Kamis, 30 Juni 2016

Tak Seharum Mawar

Tak Seharum Mawar
Oleh : Yanuari Purnawan


Semudah itukah mereka terhasut. Ini tidak bisa dibiarkan, semua gara-gara siswi baru itu. Kehadirannya membuat kehidupan sekolahku tak tenang. Bukan karena dia cantik dan modis. Tetapi, gadis kampugan tersebut perlahan telah mengambil posisiku. Aku harus berbuat sesuatu sebelum semua terlambat.

Risma dan Santi, dua sahabatku telah menjadi korbannya. Mereka biasanya selalu bersamaku ke mana-mana, sekarang mendadak menjadi tertutup dan sulit diajak jalan-jalan. Aku tidak mengerti jalan pikiran mereka, mengapa begitu mudah percaya dengan cewek yang baru dikenal, daripada sahabat yang hampir tiga tahun bersama.

Alifa, dialah biang keladi dari semua masalah ini. Cepat atau lambat virus tersebut akan menyebar ke seanterio sekolah. Bahkan Zaky, cowok yang aku taksir perlahan mulai mendekatinya. Sebelum semua menjadi kacau, aku harus berbuat sesuatu untuk mencegah virus tersebut agar tidak semakin menyebar.

Kulihat alifa sedang duduk di bangku taman dekat pintu gerbang sekolah. Sepertinya dia sedang menunggu seseorang. Tiba-tiba sebuah mobil berwarna silver berhenti tepat di depan gerbang. Seorang pria berusia dua puluh lima tahunan, membuka pintu mobil dan menyungging senyum kepada Alifa. Sejurus kemudian Alifa menghampiri pria tersebut lalu masuk ke dalam mobil.
Seingatku , Alifa itu anak tunggal dan tidak punya kakak atau saudara dekat. Semua kuketahui dari Risma yang sering cerita tentang kehidupan Alifa. Sesuatu yang janggal, bisa-bisanya Alifa yang berjilbab tersebut jalan berduaan dengan seorang pria. Aku harus selidiki dan mungkin kejadian ini bisa menguntungkan untuk menghentikan virus tersebut.

“Alifa …!” teriakku kepada Alifa yang sedang duduk sambil membaca di taman sekolah. Dia menoleh lalu tersenyum.
“Ada apa Dian?” tanyanya dengan senyum yang masih mengembang diwajahnya.
“Tidak ada apa-apa! Emm … enak nih kemarin dijemput pria pakai mobil,” sindirku sambil duduk di sampingnya. Wajah Alifa mendadak pucat, seperti menyimpan sesuatu. Sekilas kulihat dia menutup buku yang sedang dibaca tersebut.
“Dian … tahu dari mana?” tanyanya sedikit gemetaran.

Kutatap wajahnya yang terlihat bingung. Jilbab putih panjangnya sesekali tertiup angin. Sesaat suasana taman menjadi hening. Aku tersenyum sinis, seolah berhasil menembak mati sang buruan. Alifa juga masih diam, menunggu jawabanku.
“Tidak penting aku tahu dari mana, karena aku melihatnya sendiri. Alifa, tak perlu menjadi munafik dengan pakai jilbab, ikut rohis dan sok alim,” terangku sinis.
“Maksudmu?” Seperti ada rasa penasaran dari ucapannya. Aku hanya tersenyum lalu menatapnya kembali.
“Jangan pura-pura bodoh. Kamu pacaran ‘kan dengan pria tersebut!” kejarku mencari penjelasan dari bibir Alifa. Dia hanya diam dan menunduk, air matanya menetes.
“Maaf … Dian, mungkin kamu salah paham. Dia bukan pacarku, tetapi pria tersebut adalah sepupuku. Namanya Farhan,” jelasnya sambil terisak. Aku belum mengerti mengapa dia menangis.
“Lalu mengapa kamu menangis?”
“Dian, syukur kamu yang melihatnya. Jika itu orang lain, pasti akan menjadi gosip yang menjatuhkanku.” Seketika dia memelukku. Aku hanya diam.

Keterangan dari Alifa membuat dadaku sesak. Maksudku ingin memojokkannya tetapi, justru aku yang terpojok. Terbuat dari apa hatinya hingga dia berpikir aku adalah sahabat yang baik.

Sejak kejadian di taman sekolah tersebut, diam-diam aku mengamati gerak-gerak Alifa. Hingga tanpa sadar, keinginanku menjatuhkan terkikis dengan sifat dan kepribadiannya yang santun. Dia sekarang menjadi ketua rohis sekolah. Jilbab panjang dan adab bergaulnya sangat diperhatikan. Sangat beda dengan kebanyakkan remaja puteri seusianya. Perlahan rasa iri itu mulai merasuk ke dalam hati.

“Alifa, mengapa kita harus pakai jilbab?” tanyaku penasaran tatkala kami sedang duduk santai di pelataran mushala sekolah.
“Karena itu wajib, perintah dari Allah,” jawabnya singkat. Jilbab putih panjangnya menghiasi wajah bersahaja tersebut.
“Kalau pakai jilbab kita ‘kan tidak bisa gaul dan terkesan kampungan.”
“Jilbab itu prisai, pelindung para muslimah dari pandangan pria yang tidak baik dan lebih mendekatkan diri kepada-Nya.” Aku hanya diam dan mengangguk mendengar penjelasannya.
“Biarlah kita tak seharum mawar. Tetapi, kita mahal bagai mutiara yang tersimpan. Percuma cantik di mata manusia, kalau tidak cantik di mata Allah,” lanjut Alifa menjelaskan. Kalimat terakhir yang keluar dari mulutnya benar-benar menohok hatiku.

Percakapan di pelataran mushala sekolah, mengantarkanku pada perenungan panjang. Tanpa terasa bening hangat keluar dari kelopak mata lalu menganak sungai. Teringat betapa jahiliyah diri ini. Pacaran, hura-hura dan lupa akan kuwajiban sebagai muslimah. Seharusnya, sebagai remaja mampu memberi contoh yang baik seperti Alifa. Bersyukur untuk sahabatku yang sudah terkena virus kebaikannya.


Rabb, maafkan hamba yang pura-pura lupa akan perintah-Mu. Kutatap wajah di depan cermin. Kuseka air mata yang membasahi pipi. Bismillah, mulai hari ini Dian Mayangsari berjilbab karena mencintai perintah-Mu. Walau sekarang tak lagi seharum mawar, aku percaya bahwa muslimah dengan jilbabnya akan tampak mahal bagai mutiara di mata-Nya.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar