Once Upon A Time
Yanuari purnawan
Aku
terdiam tertunduk, bulir air mata menetes perlahan. Di kamar yang sunyi, aku
berusaha menjernihkan pikiran. Tetapi, masih saja kepedihan itu masih
bercongkol di hati.
Kuseka
airmata dan mengambil nafas panjang, kutatap wajah di depan cermin. Sungguh
menyedihkan, wajah pria yang awut-awutan tanpa gairah.
Tetiba,
suara ponsel membuyarkan segala pikiran di otak.
“Kamu
jangan gila, pikirkan lagi.” Sebuah pesan singkat dari sahabatku. Pesan itu
seolah membuka mata hatiku untuk berpikir waras.
“Bisa
ketemu?” balasku.
Sejurus
kemudian ada pesan balasan darinya.
“Oke,
di tempat biasa kita nongkrong, ya!”
Kupacu
sepeda motor dengan perlahan. Aku ingin menikmati udara sore yang begitu segar
dan menenangkan. Ternyata, aku lebih dulu datang, setelah beberapa menit
menunggu akhirnya dia datang juga. Riski, pria berusia dua puluh lima tahun
yang sudah kuanggap saudara kandung sendiri, datang dengan pakaian resmi
kerjanya. Maklum dia adalah PNS.
“Sudah
lama menunggu?” tanyanya sembari mengambil tempat duduk di sampingku.
Aku
hanya mengangguk.
“Apa
kamu sudah memikirkannya?” tanyanya lagi.
“Bang,
aku sudah lelah menanti. Dan ini saat yang tepat untukku bertemu dengannya,”
jawabku-Aku biasa memanggil Riski dengan panggilan abang.
“Dengar
Abang. Jangan gila dan bodoh, masih ada hal yang lebih penting dari hal itu.
Usiamu masih dua puluh tahun, jadi jangan kau sia-siakan,” ucap Riski tajam
menatapku.
“Aku
capek Bang. Aku juga ingin bertemu dengan Ibu, sudah delapan belas tahun aku
tak pernah menatap langsung wajahnya!”
“Kamu
tahu sekarang di mana Ibumu? Malaysia! Apa kamu pernah ke sana? Malaysia itu
luas, apalagi kamu belum tahu alamat pastinya,” terang Riski sedikit emosi
karena kelakuanku yang dikiranya bodoh.
Aku
terdiam dan airmata membasahi pipi. Aku terlalu rindu dengan ibu. Kata orang
aku masih punya ibu yang bekerja sebagai TKI di Malaysia. Sudah cukup dewasa,
aku bisa memahami keadaan ini. Tetapi, aku bosan dan iri jika melihat seorang
anak bisa bermanja ria dengan ibunya.
“Abang
mengerti kamu sangat merindukannya. Tetapi, jangan gila seperti ini dengan mau
menyusul ke Malaysia,” ucap Riski menenangkanku.
“Menurut
Abang, Ibu macam apa yang tega meninggalkan anaknya selama berpuluh tahun dan
menitipkannya di panti asuhan!”
“Pada
suatu saat kamu pasti akan mengerti, mengapa dia pergi meninggalkanmu di panti
asuhan. Jangan bertanya begitu, biarkan waktu yang menjawab semuanya. Sudahlah
… kita makan dulu yuk!”
Sebelum
berpisah Riski mengatakan, “Kadang sebuah penantian itu hanya berujung dengan
penyesalan. Menantilah dengan hati yang ikhlas. Ingat, pada suatu saat kamu
akan mengerti makna hidup ini.”
***
Pada
suatu hari, di mana musim telah berganti. Aku mengetahui, ibu bekerja menjadi
TKI di Malaysia dan meninggalkanku di panti asuhan gegara ayah tak mau
bertanggung jawab dan selingkuh dengan wanita lain. Dan ibu telah meninggal
tatkala usiaku masih lima tahun, akibat di siksa majikannya. Kutahu semua dari
ibu panti yang sudah tak tega melihatku menanti ibu untuk menjemputku dari
panti asuhan.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar