Jalan Masih Panjang
Yanuari
Purnawan
Sebenarnya aku tak pandai
berdekatan dengan seoarang perempuan. Jujur lidahku selalu kaku jika berbicara
dengan lawan jenis, mungkin itulah yang menjadi alasan bagiku untuk menghindar
dari mereka. Namun, tidak kepada perempuan bernama Wulan. Dia adalah perempuan
yang duduk di depan bangkuku. Anaknya baik dan murah senyum, itulah kesan
pertama saat kita berkenalan.
“Kenalin Wulan!” ucapnya antusias
sambil membalikkan badan ke arah tempat dudukku. Aku hanya tersenyum kikuk.
“Arya!”
Senyum mengembang di wajahnya
seakan menghipnotisku dan dunia berputar melambat. Entah perasaan apa yang
sedang terjadi kepadaku.
“Semoga kita bisa menjadi teman
sekelas yang baik,” jelasnya yang lagi-lagi disertai senyum begitu memesona. Aku
pun hanya mengangguk sambil membalas senyumnya.
Wulan begitu ramah dan menyenangkan
sehingga mudah baginya berteman dengan siapa saja, lain denganku yang sulit
bersosialisasi dan pendiam. Jadi, selama beberapa hari temanku hanya buku dan
perempuan yang duduk di depan bangku. Iya, hanya Wulan sajalah yang mau
mengobrol denganku di sekolah baru ini.
“Sekali-kali jangan menutup diri
dan mulai bersosialisasi dengan lainnya!”
Aku hanya diam sambil mengerjakan
soal-soal matematika. Merasa tak dihiraukan Wulan yang duduk menghadapku
langsung menekankan bolpoin ke jariku.
“Sakit tau!” rancauku sambil
memegang jariku yang di tusuk bolpoin.
“Makanya kalau ada orang ngomong
dengerin! Emang soal matematika lebih menarik dari aku.”
Aku tak bisa menahan tawa yang
membuat Wulan semakin kesal lalu berpaling dari menghadapku.
***
Waktu berjalan begitu cepat tak
terasa kedekatanku dengan Wulan semakin intens, apalagi kita sering tugas
kelompok bersama. Mungkin orang lain yang melihat hubungan kita sering
menganggap kalau kita adalah pasangan kekasih. Termasuk di dalam kelas pun
rumor kalau aku pacaran dengan Wulan semakin menjadi saja. Namun, bagiku dan
Wulan hubungan kita hanya sebatas teman sekelas yang dekat, tak lebih dari itu.
Walau dalam hatiku ada rasa lebih kepadanya, tapi aku sadar diri dan tak mau
merusak hubungan pertemanan kita.
“Mbem … apa kamu merasakan ada
sesuatu yang aneh dalam hubungan kita ini?”
Tembem adalah panggilan akrab Wulan
kepadaku, sedangkan aku memanggilnya dengan sebutan Bawel. Pasti tahu mengapa
aku memanggilnya begitu, karena kalau dia bicara tak pernah ada istilah lowbat.
“Aneh gimana sih, Bawel!” balasku
sambil mengotak-atik rumus fisika. Kita sedang mengerjakan tugas kelompok
fisika di perpustakaan.
“Iya aneh … kayak orang … orang
pacaran …,” gumamnya ragu-ragu walaupun begitu masih jelas ditangkap gendang
telingaku.
Aku hanya mampu tersenyum dan
sedikit gugup akan perkataannya yang begitu vulgar dan jujur. Mungkin itulah
yang aku sukai dari dia, gaya bicaranya yang ceplas-ceplos.
“Emangnya kamu mau punya pacar
seperti aku?”
Sepertinya aku ingin menelan
kembali perkataan tersebut, namun semua terlambat. Wulan menatapku tajam.
Apakah dia marah kepadaku?
“Sudahlah … Mbem, nggak perlu
dibahas!” jawabnya gugup dan terkesan salah tingkah. Apakah dia juga merasakan
hal yang sama denganku? Hanya Allah di atas Arsh yang tahu isi hatinya.
***
Ada yang berubah dari Wulan, kini
aku tak menemukan Wulan yang selalu ceplas-ceplos dan suka jailin aku. Dia
lebih pendiam dan tertutup, ironisnya dia tak lagi intens mengobral denganku.
Apakah aku pernah berbuat salah kepadanya? Sungguh inilah hal terberat dari
hidupku harus berjauhan dengan sesosok perempuan yang kusukai secara diam-diam.
Wulan benar-benar berubah, dia
bahkan tak lagi heboh berbicara denganku atau saling bertukar sms lucu setiap
hari. Dia lebih memilih bergaul dengan teman-teman perempuannya. Sepertinya dia
membuat jarak untuk berdekatan denganku. Situasi ini yang membuat pikiranku
tersita hingga akhir-akhir ini nilai pelajaranku menurun.
“Jangan
sia-siakan waktumu hanya untuk kesenangan semu!”
Seharusnya aku merasa senang
mendapat sms dari seseorang yang aku tunggu kabar darinya. Namun entah mengapa
sms darinya kini berasa ada anak panah yang menembus hatiku. Apakah sebenarnya
Wulan tahu akan perasaanku kepadanya? Aku hanya mampu memandang layar ponsel
dan bingung harus menekan tombol replay. Kegalauan ini benar-benar keterlaluan,
mungkin inikah yang dinamakan cinta bersemi lalu mati itu. Secepatnya aku harus
bicara dengan Wulan.
Saat pulang sekolah aku menunggunya
di depan perpustakaan. Kemarin malam aku sudah sms dia jika ingin berbicara
serius kepadanya. Mungkin terdengar konyol masih berseragam putih abu-abu sudah
berani bicara serius, namun jika sudah urusan hati siapa yang mampu mengontrol.
Kulihat Wulan datang tidak sendiri tapi dengan salah satu teman perempuannya.
“Assalamualaikum, maaf buat kamu
menunggu!” ucapnya begitu lembut dan santun. Wulan tampak anggun dengan jilbab
putihnya atau itu karena aku tak pernah melihatnya pakai jilbab sebelumnya.
“Wa … alaikumsalam!” jawabku gugup
sambil meremas jari-jariku. Entah apa yang terjadi, lidahku terasa keluh dan
tenggorokan seakan menelan duri.
“Apa yang ingin Arya bicarakan?
Maaf aku tak ada waktu banyak, soalnya aku dan Rina harus pergi liqo’!”
jelasnya Wulan sambil melihat jam tangannya. Sungguh begitu manis melingkar di
tangannya. Stop! Aku harus fokus dengan tujuanku ada di sini.
“Emm … aku hanya ingin tanya,
maksud sms kamu kemarin malam itu apa? Yang isinya jangan sia-siakan waktumu
hanya untuk kesenangan semu.”
Wulan terdiam sejenak sambil
mengingat-ingat sms yang dikirimnya tempo hari. Wajahnya kembali cerah, secerah
langit sore hari ini.
“Oh … sms itu! Kukira kamu sudah
mengerti. Baiklah jika kamu ingin penjelasan dariku, maka akan aku jelaskan.
Intinya, jangan membuang waktu kita hanya untuk kesenangan yang tak pasti
semisal melibatkan hati kepada lawan jenis.”
“Maksudmu hubungan kita selama
ini?” potongku yang penasaran. Wulan hanya tersenyum sambil menunduk lalu
melanjutkan penjelasannya.
“Arya, aku mengerti selama ini kita
telah salah jalan. Semenjak aku gabung dengan rohis sekolah ternyata, banyak
yang keliru dari hubungan kita. Agama kita sudah mengatur bagaimana cara
bergaul dengan lawan jenis yang sesuai syaria. Jujur aku juga melibatkan hati
saat berhubungan denganmu dan itu salah.”
“Salah?”
Dia hanya mengangguk lalu pergi
bersama temannya meninggalkanku sendiri yang membisu. Penjelasan dari Wulan
barusan seakan membuka mataku bahwa dia benar-benar berubah. Sekuat tenaga aku
menahan untuk tegar dan tak menjatuhkan air mata, namun dalam diam mata dan
hatiku pun menangis.
***
Cinta yang bertepuk sebelah tangan
itu memang menyakitkan, namun yang lebih menyakitkan kalau kita tetap bertahan
kepada cinta tersebut. Aku berpikir kalau Wulan adalah jodohku kelak, tapi
siapa yang bisa mendekte takdir.
“Jalan masih panjang, Bro!” ucap
Hasan salah satu teman terdekatku kini di Rohis sekolah. Semenjak pertemuanku
dengan wulan di perpustakaan dulu, membuatku berpikir mengapa aku juga tak
bergabung dengan Rohis sekolah, siapa tahu aku bisa menemukan jawaban akan
kegundahan hatiku.
“Bicara cinta memang tak ada
habisnya. Obat orang jatuh cinta itu hanya satu yakni menikah. Kita kan masih
SMA jadi belum pantes untuk bicara cinta, bukan?” lanjut Hasan yang gaya bicara
seperti ustadz beken di televisi saja.
Aku terdiam sambil membaca buku
Kutinggalkan dia Karena Dia karya Dunia Jilbab yang membuat hatiku tertohok
oleh salah satu kalimat di dalam buku tersebut.
“Jodoh
tak serta merta dekat karena kita pacaran. Dan tak pula menjauh karena kita
jomblo.”
Aku jadi tersenyum sendiri
mendengar ucapan Hasan barusan. Jalan masih panjang untuk kita yang masih belum
siap untuk berkomitmen. Daripada sibuk melibatkan hati dan pacaran, lebih baik
dari sekarang memantaskan diri untuk kelak menjadi calon imam idaman. Hingga
Allah mempertemukan kita dengan pasangan halal yang juga memantaskan dirinya.
Jalanku masih panjang, hijrah menuju kebaikan memang tak mudah, namun pasti ada
jalan terbaik yang disiapkan-Nya.
“Sudah azan zuhur, Bro. Yuk ke
mushalla!”
Aku menutup buku yang sedang kubaca
lalu berangkulan menuju rumah Allah. Dari ujung mataku sesosok perempuan yang
pernah duduk di depan bangku pun berjalan memenuhi panggilan-Nya untuk salat
zuhur. Aku segera menepis perasaan itu dan menata hati lalu berujar, “Jalan
masih panjang.”
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar