Jumat, 05 Agustus 2016

Matahari untuk Bintang

Matahari untuk Bintang
Oleh : Yanuari Purnawan


Aku masih setia menunggunya. Semenit, dua menit hingga berubah menjadi jam. Tetapi, batang hidungnya saja tak terlihat. Apa dia lupa akan janji tersebut? Atau mungkin dia benar-benar tak ingin bertemu denganku. Suasana taman kampus mulai sepi, langit mulai mendung, rasa di dalam dada seolah berkecamuk. Resah, kecewa dan sedih. Berkali-kali kuhubungi nomor ponselnya juga tidak aktif. Sungguh, menunggu adalah hal paling menyebalkan dalam hidup ini.

“Maaf ya, Kak! Aku terlambat,” ucapnya dengan tersenggal-senggal seperti habis lari marathon. Sebelum kupersilahkan dia duduk, terlebih dulu, dia mengenalkan sahabat perempuan yang menemaninya.
“Tidak apa-apa kok! Sebentar lagi kakak sudah jamuran,” candaku sambil tersenyum ke arah kedua gadis berjilbab di depanku. Mereka hanya tersenyum mendengar candaanku tersebut.
“Memangnya ada apa, Kak Irfan menyuruhku ke sini?” tanyanya dengan air muka yang penuh penasaran. Tiba-tiba lidah menjadi keluh, keringat dingin mulai membasahi pelipis dan sedikit gugup.
“Emm … Nay … jujur  aku suka sama Nayla,” jelasku dengan terbata-bata. Mata beningnya membelalak mendengar penjelaskanku tersebut. Lalu beralih memandang sahabatnya yang tak kalah kaget dengannya.
“Maksudnya?” kejar Nayla yang masih belum paham.
“Sejak pertama kali kenal sama Nayla, entah mengapa hatiku selalu berdesir dan ada getaran halus. Hingga puncaknya, aku tidak bisa tidur karena bayangan Nayla selalu ada dalam pikiranku. Aku bukanlah pria yang soleh, tetapi aku sudah belajar agama. Pasti Nayla tahu itu,” terangku, jujur.
“Lalu?”
“Maukah Nayla jadi pacarku?” ucapku spontan. Nayla yang sedari tadi menunduk lalu menatapku dalam.
“Aku sangat salut dengan keberanian Kak Irfan. Tetapi, di dalam islam tidak ada yang namanya pacaran. Hanya menikahlah jalan satu-satunya.”
“Lalu?” potongku yang mulai penasaran dengan jawabannya.
“Kalau Kak Irfan suka sama Nayla … maka nikahilah aku!” tantang Nayla tegas. Membuatku kaget, seolah ada petir yang menyambar diri ini. Tak pernah terpikir sedikitpun tentang rencana menikah sebelumnya. Dan sekarang kata itu meluncur dari bibir perempuan yang aku sukai.

Setelah perbincangan kurang lebih setengah jam di taman kampus. Nayla dan sahabatnya undur diri untuk pulang karena hari sudah sore. Aku sedikit bernafas lega, karena diberi waktu satu minggu untuk menjawab tantangan Nayla. Secepat mungkin, aku harus sampai kos-kosan dan segera bicara dengan sahabatku, Rio, akan masalah ini.

“Cari cewek lain saja. Kalau kamu belum siap menikah, jangan dipaksakan. Nanti kamu bisa menyesal,” jelas Rio menasihatku yang sedang curhat akan dilema yang sedang kuhadapi.

Pikiranku kacau antara iya atau tidak. Disatu sisi aku masih kuliah dan di sisi lain aku juga menyukai Nayla. Haruskah aku menikah? Ataukah ikhlas merelakan cinta untuk Nayla. Dalam kekalutan ini, tanpa disuruh aku langsung mengambil air wudhu. Ini pertama kalinya, aku benar-benar khusyuk ketika shalat malam. Rabb, tunjukanlah jalan yang terbaik atas masalahku ini. Sebersit doa kupanjatkan dengan tulus dan penuh kepasrahan.

Dalam kegamangan segera kuhubungi kedua orangtua di desa. Sebagai seorang anak, restu dan pendapat orangtualah yang paling utama. Kuceritakan masalah yang sedang kuhadapi. Dari perkenalanku dengan gadis soleha bernama Nayla, hingga tantangan untuk menikahinya. Bapak dan ibu memasrahkan keputusan akan masalah ini kepadaku. Mereka akan menyetujui apapun jalan yang akan aku ambil. Bahkan jika harus menikah muda sekalipun. Bagi mereka, menikah muda bukanlah masalah besar asal gadis tersebut soleha sudah cukup.

 Tanpa terasa satu minggu berjalan begitu cepat. Kini, tibalah hari di mana keputusan terbesar dalam hidup akan aku ambil. Dengan langkah gontai serta penampilan apa adanya, aku menuju taman kampus. Tak seperti pertemuan terdahulu, malah aku yang datang terlambat. Kulihat Nayla dan sahabatnya sudah sampai duluan. Setelah minta maaf, mereka mempersilahkan aku duduk.

“Nayla … apa sudah siap menerima jawabanku?” tanyaku memecah kebisuan beberapa detik. Nayla yang tampak anggun dengan jilbab putih panjangnya itu, hanya mengangguk.
“Aku bukanlah bintang yang mampu bersinar terang tanpa matahari. Bagiku, Nayla adalah matahari yang mampu menerangi setiap sendi kehidupanku. Dengan ketulusan hati dan cinta karena-Nya, aku ingin menikahi Nayla,” jelasku, tulus dari hati. Kulihat Nayla hanya tertunduk dan diam tanpa kata.
“Aku mengerti berat menerima pria sepertiku. Aku bukanlah pria yang baik dan soleh yang pantas untuk gadis soleha seperti Nayla. Aku bisa terima kok, jika Nayla memang tidak bisa menerimanya,” lanjutku penuh keikhlasan. Mata bening itu menatapku tajam. Lalu dengan bibir bergetar Nayla berkata.

Bismillah … aku mau menjadi matahari untuk bintang.”[]


Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar