siakan waktumu hanya untuk kesenangan semu!”
Seharusnya aku merasa senang mendapat sms dari seseorang yang aku tunggu kabar darinya. Namun entah mengapa sms darinya kini berasa ada anak panah yang menembus hatiku. Apakah sebenarnya Wulan tahu akan perasaanku kepadanya? Aku hanya mampu memandang layar ponsel dan bingung harus menekan tombol replay. Kegalauan ini benar-benar keterlaluan, mungkin inikah yang dinamakan cinta bersemi lalu mati itu. Secepatnya aku harus bicara dengan Wulan.
Saat pulang sekolah aku menunggunya di depan perpustakaan. Kemarin malam aku sudah sms dia jika ingin berbicara serius kepadanya. Mungkin terdengar konyol masih berseragam putih abu-abu sudah berani bicara serius, namun jika sudah urusan hati siapa yang mampu mengontrol. Kulihat Wulan datang tidak sendiri tapi dengan salah satu teman perempuannya.
“Assalamualaikum, maaf buat kamu menunggu!” ucapnya begitu lembut dan santun. Wulan tampak anggun dengan jilbab putihnya atau itu karena aku tak pernah melihatnya pakai jilbab sebelumnya.
“Wa … alaikumsalam!” jawabku gugup sambil meremas jari-jariku. Entah apa yang terjadi, lidahku terasa keluh dan tenggorokan seakan menelan duri.
“Apa yang ingin Arya bicarakan? Maaf aku tak ada waktu banyak, soalnya aku dan Rina harus pergi liqo’!” jelasnya Wulan sambil melihat jam tangannya. Sungguh begitu manis melingkar di tangannya. Stop! Aku harus fokus dengan tujuanku ada di sini.
“Emm … aku hanya ingin tanya, maksud sms kamu kemarin malam itu apa? Yang isinya jangan sia-siakan waktumu hanya untuk kesenangan semu.”
Wulan terdiam sejenak sambil mengingat-ingat sms yang dikirimnya tempo hari. Wajahnya kembali cerah, secerah langit sore hari ini.
“Oh … sms itu! Kukira kamu sudah mengerti. Baiklah jika kamu ingin penjelasan dariku, maka akan aku jelaskan. Intinya, jangan membuang waktu kita hanya untuk kesenangan yang tak pasti semisal melibatkan hati kepada lawan jenis.”
“Maksudmu hubungan kita selama ini?” potongku yang penasaran. Wulan hanya tersenyum sambil menunduk lalu melanjutkan penjelasannya.
“Arya, aku mengerti selama ini kita telah salah jalan. Semenjak aku gabung dengan rohis sekolah ternyata, banyak yang keliru dari hubungan kita. Agama kita sudah mengatur bagaimana cara bergaul dengan lawan jenis yang sesuai syaria. Jujur aku juga melibatkan hati saat berhubungan denganmu dan itu salah.”
“Salah?”
Dia hanya mengangguk lalu pergi bersama temannya meninggalkanku sendiri yang membisu. Penjelasan dari Wulan barusan seakan membuka mataku bahwa dia benar-benar berubah. Sekuat tenaga aku menahan untuk tegar dan tak menjatuhkan air mata, namun dalam diam mata dan hatiku pun menangis.
***
Cinta yang bertepuk sebelah tangan itu memang menyakitkan, namun yang lebih menyakitkan kalau kita tetap bertahan kepada cinta tersebut. Aku berpikir kalau Wulan adalah jodohku kelak, tapi siapa yang bisa mendekte takdir.
“Jalan masih panjang, Bro!” ucap Hasan salah satu teman terdekatku kini di Rohis sekolah. Semenjak pertemuanku dengan wulan di perpustakaan dulu, membuatku berpikir mengapa aku juga tak bergabung dengan Rohis sekolah, siapa tahu aku bisa menemukan jawaban akan kegundahan hatiku.
“Bicara cinta memang tak ada habisnya. Obat orang jatuh cinta itu hanya satu yakni menikah. Kita kan masih SMA jadi belum pantes untuk bicara cinta, bukan?” lanjut Hasan yang gaya bicara seperti ustadz beken di televisi saja.
Aku terdiam sambil membaca buku Kutinggalkan dia Karena Dia karya Dunia Jilbab yang membuat hatiku tertohok oleh salah satu kalimat di dalam buku tersebut.
“Jodoh tak serta merta dekat karena kita pacaran. Dan tak pula menjauh karena kita jomblo.”
Aku jadi tersenyum sendiri mendengar ucapan Hasan barusan. Jalan masih panjang untuk kita yang masih belum siap untuk berkomitmen. Daripada sibuk melibatkan hati dan pacaran, lebih baik dari sekarang memantaskan diri untuk kelak menjadi calon imam idaman. Hingga Allah mempertemukan kita dengan pasangan halal yang juga memantaskan dirinya. Jalanku masih panjang, hijrah menuju kebaikan memang tak mudah, namun pasti ada jalan terbaik yang disiapkan-Nya.
“Sudah azan zuhur, Bro. Yuk ke mushalla!”
Aku menutup buku yang sedang kubaca lalu berangkulan menuju rumah Allah. Dari ujung mataku sesosok perempuan yang pernah duduk di depan bangku pun berjalan memenuhi panggilan-Nya untuk salat zuhur. Aku segera menepis perasaan itu dan menata hati lalu berujar, “Jalan masih panjang.”

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar