Cinta dalam Ikhlas
Oleh
: Yanuari Purnawan
Mata
masih membulat menatapnya. Getaran halus perlahan menyusup ke dalam hati.
Sosoknya membuat degup jantung tak menentu. Hingga lambat laun menjadi tak
terkendali lagi. Paras yang bersahaja, senyum yang ramah dan sikap yang santun
tersebut. Membuat seonggok daging bernama hati itu, menjelma menjadi merah
jambu.
“Jangan
gugup! Santai saja,” ucap Andi sahabat satu kampus sambil menepuk pundakku.
“Aku
yakin kalian adalah pasangan yang serasi, Han.” Andi berusaha menenangkanku.
Sahabat satuku ini selalu saja mengerti apa yang sedang kurasakan. Lewat dia
pula, aku bisa mengenal lebih dekat Dilla. Gadis yang membuat hariku berwarna
dan penuh bunga-bunga cinta.
“Di
… apa aku tidak terlihat berantakan?” tanyaku sedikit gugup untuk menghadapi
momen yang sangat bersejarah dalam hidupku.
“Tidak
kok, cuma kayak udang rebus saja,” jawabnya sambil tertawa. Aku hanya bisa
cemberut.
Kupandangi
sekitar ruang tamu yang bercat putih dan bergaya minimalis tersebut. Ruang ini
akan menjadi saksi bisu perjalanan cintaku. Hingga suara pria membuyarkan
segala lamunanku.
“Assalamualaikum, maaf sudah menunggu
lama,” sapa pria berkoko dan berkopyah putih tersebut.
“Waalaikumsalam,” jawabku bersamaan
dengan Andi.
Mendengar
suara pria tersebut, membuat tangan terasa basah dan lutut seakan lemas. Bulir
keringat dingin mulai membasahi dahi. Sorot mata pria yang tak lain ayah dari
Dilla, membuatku semakin grogi dan salah tingkah. Biasanya aku selalu percaya
diri, baik saat diskusi di kampus maupun di luar kampus. Tetapi, entah mengapa
kepercayaan diri tersebut lenyap seketika.
“Kalian
satu kuliah dengan Dilla?” tanya Pak Syamsul. Ayah Dilla membuka pembicaraan
yang seolah mengetahui kegugupan kami, terutama aku selaku tokoh utama dalam
pertemuan ini. Kami hanya mengangguk membenarkan pertanyaan tersebut.
“Saya
mengerti dari Dilla, ada yang mau mengkhitbahnya. Apakah itu benar?” Ucapan
dari bibir Pak Syamsul membuatku panas dingin. Ternyata, Dilla sudah
memberitahu ayahnya. Andi yang duduk di sebelahku menendang pelan kakiku untuk
segera angkat suara.
“Ma
… af, Pak. Saya Farhan, yang mau mengkhitbah putri bapak bernama Adilla
Safitri,” jelasku dengan terbata. Aku tidak mengerti bagaimana raut wajahku
kini.
“Terima
kasih atas keberanian Nak Farhan. Tetapi, saya tidak bisa memutuskan dan yang
berhak menjawab adalah Dilla.” Ayah Dilla begitu demokratis. Lalu beliau memanggil Dilla untuk memberi keputusan.
Dengan jilbab putihnya, Dilla terlihat anggun dan bersahaja.
“Nak,
kamu pasti sudah mendengar percakapan kami. Sekarang giliran Dilla yang
mengambil keputusan,” terang ayah Dilla lembut sambil menatap putrinya.
“Terima
kasih, Ayah dan semuanya atas kesempatan ini. Jujur aku sangat menghargai
keberanian mas Farhan sebagai lelaki sejati. Berani mengkhitbah mendatangi
orangtuaku.” Keterangan dari bibir Dilla membuat sedikit embun pengharapan
menetes lembut ke dalam hati. Aku yakin dia pasti menerima khitbah ini.
“Tetapi,
sebelum mas Farhan datang untuk mengkhitbah. Aku lebih dulu mencintai seseorang,”
lanjutnya.
“Maksudnya?”
aku belum mengerti, tetapi keterangan Dilla membuat hatiku remuk redam.
“Maaf
mas Farhan, hatiku sudah terpaut dengan pria lain.”
“Kalau
boleh tahu, siapakah pria itu?” tanyaku sekuat tenaga berusaha untuk tegar dan
tabah.
“Andi
Maulana,” jawab Dilla dengan nada suara sedikit bergetar.
Mendengar
siapa pria yang disebut Dilla, membuatku tak percaya. Suasana mendadak hening.
Tetapi, tidak dengan perasaanku. Seolah ada petir menyambar hati lalu
menghancurkannya. Lidahku keluh untuk berucap lagi. Andi yang duduk di
sampingku diam, seperti mencari pembenaran diri.
“Maaf,
apa aku tidak salah dengar? Andi Maulana, sahabatku ini!” tanyaku sambil
melirik Andi. Bukan marah ataupun cemburu, tetapi aku butuh penjelasan yang
lebih. Dilla hanya mengangguk lalu berkata.
“Aku
mulai mencintai mas Andi saat pertama kali masuk kampus. Sifat dewasa, sopan
dan santunnya membuat hatiku luluh. Apalagi saat dia bersedia menjadi mak
comblang mas Farhan. Entah mengapa hatiku lebih terpaut untuknya.”
“Farhan
jujur bukan maksudku untuk menusukmu dari belakang. Ini di luar perkiraanku.
Aku juga baru mengerti hari ini, tentang perasaan Dilla. Maafkan aku!” ucap
Andi gugup, takut aku salah paham. Kutatap mata Andi dan tersenyum.
“Andi,
Dilla dan Pak Syamsul, sebenarnya hatiku hancur. Tetapi, sebagai pria aku harus
ikhlas melepaskan cinta ini untuk sahabatku. Bukankah cinta tak harus
dipaksakan. Andi … kutitipkan Dilla untukmu. Aku ikhlas karena dia mendapatkan
pria yang jauh lebih baik dariku.” Tanpa terasa air mata menetes. Andi langsung
memelukku dengan terisak.
“Alhamdulillah,” ucap Pak Syamsul sambil
tersenyum haru.
Peristiwa
kali ini menyadarkanku, bahwa cinta sejati tak harus memiliki. Tetapi, cinta
sejati itu harus berani mengikhlaskan yang dicintainya untuk bahagia bersama
dengan yang lain. Bukankah jodoh, maut, rezeki sudah ada yang mengatur dan
tercatat rapi di lauh mahfuz-Nya.
Jadi, mengapa harus risau kehilangan yang kita cintai. Aku harus ikhlas,
mungkin Dilla bukan cinta sejatiku. Tetapi, aku percaya Allah pasti telah
menyiapkan bidadari lainnya untuk menjadi cinta sejatiku.[]
Yang sabar y kak farhan. Smoga kau dpatkan yg jauh lbih baik lagi. Hhee
BalasHapusiya kasihan, buat Khoirur Rohmah aja hehe
Hapus