Selasa, 01 September 2015

Jangan Menangis Lagi

Jangan Menangis Lagi
Yanuari Purnawan
Aku ingin berlari lalu pergi
Menghapus luka di hati
Tertusuk duri; Mati
Semua terasa sepi
Sunyi
Sendiri dalam mimpi


Aku belari meninggal kerumunan itu. Sekuat tenaga menahan agar air mata tak luruh. Mereka pasti akan melemahkanku jika melihatku menangis. Tidak! Itu tidak akan pernah terjadi. Biarlah mereka puas tertawa kini. Namun, semburat fajar merah masih menyisakan harapan.
Sekuat-kuatnya diri untuk menahannya, tapi bening hangat itupun tanpa kupinta sudah membasahi pipi. Kutumpahkan semua di atas tempat tidur. Raungan menjadi-jadi. Aku sudah tak kuat lagi. Ingin rasanya semua berakhir tanpa jeda. Tuhan, inikah yang disebut keadilan-Mu. Entah mengapa kalimat itu terucap dengan mudah. Bukan tak bersyukur, namun rasa sabar ini sudah melewati limit. Sekali lagi, bukan takdir yang salah tapi diriku.
“Ada apa?” Sebuah sentuhan lembut di pundak. Aku pun menggeser badan. Kupeluk wanita di sampingku dengan derai air mata.
“Menangislah jika itu membuatmu lega!” Tangisku pun meradang. Ingin sekali kutumpuhkan semuanya sekarang dan terakhir kali. Belaian lembut di rambut membuatku sedikit tenang dan nyaman.
“Aku kesepian!” lirih aku mulai bersuara.
“Terus?”
“Aku takut kesepian ini menggerogotiku hingga nanti sampai mati.” Tangisku pun pecah kembali. Belaian tangan halusnya semakin terasa kuat.
“Kamu yakin dengan apa yang kau rasa?” Aku hanya mengangguk dan terbenam dalam pelukannya.
“Apakah ibu tak malu punya anak sepertiku?” Sekonyong-konyong pertanyaan itu melesat dari bibirku. Wajah teduh itu menatapku penuh kasih. Mata malaikat yang mampu membuat ruang hatiku hangat kembali.
“Mengapa harus malu. Sembilan bulan perut ibu buncit juga tidak malu.” Senyum menghias wajahnya. Aku hanya diam menikmati dekapan hangat darinya. Kamarku yang gelap menjelma hening. Sesekali isak tangisku yang masih terdengar.
“Tapi ….!”
“Setiap manusia punya caranya sendiri untuk bahagia, Nak. Mungkin yang terlihat oleh mata tak sama dengan apa yang terasa di hati.” Kalimat yang dari bibir seolah menjadi oase di tengah gersangnya sahara. Menjadi obat yang mampu menyumbuhkan luka.
“Tapi, aku takut, Bu. Takut tak akan mampu lagi berdiri tanpamu di sisiku. Takut jika gelap itu masih saja bergelayut dalam hidupku,” jelasku dengan isak tangis. Ketakutan yang terpendam dalam hati ingin sekali aku hapus dengan air mata ini.
“Ibu percaya bahwa anak ibu adalah anak yang kuat dan semangat.” Senyum kembali menghias wajah teduhnya. “Sekalipun orang lain menghinamu, ibu tak akan sanggup melakukan hal yang sama seperti mereka. Darah kita menyatu, apakah ibu sanggup.” Air mata ibu perlahan membasahi pipinya.
“Bu …,!” Kuseka air matanya. “Maafkan, anakmu ini.”
“Bukan kamu yang salah, Nak. Tetapi ibu yang salah. Terlalu cepat pergi meninggalkanmu sendiri.”
“Tidak, bu. Ibu adalah penyemangatku, pelindungku dan pembelaku. Akulah anak ibu yang belum bisa membanggakanmu walau secuil.” Kami pun dalam dekapan hangat berselimut isak tangis.
“Jangan menagis lagi!” ucap ibu sambil menyeka air mataku. Mataku sembab.
“Janji kepada ibu, kau akan tetap menjadi anak ibu yang baik walau dalam kondisi yang tak baik. Biar orang berkata apapun tentang hidupmu. Namun, kamu harus jadi apa yang hatimu ingin. Jangan biarkan ketakutan, kesepian dan hinaan menjadi batu sandungan yang menjatuhkanmu.” Kulihat senyum itu begitu tulus penuh kasih sayang.
“Aku merindukanmu, Bu!” Bayangan itu memudar seiring cahaya fajar mulai menerpa kisi-kisi jendela kamar. Aku tersengkur sendiri di kamar yang gelap dan sepi.

Selesai
Kalipucang, 1 september 2015





Tidak ada komentar:

Posting Komentar