Minggu, 19 Juni 2016

Kau yang ada dalam Doaku

Kau yang ada dalam Doaku
Oleh : Yanuari Purnawan



Mencintaimu bagai semburat fajar yang melukis indahnya pagi. Entah berapa banyak kalimat puitis tersebut memenuhi setiap inci otak ini. Benar kata para Sufi, cinta itu memabukkan, walau tanpa alkohol. Aduh! Mengapa virus ini harus menjangkit diri tatkala iman masih secuil. Namun, siapa yang tak bergeming? Jika pesonanya mampu memecahkan dinding terdalam hati. Humairah-ku, apakah kau juga merasakan hal yang sama denganku?

“Kak, bagaimana acara bakti sosial minggu ini?” tanya gadis bermata indah di depanku yang membuatku sedikit gelagapan.
“Emm … emm … insyaAllah fix dan sudah sembilan puluh persen rampung proposalnya,” jawabku yang masih salah tingkah. Gadis berjilbab putih itu hanya tersenyum melihat tingkahku. Dasar bodoh dan memalukan. Aku hanya mampu menunduk dan sibuk dengan pikiran sendiri.

Hanna, dialah gadis berjilbab dan bermata indah tersebut. Semua tentangnya kini menjadi fokus utama dalam hidupku. Ya … Allah salahkah ini? Namun aku hanya hamba-Mu yang lemah. Tuntun cinta yang mulai tumbuh dan bersemi ini dalam cinta karena-Mu. Sebaris doa selalu kupanjatkan untuk menguatkan diri. Bahwa aku tak ingin binasa bak Laela dan Maj’nun ataupun Romeo dan Juliet.

Sebagai ketua Lingkar Dakwah Kampus mengantarkanku untuk lebih dekat dengan Hanna. Dia juga menjabat sebagai salah satu seksi dalam kegiatan kampus tersebut. Aku yang di amanahi tugas ini, seharusnya tidak terjebak dalam lingkaran cinta yang belum halal. Sudahi dan akhiri. Itulah keputusan yang harus segera kutempuh.

***
“Bi … apakah Faiz sudah layak untuk menikah?” tanyaku sedikit gemetar kepada Abi tatkala kami sedang berbincang santai di beranda rumah. Pria berkumis dan berjenggot rapi itu menatapku tajam. Wajah bersahajanya, menyiratkan keteduhan kasih sayang seorang bapak.
“Faiz … dengarkan abi. Menikah itu bukan masalah layak atau tidaknya. Tapi, menikah itu berdasarkan dari kesiapan hatimu. Jika kamu sudah siap, maka menikahlah. Jika kamu ragu terus berdoa, minta kepada-Nya. Abi selalu mendukungmu, Nak.” Perkataan abi benar-benar mampu membiusku untuk menjadi insan yang lebih baik. Terima kasih, abi.

Semenjak percakapanku dengan abi tempo hari. Membuatku semakin yakin, siap dan mantap untuk melanjutkan hubunganku dengan Hanna. Apapun nanti hasilnya, asal niat ini baik, insyaAllah pasti ada jalan.
“Hanna … apakah kamu sibuk nanti malam?” tanyaku sedikit gugup di tengah kegiatan bakti sosial. Hanna yang bergamis ungu senada dengan jilbabnya tersebut sekilas memandangku lalu menunduk kembali.
Afwan , Kak. Alhamdulilllah Hanna nggak sibuk. Memangnya ada apa, ya?” tanyanya balik. Aku hanya tersenyum malu lalu pergi meninggalkannya yang masih penasaran.

***
“Kabarnya Hanna akan di khitbah seseorang!” terang Doni tatkala kami sedang berkemas setelah acara bakti sosial.
“Maksudmu?” selidikku yang tak percaya. Benarkah ini? Hanna akan di khitbah seseorang. Kabar dari Doni sedikit memupuskan harapanku untuk meminang Hanna.
“Benar Faiz! Aku dapat kabar tersebut dari sahabat dekatnya, Putri,” jelas Doni dengan mimik serius. Aku hanya diam dan merasakan sesak di dalam dada.

Di dalam kamar, aku masih ragu dan bimbang untuk pergi ke rumah Hanna. Namun, di satu sisi aku sudah berjanji kepadanya. Apa yang harus kulakukan? Penolakkan sudah tergambar jelas di depan mata. Apakah aku harus nekat meminangnya juga. Dalam posisi ini, kupasrahkan semua kepada-Nya. Dengan wajah yang masih galau, akupun mantap pergi ke rumah Hanna.

Rumah bergaya minimalis dengan ruang tamu yang sederhana, namun membuat siapapun betah untuk bertamu.
“Ini Nak Faiz, ya? Tadi Hanna bilang sama bapak kalau temannya mau datang,” sapa Bapak berkoko putih dan berkopyah hitam tersebut ramah.
“Benar, Pak!” jawabku gemetar.
“Ada keperluan apa Nak Faiz berkunjung ke sini?” Mata teduh itu menatapku. Aliran darah seakan berhenti dan jantung berdegup lebih cepat. Lidahku keluh. Dengan beristighfar dan membaca basmallah. Kuberanikan diri untuk berbicara.
“Saya datang ke sini untuk meminang putri bapak bernama Hanna Safitri,” ucapku mantap. Pak Harun nama bapak Hanna tersebut, tersenyum memandangku.
“Bapak hanya sebagai perantara. Jadi, bapak tidak bisa mengambil keputusan. Semua kuserahkan kepada Hanna. Karena dia sudah dewasa,” terang Pak Harun diplomatis. Beliau pun memanggil putri semata wayangnya.
Gadis berbusana biru serasi dengan warna jilbabnya, keluar dari belakang sambil menunduk.
Nduk, kamu pasti sudah mendengar percakapan kami dari dapur. Sekarang, kamu yang memberi keputusan atas perihal pinangan ini.” Pak Harun mempersilahkan putrinya mengambil keputusan. Hal tersebut membuatku yang duduk panas-dingin.
“Terima kasih, atas keberanian Kak Faiz untuk meminangku. Dengan mengucap bismillah aku terima pinangan dari Kak Faiz.” Jawaban dari Hanna membuatku tak percaya. Ragu masih menjalar. Dengan sedikit keberanian, aku pun berbicara.
“Tapi … dengan gosip Hanna dikhitbah seseorang itu, bagaimana?” Wajah bersahaja dan anggun tersebut tersenyum menatapku lalu menunduk malu.
“Kak Faiz, kaulah seseorang yang ada dalam setiap doaku. Sedang gosip itu hanya rumor biasa, tapi yang pasti Kak Faiz lah jawaban atas semua itu,” terang Hanna penuh keyakinan.

Ya … Allah inikah jawaban atas doa-doa yang kupanjatkan selama ini. Ternyata, cinta karena-Mu menuntunku pada satu kepastian. Bahwa, Hanna, kaulah humairah-ku, yang ada dalam setiap bait-bait doaku juga.

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar