Kau yang ada dalam Doaku
Oleh
: Yanuari Purnawan
Mencintaimu
bagai semburat fajar yang melukis indahnya pagi. Entah berapa banyak kalimat
puitis tersebut memenuhi setiap inci otak ini. Benar kata para Sufi, cinta itu
memabukkan, walau tanpa alkohol. Aduh! Mengapa virus ini harus menjangkit diri
tatkala iman masih secuil. Namun, siapa yang tak bergeming? Jika pesonanya
mampu memecahkan dinding terdalam hati. Humairah-ku,
apakah kau juga merasakan hal yang sama denganku?
“Kak,
bagaimana acara bakti sosial minggu ini?” tanya gadis bermata indah di depanku
yang membuatku sedikit gelagapan.
“Emm
… emm … insyaAllah fix dan sudah
sembilan puluh persen rampung proposalnya,” jawabku yang masih salah tingkah.
Gadis berjilbab putih itu hanya tersenyum melihat tingkahku. Dasar bodoh dan
memalukan. Aku hanya mampu menunduk dan sibuk dengan pikiran sendiri.
Hanna,
dialah gadis berjilbab dan bermata indah tersebut. Semua tentangnya kini
menjadi fokus utama dalam hidupku. Ya … Allah salahkah ini? Namun aku hanya
hamba-Mu yang lemah. Tuntun cinta yang mulai tumbuh dan bersemi ini dalam cinta
karena-Mu. Sebaris doa selalu kupanjatkan untuk menguatkan diri. Bahwa aku tak
ingin binasa bak Laela dan Maj’nun ataupun Romeo dan Juliet.
Sebagai
ketua Lingkar Dakwah Kampus mengantarkanku untuk lebih dekat dengan Hanna. Dia
juga menjabat sebagai salah satu seksi dalam kegiatan kampus tersebut. Aku yang
di amanahi tugas ini, seharusnya tidak terjebak dalam lingkaran cinta yang
belum halal. Sudahi dan akhiri. Itulah keputusan yang harus segera kutempuh.
***
“Bi
… apakah Faiz sudah layak untuk menikah?” tanyaku sedikit gemetar kepada Abi
tatkala kami sedang berbincang santai di beranda rumah. Pria berkumis dan
berjenggot rapi itu menatapku tajam. Wajah bersahajanya, menyiratkan keteduhan
kasih sayang seorang bapak.
“Faiz
… dengarkan abi. Menikah itu bukan masalah layak atau tidaknya. Tapi, menikah
itu berdasarkan dari kesiapan hatimu. Jika kamu sudah siap, maka menikahlah.
Jika kamu ragu terus berdoa, minta kepada-Nya. Abi selalu mendukungmu, Nak.”
Perkataan abi benar-benar mampu
membiusku untuk menjadi insan yang lebih baik. Terima kasih, abi.
Semenjak
percakapanku dengan abi tempo hari.
Membuatku semakin yakin, siap dan mantap untuk melanjutkan hubunganku dengan
Hanna. Apapun nanti hasilnya, asal niat ini baik, insyaAllah pasti ada jalan.
“Hanna
… apakah kamu sibuk nanti malam?” tanyaku sedikit gugup di tengah kegiatan
bakti sosial. Hanna yang bergamis ungu senada dengan jilbabnya tersebut sekilas
memandangku lalu menunduk kembali.
“Afwan , Kak. Alhamdulilllah Hanna nggak sibuk. Memangnya ada apa, ya?” tanyanya
balik. Aku hanya tersenyum malu lalu pergi meninggalkannya yang masih
penasaran.
***
“Kabarnya
Hanna akan di khitbah seseorang!”
terang Doni tatkala kami sedang berkemas setelah acara bakti sosial.
“Maksudmu?”
selidikku yang tak percaya. Benarkah ini? Hanna akan di khitbah seseorang. Kabar dari Doni sedikit memupuskan harapanku
untuk meminang Hanna.
“Benar
Faiz! Aku dapat kabar tersebut dari sahabat dekatnya, Putri,” jelas Doni dengan
mimik serius. Aku hanya diam dan merasakan sesak di dalam dada.
Di
dalam kamar, aku masih ragu dan bimbang untuk pergi ke rumah Hanna. Namun, di
satu sisi aku sudah berjanji kepadanya. Apa yang harus kulakukan? Penolakkan
sudah tergambar jelas di depan mata. Apakah aku harus nekat meminangnya juga.
Dalam posisi ini, kupasrahkan semua kepada-Nya. Dengan wajah yang masih galau,
akupun mantap pergi ke rumah Hanna.
Rumah
bergaya minimalis dengan ruang tamu yang sederhana, namun membuat siapapun betah
untuk bertamu.
“Ini
Nak Faiz, ya? Tadi Hanna bilang sama bapak kalau temannya mau datang,” sapa
Bapak berkoko putih dan berkopyah hitam tersebut ramah.
“Benar,
Pak!” jawabku gemetar.
“Ada
keperluan apa Nak Faiz berkunjung ke sini?” Mata teduh itu menatapku. Aliran
darah seakan berhenti dan jantung berdegup lebih cepat. Lidahku keluh. Dengan
beristighfar dan membaca basmallah.
Kuberanikan diri untuk berbicara.
“Saya
datang ke sini untuk meminang putri bapak bernama Hanna Safitri,” ucapku
mantap. Pak Harun nama bapak Hanna tersebut, tersenyum memandangku.
“Bapak
hanya sebagai perantara. Jadi, bapak tidak bisa mengambil keputusan. Semua
kuserahkan kepada Hanna. Karena dia sudah dewasa,” terang Pak Harun diplomatis. Beliau pun memanggil putri
semata wayangnya.
Gadis
berbusana biru serasi dengan warna jilbabnya, keluar dari belakang sambil
menunduk.
“Nduk, kamu pasti sudah mendengar
percakapan kami dari dapur. Sekarang, kamu yang memberi keputusan atas perihal
pinangan ini.” Pak Harun mempersilahkan putrinya mengambil keputusan. Hal
tersebut membuatku yang duduk panas-dingin.
“Terima
kasih, atas keberanian Kak Faiz untuk meminangku. Dengan mengucap bismillah aku terima pinangan dari Kak
Faiz.” Jawaban dari Hanna membuatku tak percaya. Ragu masih menjalar. Dengan
sedikit keberanian, aku pun berbicara.
“Tapi
… dengan gosip Hanna dikhitbah
seseorang itu, bagaimana?” Wajah bersahaja dan anggun tersebut tersenyum
menatapku lalu menunduk malu.
“Kak
Faiz, kaulah seseorang yang ada dalam setiap doaku. Sedang gosip itu hanya
rumor biasa, tapi yang pasti Kak Faiz lah jawaban atas semua itu,” terang Hanna
penuh keyakinan.
Ya … Allah inikah
jawaban atas doa-doa yang kupanjatkan selama ini. Ternyata, cinta karena-Mu
menuntunku pada satu kepastian. Bahwa, Hanna, kaulah humairah-ku, yang ada
dalam setiap bait-bait doaku juga.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar