Patah Hati Terindah
Yanuari
Purnawan
“Dia
menolakku!”
Matanya berkaca-kaca dan raut wajahnya tampak begitu mendung. Suasana kafe pagi
ini sepertinya mendukung akan apa yang dia rasakan. Sepi. Mungkin karena masih
jam kerja.
“Aku
tidak mengerti alasan dia menolakku. Dia bilang aku terlalu baik dan sempurna
untuknya. Apa itu alasan yang tidak buat-buat?”
Dia
tampak geram, namun yang lebih tepatnya depresi. Penolakkan itu berasa sangat
menyakitkan baginya, bagaimana tidak, dia mencintai gadis pujaannya secara
diam-diam selama dua tahun ke belakang. Dan pada momen yang tepat dia
menyatakan perasaannya, malah kenyataan pahit yang harus diterimanya. Killa,
sang gadis pujaan tersebut menolaknya dengan alasan yang bagi Putra itu alasan
yang mengada-ada.
“Mungkin
aku harus menjadi laki-laki brengsek dulu untuk dicintainya!” lanjutnya yang
semakin tampak frustasi. Aku tak mampu berkata apa-apa dan memilih menjadi
pendengar setia. Boleh jadi Putra tak perlu argument dariku untuk beberapa saat
ini. Seperti halnya tadi saat dia menelponku untuk bicara sesuatu yang sangat
penting katanya. Awalnya ku menolak, namun dari nada suaranya ada sesuatu yang
tidak beres dalam dirinya hari ini. Dan ternyata, sahabat baikku dari SMA
tersebut sedang patah hati.
“Apa
yang harus aku lakukan kini, aku benar-benar patah hati?” kesalnya sambil
mengacak-acak rambutnya. Putra sekarang memang tampak awut-awutan tak seperti
biasanya yang rapi dan bersih. Mungkin kini saatnya aku bicara kepadanya,
sebelumnya aku menyodorkan sebuah undangan merah jambu dihadapannya. Matanya langsung
membulat membaca undangan tersebut.
“Rania
Anjani dengan Ahmad Fathur!” kagetnya sambil menatapku, “Gila, apa ini beneran?”
tanyanya yang masih tak percaya dengan kenyataan di depannya. Aku hanya
mengangguk sambil minum jus jeruk yang aku pesan tadi.
“Skenario
Allah begitu luar biasa! Jawabku yang balik menatap sahabatku tersebut.
“Kenapa
kamu tidak pernah cerita kepadaku, jika Rania akan menikah atau lebih tepatnya
menikah dengan orang lain?”
Aku
hanya diam sambil mengingat kejadian lima hari lalu dimana aku bilang kepada
Putra bahwa Rania akan menikah. Spontan dia memeluk dan mengucapkan selamat
karena penantianku selama ini berbuah manis. Kembali aku hanya bisa diam ketika
dia mengira bahwa aku lelaki beruntung tersebut.
“Maaf
… jika aku belum bisa menjadi sahabat yang baik untukmu!”
Raut
wajahnya frustasi itu berubah menjadi ekspresi penuh penyesalan. Aku tersenyum
dan mengangguk kepadanya.
“Apa
kamu tidak patah hati ditinggal nikah oleh Rania?” tanyanya yang mungkin dari
tadi dia pendam dan tak berani untuk ditanyakan.
“Iya!”
“Lalu?
Hanya itu saja ketika menerima kenyataan orang yang kita cintai akan menikah
dengan orang lain?”
Aku
hanya tersenyum yang membuatnya semakin penasaran dan bertanya-tanya.
“Setiap
orang pasti pernah merasakan yang namanya patah hati atau penolakan. Namun,
yang terpenting dari semua itu bukanlah tentang patah hati, tapi bagaimana kita
ke depannya bisa mengelola hati.”
Kembali
aku meminum jus jeruk yang sudah tinggal setengah. Putra yang duduk di depanku
sepertinya tak sabar untuk mendengar penjelasanku.
“Ayolah
kawan segera jelaskan bagaimana kita bisa mengelola hati ketika patah hati!
Aku
tersenyum mendengarnya, sahabatku ini benar-benar aneh baru saja patah hati dan
frustasi sekarang dia malah kepo dengan patah hati orang lain.
“Ikhlaskan
semuanya dan serahkan kepada-Nya. Berat memang! Tapi, ketika kita bisa
melangkah setapak melewati rasa patah hati itu, insyaaAllah Dia sang punya
cinta akan memberi cinta yang lebih dan lebih indah.”
“Maksudmu,
kita harus mencari cinta yang baru begitu?”
“Great,
kawan! Karena, obat dari patah hati adalah cinta yang lain. Namun, sebelum
cinta yang lain itu tumbuh, tumbuhkan cinta itu kepada Sang Pemilik Cinta.”
“Jadikan
patah hati itu seperti patah hati terindah yang kamu rasakan, bukan membuat
terpuruk namun menjadikanmu lebih keren dan lebih baik. Buat yang menolakmu
karena kamu terlalu baik menjadi benar begitu faktanya!”
Putra
tersenyum dan binar semangat kembali mengisi raut wajahnya yang tadi sempat
mendung.
“Kawan,
bolehlah kita patah hati dan galau, namun sekedarnya. Karena, masa depan kita
masih utuh dan sayang sekali jika harus diratapi dengan kegalauan,” lanjutku
sebelum pergi untuk kembali ke tempat kerja.
“Oke,
sekarang aku harus pamit untuk menyambung hidup.”
Aku
berdiri dan bergegas meninggalkannya yang masih terdiam di tempat duduknya.
“Kurasa
ini adalah patah hati terindahku yang membuatku semakin kece dan keren dari
kamu!” ucap Putra sambil tersenyum menatapku.
Pagi
yang cerah untuk dua sahabat yang sedang patah hati atau kini lebih tepatnya
pernah patah hati. Langit masih biru dan mentari masih bersinar terik, dua
jomblo pun masih berlanjut untuk menemukan cinta yang baru, walau kini cinta
itu sudah ada yakni cinta kepada Sang Pemilik Cinta.[]
Kalipucang, 16 September 2016
_Jumat yang
selalu penuh berkah dan cinta_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar