Matahari untuk Bintang
Oleh
: Yanuari Purnawan
Aku
masih setia menunggunya. Semenit, dua menit hingga berubah menjadi jam. Tetapi,
batang hidungnya saja tak terlihat. Apa dia lupa akan janji tersebut? Atau
mungkin dia benar-benar tak ingin bertemu denganku. Suasana taman kampus mulai
sepi, langit mulai mendung, rasa di dalam dada seolah berkecamuk. Resah, kecewa
dan sedih. Berkali-kali kuhubungi nomor ponselnya juga tidak aktif. Sungguh,
menunggu adalah hal paling menyebalkan dalam hidup ini.
“Maaf
ya, Kak! Aku terlambat,” ucapnya dengan tersenggal-senggal seperti habis lari marathon. Sebelum kupersilahkan dia
duduk, terlebih dulu, dia mengenalkan sahabat perempuan yang menemaninya.
“Tidak
apa-apa kok! Sebentar lagi kakak sudah jamuran,” candaku sambil tersenyum ke
arah kedua gadis berjilbab di depanku. Mereka hanya tersenyum mendengar
candaanku tersebut.
“Memangnya
ada apa, Kak Irfan menyuruhku ke sini?” tanyanya dengan air muka yang penuh
penasaran. Tiba-tiba lidah menjadi keluh, keringat dingin mulai membasahi
pelipis dan sedikit gugup.
“Emm
… Nay … jujur aku suka sama Nayla,”
jelasku dengan terbata-bata. Mata beningnya membelalak mendengar penjelaskanku
tersebut. Lalu beralih memandang sahabatnya yang tak kalah kaget dengannya.
“Maksudnya?”
kejar Nayla yang masih belum paham.
“Sejak
pertama kali kenal sama Nayla, entah mengapa hatiku selalu berdesir dan ada
getaran halus. Hingga puncaknya, aku tidak bisa tidur karena bayangan Nayla
selalu ada dalam pikiranku. Aku bukanlah pria yang soleh, tetapi aku sudah
belajar agama. Pasti Nayla tahu itu,” terangku, jujur.
“Lalu?”
“Maukah
Nayla jadi pacarku?” ucapku spontan. Nayla yang sedari tadi menunduk lalu
menatapku dalam.
“Aku
sangat salut dengan keberanian Kak Irfan. Tetapi, di dalam islam tidak ada yang
namanya pacaran. Hanya menikahlah jalan satu-satunya.”
“Lalu?”
potongku yang mulai penasaran dengan jawabannya.
“Kalau
Kak Irfan suka sama Nayla … maka nikahilah aku!” tantang Nayla tegas. Membuatku
kaget, seolah ada petir yang menyambar diri ini. Tak pernah terpikir sedikitpun
tentang rencana menikah sebelumnya. Dan sekarang kata itu meluncur dari bibir perempuan
yang aku sukai.
Setelah
perbincangan kurang lebih setengah jam di taman kampus. Nayla dan sahabatnya
undur diri untuk pulang karena hari sudah sore. Aku sedikit bernafas lega,
karena diberi waktu satu minggu untuk menjawab tantangan Nayla. Secepat
mungkin, aku harus sampai kos-kosan dan segera bicara dengan sahabatku, Rio,
akan masalah ini.
“Cari
cewek lain saja. Kalau kamu belum siap menikah, jangan dipaksakan. Nanti kamu
bisa menyesal,” jelas Rio menasihatku yang sedang curhat akan dilema yang
sedang kuhadapi.
Pikiranku
kacau antara iya atau tidak. Disatu sisi aku masih kuliah dan di sisi lain aku
juga menyukai Nayla. Haruskah aku menikah? Ataukah ikhlas merelakan cinta untuk
Nayla. Dalam kekalutan ini, tanpa disuruh aku langsung mengambil air wudhu. Ini
pertama kalinya, aku benar-benar khusyuk ketika shalat malam. Rabb, tunjukanlah jalan yang terbaik atas
masalahku ini. Sebersit doa kupanjatkan dengan tulus dan penuh kepasrahan.
Dalam
kegamangan segera kuhubungi kedua orangtua di desa. Sebagai seorang anak, restu
dan pendapat orangtualah yang paling utama. Kuceritakan masalah yang sedang
kuhadapi. Dari perkenalanku dengan gadis soleha bernama Nayla, hingga tantangan
untuk menikahinya. Bapak dan ibu memasrahkan keputusan akan masalah ini
kepadaku. Mereka akan menyetujui apapun jalan yang akan aku ambil. Bahkan jika
harus menikah muda sekalipun. Bagi mereka, menikah muda bukanlah masalah besar
asal gadis tersebut soleha sudah cukup.
Tanpa terasa satu minggu berjalan begitu
cepat. Kini, tibalah hari di mana keputusan terbesar dalam hidup akan aku
ambil. Dengan langkah gontai serta penampilan apa adanya, aku menuju taman
kampus. Tak seperti pertemuan terdahulu, malah aku yang datang terlambat.
Kulihat Nayla dan sahabatnya sudah sampai duluan. Setelah minta maaf, mereka
mempersilahkan aku duduk.
“Nayla
… apa sudah siap menerima jawabanku?” tanyaku memecah kebisuan beberapa detik.
Nayla yang tampak anggun dengan jilbab putih panjangnya itu, hanya mengangguk.
“Aku
bukanlah bintang yang mampu bersinar terang tanpa matahari. Bagiku, Nayla
adalah matahari yang mampu menerangi setiap sendi kehidupanku. Dengan ketulusan
hati dan cinta karena-Nya, aku ingin menikahi Nayla,” jelasku, tulus dari hati.
Kulihat Nayla hanya tertunduk dan diam tanpa kata.
“Aku
mengerti berat menerima pria sepertiku. Aku bukanlah pria yang baik dan soleh
yang pantas untuk gadis soleha seperti Nayla. Aku bisa terima kok, jika Nayla
memang tidak bisa menerimanya,” lanjutku penuh keikhlasan. Mata bening itu
menatapku tajam. Lalu dengan bibir bergetar Nayla berkata.
“Bismillah … aku mau menjadi matahari
untuk bintang.”[]
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar