Jangan Menangis Lagi
Yanuari
Purnawan
Aku ingin berlari lalu pergi
Menghapus luka di hati
Tertusuk duri; Mati
Semua terasa sepi
Sunyi
Sendiri dalam mimpi
Aku belari meninggal kerumunan itu. Sekuat tenaga menahan agar air mata tak luruh. Mereka pasti akan melemahkanku jika melihatku menangis. Tidak! Itu tidak akan pernah terjadi. Biarlah mereka puas tertawa kini. Namun, semburat fajar merah masih menyisakan harapan.
Sekuat-kuatnya
diri untuk menahannya, tapi bening hangat itupun tanpa kupinta sudah membasahi
pipi. Kutumpahkan semua di atas tempat tidur. Raungan menjadi-jadi. Aku sudah
tak kuat lagi. Ingin rasanya semua berakhir tanpa jeda. Tuhan, inikah yang
disebut keadilan-Mu. Entah mengapa kalimat itu terucap dengan mudah. Bukan tak
bersyukur, namun rasa sabar ini sudah melewati limit. Sekali lagi, bukan takdir
yang salah tapi diriku.
“Ada
apa?” Sebuah sentuhan lembut di pundak. Aku pun menggeser badan. Kupeluk wanita
di sampingku dengan derai air mata.
“Menangislah
jika itu membuatmu lega!” Tangisku pun meradang. Ingin sekali kutumpuhkan
semuanya sekarang dan terakhir kali. Belaian lembut di rambut membuatku sedikit
tenang dan nyaman.
“Aku
kesepian!” lirih aku mulai bersuara.
“Terus?”
“Aku
takut kesepian ini menggerogotiku hingga nanti sampai mati.” Tangisku pun pecah
kembali. Belaian tangan halusnya semakin terasa kuat.
“Kamu
yakin dengan apa yang kau rasa?” Aku hanya mengangguk dan terbenam dalam
pelukannya.
“Apakah
ibu tak malu punya anak sepertiku?” Sekonyong-konyong pertanyaan itu melesat
dari bibirku. Wajah teduh itu menatapku penuh kasih. Mata malaikat yang mampu
membuat ruang hatiku hangat kembali.
“Mengapa
harus malu. Sembilan bulan perut ibu buncit juga tidak malu.” Senyum menghias
wajahnya. Aku hanya diam menikmati dekapan hangat darinya. Kamarku yang gelap
menjelma hening. Sesekali isak tangisku yang masih terdengar.
“Tapi
….!”
“Setiap
manusia punya caranya sendiri untuk bahagia, Nak. Mungkin yang terlihat oleh
mata tak sama dengan apa yang terasa di hati.” Kalimat yang dari bibir seolah
menjadi oase di tengah gersangnya sahara. Menjadi obat yang mampu menyumbuhkan
luka.
“Tapi,
aku takut, Bu. Takut tak akan mampu lagi berdiri tanpamu di sisiku. Takut jika
gelap itu masih saja bergelayut dalam hidupku,” jelasku dengan isak tangis. Ketakutan
yang terpendam dalam hati ingin sekali aku hapus dengan air mata ini.
“Ibu
percaya bahwa anak ibu adalah anak yang kuat dan semangat.” Senyum kembali
menghias wajah teduhnya. “Sekalipun orang lain menghinamu, ibu tak akan sanggup
melakukan hal yang sama seperti mereka. Darah kita menyatu, apakah ibu sanggup.”
Air mata ibu perlahan membasahi pipinya.
“Bu
…,!” Kuseka air matanya. “Maafkan, anakmu ini.”
“Bukan
kamu yang salah, Nak. Tetapi ibu yang salah. Terlalu cepat pergi meninggalkanmu
sendiri.”
“Tidak,
bu. Ibu adalah penyemangatku, pelindungku dan pembelaku. Akulah anak ibu yang
belum bisa membanggakanmu walau secuil.” Kami pun dalam dekapan hangat
berselimut isak tangis.
“Jangan
menagis lagi!” ucap ibu sambil menyeka air mataku. Mataku sembab.
“Janji
kepada ibu, kau akan tetap menjadi anak ibu yang baik walau dalam kondisi yang
tak baik. Biar orang berkata apapun tentang hidupmu. Namun, kamu harus jadi apa
yang hatimu ingin. Jangan biarkan ketakutan, kesepian dan hinaan menjadi batu
sandungan yang menjatuhkanmu.” Kulihat senyum itu begitu tulus penuh kasih
sayang.
“Aku
merindukanmu, Bu!” Bayangan itu memudar seiring cahaya fajar mulai menerpa
kisi-kisi jendela kamar. Aku tersengkur sendiri di kamar yang gelap dan sepi.
Selesai
Kalipucang, 1
september 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar