Rabu, 15 Juni 2016

Cinta dalam Ikhlas

Cinta dalam Ikhlas
Oleh : Yanuari Purnawan



Mata masih membulat menatapnya. Getaran halus perlahan menyusup ke dalam hati. Sosoknya membuat degup jantung tak menentu. Hingga lambat laun menjadi tak terkendali lagi. Paras yang bersahaja, senyum yang ramah dan sikap yang santun tersebut. Membuat seonggok daging bernama hati itu, menjelma menjadi merah jambu.

“Jangan gugup! Santai saja,” ucap Andi sahabat satu kampus sambil menepuk pundakku.
“Aku yakin kalian adalah pasangan yang serasi, Han.” Andi berusaha menenangkanku. Sahabat satuku ini selalu saja mengerti apa yang sedang kurasakan. Lewat dia pula, aku bisa mengenal lebih dekat Dilla. Gadis yang membuat hariku berwarna dan penuh bunga-bunga cinta.
“Di … apa aku tidak terlihat berantakan?” tanyaku sedikit gugup untuk menghadapi momen yang sangat bersejarah dalam hidupku.
“Tidak kok, cuma kayak udang rebus saja,” jawabnya sambil tertawa. Aku hanya bisa cemberut.

Kupandangi sekitar ruang tamu yang bercat putih dan bergaya minimalis tersebut. Ruang ini akan menjadi saksi bisu perjalanan cintaku. Hingga suara pria membuyarkan segala lamunanku.
Assalamualaikum, maaf sudah menunggu lama,” sapa pria berkoko dan berkopyah putih tersebut.
Waalaikumsalam,” jawabku bersamaan dengan Andi.

Mendengar suara pria tersebut, membuat tangan terasa basah dan lutut seakan lemas. Bulir keringat dingin mulai membasahi dahi. Sorot mata pria yang tak lain ayah dari Dilla, membuatku semakin grogi dan salah tingkah. Biasanya aku selalu percaya diri, baik saat diskusi di kampus maupun di luar kampus. Tetapi, entah mengapa kepercayaan diri tersebut lenyap seketika.

“Kalian satu kuliah dengan Dilla?” tanya Pak Syamsul. Ayah Dilla membuka pembicaraan yang seolah mengetahui kegugupan kami, terutama aku selaku tokoh utama dalam pertemuan ini. Kami hanya mengangguk membenarkan pertanyaan tersebut.
“Saya mengerti dari Dilla, ada yang mau mengkhitbahnya. Apakah itu benar?” Ucapan dari bibir Pak Syamsul membuatku panas dingin. Ternyata, Dilla sudah memberitahu ayahnya. Andi yang duduk di sebelahku menendang pelan kakiku untuk segera angkat suara.
“Ma … af, Pak. Saya Farhan, yang mau mengkhitbah putri bapak bernama Adilla Safitri,” jelasku dengan terbata. Aku tidak mengerti bagaimana raut wajahku kini.
“Terima kasih atas keberanian Nak Farhan. Tetapi, saya tidak bisa memutuskan dan yang berhak menjawab adalah Dilla.” Ayah Dilla begitu demokratis. Lalu beliau memanggil Dilla untuk memberi keputusan. Dengan jilbab putihnya, Dilla terlihat anggun dan bersahaja.
“Nak, kamu pasti sudah mendengar percakapan kami. Sekarang giliran Dilla yang mengambil keputusan,” terang ayah Dilla lembut sambil menatap putrinya.
“Terima kasih, Ayah dan semuanya atas kesempatan ini. Jujur aku sangat menghargai keberanian mas Farhan sebagai lelaki sejati. Berani mengkhitbah mendatangi orangtuaku.” Keterangan dari bibir Dilla membuat sedikit embun pengharapan menetes lembut ke dalam hati. Aku yakin dia pasti menerima khitbah ini.
“Tetapi, sebelum mas Farhan datang untuk mengkhitbah. Aku lebih dulu mencintai seseorang,” lanjutnya.
“Maksudnya?” aku belum mengerti, tetapi keterangan Dilla membuat hatiku remuk redam.
“Maaf mas Farhan, hatiku sudah terpaut dengan pria lain.”
“Kalau boleh tahu, siapakah pria itu?” tanyaku sekuat tenaga berusaha untuk tegar dan tabah.
“Andi Maulana,” jawab Dilla dengan nada suara sedikit bergetar.

Mendengar siapa pria yang disebut Dilla, membuatku tak percaya. Suasana mendadak hening. Tetapi, tidak dengan perasaanku. Seolah ada petir menyambar hati lalu menghancurkannya. Lidahku keluh untuk berucap lagi. Andi yang duduk di sampingku diam, seperti mencari pembenaran diri.
“Maaf, apa aku tidak salah dengar? Andi Maulana, sahabatku ini!” tanyaku sambil melirik Andi. Bukan marah ataupun cemburu, tetapi aku butuh penjelasan yang lebih. Dilla hanya mengangguk lalu berkata.
“Aku mulai mencintai mas Andi saat pertama kali masuk kampus. Sifat dewasa, sopan dan santunnya membuat hatiku luluh. Apalagi saat dia bersedia menjadi mak comblang mas Farhan. Entah mengapa hatiku lebih terpaut untuknya.”
“Farhan jujur bukan maksudku untuk menusukmu dari belakang. Ini di luar perkiraanku. Aku juga baru mengerti hari ini, tentang perasaan Dilla. Maafkan aku!” ucap Andi gugup, takut aku salah paham. Kutatap mata Andi dan tersenyum.
“Andi, Dilla dan Pak Syamsul, sebenarnya hatiku hancur. Tetapi, sebagai pria aku harus ikhlas melepaskan cinta ini untuk sahabatku. Bukankah cinta tak harus dipaksakan. Andi … kutitipkan Dilla untukmu. Aku ikhlas karena dia mendapatkan pria yang jauh lebih baik dariku.” Tanpa terasa air mata menetes. Andi langsung memelukku dengan terisak.
Alhamdulillah,” ucap Pak Syamsul sambil tersenyum haru.

Peristiwa kali ini menyadarkanku, bahwa cinta sejati tak harus memiliki. Tetapi, cinta sejati itu harus berani mengikhlaskan yang dicintainya untuk bahagia bersama dengan yang lain. Bukankah jodoh, maut, rezeki sudah ada yang mengatur dan tercatat rapi di lauh mahfuz-Nya. Jadi, mengapa harus risau kehilangan yang kita cintai. Aku harus ikhlas, mungkin Dilla bukan cinta sejatiku. Tetapi, aku percaya Allah pasti telah menyiapkan bidadari lainnya untuk menjadi cinta sejatiku.[]


2 komentar:

  1. Yang sabar y kak farhan. Smoga kau dpatkan yg jauh lbih baik lagi. Hhee

    BalasHapus