Kamis, 15 September 2016

Patah Hati Terindah

Patah Hati Terindah
Yanuari Purnawan



“Dia menolakku!”
Matanya berkaca-kaca dan raut wajahnya tampak begitu mendung. Suasana kafe pagi ini sepertinya mendukung akan apa yang dia rasakan. Sepi. Mungkin karena masih jam kerja.
“Aku tidak mengerti alasan dia menolakku. Dia bilang aku terlalu baik dan sempurna untuknya. Apa itu alasan yang tidak buat-buat?”
Dia tampak geram, namun yang lebih tepatnya depresi. Penolakkan itu berasa sangat menyakitkan baginya, bagaimana tidak, dia mencintai gadis pujaannya secara diam-diam selama dua tahun ke belakang. Dan pada momen yang tepat dia menyatakan perasaannya, malah kenyataan pahit yang harus diterimanya. Killa, sang gadis pujaan tersebut menolaknya dengan alasan yang bagi Putra itu alasan yang mengada-ada.
“Mungkin aku harus menjadi laki-laki brengsek dulu untuk dicintainya!” lanjutnya yang semakin tampak frustasi. Aku tak mampu berkata apa-apa dan memilih menjadi pendengar setia. Boleh jadi Putra tak perlu argument dariku untuk beberapa saat ini. Seperti halnya tadi saat dia menelponku untuk bicara sesuatu yang sangat penting katanya. Awalnya ku menolak, namun dari nada suaranya ada sesuatu yang tidak beres dalam dirinya hari ini. Dan ternyata, sahabat baikku dari SMA tersebut sedang patah hati.
“Apa yang harus aku lakukan kini, aku benar-benar patah hati?” kesalnya sambil mengacak-acak rambutnya. Putra sekarang memang tampak awut-awutan tak seperti biasanya yang rapi dan bersih. Mungkin kini saatnya aku bicara kepadanya, sebelumnya aku menyodorkan sebuah undangan merah jambu dihadapannya. Matanya langsung membulat membaca undangan tersebut.
“Rania Anjani dengan Ahmad Fathur!” kagetnya sambil menatapku, “Gila, apa ini beneran?” tanyanya yang masih tak percaya dengan kenyataan di depannya. Aku hanya mengangguk sambil minum jus jeruk yang aku pesan tadi.
“Skenario Allah begitu luar biasa! Jawabku yang balik menatap sahabatku tersebut.
“Kenapa kamu tidak pernah cerita kepadaku, jika Rania akan menikah atau lebih tepatnya menikah dengan orang lain?”
Aku hanya diam sambil mengingat kejadian lima hari lalu dimana aku bilang kepada Putra bahwa Rania akan menikah. Spontan dia memeluk dan mengucapkan selamat karena penantianku selama ini berbuah manis. Kembali aku hanya bisa diam ketika dia mengira bahwa aku lelaki beruntung tersebut.
“Maaf … jika aku belum bisa menjadi sahabat yang baik untukmu!”
Raut wajahnya frustasi itu berubah menjadi ekspresi penuh penyesalan. Aku tersenyum dan mengangguk kepadanya.
“Apa kamu tidak patah hati ditinggal nikah oleh Rania?” tanyanya yang mungkin dari tadi dia pendam dan tak berani untuk ditanyakan.
“Iya!”
“Lalu? Hanya itu saja ketika menerima kenyataan orang yang kita cintai akan menikah dengan orang lain?”
Aku hanya tersenyum yang membuatnya semakin penasaran dan bertanya-tanya.
“Setiap orang pasti pernah merasakan yang namanya patah hati atau penolakan. Namun, yang terpenting dari semua itu bukanlah tentang patah hati, tapi bagaimana kita ke depannya bisa mengelola hati.”
Kembali aku meminum jus jeruk yang sudah tinggal setengah. Putra yang duduk di depanku sepertinya tak sabar untuk mendengar penjelasanku.
“Ayolah kawan segera jelaskan bagaimana kita bisa mengelola hati ketika patah hati!
Aku tersenyum mendengarnya, sahabatku ini benar-benar aneh baru saja patah hati dan frustasi sekarang dia malah kepo dengan patah hati orang lain.
“Ikhlaskan semuanya dan serahkan kepada-Nya. Berat memang! Tapi, ketika kita bisa melangkah setapak melewati rasa patah hati itu, insyaaAllah Dia sang punya cinta akan memberi cinta yang lebih dan lebih indah.”
“Maksudmu, kita harus mencari cinta yang baru begitu?”
“Great, kawan! Karena, obat dari patah hati adalah cinta yang lain. Namun, sebelum cinta yang lain itu tumbuh, tumbuhkan cinta itu kepada Sang Pemilik Cinta.”
“Jadikan patah hati itu seperti patah hati terindah yang kamu rasakan, bukan membuat terpuruk namun menjadikanmu lebih keren dan lebih baik. Buat yang menolakmu karena kamu terlalu baik menjadi benar begitu faktanya!”
Putra tersenyum dan binar semangat kembali mengisi raut wajahnya yang tadi sempat mendung.
“Kawan, bolehlah kita patah hati dan galau, namun sekedarnya. Karena, masa depan kita masih utuh dan sayang sekali jika harus diratapi dengan kegalauan,” lanjutku sebelum pergi untuk kembali ke tempat kerja.
“Oke, sekarang aku harus pamit untuk menyambung hidup.”
Aku berdiri dan bergegas meninggalkannya yang masih terdiam di tempat duduknya.
“Kurasa ini adalah patah hati terindahku yang membuatku semakin kece dan keren dari kamu!” ucap Putra sambil tersenyum menatapku.
Pagi yang cerah untuk dua sahabat yang sedang patah hati atau kini lebih tepatnya pernah patah hati. Langit masih biru dan mentari masih bersinar terik, dua jomblo pun masih berlanjut untuk menemukan cinta yang baru, walau kini cinta itu sudah ada yakni cinta kepada Sang Pemilik Cinta.[]

Kalipucang, 16 September 2016
_Jumat yang selalu penuh berkah dan cinta_




Tidak ada komentar:

Posting Komentar